Masjid Salabose
Masjid Salabose yang dibangun pada abad ke-16 di Majene, Sulawesi Barat, hingga kini masih berdiri kokoh. Masjid di atas areal seluas satu hektar ini dibangun oleh tokoh penyebar agama Islam di Majene, Syeh Abdul Mannan, bersama para pengikutnya. Masjid ini kini menjadi jejak sejarah peradaban Islam di tanah Mandar.
Masjid tersebut berada di puncak Bukit Salabose, Kelurahan Pangali-Ali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Di dalam masjid itu pun disimpan Al Quran tertua yang ditulis tangan dengan tinta dari pohon kayu. Di dalamnya terdapat pula sebuah makam, yang tak lain adalah makam Syeh Abdul Mannan. Berdasarkan catatan sejarah, di tempat inilah Syeh Abdul Mannan mulai menyebarkan Islam di Sulawesi. Sebelumnya, warga hidup dengan kepercayaan animisme.
Meski beberapa bagian masjid ini telah direnovasi karena lapuk dimakan usia, sejumlah ornamen penting lainnya, seperti kubah dan dinding yang terbuat dari batu yang konon direkatkan dengan telur, hingga kini masih tampak kokoh dan utuh. Dinding kubah, misalnya, hingga kini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat setempat.
Kini di areal seluas satu hektar tersebut, banyak warga yang datang berziarah. Mereka tak hanya datang dari kawasan sekitar, tetapi juga dari wilayah di luar Majene.
Mesjid tertua Salabose di Majene Sulawesi barat hingga kini masih berdiri kokoh. Mesjid yang dibangun sejak ratusan tahun lalu oleh tokoh penyebar Islam pertama di Majene Syeh Abdul Manna bersama pengikutnya menjadi jejak sejarah peradaban Islam di tanah mandar. Tak Mesjid ini tetap dipertahankan keutuhannya sebagai benda purbakala. Mesjid yang berdiri di puncak bukit Salabose ini juga terdapat benda purbakala lainnya yakni Al Quran tertua yang ditulis tangan dengan tinta dari pohon kayu. serta sebuah makam Syeh Abdul mannan yang tetap dilestarikan warga dan pemerintah.
Menurut catatan sejarah, Masjid Salabose tersebut dibangun pada abad ke 16 oleh syekh Abdul mannan, tokoh penyebar Islam pertama di Sulawesi barat bersama para pengikutnya. Masjid yang dibangun di atas puncak Salabose merupakan mesjid pertama di Majene dan Sulawesi barat. Di Tempat inilah konon Syeh Abdul mannan mulai menyebarkan islam kepada masyarakat Majene dan sulawsi barat yang kalah itu masih hidup dengan kepercayaan animisme.
Meski beberapa bagian mesjid ini telah direnovasi karena lapuk dimakan usia namun sejumlah ornamen penting lainnya seperti kubah dan dinding yang terbuat dari batu yang konon perekatnya adalah telur, hingga kini tampak masih kokoh dan utuh. Dinding kuba misalnya hingga kini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat setempat. Mesjid ini sendiri tergolong sebagai salah satu mesjid purbakala yang tetap dijaga pemerintah.
Makam Syeh Abdul Mannan
Kabupaten Majene di Provinsi Sulawesi Barat memang dikenal lebih mengandalkan potensi wisata alamnya, terutama pantai. Akan tetapi, obyek tujuan wisata yang ada di kabupaten dengan populasi penduduk sebesar 138.825 jiwa ini ternyata tidak hanya pantai saja. Masih terdapat sejumlah obyek wisata lain, salah satunya adalah Makam Syekh Abdul Manan.
Menurut catatan sejarah, Syekh Abdul Manan merupakan orang yang pertama kali mensyiarkan ajaran Islam ke Majene, Sulawesi Barat. Islam diperkirakan mulai memasuki wilayah Sulawesi Barat, termasuk Majene, pada abad ke-16 Masehi. Oleh orang Majene, Syekh Abdul Manan diberi gelar To Salamaq di Salabose.
