DIDIKAN MORAL DALAM TUJA’I GORONTALO

Oleh. Lily EN Saud

 PENDAHULUAN

Masyarakat Gorontalo kaya akan warisan budaya yang mewarnai kehidupan  mereka sehari-hari. Berbagai upaca adat  sering dilaksanakan untuk menandai ataupun menghormati berbagai peristiwa diseputar kehidupan masyarakatnya. Beragamnya upacara adat dan tradisi yang hidup dalam masyarakat sehingga dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu; (1) Tradisi dan adat istiadat yang berhubungan dengan perkawinan, kelahiran, kematian, penobatan dan penganugerahan gelar adat,, (2) Tradisi yang berhubungan dengan kesenian seperti zikir, burdah, dana-dana dan zamrah. (3) tradisi yang berhubungan dengan gerak atau olah raga seperti tarian, langga dan longgo. (4) Tradisi yang berhubungan dengan satra. Dalam masyarakat Gorontalo memiliki kebiasaan untuk meninggikan atau menghormati orang berdasarkan kedudukan atau status social dan usia. Salah satu bentuk adat istiadat yang berbentuk pujian  dan dirangkai dalam kata-kata disebut Tuja’I yang merupakan pujaan kepada Olongia (raja) atau ta u dudulaqa (pembesar).

Masyarakat Gorontalo adalah masyarakat yang mendiami daerah Propinsi Gorontalo. Sebelum masa penjajahan Belanda, daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan ini tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut pohala’a (wilayah adat). Di Gorontalo ada lima pohala’a yaitu; Pohala’a Gorontalo, Pohala’a Limboto, Pohala’a Bone, Pohala’a Bolango (tahun 1862 di ganti Boalemo) dan Pohala’a Atinggola. Raja dari Pohala’a ditentukan oleh Baate (pemangku adat) menurut garis keturunan, tetapi pada masa penjajahan Belanda Baate hanya mencalonkan diri dan yang memutuskan adalah pemerintah Belanda.

Dari kelima Pohala’a tersebut di atas yang paling menonjol adalah Pohala’a Gorontalo dan Pohala’a Limboto yang merupakan dua kerajan besar. Rakyatnya yang terbagi dalam suku-suku atau linula dikepalai oleh seorang Olongia dan  masing-masing mendiami wilayahnya  sendiri.

Beberapa versi asal usul nama Gorontalo menurut tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat ,yaitu;

  1. Berasal dari Hulontalangi, nama salah satu kerajaan kemudian dipersingkat menjadi Holonihalo.
  2. Hulontalangi berasal dari Hualolontalengo yang artinya orang Gowa yang berjalan kesana-kemari.
  3. Hulontalangi artinya yang lebih mulia.
  4. Hulua lo tola artinya tempat pembiakan ikan gabus.
  5. Pogolatalo atau Pohulatalo artinya tempat menunggu.
  6. Gorontalo nama seorang keponakan raja Tidore.
  7. Gunung Telu, dari ucapan orang Gowa, apabila mereka hendak memasuki pelabuhan Gorontalo terlihat dari jauh ada tiga gunung yang menonjol.
  8. Mengingatkan perpindahan penduduk dari tempat yang tinggi berbukit-bukit (huntu) kesuatu tempat sering digenangi air (langi-langi).

Jadi asal usul nama Gorontalo secara pasti tidak diketahui, tetapi Hulontalo hingga sekarang masih tetap hidup dalam ucapan orang Gorontalo, bila mereka menggunakan bahasa daerah Gorontalo dalam percakapannya. Kemudian pada masa penjajahan Belanda , orang-orang Belanda mengucapkan Hulontalo dengan ucapan Horontalo dan jika di tulis menjadi Gorontalo. (F.Daulima, 2005)

Peristiwa penting pada pemerintahan Kerajaan Hulontalo (Gorontalo) dibentuknya lima pohala’a pada permulaan abad 17 yang disebut janji lo uduluwo limo lo pohala’a, yaitu persekutuan kedua dari lima bersaudara yang mengakhiri silang sengketa antara Gorontalo – Limboto. Pada tahun 1824 daerah limo lo pohala’a telah berada dibawah kekuasaan seorang Asisten Residen, di samping pemerintahan tradisional. Pemerintahan kerja sama ini kemudian dialihkan menjadi sistem pemerintahan  langsung yang dikenal dengan istilah Rechtatreeks Bestuur  yang dijalankan secara resmi pada tahun 1889.

