You are currently viewing Upacara Sigaruang Telli Sebagai Salah Satu Mekanisme Penyelesaian Konflik di Kabupaten Luwu
gsgdrhdfbdfhdfhd

Upacara Sigaruang Telli Sebagai Salah Satu Mekanisme Penyelesaian Konflik di Kabupaten Luwu

UPACARA SIGARUANG TELLI SEBAGAI SALAH SATU MEKANISME PENYELESAIN KONFLIK DI KABUPATEN LUWU

 

SIGARUANG TELLI CEREMONY AS ONE OF CONFLICT-SOLVING MECHANISM IN LUWU

Iriani

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar

Telepon dan Faksimili: (0411) 865166

Abstract

This research aims to reveal the local wisdom of the people of Luwu in solving conflicts within the society. The data gathering methods are deep interview, observation and literature study. The result show that thera are a lot of local wisdom in Luwu that still relevant until present day, one of which is conflict-solving through customary institution. It can be said that conflicts happening in Luwu are not only solved by formal law, but also with customary law, by making peace. Conflict solving through formal law considered unfavorable for both sides and leaving one side at disadvantage. Solving conflicts through customary law is different, by performing Sigaruang Telli ceremony as the apologizing gesture towards The Almighty for the mistake that has been made, and so that the conflicting groups can admit their mistake and promise not to repeat the same anymore.

Keywords: mechanism, conflicts, peace, isigaruang telli ceremony

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kearifan lokal di Kabupaten Luwu terkait dengan penyelesaian konflik dalam masyarakat. Proses pengumpulan data dilakukan dengan   wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Luwu memiliki kearifan lokal yang masih relevan digunakan hingga saat ini, salah satunya adalah mekanisme penyelsaian konflik melalui upacara siagruang telli. Dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi di Kabupaten Luwu tidak hanya diselesaikan melalui hukum formal, akan tetapi juga diselesaikan melalui hukum adat, yakni dengan melakukan perdamaian, seperti konflik akibat perbedaan latar belakang budaya, yakni yang terjadi antar orang Rongkong dan Baebunta dan konflik setelah Pilkada. Kedua konflik tersebut diselesaikan melalui upacara sigaruang telli. Penyelesaian konflik melalui hukum formal dianggap tidak menguntungkan kedua belah pihak, sehingga ada yang merasa dirugikan. Berbeda dengan penyelesaian konflik melalui hukum adat yakni dengan melakukan upacara sigaruang telli. upacara sigaruang telli merupakan permohonan maaf kepada sang pencipta atas kekhilafan yang telah dilakukan, selain itu juga para pihak yang berkonflik diharapkan mengakui kesalahannya dan meminta maaf serta berjanji tidak akan mengulanginya perbuatannya.

 

Kata Kunci: mekanisme, konflik, perdamaian, upacara sigaruang telli.

 

 

PENDAHULUAN

            Setiap individu atau kelompok memiliki berbagai macam cara untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi. Salah satu cara penyelesaian konflik adalah dengan melibatkan para pihak secara kooperatif, dengan bantuan orang lain atau pihak ketiga yang bersifat netral. Kemudian setiap konflik memiliki proses penyelesaian yang belum tentu sama. Dalam suatu masyarakat atau kebudyaan tertentu, bisa saja konflik itu diselesiakan melalui cara bermaaf-maafan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, kemudian hubungan dapat kembali dalam keadaan serasi. Seperti halnya di Luwu yang memiliki mekanisme penyelsaian konflik dengan cara perdamaian yang dikenal dengan upacara sigaruang telli.

Upacara sigaruang telli merupakan cara penyelesaian konflik melalui adat istiadat masyarakat Luwu. Upacara tersebut bersifat mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai, dengan tujuan apabila selesai berdamai maka tidak ada dendam diantara mereka, namun sebaliknya mereka kembali bersaudara.  Selain itu melibatkan lembaga adat sebagai mediator pihak-pihak yang bertikai.

Sejak zaman dahulu masyarakat Luwu mempraktekkan mediasi dalam menyelesaikan setiap permasahan, termasuk konflik. Sebab mereka percaya dengan menyelesaikan masalah dengan cara damai, maka akan mengantarkan mereka dalam kehidupan yang harmonis, adil, seimbang dan terciptanya nilai-nilai kebersamaan yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kekebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak. Jalur musyawarah merupakan jalur utama dalam menyelesaikan sengketa, karena musyawarah akan membuat kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Perdamaian sebagai tujuan adalah suatu kesepakatan diantara beberapa pihak yang saling bertentangan dalam suatu urusan yang menganggu keseimbangan di dalam masyarakat, sehingga diperlukan upaya untuk memulihkan kembali keseimbangan yang terganggu. Musyawarah dan mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam pengambilan keputusan.

Masyarakat Luwu memiliki nilai dan norma kearifan lokal yang dapat menyelesaikan konflik. Masih eksisinya nilai-nilai budaya yang dapat menyelesaikan segala macam permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat Luwu. Serta  masih eksisnya lembaga adat yang terdiri dari para elite lokal yang masih dihormati dan masih didengar oleh masyarkat Luwu. Ada semacam mekanisme adat yang dapat menyelesaikan segala konflik yang terjadi dan hampir terlupakan. Padahal masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara Indonesia, namun dalam pembuatan kebijakan nasional eksisitensi komunitas adat belum terakomodasi. Bahkan secara sistematis sudah mulai disingkirkan dalam agenda politik nasional. Misalnya lembaga-lembaga adat di pedesaan sudah mulai tidak diberdayakan. Walaupun demikian masih ada segelintir masyarakat yang menggunakan hukum lokalnya untuk menyelesaikan konflik, seperti halnya di Luwu.

