PROSPEK INDUSTRI BUDAYA DALAM KEPARIWISATAAN WAKATOBI-Muhammad Yamin Sani

PROSPEK INDUSTRI BUDAYA DALAM

KEPARIWISATAAN WAKATOBI

Muhammad Yamin Sani

Dosen Departemen Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

yaminsani.muh@gmail.com

 

Abstract

Cultural industry is strongly believed to contribute to the national economy. Therefore, various sectorsin the cultural industry have potency to be developed. There are 2 (two) reasons as basis of this statement: (1) Indonesia has creative human resources and rich-cultural heritage. Certainly, it can be value-added to the product in creating values for individuals and society. The knowledge-and labor-intensive cultural industry, creating employment and welfare; (2) cultural industry is a highly important tourism infrastructure so its existence needs to be managed optimally as an attraction of tourism.

Wakatobi district in Southeast Sulawesi is a tourism destination in last few years began to globalize hence much visited by foreign tourists. It is just that their destination is still limited to enjoy the underwater charm. In fact, the tourism attraction of Wakatobi is not just marine tourism, but also the exoticism of cultural tourism that supported by the uniqueness of local-ethnic life.

The results of study show that there are several local communities in four islands: Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia and Binongko, each of ethnics has cultural tradition includes: rituals, performing arts, folk-games, handicrafts and culinary as tourism attractions.

The research used dialogue-multifocal model to collect data, beside observation and documentation methods.

 

Keywords: Cultural industry and Wakatobitourism

 

Abstrak

Industri budaya amat diyakini dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.Karena itu, berbagai sektor industri budaya berpotensi untuk dikembangkan. Ada dua alasan yang mendasari pernyataan ini ; (1) bangsa Indonesia memiliki sumberdaya manusia kreatif dan warisan budaya yang kaya.  Hal ini tentunya dapat menambah nilai produk dalam menciptakan nilai-nilai bagi individu dan masyarakat.Industri budaya padat pengetahuan dan padat karya, menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan; (2) industri budaya merupakan infrastruktur pariwisata yang demikian penting sehingga eksistensinya perlu dikelola secara optimal sebagai daya tarik wisata.

Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara adalah destinasi wisata yang beberapa tahun terakhir mulai mengglobal sehingga banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Hanya saja tujuan wisata mereka masih terbatas untuk menikmati pesona bawah laut. Padahal, daya tarik wisata Wakatobi bukan sekedar wisata bahari, melainkan  juga eksotisme wisata budaya yang didukung oleh keunikan kehidupan etnik lokal.

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat beberapa komunitas lokal di keempat pulau : Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko, yang masing-masing etnis memiliki tradisi budaya : ritual, seni pertunjukan, permainan rakyat, kerajinan tangan dan kuliner yang menarik sebagai atraksi wisata.

Dalam penelitian ini digunakan model multivokal dialogis dalam mengumpul data, selain metode observasi dan analisis dokumentasi.

 

Keyword : Cultural Industry and Wakatobi Tourism 

 

  1. Latar Belakang Masalah

Menurut World Tourism Organization (WTO), masa depan industri pariwisata sebagai industri perjalanan (travel industry), memiliki prospek yang amat cerah. Hal ini disebabkan, sektor pariwisata menjadi salah satu penggerak utama (prime mover) dalam pembangunan ekonomi. Optimisme yang sama dikemukakan oleh World Travel Tourism Council (WTTC) yang menyatakan, disadari atau tidak, kepariwisataan dunia telah menjelma sebagai sebuah “mega Industri”, dan diperkirakan akan menjadi salah satu penggerak utama perekonomian abad 21. WTTC bahkan telah memprediksi industri pariwisata akan menggerakkan mobilitas wisatawan di seluruh dunia pada dasawarsa mendatang.

Bagi Indonesia peran pariwisata semakin penting, terutama setelah melemahnya peran minyak dan gas.Apalagi kunjungan wisatawan mancanegara menunjukkan trend naik dalam beberapa dasawarsa.Saat ini, pemerintah fokus menggarap wisatawan asing. Selama tahun 2010 jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia mencapai 7,002 juta orang atau naik 10,74 % dibandingkan dengan jumlah wisatawan mancanegara pada tahun 2009.

Data Kementrian Pariwisata menunjukkan tahun 2012, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia berjumlah 8 juta, tahun 2013 meningkat menjadi 8.802.129 orang. Ini menunjukkan pertumbuhan sekitar 9,42 persen, dan pada tahun 2014 jumlah wisatawan mancanegara mencapai 9.435.411 orang. Staff ahli Menteri Pariwisata Han Wintoro (Kompas, 14 November 2015), menuturkan, tahun ini wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia ditargetkan 10 juta orang. Diharapkan kedepan, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia tahun 2019 mencapai 20 juta orang.

WTO juga memprediksi, pertumbuhan pariwisata dunia mencapai rata-rata 4,2 persen pertahun selama 10 tahun ke depan (2000 – 2010). Salah satu kawasan yang mengalami tingkat pertumbuhan terbesar adalah negara-negara di Asia, termasuk Indonesia.