Berkat jasa Syekh Abdul Manan dan para pendakwah ajaran Islam yang lain, sebanyak 83% penduduk Sulawesi Barat memeluk agama Islam. Jejak-jejak sejarah yang masih dapat ditemui tentang Syekh Abdul Manan adalah tempat peristirahatan terakhirnya, yaitu Makam Syekh Abdul Manan yang berada di Salabose, Kelurahan Pangali-Ali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat.
Makam Syekh Abdul Manan diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. Kompleks Makam Syekh Abdul Manan dibangun di daerah perbukitan, tepatnya di tempat yang dikenal dengan nama Puncak Poralle Salabose. Total luas area yang digunakan untuk membangun kompleks makam Syekh Abdul Manan adalah sekitar 1 hektar.
Makam Syekh Abdul Manan masih sering dikunjungi oleh para peziarah yang datang dari wilayah Majene, bahkan juga dari luar wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Makam Syekh Abdul Manan akan semakin dipadati pengunjung menjelang datangnya bulan suci Ramadhan dan pada saat-saat tertentu, misalnya ketika ada perayaan hari-hari besar agama Islam
Meski penyebaran islam di zaman syeh abdul manna yang diberi gelar Tosalamaq di Salabose, hanya berlangsung puluhan tahun namun jumlah pengikut Islam di majene dan sulawesi barat hingga hari ini mencapai 80 persen. Di Majene sendiri 83 persen penduduknya adalah pemeluk Islamn.
Jejak-jejak sejarah yang masih dapat ditemui tentang Syekh Abdul Manan, selain Al Quran tertua yang ditulis tangan dengan tinta poho pada abad 16 masehi, tak jauh dari mesjid Salabose terdapat makam syeh Abdul manna di Salabose, Kelurahan Pangali-Ali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat, yang menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Imam mesjid Salabose, Muhammad Gaus, yang juga salah satu keturunan syeh Abdul mannan menyebutkan sejumlah peniggalan sejarah Islam di Majene dan Sulawesi barat seperti Al Quran tertua karya tulisan tangan Syeh Abdul mannan abad 16 lalu, termasuk mesjid tertua dan makan syeh abdul mannan hingga kini tetap dilestarikan oleh masyarakat majene sebagai salah satu benda sejarah khusUSnya sejarah peradaban Islam di Majene hingga berkembang luas ke Sulawesi barat hingga hari ini. “Mesjid ini tetap kita jaga keutuhannya meski beberapa nagian lainnya seperti atap sudah diganti dnegan seng karena lapuk dimakan usia. Selain mesjid juga ada Al Quran tertua karya Syeh Abdul manna dan makamnya tetap dijaga utuh oleh warga dan pemerintah setempat sebagai situs sejarah.
Kompleks Makam Raja-Raja Banggae
Pemakaman Kerajaan Raja Royal Banggae dan Hadat. Yakni, dari kaum kerajaan Banggae Majene kuno. Lokasi pemakaman yang sudah berusia tua ini terletak di puncak Bukit Ondongan. Desa Pang Ali-ali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Banyak yang mengatakan bahwa lokasi puncak bukit tersebut dipilih dengan alasan, agar nenek moyang Kerajaan Banggae Majene, dapat memantau keturunan mereka yang ada di bawah bukit, atau ketika mereka pergi berlayar di lautan luas untuk mencari nafkah.
Di dalam kompleks pemakaman tersebut terdapat 480 makam yang terbuat dari berbagai bahan seperti batu lava, batu tanah, dan kayu. Dan wujudnya masih bagus, belum runtuh maupun rapuh.
di antara makam terdapat makam dihiasi oleh simbol geometris, kaligrafi Arab, dan bahkan simbol swastika. Batu nisannya juga memiliki banyak simbol yang menyerupai simbol-simbol candi yang ada di Pulau Jawa. Simbol-simbol inilah melahirkan sejarah yang belum terkuak hingga kini.
