Fendy E. W. Parengkuan
( Universitas Sam Ratulangi )
PENDAHULUAN
Tidak sedikitpun terlintas di dalam pikiran J.R. Logan bahwa koreksinya terhadap istilah Indu-nesians dan Malayu-nesians yang dikemukakan oleh G.W. Earl pada tahun 1850 akan memberikan implikasi politik pada abad berikutnya. Logan menganggap bahwa sebaiknya Indu-nesians diubah menjadi Indonesians sebagai istilah etnologis yang ditujukan kepada penduduk kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan benua Australia dan sejalan dengan itu maka kepulauan tersebut dinamakannya Indonesia. Hal ini dikemukakan Logan di dalam artikel yang berjudul “The Ethonology of the Indian Archipelago” yang dimuat di dalam majalah yang bertajuk Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia yang terbit di Singapura.1
Untuk keperluan etnologi pula istilah Indonesia itu digunakan oleh Adolf Bastian. Hal ini dikemukakannya di dalam buku yang berjudul Indonesien order die Inseln des Malayischen Archipel yang diterbitkan dalam tahun 1884. Rupanya tulisan Bastian itu telah berhasil menjangkau kalangan pembaca yang lebih luas ketimbang tulisan Logan sehingga Bastian dianggap sebagai orang yang pertama yang menggunakan istilah Indonesia. Oleh sebab itu, maka Mohammad Hatta merasa perlu menulis di dalam berkala De Socialist yang terbit bulan Desember 1928 di Nederland untuk menegaskan bahwa bukannya Bastian melainkan Logan yang pertama menggunakan istilah Indonesia. Hatta membenarkan hasil penelitian Kraemer yang dimuat di dalam Kolonial Weekblad terbitan 3 Februari 1927 yang berhasil menemukan tulisan Logan sebagaimana yang sudah disampaikan di atas.2
DARI BUDI UTOMO SAMPAI SUMPAH PEMUDA
Awal abad ke-20 ditandai dengan aktifnya dokter Wahidin Sudirohusodo yang memperjuangkan tersedianya dana bea siswa untuk membantu para mahasiswa yang kurang mampu. Dua mahasiswa kedokteran yang bernama Sutomo dan Suraji mengagumi keuletan dokter itu yang sekaligus memberi mereka ilham untuk berjuang memperbaiki keadaan rakyat.3 Jika melihat masa depan yang cerah bagi para mahasiswa kedokteran pada masa-masa itu, sungguh mustahil sekiranya ada di antara mereka yang berasal dari ‘kalangan atas’ tersebut yang mau mengalihkan pandangan ke ‘kalangan bawah’ apalagi bermaksud memperbaiki nasib rakyat. Mereka masih sempat mempertanyakan kebijakan politik kolonial terhadap ‘lingkungan di luar dinding sekolah’4 di tengah-tengah ketatnya disiplin studi gaya kolonial dan bulatnya tekad mereka untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Dialog mereka dengan lingkungan itu menghasilkan pembentukan sebuah organisasi yang diberi nama ‘Budi Utomo’ pada hari Rabu 20 Mei 1908 di Jakarta.
Hampir saja Sutomo dikeluarkan dari STOVIA waktu itu karena dituduh menggalang kekuatan untuk melawan pemerintah. Rekan-rekan sesama mahasiswa yang sekaligus juga organisasi Budi Utomo segera membulatkan tekad bahwa kalau Sutomo dikeluarkan, mereka juga akan berhenti. Solidaritas mereka ternyata mampu membatalkan ancaman.5 Walaupun beberapa bulan kemudian yakni pada bulan Oktober 1908 pimpinan organisasi beralih ke tangan ‘kaum tua’ pimpinan Bupati Karanganyar R.T. Tirtokusumo, namun tujuan pembentukan Budi Utomo itu terus dipertahankan malah semakin diperluas ‘buat negeri dan bangsa’. Pusat organisasi juga dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta.6
Seperti halnya para mahasiswa di Jakarta, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Negeri Belanda juga tergerak hasratnya untuk menghimpun diri ke dalam satu organisasi. Barangkali telah terjadi suatu ‘kebetulan historis’ oleh karena niat itu timbul pada tahun yang sama dengan didirikannya Budi Utomo: tahun 1908.
