Tradisi Ma’burasa’ Menjelang Hari Raya

0
8816

Oleh: Rismawidiawati (Peneliti BPNB Sulsel)

Ma’burasa’ adalah bahasa lokal (Bugis dan Makassar) yang berarti membuat burasa’. Burasa’ sendiri adalah sebuah kuliner tradisional yang terbuat dari beras yang dicampur santan dan diberi sedikit garam, lalu dibungkus dengan daun pisang dan diikat secara khusus. setelah itu, burasa’ lalu dikukus. Kuliner ini merupakan kuliner wajib di antara kuliner lain seperti ketupat, nasu likku dan lain-lain yang biasa dibuat dan disajikan kepada handai taulan yang datang massiara’ (berkunjung) pada masyarakat Bugis dan Makassar pada hari raya.

Wabah pandemik yang dialami sejak bulan Maret 2020 memaksa masyarakat Bugis dan Makassar tidak dapat melaksanakan beberapa tradisi hari raya seperti massiara’, mengingat masyarakat harus merasakan bulan Ramadhan hingga Idulfitri dengan hanya di rumah saja. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Apakah tradisi ma’burasa’ juga akan ditinggalkan di tengah wabah covid-19 ini?

Saya tidak tahu, sejak kapan tradisi ma’burasa’ pada masyarakat Bugis ini mulai dilakukan? Sebagai anak yang lahir di era 1980-an, saya sudah merasakan tradisi ini sejak lahir sampai saat ini.Walaupun demikian, ma’burasa tidak hanya dilakukan pada saat menjelang hari raya keagamaan saja namun juga dibuat pada saat hajatan dan disiapkan juga ketika bepergian. Burasa termasuk makanan yang digunakan sebagai bokong (bekal), meskipun tidak seawet baje, tetapi jika dimasak oleh ahlinya, maka akan bertahan dua sampai tiga hari tanpa dipanaskan.

Secara khusus, ma’burasa’ menjelang hari raya atau H-1 merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh keluarga Bugis dan Makassar. Tak jarang bukan hanya ibu dan anak perempuan yang terlibat, tetapi bapak-bapak juga terlibat pada proses memasak. Proses membuat sampai masak yang membutuhkan waktu agak lama membuat ibu-ibu akan sudah disibukkan dengan prosesnya satu hari sebelum hari raya. Malam takbir, selain keriuhan takbir keliling juga terdapat kesibukan memasak burasa’ yang telah dibungkus pada siang harinya.

Saya ingat ketika kecil, ibu dan tetangga terdekat yang juga keluarga (sepupu dan tante) biasanya membungkus burasa’ secara bersama-sama di teras rumah. Setelah itu, mereka memasak burasa’ dengan membuat tungku api di halaman rumah panggung dengan memasak menggunakan panci yang terbuat dari tanah liat. Proses memasak burasa’ cukup lama yaitu sampai 8 (delapan) jam. Hasilnya pun nanti akan dibagi sesuai dengan jumlah keluarga yang dimiliki. Ma’burasa’ yang dilakukan secara gotong royong membuat makna ma’burasa’ cukup dalam, yaitu membuat ikatan kebersamaan yang terjalin sangat erat antara handai taulan . Cerita dan kisah saling membagi antara satu dengan lain ketika sedang ma’burasa’.

Saat ini, mungkin proses pembuatan burasatampak cukup singkat dengan kehadiran bahan-bahan yang dapat diperoleh secara instan. Akan tetapi sesungguhnya, orang tua dahulu jauh hari, bahkan sebelum bulan puasa, sudah mempersiapkan beras khusus yang akan digunakan untuk pembuatan buarasa. Masyarakat Bugis dalam mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembuatan penganan pada suatu tradisi, dilakukan dengan menyertakan doa dan harapan yang dipanjatkan melalui simbol bahan-bahan tersebut, yang disebut sennung-sennungeng.

Tradisi ma’burasa’ juga sarat dengan nilai solidaritas dan kekeluargaan. Suatu kebiasaan pada masyarakat di kampung, yaitu saling membagi burasa’. Mereka tahu bahwa tetangganya juga membuat burasa, tetapi tetap saja saling berbagi dengan menu yang sama. Sebenarnya bukan burasa’-nya, tetapi keinginan untuk melakukan berbagi sesama warga sekampung.

Seiring berjalannya waktu, ma’burasakini hanya dilakukan oleh keluarga inti saja. Ibu hanya melibatkan anak-anak perempuannya pada kegiatan ma’burasa’. Beruntung di masa kecil, saya masih mendapati keramaian mabburasa bersama orang tua, saudara dan kerabat. Terdapat obrolan-obrolan ringan hingga senda gurau disela-sela membungkus dan mengikat burasa’.

Proses mengikat tidak semudah yang diliat, tapi cukup sulit dilakukan. Beras yang sudah di beri santan lalu dibungkus dengan daun pisang, kemudian diikat sampai padat, dan tidak mudah terurai. Kadang kala, dua atau tiga tangkup burasa’ diikat menjadi satu. Jika tidak terampil mengikat, maka model burasa’ dapat berubah bentuk. Parahnya kalu daun pisang pembungkusnya dapat sobek. Jika daunnya sobek, maka air dapat masuk ke dalam burasa’ ketika dimasak. Hasilnya, burasa’-nya akan kurang baik dan cepat basi.