Pada tahun 1911 terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan, daerah limo lo pohala’a dibagi lagi atas tiga onder afdeling yaitu onder afdeling Kwandang, Gorontalo, dan Bualemo. Selanjutnya pada tahun 1920 berubah  menjadi lima distrik yaitu distrik Kwandang, Limboto, Bone, Gorontalo, dan Bualemo.  Pada tanggal 23 Januari  melalui perjuangan Nani Wartabone dan para pengikutnya, bendera merah putih dikibarkan di Gorontalo yang merupakan puncak perjuangan masyarakat Gorontalo dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Peristiwa 23 januari 1942 merupakan suatu bukti sejarah bahwa di Gorontalo telah berdiri suatu pemerintahan yang sifatnya nasional.

Sejak tahun 2001 Gorontalo resmi menjadi Provinsi Gorontalo dengan membawahi Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Pohuwato , Kabupaten Bualemo dan Kabupaten Gorontalo Utara.

  1. SIMBOLISASI DALAM TUJA’I

Kata Tuja”I awalnya berarti pujaan, pujaan yang ditujukan kepada raja Olongia (raja) atau ta u dudulaqa (pembesar).dalam perkembangan tuja’I juga ditujukan kepada orang yang dihormati, yang ditinggikan atau juga kepada orang yang disayangi. Tuja’I merupakan salah satu ragam sastra yang berbentuk puisi yang merupakan media untuk mengekspresikan rasa hormat atau pun rasa sayang, nasihat dan petuah terhadap seseorang . Demikian sakralnya isi dari tuja’I sehingga tuja’I ini menjadi salah satu bagian penting dalam setiap pelaksanaan upacara adat, khususnya pada upacara adat perkawinan, penobatan raja dan penganugrahan gelar adat.

Tuja’I memiliki ciri-ciri , diantaranya; Ngoqayu yang dapat dikatakan bentuk yang merupakan satu kebulatan struktur dari baris awal sampai baris akhir. Tidak terdapat pembagian sampiran dan isi seperti pada pantun, melainkan keseluruhan baris menjadi  kesatuan isi tuja’I tersebut (Nani Tuloli,dkk,1999).

Tuja’I dapat dibedakan menurut jenis upacara adat, seperti;

  • Tuja’I dalam upacara adat perkawinan.

Tuja’I dalam upacara perkawinan disampaikan berdasarkan tahap-tahap upacaranya dari awal sampai akhir. Dan setiap tuja’I berisikan petunjuk-petunjuk atau petuah yang harus dilakukan oleh pengantin pria dan pengantin wanitanya. Salah satu Tuja’I dalam upacara adat perkawinan, yaitu dalam tahap Mopodiyambango atau tahapan upacara saat pengantin pria dan wanita keluar dari kamar rias dan akan menuju pelaminan,  seorang pemangku adat membacakan Tuja’I    yang berbunyi;

Wombu pulo lo hunggiya          =   Kalian anak para pembesar daerah ini

Malo to dulahe botiya                =   Pada hari ini

Malo popohuliya                         =   Akan dikenakan

Aadati lo lipu botiya                   =  Adat yang berlaku disini

Tombuluwo ti didiya                  =  Diagungkan dan dihormati

Lo uyito lo utiya                          =  Dengan adat yang berlaku sana sini

Pu’ade malo sadiya                   =  Pelaminan telah disiapkan

Wolo wombu muliya                  =  Bagi kalian yang dimuliakan

Apabila memperhatikan isi dari setiap Tuja’I yang disampaikan dalam upacara perkawinan, setiap  tahap upacara berisikan Tuja’I yang merupakan symbol dari keagungan perkawinan yang berisikan harapan-harapan dan petuah bagi pengantin dalam menempuh perjalanan perkawinan, membangun kehidupan berumah tangga dan meneruskan keturunan. Penggunaan kata kiasan seperti kembang  yang mekar atau putera agung yang mulia menunjukkan tanda kasih sayang orang tua dan kerabat kepada anak-anaknya dengan harapan kehidupan rumah tangga mereka akan seharum kembang yang mekar dan mulia seperti raja.

