Oleh : Steven Sumolang
Asal usul orang Minahasa penuh tanda tanya, namun beberapa penyelidikan telah memaparkan asalnya dalam berbagai versi. Beberapa pendapat para ahli diantaranya A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack bahwa orang Minahasa berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiliki lipit Mongolia. Bangsa Mongol terkenal dengan dengan gaya hidup berperang sampai dapat menguasai setengah wilayah dunia pada saat dipimpin oleh Genghis Khan, dan bangsa Mongol menyebar tidak terkecuali pergi ke Tanah Minahasa. Ada persamaan Minahasa dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Alifuru dalam praktek Shamanisme sama seperti Mongol, dan mengenal juga pemimpin agama Walian. Persamaan lain Minahasa tergolong suatu bangsa yang tidak memiliki sistem kerajaan, yang ada hanyalah pemimpin-pemimpin kelompok yang terpilih diantara yang kuat dalam kelompok tersebut. Kelompok-kelompok ini disebut pakasaan atau walak yang sama dengan model Mongol. Pada pihak lain disebutkan asal Tou Minahasa dari Cina, Suku Ainu Jepang, dan lain sebaginya.
Cerita turun temurun legenda Toar Lumimuut lebih memperkuat tesis diatas, bahwasannya Lumimuut sebagai putri kaisar Tiongkok yang menjalin hubungan dengan panglima perang dari Mongol. Karena hubungan tersebut tidak direstui, maka sang putri diusir menuju tanah Minahasa, anaknya yang bernama Toar, lambat laun ketika dewasa, mereka dalam keadaan terpisah sampai kembali bertemu, akhirnya di nikahkan oleh Karema seorang pendamping Lumimuut yang dikirim pihak kerajaan. Turunan Toar Lumimuut ini yang menjadi orang Minahasa sekarang ini. Namun demikian masih terdapat puluhan versi cerita nenek moyang orang Minahasa, dimana yang tercatat ada 92 versi. Setiap anak suku Minahasa yang berjumlah delapan sub etnis memiliki cerita masing-masing. Kesamaan cerita-cerita tersebut terletak pada penokohan Toar dan Lumimuut.
Nenek moyang orang Minahasa dalam perkembangan telah bercampur atau kawin mawin dengan bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis, dan Belanda. Keberadaan orang-orang Eropa yang menetap di beberapa tempat Minahasa seperti komunitas masyarakat Borgo. Orang Eropa telah menjalin hubungan panjang dengan Minahasa dan telah kawin mawin sampai membentuk komunitas Borgo, mereka banyak terdapat di Sindulang, Pondol, Tanawangko, Amurang, dan Kema. Diketahui juga adanya keturunan Eropa Yahudi yang telah kawin mawin dengan penduduk Minahasa mendirikan satu tempat ibadah yakni Sinagog di Tondano. Jadi asalnya suku Minahasa dari Cina-Mongol bercampur dengan bangsa Eropa-Yahudi. Lalu percampuran dengan etnis lain semisal Jawa, Bugis, Gorontalo, Ternate, dll, ini sudah membuahkan kelompok masyarakat baru seperti kampung Jawa Tondano, Kampung Jawa di Tomohon, di Pineleng, Kampung Arab, Kampung Ternate, dll.
Jauh sebelumnya Minahasa dikenal dengan nama Malesung, dan kata Minahasa sendiri berasal dari kata Minaesa, Mahasa, Minhasa yang berarti menjadi satu, ini merujuk dari musyawarah-musyawarah tertinggi di Minahasa dulu dalam rangka menyelesaikan perselisian atau konflik antar mereka, membagi batas-batas wilayah sub etnik, dan membicarakan persatuan menghadapi musuh dari luar. Tapi untuk pertama kali nama Minahasa muncul dalam laporan Residen J.D Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli); demikian pula antara kelompok sub-etnik Tondano dan Tonsawang (Godee Molsbergen, 1928 : 53).
Sewaktu pemerintahan Belanda di wilayah nusantara, mereka melakukan pendekatan dengan memasuki musyawarah para pemimpin anak suku, menghasilkan kesepakatan atau perjanjian persahabatan 10 januari 1969. Momen ini menjadi awal hubungan Belanda dengan Minahasa bukan dalam hubungan menjajah tetapi hubungan antar sahabat dan hubungan dagang. Ketika belanda mau melanggarnya, sang imperialis tersebut harus terjerumus dalam perang panjang yakni perang Tondano yang terjadi sampai tiga kali. Sebelumnya bangsa Spanyol tidak melakukan pendekatan ini, sehingga harus diusir oleh persekuatan para kepela walak dari tanah Malesung. Inilah gambaran bahwa pengambilan keputusan tertinggi di Minahasa adalah musyawarah seperti musyawarah watu pinawetengan (diperkirakan sekitar 670, musyawarah yang pertama), karenanya pihak belanda sendiri selalu menyebut Minhasa (persatuan/musyawarah) kepada masyarakat Malesung yang memiliki delapan sub etnis. Delapan sub etnis tersebut adalah Tombulu, Tonsea, Tountemboan, Toulour, Tonsawang, Pasan, Bantik, Ponosakan.
