Mangopas (mengail)

Di sebuah desa, Remboken namanya tinggallah dua orang bersahabat karib. Mereka pandai membuat kail. Pekerjaan mereka, sehari-hari adalah mengail.

Suatu waktu, sahabat karib itu bersama-sama pergi mengail, ternyata di antara kedua kail itu, hanya satu yang selalu membawa hasil. Setiap kail itu dilemparkan ke air segera saja ditelan ikan. Sedangkan kail milik yang seorang lagi, walaupun telah berulang kali dilemparkan, tidak pernah disambar ikan.

Pada suatu hari, pemilik kail yang tidak pernah membawa hasil itu, menemui kawannya untuk meminjam kail. Katanya : ”Sahabatku, bolah saya pinjam kailmu? “Jawab sahabatnya : “O, boleh saja sahabatku tetapi ada syaratnya. Apabila kail itu hilang atau putus, harus dicari lalu dikembalikan. Sama sekali tidak dapat diganti dengan kail lain.

 

“Oh, tidak apa-pa, jangan kuatir, “Jawab sahabatnya itu, lalu kail itu dibawanya pergi. Setibanya di tempat mengail kail itu dilemparkan dan segera dimakan ikan. Pada saat talinya ditarik, tiba-tiba tali kail itu putus, dan kail hilang dibawa oleh ikan. Pulanglah si peminjam kail itu ke rumah sahabatnya untuk memberitahukan apa yang terjadi pada dirinya. “Hai sahabatku, dengan sangat menyesal kukatakan kepadamu bahwa kailmu hilang dibawa lari oleh ikan. “Si pemilik kail itu menjawab: “Sahabatku, seperti yang telah kukatakan tadi, apabila kail itu hilang, harus dicari sampai ketemu”.

Walaupun dengan hati yang berat, berangkatlah si peminjam kail itu untuk mencari kail guna menepati janjinya. Ia menuju ke tempat di mana kail itu hilang tadi. Ia menyelam ke dalam air, semakin lama semakin dalam. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat bahwa ia telah berada di dasar yang tidak berair lagi, sunyi sekali. Ia berjalan ke sana ke mari di tempat itu.

Sementara ia berjalan, nampaklah olehnya dua orang wanita sedang menumbuk padi. Kepada kedua wanita itu bertanya, “Mengapakah daerah ini sangat sunyi?” maka dijawab oleh wanita-wanita itu : “Ada suatu kejadian (menyedihkan) yang telah terjadi di sini. Yaitu anak raja (sang puteri) sedang menderita sakit keras, tidak ada harapan untuk sembuh lagi. Namun kata sang raja, barang siapa dapat menyembuhkan anaknya, ialah yang akan kawin dengan sang putri”. Ia meminta agar kedua wanita itu mengantarkannya ke tempat sang raja, guna menyaksikan puteri yang sakit. Sesudah memberi salam kepada sang raja, maka ia berkata: “Hamba sanggup menyembuhkan penyakit tuan puteri, tetapi izinkan hamba menemuinya.”

Lalu ia masuk untuk melihat si sakit. Ketika ia melihat bahwa leher puteri itu membengkak, maka ia meminta agar puteri membukakan mulutnya, “Bukalah mulutmu”. Ketika puteri membuka mulutnya, ternyata ada kail yang tersangkut di tenggorokannya. Ternyata kail itu adalah kail yang dicari-cari olehnya. Lalu, orang yang berada di dalam kamar sang puteri dimintanya keluar karena sang puteri akan diobatinya.

Begitu mereka keluar, termasuk ayah dan ibu sang puteri, maka dikeluarkannyalah kail dari mulut sang puteri. Kail itu cepat-cepat dimasukkannya ke dalam kantong baju. Begitu kail dikeluarkan, maka sang puteri langsung sembuh. Ketika melihat anaknya sembuh, maka sang raja berkata : “Telah kuumumkan bahwa barang siapa yang dapat menyembuhkan anakku, ia akan kujodohkan dengan anakku.” Maka kawinlah orang itu dengan sang puteri.

Entah sudah berapa lama hidup menjadi suami isteri, mereka mohon diri kepada raja dan permaisuri untuk pergi ke kampung halaman suami. Permintaan mereka dikabulkan. Maka pulanglah mereka melalui jalan yang dilalui sang suami ketika masuk dahulu. Pada saat mereka tiba di tempat yang berair, tiba-tiba dilihatnya sang puteri sudah berubah menjadi seekor ikan gabus. Tetapi sang suami tahu bahwa tak mungkin ikan itu dibawa ke darat. Iapun berjalanlah sendiri langsung menuju ke rumah sahabat karibnya.

Ketika tiba di sana, ia berkata : “Hai sahabatku, inilah kailmu itu. “Jawab sahabatnya : “Terima kasih sahabatku, penghargaanku yang besar menyertaimu karena ternyata engkau berhasil menemukan kembali kailku ini”.

Tetapi si peminjam kail itu, hatinya tetap menyimpan dendam walaupun dia sudah mengambalikan kail tersebut. Ia menuju kembali ke tempat pemandian. Diambilnya sebatang pohon pisang, ditanamnya di tempat itu, lalu disumpahinya : “Hai pisang, kupohonkan dengan sangat, apabila sahabatku suatu waktu berjalan tepat di tempat engkau ini ditanam, maka turunkanlah hujan lebat“.

Pada suatu waktu ketika sahabatnya melalui tempat itu sambil membawa kail, disandarkannya kailnya ke pohon pisang itu karena hendak mandi. Begitu ia menyandarkan kailnya ke pisang, tiba-tiba hujan lebatpun turun. Tanpa berpikir panjang, si pemilik kail lalu memotong sehelai daun pisang untuk dijadikan sebagai payung. Perbuatan ini disaksikan oleh sahabatnya.

Lalu katanya kepada sahabat pemilik kail itu : “Pisang itu adalah milikku. Saya kira kau tahu, bukan? Nah sekarang, kembalikan daun yang telah kau potong itu pada batang-tangkainya lagi, tetapi jangan sampai layu. Hal ini sama dengan apa yang pernah kau lakukan terhadapku dulu takkalah kailmu hilang”.

Berulang-ulang kali si pemilik kail berusaha memasang kembali helai daun yang telah dipotongnya itu, namun sia-sia saja. Lalu kata si pemilik kail kepada sahabatnya, katanya : “Sahabatku, aku tidak sanggup melakukannya. Sekarang, apa saja yang mau kau lakukan terhadapku, aku akan menerimanya”.

Lalu kata si pemilik pohon pisang itu : “Mulai sekarang engkau menjadi pengikutku karena engkau telah menjadi budakku. Dan mulai saat ini, apa yang tidak boleh kau lakukan terhadapku, tidak boleh juga kau lakukan terhadap orang lain”.

 

Cerita ini mendidik orang agar berhati-hati memelihara suasana persahabatan, karena persahabatan sewaktu-waktu dapat terputus apabila salah seorang diantaranya lebih mementingkan diri sendiri.

Apabila kita ingin diperlakukan dengan baik, oleh orang lain maka berlaku baik pulalah kepada orang.

Sumber  :      Drs. Piet H. Koagouw dalam Naskah Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara Proyek IDKD, Sulut, 1977.