Dari hasil penelitian sejarah dan arkeologi menyebutkan, jika makam ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16 dan ke-17. Kendati masih misteri, namun banyak yang menyakini jika penamaan kompleks pemakaman ini diberikan oleh raja pertama Banggae yang dikenal sebagai Poralle dan diangkat sebagai pemimpin besar. Dia juga diberi gelar Puang Banggae dan membentuk masyarakat pertama yang kemudian tumbuh menjadi Kerajaan Banggae. Oleh karena itu, diyakini bahwa mereka yang dimakamkan di kompleks pemakaman ini adalah keturunan Puang Banggae. (Sumber http://wisatasulawesi.com)
Masjid Imam Lapeo
Imam Lapeo : seorang imam di desa lapeo yang sederhana dan menyebarkan agama islam sampai ketanah bugis. sering memperlihatkan mukzisat dari sang Kuasa Daerah ini dikenal dengan black magic-nya, animisme dan kemusyrikan (dulu, red). Imam Lapeo-lah yang meluruskan jalan sesat mereka.
Imam Lapeo sukses menobatkan mereka, dan inilah yang menjadi salah satu alasan nama masjidnya Mesjid Jami’ At-Taubah Lapeo, kemudian dialihkan namanya mesjid Nuruttaubah Lapeo.
Dalam menyebarkan agama Islam berbagai cara yang ditempuh oleh imam lapoe, dimana ia menarik perhatian masyarakat atau orang disekitarnya dalam mengajarkan agama, secara bartahap beliau mengikuti kebudayaan-kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
Beliau mengajak masyarakat sekitar membangun mesjid tetapi dalam kenyataannya tak semudah dibayangkan. Imam Lapeo harus berhadapan dengan maraknya perjudian, ramainya warga Mandar yang masih mabuk-mabukkan dengan minuman kebanggaannya adalah Manyang Pai’. (Tuak).
Masyarakat sendiri secara bertahap menghilangkan kebiasaan yang mereka lakukan. Bukan hanya dengan mengajak masyarakat di sekitarnya membangun mesjid Imam Lapeo juga sering bertamu di rumah masyarakat jika sedang berjalan-jalan dan juga terkadang masyarakat mendatangi rumah beliau untuk meminta doa dan petunjuk jika ada masalah yang mereka hadapi atau mempunyai keiinginan. Beliau juga terkenal dengan sikap dermawannya sampai-sampai beliau berhutang jika ada masyarakat yang memerlukan bantuan.
Monumen Galung Lombok
Peristiwa maut di Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Ini adalah peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di daerah lain sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Joesoef Pabitjara Baroe (anggota Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma’roef Imam Baroega, Soelaiman Kapala Baroega, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.
Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (kadi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.
Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut Peristiwa Galung Lombok itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro-RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammadiyah Cabang Mandar).
Makam Todilaling
Awal mula berdirinya Kerajaan Balanipa Mandar bermula dari persekutuan ”Appe Banua Kaiyang“ (Empat Rumah Besar) yaitu : Napo, Samasundu, Mosso dan Todang Todang Keempat Banua Kaiyang tersebut sepakat mendirikan Kerajaan Balanipa di Mandar. Posisi kerajaan Balanipa dalam Pitu Ba`bana Binanga adalah sebagai bapak/ketua dan sekaligus sebagai pemeran pokok dalam sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan di Pitu Ba`bana Binanga. Imanyambungi, putra Tomakaka napo sebagai raja pertama. I Manyambungi berasal dari Napo, semasa kecil beliau sering bersabung ayam dengan sepupunya anak Tomakaka Napo. Suatu ketika I Manyambungi bersama sepupunya tersebut mengadakan adu ayam (sabung ayam) namun ayam I Manyambungi pada saat itu kalah dan akhirnya I Manyambungi membunuh sepupunya karena merasa malu. Karena peristiwa itulah beliau melarikan diri ke Gowa dengan menumpang perahu Makassar atas usulan Pappuangan Mosso di Campalagian.