Dapat dikatakan, bahwa semua permasalahan yang terjadi di Luwu yang berujung pada sengketa atau konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal, dapat diselesaikan dengan melakukan perdamaian (upacara sigaruang telli). Seperti halnya konflik di Baebunta dan konflik di walenrang, semua dapat diselesaikan melalui upacara Sigaruang Telli. Pada upacara perdamaian tersebut, masing-masing pihak yang berkonflik mengakui kesalahannya dan berjanji mulai saat itu mereka adalah bersaudara. Dengan demikian tidak ada dendam kusumat diantara mereka, bahkan berakhir dengan rasa persaudaraan dan cinta kasih.

Fenomena ini menjadi cermin betapa kearifan lokal tidak serta merta harus dihapus untuk sebuah unifikasi hukum secara nasional. Pranata adat sebagai salah satu bentuk penyelesaian perselisihan (konflik) di luar pengadilan (alternative dispute resolution), dengan biaya murah prosesnya cepat dan singkat, serta keputusannya dapat langsung dilaksanakan tanpa menimbulkan rasa dendam dikemudian hari.

 

Landasan Teori

Nilai Budaya

Nilai budaya merupakan pandangan mengenai apa yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Nilai-nilai itu bisa jadi dari pengalaman manusia berinteraksi dengan sesamanya. Kemudian nilai-nilai itu akan berpengaruh terhadap pola piker manusia dan akan menentukan sikapnya. Kemudian sikap menimbulkan pola tingkah laku tertentu yang diabstraksikan menjadi kaidah-kaidah yang nantinya mengatur perilaku manusia ketika berinterkasi (Soekanto, 1990:36).

Dari proses interksi dengan pihak-pihak lain, manusia akan mendapat pandangan-pandangan tertentu mengenai interaksi tersebut. Apabila pandangan mengenai sesuatu hal baik, maka hal itulah yang akan dianutnya dan sebaliknya.

Adat istiadat dan kebudayaan mempunyai nilai pengontrol dan nilai sensional terhadap tingkah laku anggota masyarakat. Maka tingkah laku yang dianggap tidak cocok melanggar norma dan adat istiadat, atau tidak tertintegrasi dengan tingkah laku, umumnya dianggap sebagai masalah sosial (Kartono,1999:2). Oleh karena itu hukum merupakan konkritisasi dari pada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyaakat.

Nilai budaya dalam setiap masyarakat terbentuk ke dalam sistem nilai budaya umum yang menjadi panutan atau pedoman bagi arah kehidupan bersama. Sistem nilai suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lain, karena ada sejumlah masalah yang mendasari kehidupan manusia. Perbedaan penekanan orientasi terhadap masing-masing masalah tersebut menyebabkan adanya keanekaragaman nilai budaya. Menurut C . Kluckhohn (dalam Koenjaraningrat, 1993:28), ada lima masalah yang mendasari kehidupan manusia secara universal, yaitu:

  • Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia
  • Masalah mengenai hakekat dari karya manusia
  • Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu
  • Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya
  • Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya

Menurut Koenjaraningrat (1993: 25) sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yang ada dalam pikiran sebagaian masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu system nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia dan tingkatannya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum, norma-norma. Semuanya berpedoman pada sistem nilai budaya.

Hal semacam ini juga ditunjukkan pada orang Luwu yang telah mengembangkan  berbagai tatanan bagi kehidupan bersama, ada nilai-nilai yang tertuang dalam norma-norma yang berisi keharusan dan larangan. Menurut Ihromi (dalam Iriani, 2011:113) sanksi merupakan perangkat aturan-aturan yang mengatur bagaimana lembaga hukum adat mencampuri suatu masalah untuk memelihara suatu sistem sosial sehingga memungkin warga masyarakat hidup dalam sistem itu secara tenang dan dengan cara-cara yang diperhitungkan.

 

Definisi konflik

Konflik berasal dari kata kerja, yaitu configure yaitu yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Menurut Soerjono Soekanto (1982), “Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan”.

Berdasarkan teori konflik, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Selain itu Teori konflik beranggapan bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas golongan yang berkuasa.

Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air, emas, meneral, hutan serta berbagai sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Setiap kelompok sosial selalu ada benih-benih pertentangan antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu atau kelompok dengan pemerintah. Pertentangan ini biasanya berbentuk non fisik. Tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasaan dan tidak berbentuk kekerasaan. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik vertikal, yaitu antar pemerintah, masyarakat dan swasta, antar pemerintah pusat, pemerintah kota dan desa, serta konflik horizontal yaitu konflik antar masyarakat.

Konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial, walaupun pada dasarnya manusia para warga masyarakat menyesuaikan diri (conform) terhadap norma, namun ada saja manusia atau individu yang tidak mengindahkan norma dan merugikan orang lain (Ihromi, 1984:15). Menurut Van Velsen (dalam Ihromi, 1993: 20) Antropologi hukum melihat konflik sebagai sesuatu yang normal dalam suatu kehidupan sosial, karena setiap kehidupan sosial diwarnai dengan konflik, namun setiap individu berusaha memanipulasi norma dalam situasi khusus untuk mencapai tujuan tertentu agar bisa hidup dalam keteraturan sosial. Hal ini berarti konflik tidak selamanya membawa dampak negatif, karena konflik dapat berfungsi untuk menegaskan dan menyesuaikan diri dengan beberapa nilai yang telah ada.

Teori konflik menganggap bahwa unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis atau sering kali mengalami perubahan. Setiap elemen yang terdapat pada masyarakat dianggap mempunyai potensi terhadap disintegrasi sosial. Menurut teori ini keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah karena ada tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari golongan yang berkuasa. Adanya perbedaan peran dan status di dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasi. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2002:26).

Selain itu Soerjono Soekanto (1982) yang di kutip dalam Furkan Abdi (2009: 27) membagi konflik sosial menjadi lima bentuk khusus berdasarkan tingkatannya, yaitu sebagai berikut:

  1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua

individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.

  1. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan ras.
  2. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
  3. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.

5.Konflik yang bersifat Internasional yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.