Sudah barang tentu peningkatan jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia memberi dampak positif terhadap devisa Negara. Dari tahun ke tahun, sumbangan devisa dari pariwisata meningkat dari 8,5 miliar dollar AS tahun 2012 menjadi 9,8 milliar dollar AS tahun 2014. Ini berarti devisa dari sektor pariwisata, menjadi penyumbang devisa neraca jasa-jasa yang sumbangannya meningkat menjadi 2,2 milliar dollar AS pada tahun 2014. Ini juga berarti, sektor pariwisata memberi sumbangan penting terhadap lapangan kerja, sebagai akibat destinasi dan investasi yang juga semakin meningkat.Meningkatnya destinasi dan investasi, pariwisata telah menjadi faktor kunci dalam pendapatan ekspor, penciptaan lapangan kerja, juga pengembangan usaha dan infrastruktur, yang menyebabkan pariwisata mengalami eksplanasi dan diversifikasi berkelanjutan.Saat ini, pariwisata menjadi salah satu sektor ekonomi terbesar dan ke empat pertumbuhannya di dunia.Meskipun krisis global terjadi beberapa kali, jumlah perjalanan wisatawan internasional konsisten tumbuh positif.

Terkait dengan itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pengeluaran wisatawan mancanegara tahun 2010 mencapai 7,6 milliar dollar atau naik 20,63 % dibandingkan dengan penerimaan devisa tahun 2009 sebesar 6,3 milliar dollar AS. Hal ini terjadi karena meningkatnya pengeluaran wisatawan mancanegara sebagai akibat semakin membaiknya perekonomian dan industri penerbangan murah yang semakin marak.

Indonesia yang berada pada konstelasi ekonomi Asia Timur dan Pasifik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, harus dapat memanfaatkan peluang pariwisata melalui upaya mempersiapkan masing­masing daerah menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW). Hal ini memungkinkan, karena otonomi daerah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan pariwisata, sehingga proses pengembangan pariwisata menjadi lebih sederhana dan cepat.

Apalagi, ketika sumber-sumber pendapatan daerah dari sektor-sektor kehutanan, pertanian, dan perkebunan relatif stagnan, maka industri pariwisata perlu dikembangkan sebagai salah satu alternatif upaya diversifikasi perekonomian daerah sekaligus dalam kerangka pembangunan wilayah terpadu untuk mendukung pembangunan berkelanjutan (sustainable development).  Seiring dengan itu, saat ini telah terjadi pergeseran pasar wisata dimana motif, minat, selera, tuntutan wisatawan akan terus berubah, sehingga hal ini memerlukan respon dengan cara melakukan pengembangan obyek wisata alam, wisata budaya, maupun agroekowisata. Melalui pembangunan pariwisata, diharapkan kepariwisataan akan menjadi proyek unggulan, sebagai sarana untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Terjadinya kecenderungan peningkatan arus wisata, terutama wisatawan mancanegara, seyogyanya disikapi secara dini dan sungguh­sungguh oleh pemerintah Kabupaten Wakatobi untuk menjadikan daerahnya sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata yang menarik. Daerah Tujuan Wisata yang dikembangkan secara optimal akan menarik arus wisatawan secara signifikan sehingga memungkinkan daerah tersebut memperoleh keuntungan ekonomi dan tentunya hal ini akan memacu akselarasi pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Sani, 2016).

  1. Tinjauan Pustaka
  2. Konsep Pariwisata

Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Pengertian pariwisata yang dikaitkan dengan pelayanan tersebut juga sejalan dengan definisi Waluyo (2007 : 5), bahwa pariwisata merupakan usaha jasa pelayanan yang melayani keperluan perjalanan seseorang/kelompok ke destinasi wisata.

Spillane (1991 : 21) mengemukakan, bahwa pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu.

Menurut Murphy (dalam Sedarmayanti, 2014), bahwa pariwisata adalah keseluruhan dari elemen-elemen terkait (wisatawan, daerah tujuan wisata, perjalanan, industri, dan lain-lain) yang merupakan akibat dari perjalanan wisata ke darah tujuan wisata, sepanjang perjalanan tersebut tidak permanen.Adapun Soekadijo (2000 : 2)mengartikan pariwisata sebagai kegiatandalam masyarakat yang berhubungan dengan wisatawan. Adapun menurut Usry (dalam Fandely dan Mukhlison, 1990), bahwa esensi pengertian pariwisata adalah pergi dan mencari sesuatu yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari.

Dewasa ini, wisatawan yang pada umumnya dari perkotaan, menginginkan suasana baru di pedesaan atau di alam yang jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kehidupan kota. Sementara bagi wisatawan mancanegara yang berasal dari Negara industri, berkeinginan untuk melakukan perjalanan yang bermakna dengan melihat daerah atau wilayah yang suasananya berbeda dengan tempat asalnya.Dengan demikian, esensi pengertian pariwisata, sebenarnya adalah orang pergi mencari sesuatu yang berbeda dengan hidup sehari-hari.Dan perjalanan tersebut memungkinkan seseorang memperoleh tambahan pengetahuan dalam hidupnya (expansion of life).

Pada hakekatnya, pengembangan pariwisata di Indonesia dilaksanakan berdasarkan konsep pariwisata budaya (Cultural tourism), sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1990.Hal ini tentunya mengacu pada prinsip dasar pariwisata yang mengedepankan unsur-unsur kualitas produk dan keunikan, otentitas, originalitas dan keragaman, bukan saja konfigurasi bentang alam, tetapi juga keragaman budaya.