  • Tuja’I dalam upacara adat Pohutu Momulanga (Penobatan) dan Pulanga (Pemberian Gelar Adat).

Pohutu Momulanga merupakan upacara adat yang berhubungan dengan ketatanegaraan dan pemerintahan. Proses penobatan ini pada hakekatnya pemberian penghargaan,untuk mengangkat derajat dan kewibawaan kepada pemegang tampuk pemerintahan. Hal ini penting karena dalam masyarakat Gorontalo kepemimpinan seorang penguasa merupakan tanggung jawab dunia dan akherat. Pohutu dalam penobatan (Raja) , yang memegang tampuk pemerintahan tertinggi dalam satu lipu diupacarakan dengan khidmat dan penuh keagungan. Seorang raja (Olongia) yang akan dinobatkan adalah seorang yang terpilih secara demokrasi melalui pemilihan oleh wakil-wakil rakyat dalam Bantayo Pobo’ide (dewan persidangan adat). Yang melakukan penobatan adalah pejabat yang minimal setingkat lebih tinggi yang ditunjuk sesuai dengan hirarki jabatan dalam pemerintahan seperti yang sudah diatur dalam undang-undang yang berlaku. Yang melakukan penobatan Olongiya adalah Wu’u, Baate sebagai Ta’uwa (ketua) dari Bantayo Pobo’ide. Bantayo Pobo’ide  adalah sebuah dewan yang dianggotai oleh tiga unsure utama, yaitu wakil dari Bubato (pemerintah), Golongan pemangku adat dan Golongan Syara ditambah wakil dari Mongopanggola (Tokoh dari para tua-tua) yang berpengalaman, Tula’I bala ( orang-orang yang berkarya dalam masyarakat) dan wakil dari wanita yang berwibawa dan menjadi panutan yang disebut Utoliya (Medi Botutihe,Farha Daulima,2003).

Salah satu Tuja’I  dalam upacara penobatan berbunyi:

Huta , huta lo ito Eya                             =  Tanah milik Tuanku

Tulu,tulu lo ito Eya                                 =   Api, milik tuanku

Dupoto , dupoto lo ito Eya                    =  Angin,angin milik Tuanku

Tawu, tawu lo ito Eya                             =  Rakyat, rakyat milik Tuanku

Bo dia Poluliya hilawo eyanggu          = Tapi jangan sesuka hati Tuanku

Tuju’I ini merupakan pesan yang mengingatkan Olangia agar tidak sewenang-wenang menjalankan kekuasaan atau dengan kata lain, kekuasaan tidak terbatas, punya wewenang tapi tidak sewenang-wenang. Datahu lo huntu Hu’idu ( dataran menjunjung gunung). Hal ini merupakan pesan agar tidak menjalankan kekuasaan yang otoriter, semua tunduk pada penguasa dan segala keputusan didukung oleh adat. Sehingga untuk menghindari sifat  Datahu lo huntu hu’idu kekuasaan Olongia kemudian dibatasi menjadi Hu’idu lo huntu Datahu dan kemudian disempurnakan dengan kalimat Bo Dila poluliya Hilawo Eyanggu (jangan menuruti nafsu tuanku).

Pulanga (pemberian gelar adat), hakekatnya mengukur seseorang dalam jabatannya sebagai sumber pola anutan dalam setiap o’oliyo’o (gerakan) sebagai pemimpin. Jabatan atau gelar ini mengandung tanggung jawab yang besar, baik dunia maupun akhirat.