 

Faktor Penyebab Konflik

Sosiologi memandang bahwa masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia seperti aspek sosial, ekonomi dan kekuasaan. Contohnya kurang meratanya kemakmuran dan 14 Akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya yang kemudian akan menimbulkan masalah-masalah dalam masyarakat (Fisher, Simon, dkk. 2001, hal 4).

Adapun yang menjadi faktor penyebab konflik menurut Soejono Soekanto, antara lain yaitu:

  1. Adanya perbedan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, karena setiap manusia unik, dan mempunyai perbedaan pendirian, perasaan satu sama lain. Perbedaan pendirian dan perasaan ini akan menjadi satu faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial seorang individu tidak selalu sejalan dengan individu atau kelompoknya.
  2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda-beda, individu sedikit banyak akan terpengaruh oleh pola pemikiran dan pendirian kelompoknya, dan itu akan menghasilkan suatu perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
  3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, individu memiliki latar perasaan, pendirian dan latar belakang budaya yang berbeda. Ketika dalam waktu yang bersamaan masing-masing individu atau kelompok memilki kepentingan yang berbeda. Kadang, orang dapat melakukan kegiatan yang sama, tetapi tujuannya berbeda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya di ekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pencinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Disini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
  4. Faktor terjadinya konflik juga dapat disebabkan karena perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesan yang mengalami industrialisai yang mendadak akan memunculkan konflik sosial, sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.

Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pamanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini jika terjadi secara cepat dan mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang sudah ada.

Selain itu, menurut Diana Francis (2006), sebab-sebab terjadinya konflik antara lain :

  1. Komunikasi

Salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti dan informasi yang tidak lengkap.

  1. Struktur

Pertarungan kekuasaan antara pemilik kepentingan atau sistem yang bertentangan, persaingan untuk merebutkan sumberdaya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok- kelompok kegiatan kerja untukmencapai tujuan mereka.

  1. Pribadi.

Ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi dengan perilaku yang diperankan mereka, dan perubahan dalam nilai-nilai persepsi.

 

Konflik dan Penyelesaiannya

Hampir semua kehidupan masyarakat mengalami konflik/perselisihan, sehingga dapat dikatakan bahwa konflik atau perselisihan merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena adanya kepentingan yang berbeda dan bertentangan, baik antar individu, individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok.

Menurut Laura Neder dan Harry Todd (dalam Irianto, 2005: 53) ada 3(tiga) fase dalam proses sengketa, yaitu tahap pra konflik (grievence/praconflict), tahap konflik, dan tahap sengketa (despute). Pada tahap pra konflik mengacu pada keadaan atau kondisi dimana seseorang atau kelompok orang merasa adanya ketidakadilan dan mengadakan keluhan. Adanya perasaan sakit hati bisa berupa imajinasi atau nyata, tergantung pada persepsi pihak yang merasa diperlakukan tidak adil atau merasa dirugikan. Pada tahap ini bisa saja mengalami eskalasi melalui konfrontasi atau berubah menjadi konflik, tetapi sebaliknya bisa meredam konflik, tahap ini disebut dengan tahap monadik (monadic).

Apabila pihak yang merasa dirugikan tersebut menyampaikan keluhannya pada pihak yang dianggap telah melanggar haknya, maka disebut tahap konflik (diadik/diadic). Pada tahap ini bisa mengalami eskalasi atau sebaliknya bisa meredam melalui upaya ngosiasi dan  pemaksaan kepada pihak lawan. (Sembiring Pelawi, 2002: 4).

Tahap ketiga adalah tahap sengketa, yang disebabkan karena adanya eskalasi pada tahap konflik, kemudian konflik tersebut diumumnkan kepada publik. Pada tahap ini pihak ketiga, baik bersifat individu maupun kelompok secara aktif terlibat dalam permasalahan (tradik/tryadic). Ketiga tahap tersebut tidak harus terjadi secara berurutan, yakni bisa saja pihak yang merasa dirugikan langsung ke pengadilan tanpa harus melalui tahap diadik. Namun peredaman (descalation) bisa saja terjadi apabila salah satu pihak berusaha menghindari konflik.

Setiap individu atau kelompok memiliki berbagai macam cara untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi. Salah satu cara penyelesaian konflik yaitu dengan melibatkan para pihak secara kooperatif dengan bantuan orang lain atau pihak ketiga yang bersifat netral. Oleh karena itu K. Benda Beckman (2004: 41) mengatakan, bahwa mekanisme penyelesaian setiap sengketa tidak selalu sama. Pada waktu tertentu masalah yang berbeda mungkin berbeda dalam tahapan yang berbeda pula dan satu masalah yang sama seringkali dapat datang dan pergi pada berbagai tahapan.

Emerzon (dalam Sulistiyono, 2007: 51) membagi  dua mekanisme penyelesaian konflik, yakni melaui jalur formal (litigasi)  yaitu mekanisme penyelesaian melalui institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan institusi terkait lainnya. Mekanisme penyelesaian yang kedua adalah melalui lembaga informal (non litigasi) yaitu menggunakan mekanisme yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, yaitu melalui musyawarah mufakat, baik melibatkan tokoh masyarakat maupun tidak.

Menurut Sulistyono (2007:162) banyak faktor yang menentukan seseorang dalam masyarakat untuk meyakini penggunaan salah satu paradigma untuk menyelesaikan sengketa atau konflik. Cara penyelesaian yang ditempuh oleh seseorang terhadap sengketa atau konflik yang dialami tidak lain merupakan refleksi dari sistem sosial dan pandangan atau nilai budaya masyarakat yang bersangkutan terhadap sengketa atau konflik itu sendiri.

METODE

Dipilihnya Kabupaten Luwu sebagai lokasi penelitian, sebab di wilayah tersebut pernah terjadi konflik, baik konflik antar etnis maupun konflik akibat pilkada. Kemudian  kedua konflik tersebut diselesiakan melalui hukum formal dan hukum adat, yakni melalui upacara sigaruang telli.