Dalam hal ini, tujuan program pengembangan pariwisata adalah mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata berbasis pada pemberdayaan masyarakat, dengan mempertahankan kelestarian budaya, terutama pada seni tradisi dan pelestarian lingkungan hidup, serta senantiasa berupaya mengembangkan produk dan pasar wisata secara lebih sungguh­-sungguh.

Bertolak dari pemahaman tentang eksotisme budaya, maka pengembangan wisata budaya memperoleh penegasan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) khususnya Bab VII tentang Pembangunan Sosial dan Budaya. Undang-undang ini menetapkan, bahwa pembangunan kebudayaan dan pariwisata dilaksanakan melalui Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan untuk menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan penghargaan masyarakat kepada warisan budaya bangsa, keragaman budaya tradisi, meningkatkan kualitas berbudaya masyarakat, menimbulkan sifat kritis terhadap nilai-nilai budaya dan memperkokoh ketahanan budaya (Sedarmayanti, 2005 : 2).

Program pembangunan bidang kebudayaan dan pariwisata yang tercantum dalam Ketetapan MPR-RI Nomor IV Tahun 1999, khususnya untuk program pembangunan seni dan pariwisata dikemukakan sebagai berikut : (1) mengembangkan kebebasan berkreasi dalam berkesenian untuk mencapai sasaran sebagai pemberi inspirasi, kepekaan rasa terhadap totalitas kehidupan dengan mengacu kepada etika, moral, estetika dan agama, serta memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta dan royalty bagipelaku seni dan budaya; (2) mengembangkan dunia perfilman Indonesia secara sehat sebagai media massa kreatif yang memuat keberagaman jenis kesenian untuk meningkatkan moralitas agama serta kecerdasan bangsa, pembentukan opini public yang positif dan peningkatan nilai tambah secara ekonomi; (3) melestarikan aspirasi nilai kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan dan membudayakan sentra-sentra kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang Iebih kreatif dan inovatif, sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan nasional; (4) menjadikan kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana bagi pengembangan pariwisata nasional dan mempromosikannya keluar negeri secara konsisten.

  1. Industri Budaya

Krisis ekonomi yang dialami oleh negara-negara Uni Eropa, sejatinya menjadi momentum untuk mengembangkan potensi ekonomi domestik sebagai tumpuan pertumbuhan.Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam dan keragaman sumberdaya hayati, serta pernak­pernik budaya lokal.Semua ini menjadi modal utama untuk menggali ide kreativitas dalam menunjang industri budaya sebagai bagian dari ekonomi kreatif.Jenis industri ini pada dasarnya menekankan pada keterampilan mengolah ide kreatif individu dengan maksud untuk mengembangkan perekonomian berkelanjutan.Dengan demikian, industri budaya sebagai bagian dari ekonomi kreatif perlu mendapat perhatian oleh pemerintah, cendekiawan maupun oleh kalangan pengusaha dan masyarakat sebagai upaya untuk menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.Karena itu, pengembangan Industri budaya di Indonesia merupakan wujud optimisme serta luapan aspirasi untuk mendukung terwujudnya visi Indonesia yaitu menjadi negara yang maju.Di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran, cita-cita, imajinasi dan.mimpi untuk menjadi masyarakat dengan kualitas hidup yang tinggi, sejahtera dan kreatif (Pangestu, 2005 : 31).

Industri budaya di berbagai negara di dunia saat ini, diyakini dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian bangsanya secara signifikan.Indonesia pun mulai melihat, bahwa berbagai subsektor dalam industri budaya berpotensi untuk dikembangkan, karena bangsa Indonesia memiliki sumberdaya insani kreatif dan warisan budaya yang kaya.Hal ini disebabkan, industri budaya menambah nilai produk dan menciptakan nilai-nilai bagi individu dan masyarakat. Industri budaya padat pengetahuan dan padat karya, menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan, menumbuhkembangkan kreativitas sebagai “bahan mentah” pembuatannya dan mendorong pembaharuan proses produksi dan komersialisasi. Pada saat yang sama, industri budaya berperan sangat penting dalam pengembangan dan pelestarian keragaman budaya serta dalam upaya memastikan akses yang demokratis terhadap budaya. Sifat ganda kultural dan ekonomi ini membentuk profil khas industri budaya.Pada tahun 1990-an, industri ini berkembang pesat dalam menciptakan lapangan kerja maupun kontribusinya pada GNP. Apalagi dewasa ini, globalisasi menawarkan tantangan dan peluang baru bagi perkembangan industri ini (Arjana, 2016 : 221).

 

 

 

 

  1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk meneliti Prosfek Industri Budaya dalam Kepariwisataan Wakatobi adalah penelitian kualitatif.Karena itu peranan peneliti sebagai instrumen penelitian sangat penting.

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan model multivokal dialogis, dimana peneliti dapat melakukan wawancara secara bebas. Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik observasi dan dokumentasi.

Wakatobi : Destinasi Wisata di Laut Banda Sulawesi Tenggara

Wakatobi, sebuah kabupaten yang berada dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara beberapa tahun terakhir namanya semakin mengglobal ke mancanegara sebagai destinasi wisata unggulan di Indonesia. Wilayah Wakatobi yang berada pada jalur pelayaran Kawasan Timur dan Barat, diapit oleh Laut Banda dan Laut Flores, memiliki posisi strategis dengan potensi keragaman sumberdaya hayati, berupa spesies terumbu karang dan spesies ikan. Hal ini memungkinkan karena Wakatobi berada pada kawasan Pusat Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle Center).

