Cerita Rakyat Sangihe : Ampuang Pertama

Menurut cerita-cerita kuno bahwa daratan Tampunganglawo yang kini disebut Sangihe, ribuan tahun yang lampau daratannya berhubungan dengan pulau Lipaeng Kawaluso, Kawio, Marore, yang ujungnya di arah Barat Laut sampai di pulau Marutung (Pulau Balut).

Menurut ceritanya bahwa dosa yang paling pertama sekali serta melanggar adat nenek moyang suku Sangihe, dilakukan oleh seorang pria bernama Tampilangbahe yang mengawini seorang perempuan yang bernama Mekonda keduanya hidup di pulau Marulung (Balut) Semarang ini.

Tampilangbahe dengan Mekonda menurut cerita bahwa keduanya masih mempunyai hubungan keluarga yang rapat, sehingga hal ini dipandang sebagai dosa yang Sangay besar oleh para orang tua suku Sangihe dan akibat dosa tersebut daratan Tampunganglawo yang bernama pulau Porodisa atau pulau Karakelang dan lain-lain sampai Semarang ini.

Begitu pula sebagai bukti yang jelas bahwa kepulauan Talaud timbal karena akibat dari proses tadi ahíla sebagian besar daripada di pulau-pulau tersebut Semarang di beberapa tempat masih banyak kedapatan batu-batu karang. Cerita selanjutnya hádala sebagai berikut:

Tampilangbahe bersama istrinya Mekonda kemudian dikarunia seorang anak laki-laki dan diberi nama Ampuadulage, uang juga Ampuang Pertama. Setelag Tampilangbahe dan Mekonda mempunyai anak, maka keduanya dengan tiba-tiba menghilang tanpa diketahui oleh seorang jua pun entah ke mana perginya dengan meninggalkan anaknya yang masih bayi itu. Ketika Ampuandulage sudah yatim piatu, ia dibawa oleh teteknya (ayah dari Tampilangbahe) ke Mindano Selatan dan dipelihara di sana.

Pada waktu usia Ampuang Pertama telah mencapai belasan tahun maka terjadilah statu peristiwa yang Sangay mengerikan dan Belem pernah terjadi di seluruh pelosok Mindano Selatan. Peristiwa itu ialah dengan datangnya seekor guaya yang hitam pekat yang besar sekali mendapat persis di muka istana raja Kulano (Raja bernama Pindatun) yang memerintah pada  masa itu.

Kulano Pindatun bersama semua penduduk Mindano Selatan Sangay kuatir dengan adanya peristiwa ini. Yang menjadi kekuatiran ialah jangan-jangan guaya besar itu akan mengamuk dan memakan habis semua manusia yang ada di situ.

Kemudian sang raja menyuruh memukul sendang (balombanda) sebagai isyarat untuk mengumpulkan seluruh rakyat sehingga dari semua pelosok besar kecil, tua, percatan dari mulut Ampuangdulage yang menyatakan bahwa “Baginya tidak sulit kalau hanya mengusir guaya itu”. Percatan Ampuangdulage ini pada hari itu juga telah sampai ke telinga Kulano. Pada saat itu Kulano menyuruh penjaga istana untuk mencari seorang pemuda yang bernama Ampuangdulage.”Benarkah perkataanmu bahwa yang mengusir guaya yang jahanan itu bukanlah pekerjaan yang sulit bagimu?”.

Ampuangdulage menundukkan kepala dengan tidak dapat mengeluarkan sepatah kata. Sang Kulano bersabda pula ”Karena perkataanmu telah didengar oleh banyak orang dan akhirnya juga sampai ke telingaku, jika engkau tidak berhasil menggeserkan pangkal bencana sambil menunjukkan telunjuknya ke arah buaya itu, maka hidupmu sampai hari ini. Tapi jika usahamu berhasil, maka putriku yang tunggal bernama Timbangsehiwu yang bermukim di mahligai akan kuhadiakan kepadamu untuk dijadikan istrimu dan kelak engkau akan menggantikan baru menjawab ”Baginda Kulano yang mulia, hamba akan berusaha”. Ampuangdulage kembali berkata ”Sembahnya hamba mohon dengan Sabda Kulano yang mulia, kiranya semua manusia yang berkerumun ini disuruh berdiri agak jauh, jangan sampai tempat ini merupakan suatu arena tempat tontonan antara saya dengan buaya besar ini.”

Mendengar permintaan Ampuangdulage ini. Kulano terus memerintahkan agar semua orang yang berkerumun itu agak menjauh sedikit dari tempat ini sambil melihat dan menyaksikan bagaimana jadinya pertarungan seorang pemuda dengan buaya yang besar yang terkenal. Setelah orang banyak menjauhkan diri dari tempat itu, barulah Ampuangdulage mendekati bunga yang masih belum berpindah dari tempatnya semula.