Organisasi mereka diberi nama Indische Vereeniging. Pembentukan IV bulan Oktober 1908 itu diprakarsai dan langsung dipimpin oleh Noto Suroto dan Sutan Kasayangan. Tujuan pembentukannya adalah untuk memajukan kepentingan-kepentingan bersama orang-orang yang berasal dari Indonesia khususnya para mahasiswa yang ada di Negeri Belanda serta untuk membina hubungan dengan tanah air.7 Dengan demikian maka pada tahun 1908 itu muncullah dua organisasi mahasiswa, yang satu di dalam negeri dan yang lain di luar negeri, yang memelopori perjuangan membina persatuan demi tercapainya cita-cita bersama.
Menyusul kedua organisasi itu, muncullah berbagai organisasi lain yang secara bersama-sama menandai dimulainya suatu era baru dalam perjuangan menentang penjajahan. Tahun 1911 berdirilah di kota Solo organisasi Sarekat Dagang Islam yang kemudian diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Tahun 1912 di Bandung berdirilah partai politik pertama yang dinamakan Indische Partij (IP).8 Budi Utomo yang mulanya hanya sebagai organisasi mahasiswa, bergerak di lapangan politik setelah kepemimpinannya beralih ke tangan ‘kaum tua’. SI segera berhasil memperoleh pengikut yang banyak di kalangan masyarakat Islam. Pemerintah kolonial menganggap IP terlalu radikal sehingga dinyatakan sebagai partai yang terlarang. Dengan melihat perkembangan organisasi di dalam periode ini maka tidaklah keliru kiranya jika ada yang membaginya atas tiga aliran yaitu (1) yang mengambil dasar kebebasan, (2) yang mengambil dasar demokrasi Islam, dan (3) yang mengambil dasar nasionalis radikal.9
Akan tetapi, sampai sejauh itu belum ada satu organisasipun yang menggunakan ‘Indonesia’ sebagai identitasnya. Adapun identitas ‘Indonesia’ sebagai nama organisasi untuk pertama kali digunakan oleh Indonesisch Verbond van Studeeren tahun 1916 di Negeri Belanda, suatu organisasi sosial yang didirikan atas inisiatif dari Dr. Yap, Dr. Laboor, Suwardi Suryaningrat, dan Sam Ratulangi.10 Organisasi kedua yang menggunakan identitas itu adalah Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) (1914) yang kemudian mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1920.11 Itulah sebabnya Muhammad Hatta pada bulan Desember 1928 mengeluarkan bantahan melalui berkala De Socialist bahwa bukan orang-orang komunis yang pertama menggunakannya melainkan IVS yang didirikan tahun 1916 itu.12
Suatu hal yang perlu dikemukakan di sini ialah tentang peran serta kaum perempuan di dalam perjuangan. Sejak di masa hiruk pikuk perjuangan bersenjata menentang imperialisme dan kolonialisme, mereka telah ikut serta menyingsingkan lengan baju untuk berjuang bahu membahu dengan kaum laki-laki. Di antara mereka, yang sudah dikukuhkan sebagai pahlawan bangsa antara lain Martha Khristina Tiyahahu (1801-1818), R.A. Kursiah Retno Edhi atau Nyi Ageng Serang (1752-1828), Cut Nyak Dhien (1850-1908), dan Cut Nyak Meutia (1870-1910).13
Sejalan dengan perubahan taktik perjuangan di dalam periode ini maka kaum perempuan ikut pula mengubah taktik mereka. Kalau dahulunya dilakukan melalui perjuangan bersenjata maka kini mereka menggunakan segala kemampuan berorganisasinya untuk maju ke depan. Tercatatlah beberapa di antara mereka yang telah diakui sebagai pahlawan yakni R.A. Kartini (1879-1904), Maria Walanda Maramis (1872-1924), Dewi Sartika (1884-1947), Sitti Walidah atau Nyi Ahmad Dahlan (1872-1946), dan H. Rasuna Said (1910-1965).14