Wakatobi dulu dikenal sebagai Kepulauan Tukang Besi yang berada dalam wilayah Kabupaten Buton. Wilayahnya berupa gugusan kepulauan yang berjumlah 39 pulau, terdiri atas 4 pulau yang relatif besar, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko (WAKATOBI) dan 35 pulau-pulau kecil (Latarima, 2015 : 75).

Sebagian besar wilayah Kabupaten Wakatobi adalah lautan. Dari luas wilayah sekitar 19.200 km2, hanya lebih kurang 823 km2 berupa daratan, atau hanya sebesar 3,00 persen. Seluruhnya adalah perairan atau laut seluas lebih kurang 18.377 km2 atau sebesar 97,00 persen. Adalah hal yang wajar, jika kemudian daerah ini memiliki potensi besar di sektor kelautan dan perikanan.Bahkan kemudian, sektor pariwisata berbasis bahari menjadi sektor unggulan.

Kabupaten Wakatobi membawahi 8 kecamatan, yang masing­masing 2 kecamatan pada setiap pulau dengan ibukota kabupaten berada di Wangi-Wangi. Keempat kecamatan tersebut adalah : Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan di Pulau Wangi­-Wangi, Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Seiatan di Pulau Kaledupa, Kecamatan Binongko dan Binongko Selatan di Pulau Binongko.

Perairan laut Wakatobi memiliki keragaman jenis terumbu karang yang cukup tinggi. Bahkan menurut catatan dalam buku panduan pariwisata di Wakatobi (2012: 21), diantara 90 persen dari seluruh jenis terumbu karang dunia yang berjumlah 850 spesies, sebanyak 750 jenis di antaranya terdapat di perairan bawah laut Wakatobi. Selain itu, di perairan ini juga terdapat berbagai jenis biota laut, termasuk 942 jenis ikan. Menurut penelitian Wallacea, lembaga penelitian yang berpusat di London, dari sekian banyak jenis ikan itu, beberapa di antaranya adalah :(Cephalopholusargus), takhasang (Naso unicomis), pogo-pogo (Balistoides viridescens), napoleon (Cheilinus undulates), ikan merah (Lutjanus biguttatus), baronang (Siganus guttatus), Amphiprion melanopus, Chaetodon speculum, Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Lutjanus monostigma,Caesio caerularea, dan lain-lain.

Wakatobi juga menjadi tempat beberapa jenis burung laut, seperti Angsa-Batu Coklat (Sula leucogaster plotus).Cerek Melayu (Charadrius peronii) dan Raja Udang Erasia (Alcedo atthis) bersarang. Beberapa jenis penyu juga menjadikan taman laut ini sebagai rumah mereka seperti penyu sisik (Eretmochelys imbricate), penyu tempayan (Caren caretta), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea). Namun demikian, sebagian penyu telah kehilangan generasi-generasi terdahulu.Dari total 30 generasi penyu, kini tersisa 6 generasi dari 7 spesies. Di Wakatobi, ada tiga jenis penyu yang biasa muncul untuk bertelur, yakni penyu hijau, penyu belimbing, dan penyu sisik. Demikian pula, lumba-lumba dan ikan paus, menjadi atraksi wisata menarik di lepas pantai Wakatobi.Spesies langka dan terancam punah ini dipelihara dengan baik di Taman Nasional Wakatobi.

Tempat wisata pantai terkenal di Pulau Wangi-Wangi Wakatobi adalah Patuno Beach Resort, yang memiliki fasilitas hotel bintang empat.Tidak jauh dari resort wisata ini, terdapat pantai mata air seratus yang banyak dikunjungi oleh anak-anak muda sehingga pantaiini juga biasa disebut pantai jodoh.Wisata pantai, juga terdapat di desa Matahora, bernama Pantai Sousu.Diselimuti dengan terumbuh karang yang terpelihara dengan baik, juga disebut-sebut sebagai tempat terbaik untuk diving dan snorkeling dengan pantai pasir putih dan pohon cemara di sekelilingnya.Pantai ini terletak di desa Waha.

Karang Kapota merupakan ekosistem terumbu karang yang juga menjadi sebuah destinasi wisata pulau di Kecamatan Wangi-­Wangi.Di tempat ini pengunjung dapat melakukan diving dan snorkeling, sambil menikmati fanorama alam dan pernik kehidupan komunitas lokal.

Fanorama puncak Wanginopo terletak di desa Wanginopo Kecamatan Wangi-Wangi, dimana pemandangan sekitar Wangi-­Wangi, laut lepas, pulau Kapota, serta matahari terbenam dapat disaksikan di tempat ini. Adapun hutan mangrove, berada di desa Liya, kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Terdapat beberapa jenis mangrove, diantaranya sonneratia sp., Rhizopora sp., Excoecaria sp., xylicarpus sp., avecennia sp. serta hutan mangrove ikutan (asosiasi) diantaranya pescaprea, paku laut, pongamia sp. Beberapa burung seperti trinil, cekakak suci, dan raja udang biro, juga terdapat di kawasan ini.