  • Salah satu Tuja’I dalam peanugrahan delar adat berbunyi;

Mato no tingga kolano                           = Paduka Raja yang

Ita do Woduwa                                        = Kami kemari menobatkan tuan

Wu’udi mayi panuwa                             = Dipihak bunda kami berdiri

Ita tai no dutuwa                                     = Paduka tuanlah yang mewarisi

No lipu mata-dewata                             = Negeri yang dua ini

Ominango odebuwa                              = Ada muara ada pelabuhan

Omomata diyambuwa                           = Penduduknya banyak

Mata no tinggo Kolono tugu’uwa         = Paduka raja yang mulia

No leboto lo tamuya                              =Tuan perintah dari leboto tamuya

Mata no tinggo boli po’o lomoto           = Berbaiklah tuan berperi

Tuja’I ini memiliki makna penyerahan tanggung jawab dunia akherat, menjaga hubungan baik dengan kerajaan lain dan berjanji untuk tidak berbuat sewenang-wenang kepada tuwango lipu (rakyat) dan lipu (negeri).

  1. FAKTOR-FAKTOR YANG TERDAPAT DALAM TUJA’I

Apabila memperhatikan setiap isi dari Tuja’I , bahwa  pembacaan Tuja’I dalam setiap upacara adat dapat memberikan isi atau makna dari setiap tahap upacara. Sehingga tuja’I memiliki beberapa faktor yang dapat berfungsi sebagai  (a) penghormatan terhadap raja dan para bangsawan beserta keluarganya baik dalam upacara adat perkawinan dan juga dalam upacara adat penobatan dan penganugrahan gelar adat. Dalam upacara adat perkawinan, pengantin pria dan wanita diperlakukan bagai seorang raja dan ratu seperti yang dilambangkan dalam symbol-simbol yang digunakan dalam upacara mulai dari pakaian beserta perhiasan dan peralatannya sampai pada kamar pengantin dan pelaminan. (b) nasihat, wejangan atau pun peringatan bagi kedua pengantin dalam bersikap membina hubungan suami istri. Karena suatu perkawinan yang sacral adalah pertemuan dan penyatuan dua hati yang harus menghormati adat agar derajatnya lebih mulia. Karena tujuan dari suatu perkawinan bukan hanya untuk berkembang biak, tetapi melahirkan keturunan yang didasari iman dan taqwa yang dijalani dengan sopan dan penuh keikhalan. Selain itu suatu peringatan dan doa bagi raja dan para pejabat dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang sudah dipercayakan oleh rakyat. (c) Meninggikan derajat dan martabat manusia, oleh sebab itu tidak semua orang boleh membawakan Tuja’I . adalah tugas Baate

( pemangku adat) untuk membacakan tuja’I dalam setiap pelaksanaan upacara adat, Dulu pada zaman pemerintahan kerajaan , Baate adalah jabatan sebagai pembantu raja yang disegani sehingga nasihat dan aturan yang ia rencanakan selalu didengar dan dipatuhi, dan dalam pelaksanaan upacara adat Baate memiliki peran penting mengatur dan mengarahkan pelaksanaan upacara adat. Seorang pejabat yang telah dinobatkan berarti telah memperoleh kedudukan dalam adat atau kedudukan yang tinggi dikalangan tuango lipu  (rakyat) dan tuango lipu akan menghargai adat, memandang dan memuliakan pejabat sebagai pola anutannya.Upacara adat penobatan pada dasarnya memberkan kekuatan moral atau kewibawaan untuk menjalankan tugasnya sebagai pengemban amanah rakyat dan membuka partisipasi tuangolipu dalam melaksanakan pembangunan. Untuk menjalankan hal tersebut ada lima prinsip yang diemban seperti isi dalam Tuja’I  berikut;

Bangusa Taalalo            = Keturunan dijaga

Lipu Poduluwalo                        = Negeri dibela

Batangan Pomaya         = Diri diabaikan

Harata Potumbulu          = Harta diwakafkan

Nyawa Podungalo         = Jiwa taruhannya

Tuja’I ini berisikan peringatan agar pejabat yang dinobatkan memperluas wawasan tentang hakekat dan makna penobatan baik sebelum dan sesudah diberi gelar adat, agar diya o bitowa liyo ( tidak kualat) atau tidak dimakan sumpah.  (d) menegaskan dan memperkuat perjanjian atau sumpah, pada zaman raja-raja dahulu sering terjadi perang diantara kerajaan di Gorontalo. Untuk mengatasi pertikaian antar kerajaan seorang raja kemudian memerintahkan Baate untuk melakukan pembicaraan yang kemudian dibuat suatu perjanjian. Dalam pembicaraan tersebut terjadi dialog yang disampaikan dalam bentuk Tuja’I yang intinya berisikan perjanjian yang harus ditaati oleh kedua belah pihak dan harus diturunkan sampai keanak cucu sehingga tidak ada lagi dendam .

