Manado – Bahwa persoalan lingkungan hingga bencana alam, sangat erat kaitannya dengan tindak tanduk perilaku manusia sebagai aktor penyebab dan penerima dampaknya, karena itu kajian lingkungan dan kebencanaan tidak bisa dipisahkan dari kacamata sosial budaya, manakala pedoman teknis atau solusi mekanistis dari ilmu-ilmu eksakta akhirnya tidak mampu melihat lebih jauh dan memberi jalan keluar bagi kondisi tersebut. Hal ini mendorong Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado wilayah kerja Sulutenggo, terkait dengan Bencana Banjir Bandang Kota Manado 15 januari beberapa bulan lalu, melakukan Dialog Budaya 2014 di Hotel Gran Puri (22/5) dengan tema “ Membangun Peradaban Sebagai Bagian Kebudayaan Dalam Kepedulian Bersama Terhadap Lingkungan Dan Antisipasi Bencana Alam/ Sosial”.
Kegiatan ini dihadiri segenap instansi yang berkaitan dengan lingkungan dan kebencanaan seperti BPBD, SAR, Kominfo, LSM, Pencinta Alam, Lembaga Adat, Tokoh Masyarakat. dengan menampilkan beberapa narasumber yakni Pakar Tata Ruang Veronica Kumurur, Antropolog Abdulatif Bustami, Sejarawan Raimond Mawikere, dan Parktisi SAR Sulut Steven David Malonda.
Kumurur mengemukakan, Terjadi krisis ekologi, pencemaran, banjir bandang, banjir bandang, kerusakan tanah, konflik sosial karena Kegagalan kita memilih bentuk pembagunan yakni sebagai Negara agraris dan Negara industri. Kondisi indonesia saat ini Gagal menjaga kepentingan bersama akan lingkungan hidup, perusakan pulau-pulau kecil Sperti kasus pulau bangka minut. Terjadi penyimpangan ketentuan formal di bidang lingkungan hidup, tidak patuh pada komitmen. Sehingga terjadi degradasi lingkungan yang berdampak menganggu stabilitas negara.
“,Apa sebenarnya yang terjadi? Adalah cara pandang (paradigma) yang salah, antroposentris dimana manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia & kepentingannya. Geser cara pandang (paradigma) antroposentris ke cara pandang ekologis, cara pandang biosentris dimana manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam. kewajiban ini bersumber dan berdasarkan pertimbangan bahwa kehidupan adalah suatu yang bernilai, entah kehidupan manusia atau kehidupan spesies lain. Cara pandang (paradigma) ekosentris tidak berpusat pada manusia melainkan berpusat pada seluruh mahluk hidup (biosfir) atau seluruh komunitas ekologis, tidak untuk kepentingan jangka pendek tetapi untuk jangka panjang”, tandas Kumurur.
Bustami, memetakan peta rawan bencan di Indonesia dan Sulawesi Utara khususnya, dan bagaimana persoalan dalam penanganan masalah bencana belum maksimal ditangani. Aturan-aturan sudah ada, perlu koordinasi dari smua pihak untuk terlibat penuh. Kemudian pada tingkatan masyarakat bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang biasanya arif menjaga lingkungan telah menghilang diganti dengan perilaku buruk yang merusak lingkungan. Saatnya dengan pendekatan sosial budaya, membangkitkan partsipasi segenap masyarakat beserta modal sosial budayanya untuk melakukan kesiapsiagaan atau mitigasi bencana.
Bencana di Kota Manado 2014 mengakibatkan kerusakan parah sepanjang bencana yang terjadi di Sulawesi Utara, diuraikan Sejarawan Mawikere, bahwa kejadian tersebut adalah perubahan-perubahan yang terjadi dari pelilaku manusia alasan kepentingan ekonomi dan kekuasaan sehingga merusak tatanan alam. Ia menjelaskan sejarah bencana di Sulawesi Utara khususnya di Manado telah terjadi berulang-ulang semenjak lalu, namun kejadiannya tidak separah ini, tata kota yang stabil dahulu telah beubah sekarang.
Malonda kembali menjelaskan bagaimana peristiwa banjir bandang 15 januari 2014 lalu, menjadi pelajaran berharga agar pemerintah dan masyarakat terjadi satu kesatuan dalam koordinasi dengan melibatkan semua potensi penanggulangan bencana sampai tingkatan masyarakat paling bawah. “Masalah penanggulangan bencana di Manado 15 januari, tidak berjalan dengan baik akhirnya pada hari puncak saja banyak yang tidak bergerak hanya potensi SAR, Pencinta Alam, TNI, Masyarakat, seharusnya situasi tanggap darurat sitem yang telah disiapkan sebelumnya dapat digerakan”, kata Malonda.
Akhir dari diskusi ini dengan berbagai pembahasan dan masukan dari peserta dialog, telah merumuskan rekomendasi yang dinamakan Rekomendasi Tarsius 2014, menyangkut perhatian masyarakat Sulawesi Utara dari berbagai pihak memperhatikan Lingkungan dan Kebencanaan.
Kepala BPNB Manado, Rusli Manorek menjelaskan rekomendasi-rekomdendasi yang dihasilkan akan disampaikan kepada semua pihak yang terkait terutama dalam pengambilan kebijakan soal lingkungan dan bencana alam. “diharapkan semuanya dapat memahami bahwa menghadapi bencana alam, adalah tanggung jawab budaya kita”, kata Manorek didampingi Ketua Panitia Rocky Koagouw.*** (Steven)