Kira-kira masih beberapa meter jauhnya jarak antara Ampuangdulage dengan buaya, maka tiba-tiba buaya itu berkata: ”Janganlah engkau takut menghampiri aku, karena sesungguhnya aku ini adalah ibu yang sejati yang telah menghilang bersama ayahmu semenjak engkau masih bayi. Ibu dan bapakmu sekarang telah menjadi makhluk yang lain dari manusia, karena telah dihukum oleh dewa-dewa sebagai akibat dari dosa. Ketahuilah, hai anakku, Ampuangdulage, bahwa akulah yang bernama Mekonda, ibu kandungnya sendiri. Aku datang kesini tidak ada maksud lain dari mengantarkan sebuah cincin emas kepunyaan ibumu untuk kuhadiakan kepadamu, hai anakku”. Sambil berkata sang buaya mengucurkan air matanya di depan pandangan ampuangdulage. Mendengar Ucapan buaya itu Ampuangdulage tertegun sejenak dan sebelum ia mengajukan pertanyaan buaya itu berkata pula bahwa ”Aku sudah tahu apa yang anakku pikirkan sekarang. Janganlah anakku merasa takut dan ragu-ragu mendekati aku karena aku adalah ibu kandungmu dan ayahmu ialah Tampilanghabe telah mengalami nasib yang sama dengan aku. Jika engkau masih ragu dan merasa takut mendekati aku, dengarkanlah baik-baik tentang kisah hidup dari kita berpisah sampai engkau jadi yatim piatu, kita bertiga dahulunya hidup di Tugis di Pulau Marulang, tapi seketika aku dengan ayahmu mendapat kutukan dari dewa, maka engkau terpaksa kami tinggalkan sendirian menjadi yatim piatu kemudian engkau diambil oleh tetekmu dibawa kembali untuk dipelihara di Mindano ini hingga sampai sekarang engkau sudah besar barulah kita bertemu kembali tetapi sayang, bentuk dan wujud kita sudah berlainan, apalagi kita sudah tak bisa hudup bersama seperti dahulu. Datanglah kemari anakku ambilah cincin emas yang terselip di bawah gerahamku, supaya aku akan segera meninggalkan tempat ini.

Ampuangdulage bertanya:”Akan kupergunakan untuk apa cincin emas yang terselip itu?”Buaya menjawab:”Hai anakku, engkau sekarang telah mencapai tingkat kedewasaanmu. Jika anakku mencari pasangan hidup, ukurlah dahulu cincin emas itu di jari manisnya, bila cincin itu tidak besar berarti putri itu bukan kehendakku, tapi jika tepat benar berarti itu adalah sesuia dengan kehendakku. Begitu pula kepada siapa yang akan berbuat dosa seperti aku di kemudian hari maka kepadanya akan kukirimkan untuk menghukum dia supaya ia diterkamnya, sebab kami ini telah diserahi tugas oleh para dewa untuk mengadili orang yang berdosa seperti aku ini. Datanglah kemari anakku, janganlah engkau merasa takut, sebab aku memang ibu kandungmu. Ampuangdulage terus mendekati buaya yang besar itu dan buaya langsung membukakan mulutnya lebar-lebar, kemudian Ampuangdulage memasukkan tangan kanannya sampai separuh tubuhnya ke dalam mulut buaya dan menjangkau cincin emas yang sinarnya sudah memenuhi mulut buaya itu. Orang banyak yang menonton dari kejauhan berada dalam kecemasan, ketika melihat keadaan sedemikian karena menurut dugaan mereka, buaya besar itu akan menelan Ampuangdulage hidup-hidup.

Cincin emas itu digenggamnya erat-erat lalu ia mengeluarkan separuh badannya dari mulut buaya ibu kandungnya itu. Kemudian berkatalah buaya itu:”Sekarang masalahnya sudah selesai. Aku tahu engkau ini telah menang dalam pertarungan dengan Kulano. Beritahukan kepada Kulano bahwa aku ini adalah ibu kandungmu sejati, yang sengaja mendarat di tempat ini dengan maksud untuk bertemu dengan jantung hatiku yang sudah sekian lamanya aku tinggalkan, dan begitulah perlu disaksikan oleh Kulano dengan para pimpinan lain bersama seluruh rakyatnya, bahwa engkau bukan turunan rakyat biasa tetapi engkau adalah seorang turunan bangsawan juga”.