Beberapa tahun terakhir, perkampungan Orang Bajo di desa Mola semakin populer.Hal ini disebabkan, karena keinginan wisatawan yang begitu besar untuk menyaksikan profil Orang Bajo yang terkenal sebagai orang laut yang dulu hidupnya berpindah-­pindah, sehingga digelari gypsi laut.Di desa Mola, memang masih bisa dijumpai perkampungan Orang Bajo yang dibangun di atas laut, tetapi sebagian juga sudah dibangun di darat.Bahkan Orang Bajo di Mola sudah sedemikian maju, karena mereka membangun pemukimannya dengan bahan bangunan dalam bentuk rumah hunian, bahkan rumah toko (ruko). Orang Bajo di kampung Mola, pun telah terlibat di sektor perdagangan, sehingga di kampung ini dapat dijumpai souvenir shop, yang menjual kain sarung tenun asli Bajo, dan beberapa jeniskerajinan rumah tangga (Lihat Sani, 2016 : 119)

Kaledupa adalah pulau kedua dalam wilayah Wakatobi yang memiliki banyak potensi wisata bahari. Tercatat ada tiga destinasi wisata pantai di Kaledupa, yaitu : pantai Hogayang memiliki fanorama bawah laut yang mempesona. Terumbu karang dan keberagaman jenis ikan yang berenang di sekitar penyelam (diver) menjadi atraksi yang menarik.Wisatawan dapat menyelam di laut dalam (diving) atau pada laut yang lebih danqkal (snorkeling).Sementara pada bentang alam darat (coastal landscape), wisatawan dapat melakukan kegiatan berjemur (sunbathing).Destinasi wisata pulau Hogatelah dilengkapi fasilitas berupa wisma, serta beberapa pondok wisata, bahkan penginapan.

Pantai Sombano, memiliki pantai berpasir putih yang berada di desa Sombano. Pantai ini memiliki fasilitas wisata seperti pos jaga dan selter yang memungkinkan wisatawan untuk menikmati fanorama alam, berjemur dan berolah raga pantai.Pantai Perora yang juga berpasir putih menjadi pilihan untuk menikmati panorama alam atau bersantai menikmati terpaan matahari pagi. Hal yang sama dapat dilakukan di pulau Berawa yang juga biasa disebut sebagai  Raja Empat di Wakatobi.

Perkampungan Bajo Sampela dan Bajo Mantigola di Kaledupa memiliki potensi yang menarik dalam kepariwisataan Wakatobi, karena permukiman mereka yang dibangun di atas laut, dan pernik kehidupan mereka sebagai nelayan.Mereka pelaut tangguh yang biasa melaut ke lepas pantai, bahkan sampai ke perairan Australia.

Destinasi wisata di Pulau Tomia, telah dikenal secara global karena keberadaan kawasan wisata One Moba’ayang dikelola oleh PT. Wakatobi Resort (PT.WR).Kawasan wisata One Moba’a lebih dikenal sebagai kawasan wisata bahari dengan pesona keanekaragaman terumbu karang dan fanorama pantainya yang indah.

Industri Budaya Dalam Kepariwisataan Wakatobi

Menurut Study on International Flow Cultural Good yang dilakukan oleh UNESCO (dalam Alonso Cano dkk, 2005 : 6), perdagangan barang budaya tumbuh dengan pesat selama dua dekade terakhir. Antara tahun 1980 sampai 1998, perdagangan dunia tahunan untuk produk cetakan, literatur, musik seni visual, perfilman, radio, televisi, permainan, dan perlengkapan olahraga, melonjak dari 95.340 juta dollar AS menjadi 387.927 juta dollar AS. Akan tetapi, sebagian besar perdagangan tersebut hanya relatif terjadi di sejumlah kecil negara.Pada tahun 1990, Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Francis, terhitung 47% dari total impor.Pada tahun 1999 an, pemusatan ekspor dan impor barang budaya di beberapa negara tersebut mulai berkurang, namun tidak ada perubahan berarti.

Saat ini, industri budaya yang ditangani oleh Badan Ekonomi Kreatif, telah menyumbang 7,6 persen nilai total Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp. 104,7 triliun. Target yang ditetapkan oleh Dirjen Pengembangan Ekspor dan Ekonomi Kreatif Kementrian Perdagangan Tahun 2014 dapat mencapai 8,1 persen nilai total PDB (Kompas, 18 November, 2011). Target ini akan tercapai manakala masyarakat luas turut berperan dalam mengenal dan mengembangkan industri tersebut, baik sebagai produk yang dapat mensejahterakan masyarakat, maupunsebagai produk yang dapat menjadi kebanggaan bersama.

Pentingnya pengembangan industri budaya, juga terkuak dari pernyataan Human Development Report UNDP Tahun 1999 (dalam Alonso Cano, dkk, 2005:12) bahwa dua pertiga manusia tidak mendapatkan keuntungan dari model baru pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada ekspansi perdagangan internasional dan perkembangan teknologi baru, serta terkecil dari struktur masyarakat informasi.

Lain halnya dengan industri budaya, sebuah industri yang menghadirkan pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu, dapat dimanfaatkan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.Industri ini, dapat membuka lapangan pekerjaan baru dalam menciptakan daya kreasi yang dapat dinikmati khalayak ramai.Lebih jauh, industri ini tidak bisa hanya dilihat dari konteks ekonomi saja, tetapi juga dapat dilihat dari dimensi budaya.Ide-ide kreatif yang muncul adalah produk budaya, sehingga diharapkan menjadi kebanggaan nasional.

