Bapongka, Tradisi Penangkapan Ikan Laut Orang Bajo yang Menghargai Alam

Oleh : Steven Sumolang

_MG_2418
Pemukiman Bajo di Pulau Salaka Kepulauan Togean Sulawesi Tengah (Foto : Steven)

Togean, Sulteng (5/2015). Bajo adalah sebuah etnik yang tidak terpisahkan dengan laut, pola pemukiman masyarakat Bajo saja, sangat unik, rumahnya kebanyakan berada di atas air, kalau dahulu justru bertempat tinggal di perahu-perahu atau Lepa. Kini orang Bajo telah menyebar di seluruh penjuru nusantara, yang terbanyak di wilayah Sulawesi. Ada satu tradisi penangkapan ikan yang biasa mereka lakukan, yang menyebabkan mereka melakukan perjalanan sampai jauh, tradisi tersebut adalah Bapongka.

Menurut Muhajir (43 th), warga Kepulauan Togean sebuah Taman Nasional Laut di Sulawesi Tengah, Bapongka adalah tradisi masyarakat Bajo yang menggunakan peralatan tradisional dan tetap memelihara lingkungan laut dari kerusakan.

Bapongka atau disebut juga Babangi adalah bermalam di laut selama 3 hari sampai sebulan. Pongka adalah berlayar mencari nafkah atau atau hasil-hasil laut ke daerah atau provinsi lain, selama beberapa minggu/bulan. Menangkap Hasil Laut bapongka adalah suatu kegiatan melaut khas masyarakat  Bajo atau Bajau di Kepulauan Togean yang telah dilakukan sejak lama. Mereka pergi ke satu tempat di luar kampungnya untuk mencari  hasil laut selang berhari-hari hingga berminggu-minggu secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri  dari tiga sampai lima perahu, masing-masing perahu  terdapat satu orang. Pembentukan kelompok kecil bapongka lebih sering dilakukan berdasarkan kedekatan hubungan. Biasanya kelompok kecil tersebut akan bertemu dengan kelompok kecil yang lain di suatu lokasi penangkapan dan akhirnya  membentuk  kelompok besar yang jumlahnya bisa mencapai 15 bahkan  20 perahu.   Kelompok Bapongka berupaya menangkap ikan, udang, lola, atau kepiting, teripang.

Perahu tradisional yang mereka gunakan disebut lepa, yang dilengkapi cadik dan atap yang  terbuat dari daun  sagu. Umumnya  perahu dijalankan  dengan dayung, meskipun saat ini ada beberapa perahu dilengkapi mesin katinting. Pada saat bapongka mereka membawa cukup banyak perlengkapan, seperti: bahan makanan seperti sagu, lampu petromaks, tempat air, perlengkapan memasak  dan makan, perlengkapan tidur, perlengkapan memasak teripang, serta peralatan lainnya termasuk peralatan menangkap teripang dan hasil laut lainnya.

_MG_2391
Rumah Orang Bajo (Foto : Steven)
_MG_2510
Aktivitas Warga Bajo (Foto : Steven)

Karena bapongka sudah dilakukan secara turun-temurun ada kecenderungan lebih banyak masyarakat Bajo Togean yang memilih bapongka dibanding kegiatan melaut lainnya. Bapongka bisa dibilang berdampak baik bagi kelestarian laut, khususnya terumbu karang, karena hanya menggunakan  peralatan  sederhana. Sayangnya, ada indikasi bahwa hasil bapongka cenderung berkurang dari segi jumlah maupun ukuran hasil laut. Dikhawatirkan  berkurangnya penghasilan  bapongka  akan mempengaruhi minat masyarakat melakukan bapongka.

Dalam kehidupan suku Bajo ada beberapa hal yang merupakan pantangan-pantangan dalam kehidupan, terutama apabila sedang melaut  yang mereka sebut Bapongka. Pantangan-pantangan tersebut bagi orang Bajo diyakini dapat mempengaruhi hasil tangkapan. Beberapa pantangan yang tidak boleh membuang sesuatu di laut saat melakukan Bapongka, Bahwa saat Bapongka tidak boleh membuang : air cucian beras, arang kayu bekas memasak, ampas kopi, air cabe, air jahe, kulit jeruk , abu dapur. Pada saat mencuci beras air cuciannya ditampung di dalam perahu. Air cucian beras tersebut akan dibuang setelah mendekati daratan. Demikian juga dengan arang kayu bekas memasak, abu dapur, kulit jeruk, air cabe dan air jahe.

Sedang pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar sebagai seorang istri di saat suami melaut yaitu: (1) istri yang ditinggal tidak boleh membawa api dan menyapu di dalam rumah; (2) pada waktu hendak berlayar jauh, setelah berada di dalam perahu, tidak boleh mengeluarkan air yang ada dalam perahu sebelum perahu berjalan, dan (3) pada waktu berada di laut atau dalam perjalanan tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor atau makian.

Kesederhanan perahu dan peralatan mengambil hasil laut dan pantangan yang harus dilakukan, dimana mereka tak boleh melanggarnya karena dipercaya akan terjadi bencana karena alam laut diyakini ada penguasa dalam bentuk roh yakni Mbo. Hal-hal ini membuat tradisi Bapongka sangat menghargai dan melestarikan alam, sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Bajo.*** (Steven, dari berbagai sumber)

_MG_2357
Perahu Tradisional Orang Bajo (Foto Steven)