”Buktinya sudah di tanganmu, peganglah dan pergunakanlah sesuai dengan pesanku. Selamat tinggal anakku, selamat berpisah kita berdua semoga engkau hidup rukun damai serta bahagia dan sejahtera sepanjang umurmu. Selamat tinggal anakku, aku akan berangkat dari tempat ini”.
Dengan secepat kilat buaya itu memutarkan kepalanya mengarah ke laut, terus menyelam dengan tidak meninggalkan riaknya di atas permukaan laut yang tenang itu.

Sesudah berpisah dengan ibunya Ampuangdulage merasa sangat terharu dan sedih karena mengenang nasibnya sejak ia masih kecil sudah tidak mempunyai ibu dan bapa yang memeliharanya hingga sampai ia dewasa banyak kali ia menemui kesulitan hidup, sebab menurut cerita dari teteknya bahwa orang tuanya sudah lama meninggal sejak ia masih bayi. Tetapi sebagai kenyataan yang diperolehnya sekarang bukanlah demikian. Kemudian Ampuangdulage kembali ke Balai pertemuan istana. Kulano dengan membawa sebentuk cincin hadiah dari ibunya. Perasaan Kulano baru lega ketika melihat buaya telah menghilang dari depan istananya. Setelah Ampuangdulage tiba di balai pertemuan istana, bersujudlah ia di depan Kulano dan sembahnya.”Menurut keterangan apa yang saya dengar dari buaya tadi, bahwa ia adalah ibu kandungnya sejati dan ia datang kemari ingin bertemu dengan hamba, dalam pandangan Kulano yang mulia bersama seluruh rakyat yang ada di sini, agar kalian dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri”

Sang Kulano tercengang mendengar berita ini, dan baru diketahui siapa sebenarnya orang tua dari ampuangdulage seorang anak laki-laki yang dikenal umum, sedangkan setahu orang banyak ia adalah anak yatim piatu. Kulano lansung bertanya pada Ampuangdulage:”lalu apa sebagai pesan ibumu sebelum ia berangkat dari sini?” Ampuangdulage menjawab sambil memperlihatkan cincin yang gemerlapan itu dari genggaman tangannya dan ia berkata:”Mkasud ibuku datang kemari sebenarnya ialah menyerahkan cincin ini kepada hamba dan sebagai pesan yang pertama.”

”Jika saya mencari teman hidup, ukurlah lebih dahulu cincin ini di jari manis dari wanita yang dimaksud, jika longgar atau sempit wanita itu bukan kehendaknya. Tetapi apabila cincin itu tepat benar berarti itu memang sesuai dengan kehendak dengan ibuku. Pesan yang kedua ialah:”Kepada siapa yang berbuat dosa lagi sendiri dia, maka kepadanya akan dikirimkan seekor buaya yang lain untuk menerkam dirinya karena mereka itu telah diserahi tugas oleh para dewa untuk mengadili orang berdosa semacam itu”.

Kemudian Kulano teringat akan janjinya yang telah diumumkan di hadapan seluruh rakyat tadi, maka ia memanggil pengawalnya untuk memerintahkan penjaga istana dengan maksud supaya putri Timbangsehiwu datang ke pertemuan istana. Karena pakaian Ampuangdulage sangat kotor dan maklumlah ia adalah seorang anak yatim piatu hidupnya serba kekurangan dan tidak terurus, sementara putri Timbangsehiwu ada di balai pertemuan. Kulano memerintahkan pengawal supaya Ampuangdulage disuruh mandi dahulu kemudian dikenakkan pakaiannya yang layak pandangan orang-orang besar.

Tak lama kemudian muncullah Timbasehiwu diapit oleh dayang-dayang serta inang pengasuhnya. Setelah putri sudah duduk, maka cincin emas yang berada di tangan Ampuangdulage, dimintakan oleh seorang punggawa yang tertua untuk diukur pada jari manis tuan putri Timbangsehiwu. Keadaan ini diikuti dengan tepuk sorak yang gegap gempita dari seluruh rakyat yang terkumpul sebagai tanda kegembiraan mereka terhadap pimpinannya.

Begitu pula menurut kesaksian Kulano beserta seluruh rakyatnya bahwa Ampuangdulage ini memang keturunan dari bangsawan yang terkenal sewaktu mereka hidup sebagai insani, hanya orang tuanya berbuat dosa, maka keduanya dikutuk oleh dewa dan berubah bentuk menjadi buaya.
Kemudian dengan memilih waktu yang tepat, maka Ampuangdulage langsung dijodohkan dengan putri Timbangsehiwu. Kemudian keduanya beranak cucu yang turunannya berada atau mendiami kepulauan Mindano dan pulau-pulau Sangihe Talaud.