Pada saat proses pengumpulan data dilakukan, konflik sudah selesai dan upacara sigaruang telli pun telah selesai dilakukan, sehingga tidak ada data dokumentasi berupa foto-foto proses penyelesaian konflik. Pengumpulan data hanya dilakukan melalui wawancara kepada tokoh masyarakat dan lembaga adat yang pernah terlibat menyelasaikan konflik. Selain itu juga melakukan wawancara kepada orang-orang yang terlibat konflik dan orang yang tidak terlibat konflik tapi mengetahui permasahan. Kemudian melakukan observasi, berhubung pada saat melakukan penelitian tidak ada upacara sigaruang telli di lakukan, sehingga peneliti hanya mengoservasi lingkungan sosial dan lingkungan alamnya. Disamping itu juga melakukan studi kepustakaan.

 

PEMBAHASAN

Luwu atau lebih dikenal dengan nama Palopo pernah menjadi sebuah kerajaan yang cukup besar dan Berjaya. Sampai saat ini masyarakatnya masih banyak yang mematuhi peraturan adat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berperannya lembaga adat dalam menyelesaikan seuatu perselisihan di dalam masyarakat.

Walaupun sistem kerajaan sudah tidak berlaku lagi di Luwu, namun istilah datu atau raja masih ada dan masih tinggal di dalam istana bekas Kerajaan Luwu yang dibangun oleh Belanda pada masa dahulu. Datu tidak lagi berperan seperti dahulu, namun ia hanya mengurus masalah adat. Selain itu kharisma datu masih ada hingga saat ini, masyarakat Luwu masih mengakui keberadaannya hingga saat ini, walaupun sistem kerajaan telah dihapus sejak zaman kemerdekaan.

Masyarakat Luwu masih sangat menghormati datu sebagai orang yang pernah berkuasa di Luwu. Hal ini dapat dilihat ketika seseorang terpilih menjadi bupati atau wali kota Palopo, maka yang pertama kali ditemui adalah datu Luwu yang seolah-olah meminta izin untuk menjabat sebagai kepala pemerintahan dan siap untuk dikritik ketika lalai dalam menjalankan pemerintahan.

Adapun orang yang diangkat menjadi datu hingga saat ini adalah kerabat dari orang yang pernah menjadi datu Luwu. Seperti Andi Jemma sebagai datu terakhir di Luwu saat sistem kerajaan masih berlaku. Oleh karena itu yang saat in menjabat sebagai datu Luwu adalah cucu dari Andi Jemma. Demikian pula dengan perangkat adatnya, masih keturunan dari perangkat kerajaan pada masa dahulu.

 

Latar Belakang Konflik di Luwu

Seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa latar belakang terjadinya konflik ada bermacam-macam, diantaranya disebutkan, bahwa perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda-beda, individu sedikit banyak akan terpengaruh oleh pola pemikiran dan pendirian kelompoknya, dan itu akan menghasilkan suatu perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

 

Konflik Perbedaan Latar Belakang Budaya

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa di daerah Luwu memiliki penduduk yang cukup heterogen atau terdiri dari berbagai macam sub etnis, sehingga memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda, diantaranya etnis, Bugis, etnis Toraja, dan etnis Jawa. Masing-masing etnis memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda.

Di lapangan ditemukan, bahwa etnis Toraja memiliki kebiasaan minum tuak dan mabuk-mabukan. Sementara etnis Bugis mengharamkan minuman tuak dan mabuk-mabukann yang tentu saja bertentangan dengan budaya orang Bugis. Hal inilah salah satu penyebabkan timbulnya konflik di Luwu pada tahun 1998, khususnya di Kecamatan Sabbang yang sekarang menjadi Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara. Bahkan konflik terjadi hingga tahun 1999. Masyarakat saling menyerang dengan menggunakan senjata yang disebut dengan papporo  dan banyak yang sampai meninggal dunia akibat terkena senjata tersebut. Senjata tersebut sejenis panah yang dikait sendiri oleh amsyarakat setempat dan

Konflik yang terjadi di Baebunta pada saat itu menimbulkan banyak korban harta benda sampai pada korban jiwa. Perbuatan anarkis tersebut menyebabkan banyak orang Rongkong dan Toraja meninggalkan rumah mereka dan kembali ke kampung halamannya.

 

Konflik Pilkada

Sistem Pemerintahan demokrasi berkembang pesat dan banyak dipraktekkan di Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Salah satu perwujudan dari digunakannnya sistem demokrasi di Indonesia adalah Pemilihan  Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Berkaitan dengan hal itu banyak kalangan mengkhawatirkan pilkada langsung oleh rakyat memiliki korelasi positif dengan intensitas konflik yang meningkat, seperti kasus konflik Pilkada di Luwu..

Di tengah modernisasi saat ini agaknya nilai-nilai tradisional mulai dilepas sementara nilai baru belum sepenuhnya menjadi pegangan, sebagian anggota masyarakat menjalani kehidupan modern, sementara banyak diantaranya yang masih mempertahankan hal-hal yang tradisional.

Dalam konteks ini terjadi perluasan birokrasi pada tingkat lokal. Lembaga-lembaga Negara mengontrol dan menentukan pola-pola hubungan dan penyelesaian konflik. Dalam proses differensiasi, timbul pranata-pranata sosial baru yang mengambil alih fungsi tertentu dari pranata adat lama, seperti kelompok kekerabatan dalam masyarakat yang bermacam-macam fungsinya diambil alih oleh pranata sosial yang lebih khusus atau terjadi spesialisasi, seperti ekonomi, hukum, pendidikan, sosial

Masalah konflik Pilkda sangat memungkinkan untuk diselesaikan melalui jalur hukum, mengingat secara yuridis normatif, sengketa dalam pilkada sudah cukup akomodatif diatur dalam UU no 32 tahun 2004, maupun Peraturan Pemerintah nomor 06 tahun 2005.  Misalnya apabila calon merasa dirugikan dan keberatan oleh hasil pengitungan suara 0leh KPUD, maka pasangan calon memiliki kesempatan menyampaikan kepada Mahkama Agung dengan catatan, keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi terpilihnya pasangan calon, Pasal 106 UU 32 tahun 2005; 1) keberatan terhadap penetapan hasil pemeilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oeh calon kepada Mahkama Agung dalam waktu paling lambat 3 hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, 2) keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Solusi yuridis memberi pesan, bahwa seperti apapun konflik dan perselisihan dalam pilkada sebaiknya dikelolah bahkan diakhiri dengan ketentuan hukum yang ada.