  1. PENUTUP

Mengutip  apa yang dikatakan Nunus Supardi, bahwa kebudayaan tradisional adalah perwujudan karya cipta, rasa dan karsa sekelompok masyarakat dan hidup terus karena kebudayaan itu dijaga ketat oleh masyarakat pemiliknya. Kebudayaan tradisional yang sudah menjadi pengetahuan kolektif masyarakat Gorontalo sebagai dasar ajaran moral dan kebanggaan serta jati diri  secara terus menerus ditularkan dari satu kegenerasi ke generasi berikutnya. Sehingga seni tradisional tuja’I ini terus bertahan meskipun masyarakat semakin berkembang dengan semakin mejemuknya masyarakat dengan latar belakang budaya yang beragam.

Adat istiadat Gorontalo dapat dipertahankan turun temurun, walaupun dalam perkembangannya tidak membatasi penyesuaian dengan perubahan zaman, to mali’a lo duniaya wawu tuawangiyo (perubahan dunia dan isinya). Pergeseran tradisi dan prilaku terjadi   sesuai perkembangan zaman ,namun tetap mempertahankan nilai, hakekat, serta makna dari adat yang diwarisi dari leluhur. Pergeseran dapat dilihat dari perubahan sikap, kalau sebelumnya tata cara penghormatan rakyat kepada raja atau pembesar dilakukan dengan menurunkan sarung yang tersandang dibahu sampai setinggi pinggang sambil membungkukan badan, kini tidak dilakukan lagi karena sarung tidak lagi digunakan sebagai pelengkap berbusana. Demikian juga dengan penghormatan disaat menunggang kuda dimana penunggang kuda harus turun dan molubo (menghaturkan sembah) kini tidak berlaku lagi karena kuda  sudah jarang digunakan sehingga penghormatan kini dilakukan hanya dengan memberi salam Assalamu Alaikum Waramatullahi Wabarakatu, atau dengan menganggukan kepala bagi yang bukan muslim.

Adat istiadat Gorontalodapat dikatakan dinamis, karena dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman,namun dari hasil pengamatan seni Tuja’I masih terus menjadi bagian yang penting  hingga saat ini, sebagai salah satu seni sastra yang berhubungan dengan upacara adat. Suatu upacara adat perkawinan  yang tidak  melakukan tuja’I  dianggap kurang berbobot, karena nasehat, ajaran moral selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat yang merupakan pranata budaya yang tumbuh dari dulu sampai sekarang yang memiliki nilai-nilai luhur dalam mengatur prilaku masyarakatnya menuju manusia yang memiliki martabat. Seperti yang tersirat dalam  semboyan    : Aadati didu boli- didu boli didu toma tomali’a limongoli, didu boli-boliya aadati lo hunggiya, to tilayo to huliya, dipo ta lo boboliya, hipakuwa lo todiya, aadati lo lahuwa, to tilayo to ta’uwa, dipo ta lo bobohuwa, hi  tadiya hi pakuwa.. Artinya: Adat istiadat belum berubah,jangan lagi kalian pola, jangan lagi direkayasa, adat milik negeri,dari bawah sampai keatas, belum ada perubahan, disumpah dan diabadikan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Hj. Medi Botutihe, Parha Daulima,2003 : Tata Upacara Adat Gorontalo,                    

                              Pemda Gorontalo

Nani Tuloli,dkk 1999 : Puisi Dalam Kaitannya dengan Kedudukan dan

                              Fungsi Dalam Adat Gorontalo, STIKIP Gorontalo.

Burhanudin Domili, 1999, Nilai Budaya Dalam Adat Perkawinan Gorontalo,

BPSNT Manado.

Geertz, Clifford, 1992 : Tafsir Kebudayaan,Terjemahan F. Budi Hardiman,

Kanisius Yogyakarta.

James Danandjaya, 1991: Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, Dan

                               Lain-lain, Pustaka Utama Grafiti Jakarta.