Tambahan pula, industri budaya menciptakan daya saing baru, dengan penciptaan lapangan usaha 6,7 persen. Kontribusi tenaga kerja sebesar 7,7 persen, jauh Iebih tinggi dibandingkan sektor pertambangan sebesar 0,9 persen (Kompas, 22 November 2011). Industri ini akan Iebih berkembang karena terkait dengan komodikasi budaya. Sebagai industri budaya dalam bentuk seni pertunjukan, musik, desain serta seni kerajinan dan belakangan ini seni kuliner menjadi bagian penting dalam recreative and supportive plant di sektor pariwisata.

Indonesia adalah negara yang terkenal dengan keindahan alam dan warisan budaya yang tinggi, sehingga memiliki potensi besar menarik wisatawan mancanegara. Namun saat ini wisatawan mancanegara masih lebih memilih destinasi wisata negara lain di Asia. Dalam hubungan ini, industri budaya dapat memberikan peran yang sangat luas dalam memperbaiki citra pariwisata nasional. Dengan kemampuan mengangkat warisan budaya lokal dalam konteks yang baru, diharapkan wisatawan asing akan mendapatkan pengalaman baru (new experience) yang dapat dibawa pulang ke negaranya. Pengalaman baru tersebut dapat diciptakan dari sisi arsitektur perhotelan, tata kota, variasi kuliner, cinderamata, seni pertunjukan, musik dan film.

Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara yang berada pada konstelasi ekonomi Kawasan Timur Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, harus dapat memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang ada, termasuk dalam hal ini pengembangan industri budaya untuk menunjang pertumbuhan pariwisata. Hal ini memungkinkan karena otonomi daerah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan perencanaan, pengembangan, dan pengelolaanpembangunan di masing-masing daerah.lndustri budaya dan pariwisata dapat memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan, selain itu juga diharapkan agar dapat menciptakan iklim yang produktif dalam membangun citra serta identitas.

Seiring dengan semakin menguatnya arus globalisasi, budaya masyarakat lokal pun menuntut hak-haknya untuk mengekspresikan diri.Hal ini terjadi dalam konteks industri budaya, sebagai bagian dari ekonomi kreatif yang mengambil alih bentuk-bentuk kreasi dan penyebaran budaya tradisional serta menimbulkan perubahan-perubahan dalam praktik budaya.

Seni pertunjukan, terutama tari tradisi digolongkan sebagai heritage tourism, yaitu bagian dari pariwisata budaya yang menceritakan secara ringkas kepada pengunjung tentang karakteristik budaya masa lalu suatu masyarakat.Karena itu, kelompok wisatawan ini tergolong new unity of everyday life, yang melakukan perjalanan untuk menikmati dan mempelajari warisan budaya di berbagai tempat yang bukan kehidupan sehari-hari mereka.Hal ini dilakukan dalam upaya menyelami suatu kehidupan tradisional yang relatif sederhana, alami, demi sebuah pengalaman baru serta pengayaan pribadi.

Segmen wisata ini semakin banyak, sehingga di beberapa tempat di dunia, seni pertunjukan telah menjadi salah satu bentuk atraksi wisata yang menjanjikan, karena keunikan dan dampak ikutan lainnya yangdapat menggerakkan perekonomian rakyat setempat.Dalam hal ini peran para stakeholder pariwisata sangatpenting, dalam menggalang partisipasi warga untuk mengembangkan danmelestarikan seni tradisi, kemudian mengemasnya sebagai atraksi wisata.

Masyarakat Wakatobi memiliki ragam ritual dan tari tradisi yangmenjadi modal untuk atraksi wisata.Dalam usaha untuk mempererathubungansosial antar warga, ada kebiasaan masyarakat Wakatobi, khususnya di Pulau Tomia menyelenggarakan pesta rakyat yang disebut Palombesi.Pada pestarakyat ini, diikuti oleh muda (i) dari desa pengunjung dengan desa yang dikunjungi. Dalam kegiatan Palombasi tersebut, ditampilkan berbagaikreasi seni tari dan seni suara, serta permainan rakyat (Hadara Ali, 2013 : 123).

Manga lewu-lewu, juga merupakan pesta rakyat orang Tomia yang dilakukan sebagai rasa syukur setelah mereka berhasil menyelesaikan suatu kegiatan yang manfaatnya untuk kepentingan orang banyak, seperti pembangunan mesjid.Pesta rakyat ini biasanya diselenggarakan pada sore hari setelah usai melaksanakan shalat Idhul Fitri, yang pesertanya para anak-anak dan remaja putri.

Beberapa jenis pesta tradisional lainnya, antara lain adalah :

  1. Pesta Tradisional Sapara

Pesta tradisional sapara dilakukan pada setiap bulan Syafar dengan maksud untuk menunjukkan rasa syukur kepada Kemahakuasaan Tuhan atas semua bentuk rezeki dan rahmat-Nya. Bagi orang Tomia menunjukkan rasa syukur, berarti senantiasa memposisikan did mereka sebagai hamba yang harus mengabdi setiap saat.

