Saat menanti seorang anak akan lahir, maka semua pihak keluarga itu berkumpul. Mereka berkumpul bukan hanya menunggu anak itu akan lahir, tetapi secara informal mereka mengadakan percakapan tukar pikiran di mana anak yang akan lahir itu disebut siapa namanya. Pemberian nama itu sudah mengandung muatan doa, hikmat dan harapan agar melalui nama yang disandang dalam perkembangan pertumbuhan jasmani dan rohani diharapkan anak itu dapat menterjemahkan arti dari namanya. Tidak juga harus dipahami secara kontradiksi, bahwa nama seseorang dapat juga dipahami melalui aktivitas seluruh hidup yang dilakonkan. Karena itu nama merupakan identitas jati diri yang perlu dijaga dan dilestarikan, sebab sekali nama itu jatuh seumur hidup tidak dipercaya.
Terletak di RT. 1 Kelurahan Tidore Kecamatan Tahuna Timur Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara. Areng Papoto Puide secara adat pemberian nama itu ditandai dengan simbol berpadanan dengan pemotongan tali pusat anak. Dan tali pusat anak dipotong dengan alat tradisional bernama sembilu terbuat dari kulit bambu yang tajam. Semua aktivitas kelahiran terjadi disebuah kamar yang steril secara adat dimana sang ibu yang melahirkan nanti bisa keluar dari kamar tersebut secara empat puluh hari. Seorang perempuan bidan kampung melalui panggilan kemanusiaan melayani sang ibu bersama anak dengan memberikan sentuhan-sentuhan medis, berupa menyediakan ramuan tradisional untuk pemulihan, memijat dengan memanasi badan melalui bara dalam tungku di kamar persalinan dan memandikan anak setiap hari sampai batas waktu empat puluh hari selesai. Pemberian nama saat disimbolkan dengan pemotongan tali pusat anak, ditempatkan dalam perspektif falsafah norma kehidupan yang santun bagi perhalanan hidup anak ke masa depan.