Setelah sampai di Gowa Ia ditempa menjadi “Juak” anggota militer kerajaan Gowa bahkan pihak kerajaan Gowa pada waktu itu memberi kepercayaan kepadanya untuk memimpin tentara memerangi musuh-musuh kerajaan Gowa. Imanyambungi menjabat sebagai salah seorang panglima Perang (Tobarani) Kerajaan Gowa di zaman pemerintahan Tumaparissi Kalonna (1510-1546).
Kepopuleran I Manyambungi tersebut didengar oleh pemuka-pemuka masyarakat di daerah asalnya (Mandar), diperburuk oleh adanya kekacauan di dalam negeri waktu itu. Kondisi ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemuka masyarakat Mandar untuk menghadap raja Gowa, meminta agar mengembalikan I Manyambungi ke Tanah kelahirannya (Tanah Mandar).
Kehadiran I Manyambungi sangat diharapkan, memulihkan tanah Mandar dari kekacauan. Kembalinya I Manyambungi dari Perantauan sekaligus merupakan tonggak sejarah baru bagi kerajaan Balanipa.
Keberhasilannya menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan pertama di kerjaan Balanipa yang dibentuk dari pesekutuan Empat negeri besar (Appe Banua Kaiyyang) yaitu, Napo, Samasundu, Todang Todang dan Mosso, sekitar abad XV tepatnya tahun 1520 M, waktu itu agama Islam belum masuk di Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan Kerajaan ditetapkan di Napo sebagai Ibukota Kerajaan Balanipa suatu wilayah yang sejak lama dikenal sebagai bandar niaga.
Di bawah pemerintahan Imanyambungi, kerajaan Balanipa Mandar berkembang menjadi besar dan mempelopori persekutuan Kerajaan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang wilayahnya meliputi daerah Paku sampai Suremana (Wilayah Sulawesi Barat).
I Manyambungi mempersunting seorang gadis anak keluarga raja Gowa yang dari perkawinan itu lahirlah Tomepayung Raja Balanipa kedua. Ketika Imanyambungi mangkat, beliau digantikan oleh putranya Tomepayung.
Imanyambungi dimakamkan dengan ritual kerajaan. 40 orang yang setia pada Imanyambungiyang teridiri dari Pattu’du (penari), dayang dayang serta para pengawalnya ikut serta kedalam liang lahat sampai wafat bersamanya. Seluruh persiapan makanan dan peralatan ritual dibawah serta kedalam liang lahat tersebut. Ritual inilah yang menjadikan Imanyambungi memperoleh gelar dengan sebutan TODILALING (orang yang diangkut bersama dengan perlengkapannya). Gelar ini lebih populer dikalangan orang Mandar dibandingkan nama Imanyambungi sendiri.
Makam Todilaling sampai sekarang dapat disaksikan diatas bukit Napo dibawah kerindahan pohon beringin yang menaunginya.
Sumber http://kampung-mandar.web.id/sejarah/todilaling.html
Situs Bala Tau
Situs Balau Tau berada di sebuah Bukit. Bukit Tammajarra yang memanjang dari selatan ke utara ini pada Zaman dahulu masuk dalam wilayah Pappuangan Napo dan Pappuangan Balanipa dengan ketentuan batas adalah lolong uwai (air mengalir) maksudnya adalah di atas bukit ini sebagai kawasan Tammajarra jika air yang mengalir (Hujan) menuju ke arah timur maka wilayah itu masuk ke dalam kekuasaan Pappuangan Balanipa dan yang dilalui mengalir ke arah barat maka wilayah itu berarti masuk ke dalam wilayah kekuasaan Pappuangan Napo.