Ide Kartini semasa hayatnya, mewujudkan diri dengan berdirinya perkumpulan Kartinifonds (1912) yang memperjuangkan didirikannya sekolah-sekolah Kartini.15 Sejak saat itu bermunculanlah berbagai organisasi perempuan, yang dari tujuannya dapat dibedakan atas yang beraliran masyarakat tanpa tendensi keagamaan dan yang merupakan bagian utuh dari sutu organisasi bertendensi keagamaan. Termasuk jenis pertama antara lain organsisasi Maju Kamuliaan di Bandung, Pawijatan Wanita di Magelang, Wanita Susilo di Pemalang, Wanita Hadi di Jepara, Wanita Rukun Santoso di Malang, Budi Wanito di Solo, termasuk pula Putri Setia di Manado yang didirikan tahun 1927.16 Yang merupakan bagian dari organisasi bertendensi keagamaan antara lain Wanita Katolik, Aisiyah dari Muhammadiyah, Nahdlatul Fataad dari NU dan Wanudyo Utomo dari SI, serta Gorontalosche Mohammedansche Vrouwenvereniging yang didirikan di Gorontalo.17 Baik secara pribadi maupun melalui wadah suatu organisasi, kaum perempuan Indonesia melihat bahwa secara efektif untuk meningkatkan kedudukan mereka di dalam keluarga serta untuk membangkitkan kesadaran memperjuangkan kemerdekaan, adalah melalui berbagai usaha pendidikan. Langkah yang tepat ini mereka tempuh dalam periode tersebut.
DARI SEKITAR DUA KONGRES PEMUDA
Periode tahun 1920-an memperlihatkan gejala pengkristalan ide-ide pergerakan dalam memperjuangkan cita-cita bangsa. Karena diperhadapkan dengan mapannya identitas ‘Belanda’ sebagai bangsa yang sedang menjajah maka kaum pergerakan waktu itu mempertanyakan bahwa kalau begitu, manakah identitas ‘kita’ sebagai bangsa terjajah. Mereka menyadari bahwa keadaan terjajah itu merupakan status yang dipaksakan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain. Hal ini selanjutnya membuahkan kesadaran bahwa kalau begitu bangsa ‘kita’ pernah menikmati arti kata ‘merdeka’ sebelum akhirnya terpaksa harus menerima status sebagai bangsa ‘terjajah’. Perlunya memiliki identitas sebagai satu ‘bangsa’ dan merebut kembali ‘kemerdekaan’ dari tangan penjajah, merupakan dua tema sentral yang mengilhami bangkitnya kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan.
Walaupun kesadaran itu dapat dicari akarnya di tanah air namun tidaklah dapat disangkal bahwa justru di Eropa kesadaran itu berhasil menemukan dan memperkenalkan identitas ‘Indonesia’. Para mahasiswa kita sejak tahun 1908 telah menghimpunkan diri dalam Indische Vereeniging (IV) yang kemudian sebagai organisasi menjadi anggota dari Indonesisch Verbond van Studeerenden (IVS) tahun 1916. Pada tahun 1922, sebagai rangkaian bangkitnya kesadaran politik sebagai suatu bangsa maka IV mengubah nama menjadi Indonesisch Vereeniging dan tiga tahun kemudian (1925) diganti lagi menjadi Perhimpunan Indonesia.18 Majalah mereka yang semula dinamakan Hindia Poetra diganti menjadi Indonesia Merdeka pada tahun 1923, “atas usul saya,” kata Ahmad Subardjo Djojoadisurjo.19
Para mahasiswa Indonesia yang belajar di Eropa, karena bersama-sama terlempar ke dalam suatu lingkungan asing, meningkatkan kebanggaan bersama terhadap tanah airnya sendiri. Perbedaan kedaerahan, kesukuan dan kekhasan masing-masing mereka yang semula dibesar-besarkan untuk keuntungan orang Eropa, dengan digunakannya identitas Indonesia, kini ditempatkan dalam perspektif baru.20 Agar supaya terjalin kerja sama yang kompak di antara kaum pergerakan di Indonesia dengan para mahasiswa yang tergabung di dalam PI maka PI membentuk perwakilannya di Indonesia. Hasil kerja sama itu akhirnya bermuara dengan dibentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927 di Bandung yang diketuai oleh Sukarno. Hatta mencatat bahwa partai ini harus merupakan duplikat dari PI dan harus melaksanakan kewajiban politik bagi Ibu Pertiwi.21