Fungsi pesta adat lainnya adalah sebagai sarana untuk membangun kebersamaan dan, mempererat tali persaudaraan serta upaya menunjukkan kesetiakawanan di antara sesama warga. Ritual ini dimulai oleh pemimpin upacara, biasanya sesepuh adat dengan membaca doa, kemudian selanjutnya mereka mandi bersama dan saling menyiram satu sama lain.

  1. Tradisi Bose-Bose

Tradisi bose-bose merupakan tradisi orang pulau yang dilakukan dengan mengarak perlengkapan upacara di pinggir laut, kemudian mendayung (bose-bose) perahu yang telah dihiasi dengan ornamen warna-warni.Pada ritual tersebut disajikan masakan tradisional, sambil menabuh gendang seperti liwo yang dibawa dari dermaga Patipelong ke dermaga Usuku sampai ke Selat Onemoboa.Tujuan ritual adalah untuk menghanyutkan semua doss bersama risak air laut.

Jenis tari tradisi yang biasa dipertunjukkan adalah tariMboritayang diadakan untuk menyambut perantau yang baru tiba di kampung halaman.Orang Tomia dikenal sebagai komunitas pelayar dan pedagang antar pulau, yang tidak jarang juga adalah perantau.Tari ini diperankan oleh enam orang gadis penari. Di antaranya nanti satu dari keenam penari akan dipilih oleh pemuda perantau yang baru pulang ke kampung halamannya.

Tari Sajomowine, adalah jenis tari dan lagu yang dimainkan secara berkelompok oleh perempuan (wowine) dewasa pada malam acara perkawinan, hajatan, syukuran, ramah tams dan lain-lain. Tari ini bertujuan menghibur para undangan dan penonton Iainnya.

Adapun tarian Sajomoane adalahjenis tari disertai nyanyian yang dibawakan secara berkelompok oleh kalangan remaja laki-laki (moane) dengan jumlah pemain 16 orang.Sajomoane dipertunjukkan dalam acara penjemputan tamu ke pulau Tomia.

Tari Saride merupakan tari tradisional yang berarti persatuan dan kebersamaan dalam menyelesaikan suatu kegiatan menyangkut kepentingan umum. Tari Saride sebenarnya adalah tari tradisi yang menunjukkan persatuan dan kebersamaan dalam menyelesaikan suatu kegiatan menyangkut kepentingan umum.

Kadandio adalah jenis tari tradisi yang dimainkan oleh 12 anak­anak perempuan dengan pakaian khas adat Buton.Tarian ini diiringi oleh alat musik seperti gong, tanda-tanda, ndenyu-denyu dan gendang.Lagu yang dinyanyikan berbentuk pantun yang mereka namakan banti-banti.Tari Iainnya adalah tariAhonda adalah jenis tari yang dimainkan 12 orang penari perempuan dan laki-laki dengan iringan lagu yang juga memakai baju adat Buton dan selendang.Tujuannya adalah untuk menghibur tamu, selain memperkenalkan budaya Tomia.

Manari Banda (menari Banda) adalah jenis tari dan lagu yang dimainkan oleh sekelompok ibu-ibu dan biasanya dilanjutkan dengan ngiwi oleh bapak-bapak.Ngiwi adalah suatu gerak tari yang dilakukanoleh para lelaki mengitari para penari sambil mengangkat tangan kanan seraya berputar mengelilingi penari perempuan.Biasanya di akhir gerak ngiwi dilakukan saweran berupa uang secukupnya kepada para penari perempuan.Dalam prosesi Tari Banda diiringi bait-bait lagu dalam bentuk banti-banti.

Jika dilihat dari nama TariBandamenunjukkan berasal dari Banda namun tarian tersebut dipopulerkan oleh kalangan ibu-ibu dan bapak-bapak yang ada di Pulau Tomia. Manari Banda (Tari Banda) adalah jenis tarian yang dimainkan secara kelompok namun bersifat individual karena masing-masing penari tidak terikat oleh gaya penari lainnya. Pakaian yang digunakan oleh para penari sifatnya bebas tetapi lebih dominan memakai kebaya serta selendang.Manari Banda biasanya dilaksanakan pada malam-malam acara seperti perkawinan maupun malam acara hajatan.Tujuan dari tarian ini adalah untuk menghibur diri serta menghibur masyarakat yang hadir pada malam acara tersebut.Adapun alat-alat musik yang digunakan adalah gendang dan biota, diiringi banti-banti.

Salah satu tari tradisi yang telah mendapat pengakuan sebagai warisan budaya secara nasional dari negara adalah tari tradisi Lariangiyangpernah dan berkembang pada masyarakat Kaledupa.Saat ini tarianini menjadi ikon pariwisata budaya di Kabupaten Wakatobi.Lariangi sesungguhnya adalah seni tari yang pada masa kerajaan di pertunjukkan di lingkungan istana (keraton) kerajaan Buton, tetapi kemudian mengalami difusi di luar pusat kerajaan.Lariangi pun berkembang dan dipentaskan di beberapa kerajaan lokal yang masih berada di daerah kekuasaan kerajaan Buton, sebagaimana halnya kerajaan Kaledupa.

Menurut Munafi (dalam Asrif dan Usra, 2007 : 67), sebelum berdirinya kerajaan Buton yang berpusat di pulau Buton pada sekitar abad ke-14, di beberapa pulau di sekitar pulau Buton, telah bermukim komunitas-komunitas, bahkan kerajaan lokal. Dan diantaranya adalah komunitas yang menghuni pula Kaledupa yang terletak di gugusan kepulauan Tukang Besi, yang saat ini bernama Wakatobi.