Menurut K.Benda Beckman (dalam Iriani, 2007: 19) setiap individu memiliki berbagai macam cara untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi. Salah satu cara penyelesaian konflik adalah dengan melibatkan para pihak secara kooperatif, dengan bantuan orang lain atau pihak ketiga yang bersifat netral. Setiap konflik memiliki proses penyelesaian yang belum tentu sama. Dalam suatu masyarakat atau kebudayaan tertentu, bias saja konflik itu diselesaikan melalui cara bermaaf-maafan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, kemudian hubungan dapat kembali dalam keadaan serasi. Selain itu mekanisme penyelesaian sengketa tidak selalu dapat dipilah secara tepat. Pada waktu tertentu masalah yang berbeda mungkin berbeda dalam tahapan yang berbeda pula dan satu masalah yang sama seringkali dapat datang dan pergi dalam berbagai tahapan.

Emerzon dalam Sutiyoso (dalam Iriani, 2007: 19) menambahkan bahwa mekanisme penyelesaiakan konflik dalam masyarakat dapat dibagi atas beberapa pilihan, yaitu (1) melalui jalur formal (jalur litigasi), yakni dengan menggunakan instrument hukum yang ada. Kasus-kasus yang ada diselesaikan melalui institusi penegak hukum yang berwewenang, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan institusi lainnya. Dalam hal ini pencari keadilan (justicialen) dapat disertai dengan bantuan hukum, (2) jalur informal (jalur non litigasi) yaitu menggunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat yang bervariasi bentuknya, salah satunya adalah Alternative Despute Resolution (ADR), dalam masyarakat Indonesia penyelesaian sengketa/konflik semacam ini sudah lama dikenal, yakni dengan musyawarah mufakat, baik melibatkan pihak lain maupun tidak.

Pada bulan September 2013 Komisi Pemilihan Umum (KPU) Luwu menetapkan incumbent Andi ‘Cakka’ Mudzakkar bersama pasangannya Amru Saher sebagai bupati dan wakil bupati terpilih dalam rapat pleno rekapitulasi dan penetapan kandidat terpilih. Cakka-Amru menang dengan selisih 1.431 suara dari rival terberatnya, Basmin Mattayang-Syukur Bijak.

Keputusan tersebut kemudian berbuntut pada gugatan Basmin-Syukur ke MK. Kelompok pendukung pasangan ini pun kemudian berunjukrasa menolak putusan KPU tersebut. Unjuk rasa ini kemudian ditengarai melebar menjadi tuntutan pemekaran daerah Kabupaten Luwu menjadi Luwu Tengah. Bentrok aparat dan warga pun tak terhindarkan. Aksi blokade massa membuat jalan tol Trans Sulawesi macet parah, kegiatan distribusi pun terhambat dan merugikan banyak pihak.

Kemudian pihak kepolisian turun tangan mengamankan,namun massa melawan sehingga ada korban dari pihak kepolisian sampai saat ini sebanyak 14 orang. Menurut Sutarman, pembubaran aksi massa tersebut terpaksa harus dilakukan karena sudah menganggu kepentingan masyarakat. Kepolisian, telah bertindak persuasif kepada para pengunjuk rasa untuk membubarkan diri secara damai. Namun, upaya itu tak berhasil membubarkan blokade massa.

Kemudian Kepolisian RI masih mendata jumlah korban, baik dari aparat maupun masyarakat, akibat bentrok yang terjadi di jalan tol Trans Sulawesi, Selasa 12 November 2013. Bentokan terjadi akibat dipicu aksi unjuk rasa menuntut pemekaran Kabupaten Luwu menjadi Luwu Tengah, Sulawesi Selatan.

Kapolri Komjen Pol Sutarman mengungkapkan, berdasarkan laporan yang diterima, permintaan pemekaran Kabupaten Luwu menjadi Luwu Tengah berawal dari hasil Pilkada setempat. “Bupati yang sekarang menjabat dan wakilnya dulu kan berkompetisi (dengan pasangan Basmin Mattayang-Syukur Bijak), kemudian setelah perhitungan suara (Basmin-Syukur) menggugat (ke MK) dan juga dinyatakan kalah. Kemudian setelah dikalahkan, upaya unjuk rasa berubah akhirnya menjadi tuntutan pemekaran,” ujarnya saat ditemui di Kompleks Istana Negara.

Pembubaran dilakukan oleh kepolisian mulai tanggal 5 November sampai dengan tanggal 11 November. Karena massyarakat tidak menghiraukan himbauan keamanan, maka akhirnya diperingatkan dan dibubarkan secara paksa. Untuk mengamankan aksi tersebut, kepolisian menurunkan aparat gabungan sebanyak dua  kompi Brimob, satu kompi TNI, petugas dari Polres, Polsek dan dalmas. Totalnya sebanyal 380 petugas. Hal inilah yang menimbukan konflik yang berujung pada kerusuhan.

Melihat situasi semacam itu, maka pemerintah menggerakkan seluruh elemen masyarakat Luwu untuk menyelesaikan konflik tersebut, namun tidak kunjung selesai. Aparat penegak hukum yang ditugasi untuk mengamankan massa, namun dianggap sebagai musuh oleh massa, sehingga mereka saling bentrok yang menimbulkan korban jiwa, baik dari pihak keamanan maupun massa yang berkonflik.