Tradisi ma’burasa’ akan terjadi pewarisan pengetahuan dari orang tua terhadap anak-anaknya. Demikian juga dengan tradisi berbagi untuk mempererat solidaritas dan kekeluargaan. Biasanya ketika bertukar burasa, tetangga yang memberikan burasanya berkata “Cobalah juga masakan burasa’ku, mungkin agak cepat basi karena malawi santannya”. Sebuah pernyataan yang merendahkan diri, tetapi mengandung makna untuk menguatkan nilai solidaritas.

Pandemi covid-19 pasti berlalu, dan sepertinya tidak akan mengikis tradisi maburasa jelang lebaran. Tradisi ini akan tetap berlangsung dalam satuan-satuan keluarga kecil, tanpa disertai massiara dalam skala besar. Namun, tradisi massiara mendapat moment untuk kembali diperhitungkan sebagai media silaturrahmi. Sebab beberapa tahun sebelumnya, massiara mulai terpinggirkan dengan kehadiran dunia internet. Banyak orang yang merasa cukup dengan hanya mengucapkan selamat hari lebaran lewat gadget. Kalau ada kegiatan pertemuan dengan keluarga, sahabat dan teman-teman, biasanya melalui acara halal-bihalal. Di luar dari pada itu, kebanyakan orang disibukkan dengan gadget masing-masing.

Situasi dan kondisi sekarang, mungkin saatnya menguji keberadaan gadget sebagai gaya hidup masa kini. Pemberlakuan PSBB untuk membatasi penyebaran covid-19, akan melegitimasi kehadiran gadget sebagai media yang mengalihkan dunia nyata ke dalam dunia maya. Kehadiran gadget berdampak pada mengikisnya berbagai unsur budaya, terutama tatakrama. Demikian juga, ada kecendrungan masyarakat sudah mulai merasa cukup dengan saling mengupload berbagai kegiatannya (termasuk mabburasa) dan memamerkan hasilnya melalui media sosial. Kemudian saling memberi komentar, memberi ucapan selamat, tanpa penting lagi untuk bertemu secara pisik.

Sebelum pandemi covid-19 dan pemberlakuan PSBB, kehadiran gadget telah disadari menimbulkan gejala penjarakan sosial. Dalam berbagai pertemuan, kelihatannya sepi dan sunyi. Orang berdekatan tidak saling bicara, pada hal saling kenal, lebih mengurusi gadget masing-masing. Fenomena ini sebagai tanda mengikisnya nilai solidaritas dalam masyarakat. Perwujudan nilai sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge tidak lagi bermakna melalui dunia nyata, tapi melalui dunia maya.

Bere’ (beras) sebagai bahan utama burasa’ dapat mengandung makna sebagai tindakan aksi nilai solidaritas. Bere’ dalam tulisan lontarak dapat pula dibaca béré, kemudian diberi awalan ma, menjadi mabbéré (memberi). Selain itu, bere’ biasa juga disebut were’. Kalau kata were’ diberi awalan ma, maka menjadi mawere’ (perasaan berat). Orang yang telah diberikan sesuatu akan melahirkan perasaan berat pada dirinya, sehingga akan membalasnya dengan memberikan juga sesuatu. Tindakan saling memberi melahirkan nilai solidaritas dalam masyarakat.

Makna lain yang tersirat dalam mabbéré, akan berdampak positif munculnya mata rantai kepedulian sosial dalam masyarakat. Ketika ada orang yang berbuat baik memberi bantuan kepada seseorang, maka dengan sendirinya orang tersebut akan berusaha unutuk berbuat yang sama kepada orang lain. Demikian seterusnya untuk memotivasi dan mendorong orang lain berbuat baik.

Sikap saling memberi dan berbuat baik kepada sesama akan melahirkan nilai sipakatau. selanjutnya akan memicu orang untuk sipakalebbi, saling menghargai dan saling memuji kebaikan. Hal ini tercermin dalam karakter bahan kelapa/santan yang juga digunakan dalam pembuatan burasa. Kelapa disebut sebagai pallunra, yaitu pemberi rasa enak. Karena itu, istilah Bugis paggolla dan pallunra biasa diartikan sebagai puji-pujian kepada seseorang. Dalam ungkapan disebut “Senge’ka Golla Urampeki Kaluku”, kenanglah yang manis dariku, dan akan kuungkap yang sedap tentang dirimu.

Sikap baik yang sudah terbangun dalam rajutan budaya perlu untuk dijaga dan dilestarikan. Di situlah pentingnya sipakainge, saling mengingatkan, seumpama ikatan burasa yang melilit daun pembungkusnya untuk menguatkan posisi bere, were, dan kaluku, agar tidak tercerai-berai, dan untuk menjaga kematangan agar nantinya tidak cepat basi.

Akhirnya, bangsa ini patut bersyukur dengan adanya tradisi ma’burasa, campur aduk perasaan cinta dan kerinduan akan kampung halaman dapat terjawab dengan kehadiran momen mudik. Saking kuatnya tradisi ini, sampai muncul sebuah ungkapan “setinggi apapun sekolahmu, jika menjelang lebaran pulanglah mengikat burasa”.

Foto: Rismawidiawati, Peneliti BPNB Sulsel