Jauh sebelumnya nenek moyang orang Minahasa bermukim pertama di sekitar pegunungan Wulur Mahatus atau yang disebut Tu’ur in Tana, dari sini mereka berkembang dan berpindah ke Nieutakan di sekitar gunung Tonderukan (daerah sekitar Tompaso saat ini), dan menyebar lagi keseluruh wilayah tanah Minahasa. Berdasarkan cerita rakyat orang minahasa berasal dari keturunan pasangan Toar dan Lumimuut, yang berasal dari turunan Mongolia dan Tiongkok. Pada waktu itu masyarakat awal keturunan Toar Lumimuut dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu : Makarua Siow : para pengatur Ibadah dan Adat Makatelu Pitu : yang mengatur pemerintahan Pasiowan Telu : Rakyat. Pasiowan Telu melakukan pemberontakan melawan pemerintahan yang ada, dan pada akhirnya seorang dari kelompok Makatelu Pitu yakni Muntuuntu menengahi konflik, ia menyatukan kembali seluruh komponen masyarakat dalam suatu musyawarah Watu Pinawetengan. Kisah Muntuuntu menjadikan pimpinan utama dari yang musyawarah Minahasa dikemudian hari diberi gelar Muntuuntu.
Wilayah Minahasa hasil pengukuhan dalam musyawarah Watu Pinawetengan dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu: Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut. Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara, Anak suku Toulour : menuju timur (Atep), Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besar. Pada saat itu belum semua daratan minahasa ditempati, baru sampai di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia. nanti setelah permulaan abad 15 dengan semakin berkembangnya keturunan Toar Lumimuut, dan terjadinya perang dengan Bolaang Mongondow. Perkembangannya anak suku Minahasa menjadi delapan yakni Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Pasan, Ponosakan dan Bantik.
Kedelapan sub etnis Minahasa tersebut memiliki perbedaan bahasa masing-masing, akan tetapi dalam perilaku adat dan budayanya mempunyai kesamaan sebagai Tou Malesung. Mitos Toar Lumimuut nampaknya menjadi dasar penyatuan erat antar sub etnis tersebut dalam sebuah bangsa Minahasa, dimana semua sub etnis Minahasa memiliki cerita Toar Lumimuut dalam versinya masing-masing.
Anak suku Minahasa menjadi pakasaan-pakasaan, sampai pada abad 19 dalam lembaran Negara Nomor 64 Tahun 1919, Minahasa di jadikan daerah otonom. Pada saat itu minahasa terbagi dalam 16 distrik : Distrik Tonsea, Manado, Bantik, Maumbi, Tondano, Touliang, Tomohon, Sarongsong, Tombariri, Sonder, Kawangkoan, Rumoong, Tombasian, Pineleng, Tonsawang, dan Tompaso. Tahun 1925, 16 distrik tersebut dirubah menjadi 6 distrik yaitu distrik Manado, Tonsea, Tomohon, Kawangkoan, Ratahan, dan Amurang. Sejalan dengan perkembangan otonomi maka tahun 1919, kota Manado yang berada di tanah Minahasa, diberikan pula otonom menjadi Wilayah Kota Manado.
Kemudian status kecamatan Bitung, berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 4 tahun 1975 Tanggal 10 April 1975 telah ditetapkan menjadi Kota Administratif Bitung, dan selanjutnya pada tahun 1982 ditetapkan menjadi Kota Bitung. Usulan pembentukan kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon diproses bersama-sama dengan 25 calon Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia, dan setelah melalui proses persetujuan DPR-RI, maka Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon ditetapkan menjadi Kabupaten dan Kota Otonom di Indonesia melalui UU Nomor 10 tahun 2003 tertanggal 25 Pebruari 2003. Pada tanggal 21 Nopember 2003 dengan UU Nomor 33 Tahun 2003, Kabupaten Minahasa Utara ditetapkan menjadi daerah otonom yang baru. Dengan adanya Pemekaran tersebut maka wilayah minahasa menjadi 3 (tiga) Kabupaten (Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara) dan 3 (dua) Kota (Kota Manado, Bitung dan Tomohon). (Steven Sumolang)