Di dalam situasi telah ditemukannya identitas ‘Indonesia’ maka sejumlah tokoh pemuda yang berasal dari beberapa organisasi pemuda kesukuan merencanakan diadakannya kongres bersama. Para tokoh pemuda itu adalah Sumarto, Suwarso dan M. Tabrani (Jong Java), Bahder Djohan, Djamaludin alias Adinegoro dan Sarbaini (Jong Sumatranen Bond), Jan Tooule Soulehuwij (Jong Ambon), Paul Pinontoan (Pelajar Minahasa), Hamami (Sekar Rukun), dan Sanusi Pane (Jong Batak). Hasrat para pemuda itu tercapai dengan diselenggarakannya Kongres Pemuda Indonesia Pertama 30 April sampai 2 Mei 1926 di Jakarta. Para pembicara, selain mereka yang namanya disebutkan tadi, juga tercatat nama Mohammad Yamin (Jong Sumatranen Bond), Nona Stien Adam (Pelajar Minahasa) dan Djaksodipuro atau Wongsonegoro (Jong Java).22
Di tengah-tengah ketatnya pengawasan kolonial terhadap kegiatan kaum pergerakan, para pemuda kita di dalam kongres mereka yang pertama ini dengan penuh keberanian melontarkan pidato-pidato yang berapi-api untuk menggalang persatuan dalam perjuangan kemerdekaan. Untuk pertama kalinya muncul istilah ‘Indonesia Raya’ yang dikemukakan oleh Tabrani disertai ajakan untuk berusaha, bekerja, berjuang dan gugur untuk kemerdekaan Nusa dan Bangsa. Sumarto waktu itu menegaskan bahwa gagasan Persatuan Indonesia pada pokoknya dan pada dasarnya ialah gagasan politik yaitu cita-cita menuju ‘negara kesatuan Indonesia’. Sumarto mengakhiri pidatonya dengan seruan kepada pemuda-pemuda Indonesia agar ‘bangunlah menuju persatuan, bangkitlah menuju Indonesia Merdeka’.
Selanjutnya ketika Muhammad Yamin diberikan kesempatan berpidato maka antara lain diungkapkan mengenai perlunya memiliki satu bahasa persatuan. Diusulkannya penggunaan ‘bahasa Melayu’ yang dinilainya sebagai ‘bahasa percakapan dan persatuan yang tepat bagi bangsa Indonesia’. Setelah itu giliran Paul Pinontoan menyampaikan pidatonya. Dikatakannya bahwa perbedaan pendapat, patriotisme yang keliru, persaingan agama, semuanya akan membiarkan rakyat Indonesia tetap dalam keadaan tidak merdeka. Paul Pinontoan adalah orang Indonesia yang pertama yang mengucapkan kata-kata ‘proklamasi kemerdekaan Indonesia’ (1926) dan barulah 19 tahun kemudian (1945), hal itu benar-benar diumumkan oleh Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.23
Setelah berlangsungnya kongres pertama ini, terbentuklah organisasi Jong Indonesia yang kemudian diubah namanya menjadi Pemuda Indonesia yang disusul dengan pembentukan organisasi Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPII). Sesudah menggalang kekuatan selama dua tahun, mereka mengadakan Kongres Pemuda Kedua tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta. Pimpinan kongres ini adalah Sugondo Djojopuspito (PPII), Djoko Marsaid (Jong Java), Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond), Amir Sjarifuddin (Jong Batak Bond), Djohan Muhamad Tjai (Jong Islamiaten Bond), Kotjosungkono (Pemuda Indonesia), R.C.L. Senduk (Jong Celebes), J. Leimena (Jong Ambon) dan Rochjani (Pemuda Kaum Betawi). 24 Keputusan Kongres Pemuda Indonesia Kedua inilah yang kemudian terkenal sebagai “Sumpah Pemuda”.25