Kemudian pemangku adat dan pemuka masyarakat mencari alternatif lain untuk melakukan penyelesaian permasalahan yang terjadi, yakni melalui cara adat. Sebab walaupun konflik sudah redah, namun masih ada rasa dendam di dalam hati pihak yang bertikai. Untuk menghilangkan rasa dendam tersebut, maka lembaga adat Luwu melakukan alternatif penyelesaian dengan memberdayakan tokoh adat, dalam hal ini datu Luwu, yaitu orang yang masih dianggap sebagai orang tua di Luwu, serta segala perkataannya masih didengar oleh masyarakat, bahkan masih dirindukan keberadaannya. Dengan demikian, maka dilakukanlah upacara perdamaian yang dikenal dengan upacara sigaruang telli.

Konflik yang terjadi di Luwu terkait dengan pendapat K. Benda Beckman (2004: 41) yang menyatakan, bahwa mekanisme penyelesaian setiap sengketa tidak selalu sama. Pada waktu tertentu masalah yang berbeda mungkin berbeda dalam tahapan yang berbeda pula dan satu masalah yang sama seringkali dapat datang dan pergi pada berbagai tahapan.

Adapun cara penyelesaian perselisihan dalam masyarakat Luwu dikenal dengan  sigaruang telli. Di dalam upacara sigaruang telli ada beberapa tahap ritual atau upacara yang mengikutinya yang saling terkait.

 

Tahap Penyelesaian Konflik

Ada beberapa tahap yang dilakukan lembaga adat di Kedatuan Luwu dalam menyelesaikan konflik yang timbul dalam masyarakat. Untuk tahapan awal yang dilakukan oleh lembaga adat dalam menyelesaikan konflik setelah adanya laporan dari para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa kepada salah satu lembaga adat adalah dengan cara menganalisis terlebih dahulu kasus itu, apakah kasus ini dapat diselesaikan oleh opu pabbicara ataukah perlu dibantu oleh lembaga adat lainnya. Apabila kasus sengketa ini dianggap kasus yang ringan maka kasus sengketa ini akan diselesaikan sendiri oleh opu ba’bicara. Akan tetapi jika kasus sengketa/konflik yang dilaporkan itu termasuk dalam kategori kasus berat maka opu pabicara akan mendiskusikan terlebih dahulu kasus tersebut dengan unsur lembaga adat lainnya termasuk kepada datu Luwu.

 

Mappasala ale

Setelah wilayah yang melakukan kesalahan menyadari apa yang telah dilakukannya dan telah rampung pembicaraan antara wilayah yang melakukan kesalahan dengan dewan adat maka dilakukan prosesi pertama, dimana pihak yang melakukan kesalahan datang berkunjungan ke istana dengan seluruh perangkat adatnya dan tokoh masyarakatnya menghadap datu. Upacara tersebut dikenal dengan namanya mappasala ale berarti mengakui kesalahannya.

Pada kasus konflik Baebunta, baik pihak dari orang Bugis maupun pihak dari pendatang atau disebut dengan orang Toraja dan Rongkong. Mereka datang melakukan mappasala ale di istana Luwu dengan seluruh tokoh masyarakatnya. Merekapun diterima oleh perangkat istana dengan menyampaikan kepada datu, bahwa dirinya telah bersalah karena melakukan keonaran dan siap melakukan denda sesuai dengan aturan adat.

Berbeda dengan kasus Pilkada, yang melakukan mappasala ale adalah dari pihak Sukur Bijak, yaitu pihak yang kalah dalam Pilkada dan tidak mau mengakui hasil rekapitulasi dari KPU, kemudian mengumpulkan massa untuk melakukan demonstrasi sampai pada pemblokiran jalan, bahkan sampai membunuh pihak keamanan. Oleh karena itu, maka yang datang melakukan mappasala ale adalah pihak Syukur Bijak. Mereka mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan dan siap melaksnakan sanksi adat dan perdamaian sesuai dengan aturan adat yang ada di Luwu.

            Setelah melakukan ritual mappasala ale dan siap untuk mengikuti prosesi acara sigaruang telli, maka dilanjutkan dengan acara berikutnya, yaitu upacara ma’rambu langi.

 

Ma’rambu langi

Setelah pembicaraan selesai, termasuk waktu pelaksanaan dan siapa saja yang menanggung kerbau serta berapa jumlah kerbau yang akan disembelih, maka datu memerintahkan kepada dewan adat 12 untuk menggelar upacara. Upacara atau ritual yang pertama dilakukan adalah penyembilihan kerbau. Seperti hasil wawancara dengan salah seorang informan bahwa:

Setelah  kerbau dipotong disebut dengan marambu langi, artinya dipersaksikan kepada seluruh alam telah menerima kesalahannya, karena ini sudah diterima, maka untuk membersihkan di dalam hati, sebab bisa saja mulut menerima, namun di dalam hati tidak menerima, sehingga harus dibersihankan untuk membersihkan itu maka dilaksanakanlah upacara Sigaruang Telli, apa itu “telli”, kalau ayam ada itu disinikan, tempat singgahnya makanan, sigaruang telli, maksudnya ini makanan ini kita aduk bersama kita sama-sama minum, maka apa yang ada dalam telli kita itu, itu juga disini, maka kita kembali bersatu lagi.

 

Penyembelihan kerbau merupakan simbol pengorbanan diri dari pihak-pihak yang telah melakukan pelanggaran dengan cara bertikai. Kemudian asap yang menjulang sampai ke langit meruapakan simbol permohonan maaf kepada Sang Khalik. Oleh sebab itu, maka seluruh masyarakat Luwu yang hadir pada saat upacara dilaksanakan dipersilahkan mencicipi daging kerbau, walaupun alakadarnya.

 

Upacara Mallekke Wae

Sebelum pelaksanaan upacara perdamian, lebih dahulu dilakukan upacara mallekkewae yaitu upacara mengambil air di sungai cerekang, yaitu sungai yang dianggap memiliki air suci, sebab sungai tersebut dipercaya oleh sebagain masyarakat Luwu sebagai tempat pertama kali turunnya asal-usul Kerajaan Luwu, yaitu I Laga Ligo. Tempat mengambil air tersebut dikenal dengan nama Kampung Cerekang yang berada di Kabupaten Malili.