Pada masa sebelum dan dalam masa pemerintahan Imanyambungi maka hukum diputuskan dan dieksekusi di sebuah tempat yang disebut Bala batu, yang kemudian bernama Bala tau dan selanjutnya bernama Balanipa yang kemudian menjadi nama dari kerajaan Balanipa akronim dari kata Bala dan Nipa.
Setiap sengketa atau perkara yang terjadi harus diselesaikan dengan tata cara yaitu : bagi kaum pria adalah Situyu Purrus (mengikatkan kedua tali celana kolor) yang artinya adalah dengan mengadu kekuatan lewat duel satu lawan satu, siapa yang menang dalam perang duel tersebut, maka dialah yang akan dinyatakan sebagai pemenang dan dianggap benar, dan siapa yang kalah dalam berduel maka dialah yang dinyatakan bersalah dan berhak dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya yang didakwakan dalam perkara, sedangkan bagi kaum wanita yang bersengketa, dilakukan dan diputuskan lewat tata cara merendam kedua tangan hingga pergelangan atau sampai pada sikut tangan ke dalam Pamuttu Minna atau Pamuttu Uwai (wajan yang berisikan minyak atau air yang sedang mendidih) Amar keputusan adalah siapa di antara keduanya yang lebih awal mengangkat atau mencabut salah satu atau kedua tangannya maka dialah yang dinyatakan kalah dan dianggap sebagai orang yang bersalah dan yang tidak mengangkat salah satu atau kedua tangannya maka dialah yang dinyatakan sebagai pemenang atau yang berada di pihak yang benar.
Dalam peristiwa ini tidak menutup kemungkinan untuk kedua-duanya meninggal dunia, akan tetapi jikalau salah satu di antaranya ada yang menang dan hidup maka dialah yang dinyatakan sebagai pemenang dan lepas dari dakwaan hukum dengan kata lain bahwa orang tersebut berada di pihak yang benar lalu dibebaskan dari segala dakwaan ,dan peristiwa ini berlangsung di Bala Tau, adapun yang meninggal maka mayatnya akan dibuang ke dalam Orro (jurang). Dari kejadian tersebut di atas, maka sebuah dataran tinggi yang terletak antara Lepuang (Tempat Todilaling di makamkan) dengan lokasi Bala Tau disebut Buttu Karrang (Bukit Amis) artinya bau amis dari bangkai yang dibuang ke dalam jurang yang sangat berbau amis dan tercium sampai jauh ke tempat lain, begitu juga dengan sebuah perkampungan kecil di sebelah selatan, di bawah kaki bukit yang dekat dengan jalan menuju lokasi Bala Tau terdapat sebuah kampung yang diberi nama Pullamorro yang artinya mengerang, hal ini disebabkan karena setiap orang yang akan meninggal setelah kalah dalam duel maka terdengar suaranya merintih dan mengerang sampai di tempat tersebut, juga sewaktu kematian dari tujuh orang hulubalang {joa) dan tujuh orang dayang istana yang mengiringi Tomepayung ke dalam liang lahat yang merasa bangga karena telah terpilih untuk dapat membuktikan baktinya terhadap junjungannya, sehingga tempat tersebut bernama Pullamarro, dan tidak jauh dari tempat ini pula yaitu dekat dengan Passauwwang Nipa (sumur Nipa) terdapat sebuah tempat bernama Parragangan artinya tempat bermain raga (Takrauw) oleh para hulubalang (Joa) atau para tamu yang datang di kawasan kerajaan Balanipa untuk sekedar memperlihatkan ketangkasan dan keahliannya dalam permainan raga.