SATU TANAH AIR: TANAH AIR INDONESIA
Diktum pertama ‘Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia’ itu aslinya berbunyi: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia”.26 Sejak kongres pertama tahun 1926 hal ini sudah merupakan konsep yang sedianya akan menjadi keputusan.27 Kalau tidak terjadi perbedaan pendapat di antara M. Tabrani (ketua kongres) dan Muhammad Yamin (penyusun konsep), sudah dapat dipastikan bahwa Sumpah Pemuda itu dikumandangkan pada tanggal 2 Mei 1926.28 Akan tetapi, yang manakah yang dimaksud dengan ‘tanah Indonesia’ itu?29 Apakah sama dengan ‘Insulinde’ yang diperkenalkan oleh Eduard Douwes Dekker (Multatuli) di dalam Max Havelaar (1860),30 ataukah sama dengan konsep ‘Indie’ yang terkandung di dalam semboyan ‘Indie voor Indiers’ dari E.F.E. Douwes Dekker (D. Setiabudhi) yang mendirikan Indische Partij (1912)?31
Ketika J.R. Logan mengusulkan nama ‘Indonesia’ untuk suatu rangkaian kepulauan di antara benua Asia dan benua Australia dalam arti etnologi,32 hal itu disejajarkannya dengan nama kepulauan Mikronesia, Melanesia dan Polinesia yang terletak di bagian Selatan samudra Pasifik. Langkah itu kemudian diikuti oleh A. Bastian bagi keperluan akademis (1884). Pemerintah kolonial menamakan tanah jajahannya ini dengan nama ‘Hindia Belanda’ yang diterima dengan perasaan tersinggung oleh kaum pergerakan. Digunakannya ‘Indonesia’ sebagai identitas bangsa yang dipelopori oleh para mahasiswa kita di Negeri Belanda dan para pemuda kita di Indonesia di dalam periode ini adalah untuk menunjukkan bahwa sebutan ‘tanah Hindia’, ‘wilayah Hindia Belanda’, bahkan juga ‘Indie’ ataupun ‘Insulinde’ itu tidaklah tepat.
Pengaruh dicetuskannya Sumpah Pemuda itu segera terlihat jelas. Nama-nama organisasi dengan cepat diubah dan disesuaikan dengan keperluan identitas baru ini. Sebutan ‘Hindia Belanda’ mulai tidak disukai dan dengan demikian mulai ditinggalkan. Partai-partai politik kemudian membentuk barisan di bawah panji-panji Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan tahun 1941, GAPI mengajukan usul kepada pemerintah kolonial agar kata ‘Indonesia’ dengan resmi dipakai sebagai pengganti ‘Hindia Belanda’.33 Barulah di dalam masa pendudukan Jepang istilah ‘Indonesia’ dengan resmi digunakan sebagai nama wilayah yang dibebaskan Jepang dari penjajahan Belanda. Akan tetapi batas-batas dari apa yang disebut ‘tanah air Indonesia’, masih menjadi bahan perdebatan yang hangat di dalam sidang-sidang BPUPKI.34
Walaupun kita sudah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan menetapkan UUD 1945 mulai keesokan harinya, namun masih diperlukan perjuangan bersenjata dan diplomasi yang gigih untuk mewujudkan cita-cita yang terkandung di dalam Sumpah Pemuda. Melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi yang gigih pula akhirnya Irian Barat (sekarang: Papua) menjadi bagian dari tanah air Indonesia (1962).35 Dan untuk menjamin kelestarian Sumpah Pemuda itu antara lain ditetapkan Wawasan Nusantara yang mencantumkan bahwa tanah air Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, dan ruang hidup dan kesatuan matra seluruh bangsa dan menjadi modal dan milik bersama bangsa.36 Tanah air Indonesia dengan demikian merupakan modal dasar dalam usaha melaksanakan pembangunan nasional. Kemerdekaan tanah air Indonesia haruslah segera diikuti dengan rangkaian usaha pembangunan.