Pada saat upacara pengambilan air, dipimpin oleh Pua Cerekang, yaitu orang yang dituakan di Kampung Cerekang yang dianggap orang yang memiliki kharisma dan sakral. Tempat mengambil air tersebut dalam mitologi Laga Ligo, sebagai tempat mandi Batara Guru. Air yang ada di Sungai Cerekang atau di Kampung Cerekang digunakan di upacara perdamaian disebab karena air tersebut adalah simbol kesejukan dan simbol pembersih segala kotoran (Bahri, 2000: 40).

Banyaknya air yang diambil di Sungai Cerekang pada saat mallekke wae sekitar 25 liter. Kemudian air tersebut di bawa ke tempat pelaksanaan upacara, yakni di Kota Palopo, tepatnya di sekitar istana bekas Kerajaan Luwu. Setelah tiba di Istana, maka air disimpan pada wadah tempayan yang merupakan salah satu kelengakapan isi istana, kemudian di simpan pada tiang tengah istana atau dikenal dengan possi Langakanae.

            Setelah air tersebut berada dalam istana, maka 3 malam berturut-turut diadakan pembacaan doa yang dilakukan oleh petugas agama (parewa syara). Selama berlangsungnya pembacaan doa, maka tidak dibolehkan seorangpun untuk berbicara. Pembacaan doa tersebut dikenal dengan istilah mattemmu la hoja. Dengan tujuan permohonan doa kepada sang Pencipta agar masyarakat Luwu diberi kedamaian.

Apabila pembacaan doa telah dilaksnakan, maka dilanjutkan dengan makan bersama, sebagai simbol kebersamaan. Makanan yang disantap bersama diusahakan yang manis-manis, dengan harapan setelah perdamaian hubungan kedua belah pihak menjadi manis.

 

Upacara Sigaruang Telli

Namun sebelum itu dilakukan, maka, setiap kesalahan dan tanggal kapan, apa yang dilakukan, maka diteriakkan itu, maka tanggal sekian saya melakukan seperti ini, saya pukul orang dan saya tidak akan mengulangi lagi, maka dipecahkan lah telur itu. Dimasukkanlah di dalam gumbang (gentong/gerabah), dicampur dengan tuak manis, harus manis yang seperti dibikin gula, setelah disebutkan semua termasuk datu juga menyampaikan, bahwa kesalahannya selama ini tidak melayani dengan baik, tidak mensosilisasikan juga, waktu dulu peristiwa di dandang, panglimapun ikut memecahkan telur, mengatakan ini kesalahan dari panglima dari kemanan karena petugas kami tidak mencukupi itu, maka dipecahkanlah, dari polres, dari gubernur, setelah itu diaduk, maka disuguhkanlah kepada datu satu gelas dan semuanya aparat, akhirnya kita sudah. Artinya apa yang sudah berisi di dalam, kalau ada orang bicara seenaknya, dia bilang ngomong seenaknya, perutnya, karena perut itu, mau enak mau tidak

Setelah menyebut semua kasus yang melanda masyarakat Luwu selesai, maka sandro (dukun) istana mengalihkan pembicaraan kepada pemangku adat dengan menyatakan rasa penyesalan atas kesalahan yang telah terjadi, karena kurangnya perhatian kepada masyarakat sehingga terjadi perselisihan. Rasa penyesalan tersebut disampaikan kepada Allah swt, bahwa datu sebagai pemimpin dan pengayom masyarakat Luwu telah lemah dalam memimpin. Jadi selain doa kepada Allah, juga menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Luwu, karena kelalainnya sebagai pemimpin adat di Luwu, menyebabkan terjadi pertikaian di dalam masyarakat.

Semua telur yang ada di dalam tempayan di aduk oleh tuan angkuru (dewan adat yang bertugas dalam upacara perdamaian). Sambil mengaduk telur dan tuak manis yang ada dalam tempayan, tuan angkuru juga memohon doa kepada Allah berupa permohonan ampun dan miminta rahmat diikuti dengan ikrar dan sumpah setia untuk saling mengasihi serta pernyataan kerelaan menerima sanksi atau hukuman dari Allah swt kepada siapa saja yang melanggar sumpah.

Sebagai pengukuhan sumpah yang dilakukan, maka dihadirkan pula para tokoh agama dan pemimpin adat dari pihak-pihak yang bertikai. Para pemimpin adat tersebut juga mengucapkan doa seuai keyakinan masing-masing secara bergiliran.

Setelah pembacaan doa dan proses pengadukan telur dan tuak manis selesai, maka dilanjutkan dengan mempersilahkan Datu Luwu untuk meneguk pertama minuman yang telah diaduk tadi. Kemudian dilanjutkan dengan Bapak Pangdam VII Wirabuana yang mewakili Muspida TK II Luwu, selanjunya Ketua Pengadilan Kota Palopo, diikuti oleh ketua DPRD TK II Luwu, serta anggota dewan adat Luwu, selanjutnya.

Kemudian puang angkuru sebagai pemimpin upacara mengemukakan secara resmi kepada seluruh hadirin serta masyarakat Luwu, bahwa mulai saat ini seluruh ina-ina lili (yang dulu menjadi daerah bagian kerajaan Luwu) atau yang bergabung dalam lili na Luwu Limpona Ware dinyatakan dalam keadaan mabbarata (berkabung) atas telah terjadinya perselisihan antara beberapa pa lili. Dengan demikian maka seluruh masyarakat di Kabupaten Luwu merasa turut berkabung.

 

Upacara Mabbarata

Upacara mabbarata masih rangkaian dari upacara sigaruang telli yang tidak lain merupakan upacara berkabung. Setelah melakukan upacara perdamaian (sigaruang telli) dilanjutkan dengan upacara mabbarata. Yakni seluruh masyarakat Luwu dinyatakan dalam keadaan berkabung.

