Manado – Sentimen agama dan etnis telah digunakan oleh beberapa elit politik dan institusi sebagai pemicu prahara. Prahara yang telah mengusik kebersamaan berbagai kelompok komunitas etnis dan agama yang sekian tahun berdampingan, demikian yg dikemukakan Sejarawan dan Antropolog Alex Ulaen dalam Panel diskusi Dialog Budaya Nasional 2019, yang diselenggarakan BPNB Sulut dan IAIN Manado di aula IAIN (7/09).
Ulaen memaparkan bagaimana di Minahasa yang dihuni beberapa komunitas plural seperti Jawa Tondano, Arab Manado, Cina Manado, Batak Manado, Jawa Tomohon, dll. Komunitas-komunitas tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik.
Lalu bagaimana masyarakat di Sulawesi Tengah yang memiliki tradisi kebersamaan (sintuwu maroso) meski dalam sejarahnya ada tradisi semacam pengayauan tapi ada aturan main yang digunakan untuk meredam konflik. Namun kini politisasi atas nama sentimen suku dan agama telah terjadi.
Menurut Ulaen, kita harus berlajar pada Jepang. Budaya bukan hanya dilestarikan tapinjuga direformasi, mengawali modernisasinya dengan menerapkan apa yang disebut Ishiki Kail Jourei. Dan Jepang telah berhasil menata budayanya selama 100 tahun dalam era modern.
Edi Petebang dari BPNB Kalimantan Barat menjelaskan kehidupan beragam di Kalimantan yang pernah dilanda konflik etnik. Dan paska konflik 1999-2000, wadah paling netral dipakai dalam upaya perdamaian adalah Credit Union. Tempat bergabung anggota dari berbagai etnik dan agama, sembari upaya lembaga tersebut dalam pemberantasan kemiskinan.
Endri Sanopaka, dosen STISOPOL Raja Haji di kepulauan Riau, memaparkan ciri-ciri kebudayaan Melayu yang bersifat terbuka seperti budaya Unduh Mantu dalam prosesi perkawinan oleh orang Jawa, kini digunakan orang Melayu. Intereaksinya dengan etnik Tionghoa dll. Perinsip yg dijalankan orang Melayu “Dimana Bumi dipijak disitu Langit dijunjung”.***