SATU BANGSA: BANGSA INDONESIA
Kongres Pemuda Indonesia Kedua telah mengambil keputusan yang menandai ‘kehadiran’ suatu bangsa. Keputusan itu aslinya sebagai berikut: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, bangsa Indonesia”. Keputusan ini merupakan suatu terobosan politis yang penting sekali mengingat bahwa bagi kaum kolonial, tidak hanya satu ‘bangsa’ yang mendiami wilayah ‘Hindia Belanda’ karena ada ’bangsa Jawa’, ‘bangsa Ambon’, ‘bangsa Batak’, ‘bangsa Sunda’, ‘bangsa Minahasa’, dan sebagainya. Diperhadapkan dengan bangsa Belanda sebagai pendatang dan penguasa, maka sekalian ‘bangsa’ itu adalah ‘Inlander’ yang diterjemahkan dengan ‘priboemi’ atau ‘boemipoetra’. Jadi, yang diakui secara resmi oleh pemerintah kolonial dan yang juga diajarkan di sekolah-sekolah adalah sebutan ‘Inlander’, inheemsen’, ‘orang Boemi’, ‘orang Boemi-poetra’, ‘Indier’, ‘orang Hindia’,37 dan sebagainya.
Sumpah Pemuda itu bermuara dengan pernyataan “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia” yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi, proklamasi itu lahir dari suatu perjuangan oleh karena itu masih harus dipertahankan dari ancaman pihak-pihak tertentu. Pernyataan itupun harus pula segera diikuti dengan usaha “membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” dan usaha “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
BAHASA PERSATUAN: BAHASA INDONESIA
Keputusan diktum ketiga dari Kongres Pemuda Indonesia Kedua itu aslinya berbunyi: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”. Sesungguhnya kalau bukan terbentur pada pilihan apakah ‘bahasa Melayu’ atau ‘bahasa Indonesia’, tentulah Sumpah Pemuda itu sudah dikumandangkan pada tahun 1926. Ketua panitia M. Tabrani berbeda pendapat dengan Muhammad Yamin (penyusun konsep) mengenai soal bahasa. Yamin bersikeras mempertahankan ‘bahasa Melayu’ sedangkan Tabrani berpendapat bahwa kalau dua diktum sebelumnya memutuskan mengenai ‘Indonesia’ maka hendaklah hal serupa berlaku pula untuk bahasa. Karena tidak tercapai kata sepakat maka ‘Sumpah Pemuda’ tidak jadi diumumkan pada tahun 1926 itu. Barulah setelah berselang dua tahun akhirnya Yamin mengakui kebenaran argumentasi Tabrani sehingga lengkaplah sudah Sumpah Pemuda itu dan siap dikumandangkan tanggal 28 Oktober 1928.
Sejak dikumandangkan Sumpah Pemuda itu maka para tokoh pergerakan seia sekata untuk ‘memasyarakatkan’ penggunaan bahasa Indonesia di dalam berbagai kesempatan guna menggantikan penggunaan bahasa Belanda dan berbagai bahasa daerah. Sampai dengan runtuhnya pemerintah kolonial Belanda 1942, bahasa Indonesia belum merupakan bahasa resmi di samping bahasa Jepang (Maret 1942). Dengan diproklamasikannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 maka terbukalah kesempatan yang seluas-luasnya untuk memantapkan penggunaan bahasa Indonesia itu.