Upacara mabbarata tersebut ditandai dengan memasang lain hitam di beberapa tempat, yakni depan Istana Datu Luwu (lindro langkanaE), di depan rumah jabatan bupati, di kantor kantor pemerintah dan di kantor swasta. Adapun tempat yang pertama kali dipasang kain hitam, yaitu di rumah Datu Luwu, karena dianggap sebagai pemimpin masyarakat  Luwu.

Upacara mabbarata dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut, yakni dilakukan keesokan harinya setelah upacara perdamaian. Kemudian setelah upacara mabbarata dinyatakan selesai, maka dilanjutkan dengan upacara mappacekke wanua (mendinginkan kampung/negeri)

Upacara Mabbarata, Upacara ini adalah upacara berkabung, yaitu dengan memasang kain hitam pada istana Luwu. Selain itu, pemasangan kain hitam pada kantor bupati dan seluruh instansi pemerintah di Luwu, dan diikuti dengan pemasangan kain hitam pada lengan sopir angkot, sebagai tanda ikut berkabung. Hal ini dilakukan selama tujuh hari berturut-turut.

 

Upacara Mappacekke Wanua.

Upacara mendinginkan kampung dengan membawa air ke daerah-daerah yang merupakan tempat berlangsungnya pertikaian. Air yang di bawah ke tempat tersebut adalah air yang telah disimpan di istana Langakanae selama 7 hari 7 malam. Selain membawa air juga dilengkapi dengan kalewang dan besi pakkaE atau tombak bercabang dua sebagai simbol kharisma datu Luwu.

Setelah sampai di tempat tujuan, maka air dipercikkan ke empat penjuru mata angin. Adapun maksud dari ritual tersebut adalah permintaan maaf kepada seluruh masyarakat Luwu dan senantiasa hidup dalam suasana sejuk, rukun dan damai di bawah lindungan Allah swt.

Upacara tersebut merupakan akhir dari rangkaian upacara sigaruang telli, maka dengan berakhirnya upacara mappacekke wanua maka berakhir pulalah semua rangkaian upacara. Dengan harapan segala permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat berakhir, sehingga masyarakat bisa hidup rukun dan damai, serta tidak ada lagi dendam diantara mereka yang pernah bertikai, namun yang ada adalah rasa kasih sayang dan persaudaraan.

Selain terjalinnya kedamaian di dalam masyarakat, tujuan upacara sigaruang telli juga bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan (equilibrium). Maksud keseimbangan dalam hal ini, selain untuk menjaga hubungan baik antara manusia dengan manusia, namun juga untuk menjalin hubungan baik antara manusia dengan Tuhannya dan antara manusia dengan alam sekitarnya.

 

PENUTUP

Sampai saat ini upacara sigaruang telli masih menjadi mekanisme penyelesaian konflik di Luwu. Walaupun sudah ada hukum formal, namun mekanisme adat masih dianggap sebagai mekanisme penyelsaian konflik yang cukup humanis, sebab di dalamnya banyak mengandung nilai-nilai yang tidak didapatkan di dalam hukum formal. Mekanisme adat merupakan kaidah yang tumbuh berdasarkan nilai budaya masyarakat Luwu.

Upacara sigaruang telli dapat menyelesaikan semua permasahan yang berujung pada konflik yang bersifat anarkis. Walaupun hukum formal dapat menyelesaikan konflik, seperti konflik antar etnis di Baebunta dan konflik Pilkada di Walenrang. Konflik tersebut dapat diredam melalui hukum formal yaitu aparat Kepolisian, namun oleh pemuka adat Luwu belum menganggap permasahan tersebut selesai sampai ke akar-akarnya, sehingga masih bisa ada dendam diantara pihak-pihak yang berkonflik. Oleh karena itu para tokoh adat Luwu, khususnya Lembaga adat di Kedatuan Luwu menganjurkan untuk melaksanakan upacara sigaruang telli sebagai mekanisme untuk menyelesaikan konflik secara damai.

Inti dari upacara sigaruang telli dapat dilihat ketika memecahkan telur dan memasukkan ke dalam wadah satu persatu sambil mengucapkan kesalahan yang telah dilakukan. Kemudian minum bersama dari sumber yang sama bermakna adanya kebersamaan yang dibangun, sama-sama merasakan manisnya minuman.

 

 

Saran

Upacara sigaruang telli hendaknya dipertahankan dan dilakukan setiap terjadi perselisihan di dalam masyarakat, sebab mekanisme tersebut dapat menghilangkan rasa dendam di hati orang-orang yang berkonflik.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Beckmann, K, 2004. Pluralisme Hukum Sebuah Sketsa Geneologis dan Perdebatan Teoritis. Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan Interdisiplin. Jakarta: Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa).

 

Irianto, Sulistyowati. 2005. Perempuan  di Antara Berbagai Pilihan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

 

Iriani, 2011.Pajaga Bone Balla Sebagai Cermin Budaya Luwu. Makassar: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

 

Iriani, 2011. Berjuang Mencari Kedamaian Melalui Lembaga Jenang Kutai. BPNST Padang Press. Padang: Faura Abadi

 

Iriani, 2014. Proses Sosial Pada Masyarakat di Kelurahan Salassa dan Desa Baebunta, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Makassar: Pustaka Refleksi..

 

Kartono,1999. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali.

 

Koentjaraningrat, 1993, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Universitas Indonesia.

 

Lisungan, Joni. 2000. Konflik Sosial Antar Kelompok Masyarakat di Kabupaten Luwu Utara (Kasus Kecamatan Sabbang). Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan. Makassar: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

 

Pangerang, 2004.Sinopsis Kirab Keraton Luwu (Langkanae), Festival Keraton Nusantara IVdi Yoyakarta.

 

Soekanto, Soejono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 

Sembiring Pelawi, Kencana. 2002. Pemberdayaan Pranata Sosial. Penataran Tenaga Teknis Nilai Tradisional dan Kepercayaan di Jakarta.

 

Sulistiyono, Adi.2007. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia. Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS Soepomo, 2007. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.