Adapun lokasi Bala Tau dan sekitarnya yang kemudian bernama Tammajarra yang berasal dari ungkapan bahwa dengan peristiwa yang memakan korban tidaklah membuat orang untuk jera melakukannya karena salah satu atau keduanya pasti menjadi korban sehingga oleh Mara’dia Towaine (Permaisuri) bernama Karaeng Surya yang berasal dari Kerajaan Gowa yang dipersunting oleh lmanyambungi dan diboyong ke Napo (Mandar). Beliau dalam dialognya pada setiap peristiwa yang terjadi sering menyapanya dengan sebutan Tena Jarrana (Tidak jera-jeranya) artinya bahwa hal yang sudah diketahuinya pasti merugikan dirinya sendiri namun masih tetap saja dilakukan, sehingga tempat tersebut kemudian bernama Tammajarra atau Tammejarra.
Hukum Bala Tau ini tidaklah bertahan lama ia hanya berlangsung pada pertengahan pemerintahan Imanyambungi, karena saat itu muncul seseorang yang ahli dalam masalah hukum yang ditandai dengan dapatnya beliau menyelesaikan sengketa antara Pepuangan Limboro dan Pepuangan Biring Lembang dalam sebuah kasus tentang Pettumaeang (pelamaran) yang persoalannya selesai dengan tidak menimbulkan korban dan saling dirugikan, orang itu adalah yang bernama Puang Sodzo (karena kelak setelah diangkat menjadi pejabat kerajaan beliau sangat rajin bertani sehingga disebut Puang Sodzo yaitu rajanya sabit) yang dalam perjalanan selanjutnya diangkat menjadi Pa’bicara Kaiyyang (pembicara besar) artinya kepala dalam hal pembicaraan yang menyangkut tentang hukum di kerajaan Ba1anipa. 30 Pa’bicara Kaiyyang yang menjadi hakim pada setiap eksekusi yang berlangsung di Bala Tau, merasa bahwa hakim sebelumnya tidaklah relevan dan banyak menyimpang dari kata adil, maka beliau lalu menetapkan hukum dan tata cara dalam mengambil sebuah keputusan atas izin Mara’dia dan mendapat persetujuan dari lembaga adat Appe’ Banua Kaiyyang.
Allammungan Batu Ri Luyo
Di sebuah daerah Kabupaten Polewali Mandar tepatnya di Desa Luyo Kecamatan Luyo, pada sekitar abad ke-18 Masehi, dilaksanakan sebuah pertemuan resmi antara semua kerajaan yang ada di Pitu Ulunna Salu (PUS) dan Pitu Baqbana Binanga (PBB). Pertemuan ini merupakan pertemuan terakhir antar kerajaan-kerajaan di Mandar sampai masuknya Belanda (1904 M) ke tanah Mandar, dengan tujuan utamanya untuk mempertegas kembali hasil kesepakatan yang diambil sebelumnya antara PUS dan PBB.
Tapi yang paling penting dalam sejarah Mandar dari pertemuan ini adalah lahirnya kesepakatan untuk mempertegas konsekuensi persatuan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga dalam satu kesatuan budaya dan suku dengan sebutan Mandar (Passemandarang)
Adapun isi Kesepakatan Allamungan Batu Ri Luyo ini, yaitu :
Taqlemi manurunna peneneang upassambolu-bulo anaq appona di Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga, nasaqbiq dewata diaya dewata dikanang dewata dikiri dewata diolo dewata diwoeq, menjarimi Passemandarang.
Tannisapaq tanni atoning, maq-allonang mesa melatte samballa, siluang sambu-sambu sirondong langiq-langiq, tassi pande peoqdong, tassi padzundu pelango, tassi pelei dipanra tassi aluppei diapiangang.
Sipatuppu di adaq sipalete dirapang, Adaq Tuho di Pitu Ulunna Salu, Adaq Mate dimuane Adaqna Pitu Baqbana Binanga.
Saputangang di Pitu Ulunna Salu, simbolong di Pitu Baqbana Binanga.
Pitu Ulunna Salu memata disawa, Pitu Baqbana Binanga memata dimangiwang.
Sisaraq pai mata malotong anna mata mapute anna sisara Pitu Ulunna Salu Pitu Babana Binanga.