P E N U T U P
Satu hal lagi yang ingin ditekankan di sini ialah mengenai peran lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman. Lagu itu diciptakannya dalam periode di antara dua kongres pemuda yang dikemukakan di atas. Supratman sendiri turut menghadiri kedua kongres itu dalam statusnya sebagai wartawan dan kemudian diberikan kesempatan mengumandangkan instrumentalianya menjelang pembacaan Sumpah Pemuda.38 Lagu ini di dalam periode perjuangan berikutnya menyemaraki suasana pertemuan-pertemuan politik di kalangan kaum pergerakan. Di dalam masa pendudukan Jepang, lagu kebangsaan ini diperkenankan dinyanyikan sesudah lagu kebangsaan Jepang.
Sejak dinyanyikan pada saat proklamasi kemerdekaan, lagu Indonesia Raya ini memberikan dukungan semangat perjuangan yang tidak ternilai dalam usaha membela negara proklamasi. Dengan memperhatikan hasil kerja Panitia Lagu Kebangsaan tahun 1944, maka Pemerintah RI menetapkannya sebagai Lagu Kebangsaan melalui PP No.44/1958. Lagu kebangsaan ini terakhir dikukuhkan melalui UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
CATATAN:
- Akira Nagasumi, “Indonesia dan Orang-orang Indonesia: Semantik dalam Politik”, dalam S. Ichimura dan Koentjaraningrat (reds.), Indonesia. Masalah dan Peristiwa. Bunga Rampai, PT Gramedia, Jakarta, 1976, h 3-4.
- Akira Nagasumi, cit.
- Abdurrachman Surjomihardjo, Pembinaan Bangsa dan Masalah Historiografi, cet. II, Yayasan Idayu, Jakarta, 1979, hlm. 37-50.
- Esei berjudul “Mereka Bertanya: 20 Mei 1908” oleh Taufik Abdullah, Sejarawan dan Kesadaran Sejarah, LEKNAS-LIPI, Jakarta, 1974, hlm. 60-63.
- Taufuk Abdullah, cit.
- K. Pringgodigdo, Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, tjet. VI, Pustaka Universitas No. 7, PT Dian Rakjat, Djakarta, 1967, hlm.l.
- Yusman Basri (ed.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek IDSN, Jakarta, 1982, hlm. 199-200.
- K. Pringgodigdo, op. cit., hlm. 5, 11.
- Abdurrachman Surjomihardjo, cit., hlm. 20-27.
- Akira Nagasumi, cit., hlm. 13.
- K. Pringgodigdo, op. cit., hlm. 23-24.
- Akira Nagasumi, cit., hlm. 13.
- Penerbit Mutiara, Album Pahlawan Bangsa, C III, Jakarta, 1979, hlm. 28-29, 61-85.
- , hlm. 30-54, 62, 67, 86.
- Yusmar Basri (ed.), cit., hlm. 245.
- Th. Manus, F.E.W. Parengkuan, A. Sigarlaki, J.A. Pangkey, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara, Proyek Penelitian dan Pencatat Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara, Manado, 1978, hlm. 108, 110.
- Yusman Basri (ed.), cit., hlm. 245.
- Sunario, “Arti Sumpah Pemuda, Nasional dan Internasional”, Buletin Yaperna: Berita Ilmu-ilmu Sosial & Kebudayaan, Th. I No.3, Yayasan Perpustakaan Nasional, Jakarta, Okt, 1974, hlm. 29.
- Ahmad Suhardjo Djoyoadisuryo, Peranan Ide-ide dalam Gerakan Kemerdekaan Indonesia, Cet. II, Idayu Press, Jakarta, 1977, hlm. 26.
- John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934, LP3ES, Jakarta, 1983, hlm. 3.
- , hlm. 31-35.
- Tabrani dan Adurrachman Surjomihardjo, Laporan Kongres pemuda Indonesia Pertama di Weltevrenden 1926, CV Takari, Jakarta, 1981, hlm. 20.
- , hlm. 23-24, 101-109.
- , hlm. 26
- K. Pringgodigdo, op. cit., hlm. 2.
- Akira Nagazumi, cit., hlm. 8.
- K. Pringgodigdo, op. cit., hlm. 11.
- USIS, Garis Besar Sejarah Amerika, 1973, hlm. 80, 81; Tatang Sastrawiria dan Haksan Wirasutisna, Ensiklopedi Politik, Perpustakaan Perguruan Kem. P.P. dan K., Djakarta, 1954, hlm. 191-192.
