Cerita Rakyat Wongkong Biru Kadio

New Picture (30)

Cerita Wongkong Biru Kadio mulai dikenal masyarakat Sangihe setelah Gunung Awu meletus yakni pada tahun 1711. Meletusnya Gunung Awu dan tenggelamnya sebagian Kerajaan Kendahe dipahami sebagai akibat dari dosa sumbang antara seorang ayah bernama Raja Syam Syah Alam atau Samansialang dengan anak kandungnya Bualaengtanding atau Sangiang Tinanding . Hingga kini menjadi pantangan bagi mereka bila ada yang kawin masih ada hubungan keluarga, khususnya sampai dengan keturunan keempat. Larangan ini diberlakukan karena ada anggapan bahwa perkawinan satu darah akan membawa malapetaka bagi keduanya.

Pada waktu lampau Pulau Marore dan sekitarnya masih bersatu dengan daratan besar. Sekali peristiwa terjadilah dosa sumbang antara seorang ayah bernama Raja Syam Syah Alam atau Samansialang dengan anak kandungnya Bualaengtanding atau Sangiang Tinanding . Permasyuri raja sangat masygul atas perbuatan suaminya. Permasyuri kuatir jangan sampai hal serupa menimpa  pada anak bungsunya bernama Tanding bulaeng yang waktu itu sedang mekar-mekarnya meningkat masa dewasa. Sang ibu kemudian meminta bantuan dari Pokarila untuk menyingkirkan  Tanding bulaeng ke suatu tempat.

Sekali peristiwa berlayarlah  raja bersama anak buahnya hendak mencari Tanding bulaeng. Dari laut mereka melihat ke lereng-lereng bukit. Nampaklah sebagian bukit dalam keadaan redup karena terlindung oleh pepohonan besar dan berdaun rindang. Salah seorang dari awak perahu berucap:”Kai tampa ka wiru” , maka timbullah nama Malueng dan Biru. Setelah mendarat maka raja  Samansialang turun dari perahu untuk mandi di sungai yang mengalir dari salah satu alur bukit. Sungai tersebut dinamakan Salu Malangese yang disebut juga Melanise.

Setelah raja selesai mandi, tidak diduga permasyurinya turun dari tempat persembunyian mereka. Mereka bertemu dan bertanyalah raja kepada isterinya: “I Tanding bualeng suapa?” artinya dimanakah Tanding bualeng berada?. Permasyuri menjawab suaminya: “ITanding dala ulune su Wongkong Biru Kadio” artinya  Si Tanding tinggal di udik di Puncak Biru Kecil. Raja Samansialang tidak lagi melanjutkan mencari Tanding bulaeng anaknya melainkan kembali ke istana hendak melangsungkan perkawinan dengan anak kandungnya Bulaeng tanding atau Sangiang Tinanding. Sementara mereka berpesta pora maka meletuslah Gunung Awu.

Adapun si Tanding bulaeng aman-aman saja dalam penjagaan Pokarila, namun tidak diketahui kisah selanjutnya mengenai keturunan mereka. Biru kadio tinggal kenangan dan tidak ada yang tahu dimana letaknya.

Fungsi sosial dari cerita ini adalah untuk mengingatkan masyarakat Sangihe agar taat pada aturan adat yang berlaku. Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa dalam hal perkawinan masyarakat etnis Sangihe menganut prinsip perkawinan exogami yaitu kawin tanpa ikatan keluarga. Menjadi pantangan bagi mereka bila ada yang kawin masih ada hubungan keluarga, khususnya sampai dengan keturunan keempat. Perkawinan dapat dilakukan apabila hubungan keluarga minimal sudah pada keturunan kelima yang disebut pulung su laede artinya sepupu kelima. Larangan kawin antar keluarga ini berlaku sama, baik bagi keluarga pihak ayah maupun ibu. Larangan ini diberlakukan karena ada anggapan bahwa perkawinan satu darah akan membawa malapetaka bagi keduanya.

Sebagai hukuman atas perbuatan bejat tersebut maka Gunung Awu meletus dan sebagian Kerajaan Kendahe tenggelam. Cerita mulai ini ada setelah Gunung Awu meletus yakni pada tahun 1711.