Moaq diang tomangipi mangidzang membattangang tommuane namappasisara Pitu Ulunna Salu Pitu Babana Binanga, sirumungngi anna musesseq-i, pasungi anaqna anna mumanusangi di uwai tamembaliq
Artrinya :
Jelaslah garis keturunan menyatukan anak cucu di Pitu Ulunna Salu Pitu Babana Binanga, disaksikan penguasa di langit, pengusa di bumi, penguasa di utara, penguasa di selatan, penguasa di timur, penguasa di barat, jadilah Mandar bersatu.
Tak berjarak tak berbatas, sebantal bersama dalam selembar tikar, saling memakaikan kain, menggelar tudung bersama, bersaji nasi lunak, tanpa ada minuman pahit, susah senang dipikul bersama.
Menjunjung tinggi adat, memegang teguh petitih,
prinsip hidup bersama (hukum hidup) di Pitu Ulunna Salu,
prinsip mati mulia (hukum mati) di Pitu Baqbana Binanga (Balanipa).
Ikat Kepala (destar) di Pitu Ulunna Salu, sanggul rambut di Pitu Baqbana Binanga.
Bagai ular piton menjaga sarannya itulah Pitu Ulunna Salu, bagai hiu yang mengitari lautan itulah Pitu Baqbana Binanga.
Bagai biji mata, hitam dan putihnya yang tak akan berpisah seperti itulah Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga.
Bila ada seorang (perempuan) bermimpi mengandung bayi laki-laki yang akan memisahkan Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga, segera belah perutnya dan keluarkan bayi yang dikandungnya lalu hanyutkan di air tak kembali.
Dari hasil kesepakatan inilah kata Mandar yang sebelumnya tenggelam tergantikan nama Pitu Ulunna Salu ataupun Pitu Babana Binanga kembali dikenal bahkan menjadi kata yang dipakai untuk seluruh wilayah dari PUS-PBB yang merupakan Propinsi Sulawesi Barat saat ini.
http://www.kampung-mandar.web.id/sejarah/allamungan-batu-ri-luyo.html
Makam Syeh Abdul Rahim Kamaluddin
Situs kompleks Makam Abdul Rahim Kamaluddin terletak di Pulau Karamasang. Secara Administratif di dusun pulau Tangnga Kelurahan Amassangang Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat. Tinggalan Budaya di situs tersebut adlah berupa makam kuno sebanyak dua buah, yakni makam Abdul Rahim Kamaluddin dan satu buah makam lainnya belum teridentifikasi.
Kompleks makam itu terletak di lingkungan Pulau Tangnga (Pulau Tosalama), berjarak ± 50 meter dari pemukiman penduduk.
Bangunan makam di kompleks makam tersebut, dibuat dari bahan batu padas khususnya nisan, sedangkan badan makam dibuat dari bahan batu kapur. Teknik pembuatan batu katu kapur dipahatberbentuk segi empat dengan ketebalan sekitar 7 cm, dan tinggi 20 cm. Batu karang yang dipahatkan tersebut dipasang pada semua sisi makam sehingga berbentuk segi empat panjang, dengan ukuran panjang 2 meter, lebar 1,73 meter. Nisan makam satu buah, dari batu padas monolit ditancapkan pada bagian tengah makam. Ukuran batu nisan tersebut tinggi 17 cm, lebar 15 cm dan ketebalan 8 cm.
Bangunan makam tersebut tidak mempunyai ragam hias, baik pada badan makam maupun pada nisannya. Sampai kegiatan inventarisasi ini dilaksanakan di lokasi makam tersebut sering sekali dikunjungi oleh masyarakat.
Tokoh utama yang dimakamkan di lokasi tersebut, adalah Abdul Rahim Kamaluddin, yang diyakini oleh masyarakat sebagai tokoh penyiar Islam pertama di Tanah Mandar.