- K. Pringgodigdo, op. cit., hlm. 24.
- Akira Nagazumi, cit., hlm. 8.
- K. Pringgodigdo, op. cit., hlm. 11.
- Akira Nagazumi, cit., hlm. 3.
- , hlm. 24.
- Harsja W. Bachtiar, “Kita Orang-orang Indonesia dan Sumpah Pemuda Tahun 1928”, dalam harian Kompas, Djakarta, 29 Oktober 1969.
- Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek IDSN, Jakarta, 1982, hlm. 318.
- Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bahan Penataran: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, CV Ananda, Jakarta, 1986, hlm. 97.
- Sebagian besar istilah itu antara lain terdapat di dalam buku pelajaran sejarah, misalnya yang dikarang oleh L. Van Rijckeversel, Kitab Riwajat Kapoelaoean Hindia-Timoer, J.B. Wolters, Groningen, Den Haag, Weltevreden.
- Bambang Sularto, Wage Rudolf Supratman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek IDSN, Jakarta, 1980, hlm. 135-149.
K E P U S TA K A A N
- ABDULLAH, Taufik, 1974. “Mereka Bertanya: 20 Mei 1908” dalam Sejarawan dan Kesadaran Sejarah, Jakarta : LEKNAS-LIPI.
- BACHTIAR, Harsja W., “Kita Orang-orang Indonesia dan Sumpah Pemuda Tahun 1928”, dalam harian Kompas, Djakarta, 29 Oktober 1969.
- BASRI, Yusman (ed.), 1982. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
- DJOYOADISURYO, Ahmad Subardjo, 1977. Peranan Ide-ide dalam Gerakan Kemerdekaan Indonesia. C II. Jakarta : Idayu Press.
- INGLESON, John, 1983. Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934. Jakarta : Penerbit LP3ES.
- MANUS, L.Th., & F.E.W. PARENGKUAN, A. SIGARLAKI, J.A. PANGKEY, 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara, Manado : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (P3KD) Sulawesi Utara.
- NAGAZUMI, Akira, 1976. “Indonesia dan Orang-orang Indonesia: Semantik dalam Politik”, dalam S. Ichimura dan Koentjaraningrat (reds), Indonesia Masalah dan Peristiwa: Bunga Rampai, Jakarta : PT Gramedia.
- NOTOSUSANTO, Nugroho (ed.), 1982. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
- MUTIARA, 1979. Album Pahlawan Bangsa. C III. Jakarta.
- PRINGGODIGDO, A.K., 1967. Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia. T VI. Pustaka Universitas No. 7. Djakarta : Penerbit PT Dian Rakjat.
- SASTRAWIRIA, Tatang & Haksan WIRASUTISNA, 1954. Ensiklopedi Politik, Djakarta : Perpustakaan Perguruan Kem. P.P. dan K.
- SEKRETARIAT NEGARA, 1986. Bahan Penataran: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, Jakarta : Penerbit CV Ananda.
- SULARTO, Bambang, 1980. Wage Rudolf Supratman. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek IDSN.
- SUNARIO, 1974. “Arti Sumpah Pemuda, Nasional dan Internasional”, dalam Buletin Yaperna: Berita Ilmu-ilmu Sosial & Kebudayaan. I No.3. Jakarta : Yayasan Perpustakaan Nasional.
- SURJOMIHARDJO, Abdurrachman, 1979. Pembinaan Bangsa dan Masalah Historiografi. Cetakan II. Jakarta : Yayasan Idayu.
- TABRANI, & Adurrachman SURJOMIHARDJO, 1981. Laporan Kongres pemuda Indonesia Pertama di Weltevrenden 1926. Jakarta : Penerbit CV Takari.
- USIS, 1973. Garis Besar Sejarah Amerika.
- VAN RIJOKEVERSEL, L., Kitab Riwajat Kapoelaoean Hindia-Timoer, J.B. Wolters, Groningen, Den Haag, Weltevreden.