Satu diantara klausul dalam UU martabat tujuh adalah menetapkan Kaledupa sebagai Barata, bersama tiga daerah lainnya, yaitu Kolencusu, Tiworo dan Muna.Keempat Barata ini berfungsi sebagai pusat pertahanan kesultanan yang diberi otonomi khusus untuk melindungi pusat kerajaan Buton yang berkedudukan di Wolio.

Pada masa kerajaan, tari tradisi Lariangisebagai tari Keraton yang hanya dapat dipertunjukkan di Iingkungan istana.Bahkan penarinyapun bukan orang sembarangan, melainkan gadis-gadis yang berasal dad golongan bangsawan Kaomudan Walaka.Karena itu pula penari Lariangiharuslah gadis yang berkarakter, cantik dan masih perawan.

Menurut Kamaruddin (2014: 55), kecantikan tidak hanya diukur dari kesan visual meliputi bentuk badan yang proporsional dengan rambut lurus maupun rambut ikal, hidung mancung, dagu trapesiun, lengan yang melengkung (kunde), dan lutut antara tumit dan mata kaki yang terlihat lebih dalam. Kecantikannya pun harus tampak dari dalam, yang diketahui dari alunan suara yang merdu dan menenangkan, serta memiliki budi pekerti yang luhur.Keperawanan menjadi penting, karena Lariangiadalah tarian yang mengandung nilai-nilai spritual sehingga penarinya haruslah orang yang suci (Sacre)dan mampu menjaga suasana mistis.

Seni pertunjukan tari yang ritualitas di sini, berubah menjadi ajang kepentingan politik, sebuah legitimasi kekuasaan yang harus ditakuti dan dipertahankan.Keperawanan adalah kemurnian.Kemumian adalah kearifan dalam memandang sesuatu yang bergerak dalam hidup, dalam masyarakat.Rakyat harus murni, suci, arif, supaya memahami dengan baik betapa beratnya memerintah dan menyejahterakan masyarakat.Lewat seni pertunjukan dan ritual itulah, raja memelihara kehidupan politiknya.ltulah cara yang sebaik-baiknya, karena disamping halus, juga cara itu dianggap beradab.

Dalam prosesi tari Lariangi ini, menjadi momentum bagi raja untuk memasuki suasana alam gaib (misterius) yang dianggap maha dahsyat (tremendum) dan keramat (Sacre).Lariangi di sini menjadi media bagi kekuatan supranatural untuk berkomunikasi dengan raja agar rapat menjadi penyelenggara kerajaan yang baik, berlaku adil yang mampu memberi kesejahteraan kepada rakyatnya. Dalam hal ini menurut penulis, Lariangi sesungguhnya diciptakan untuk menunjukkan keagungan raja karena is adalah simbol kerajaan yang hares mampu memadukan tema potensi duniawi, maupun kekuatan gaib yang menyebabkannya is memiliki ajian untuk berpengaruh dalam masyarakat.

Kamaruddin (2014 : 54) mengatakan, Lariangi dalam tradisi lisan masyarakat Wakatobi, merujuk pada citra did perempuan dan sebagai tradisi persembahan raja serta nama kostum untuk kegiatan tersebut. Saat ini Lariangi mengalami perkembangan yang secara terus-menerus bertransformasi.Lariangi juga menjadi simbol budaya dan menjadi identitas masyarakat Kaledupa, walaupun mereka bermukim di daerah lain. Dalam hal ini, Lariangi menjadi sarana yang secara emosional menghubungkan antara penduduk yang tinggal di daerah asal dengan mereka yang berada di rantauan.

Fenomena ini sesungguhnya mengindikasikan, jika tari Lariangi kini telah bertransformasi.Dan dengan demikian fungsi tari Lariangi pada masa kerajaan pun telah mengalami transformasi.Terdapat fungsi-fungsi tari yang bertahan, tetapi juga ada fungsi tari Lariangi yang berubah.Bahkan tari Lariangi telah mengalami komodifikasi, dimana tari dikemas sebagai komoditas untuk suatu hiburan, baik hiburan rakyat, dalam hajatan, perkawinan, pesta rakyat, bahkan Lariangi mendapat penghargaan negara sebagai warisan budaya tak Benda.Lariangi pun semakin popular dan menjadi komoditas wisata, oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi, diperjuangkan mendapat pengakuan UNESCO-PBB sebagai salah satu warisan dunia.

 

Beberapa jenis kuliner lokal orang Tomia, sejatinya, juga dapat diperkenalkan kepada wisatawan yang datang ke kawasan wisata One Moba’a, seperti :

  1. Kasuami :berbahan dasar ubi kayu, sehingga menjadi makanan pokok altematif. Biasanya orang Tomia mengkonsumsi makanan ini bersama ikan bakar, ikan parende atau bersama kerang-kerangan.
  2. Kapusu :jenis makanan pokok khas lainnya yang berbahan dasar jagung dengan sedikit kacang merah. Makanan ini biasa dihidangkan bersama ikan bakar, ikan parende atau kerang­kerangan dalam keadaan hangat.
  3. Parende :adalah salah satu jenis lauk, tentunya berbahan dasar ikan laut, yang dimasak dengan bumbu-bumbuan. Makanan ini disajikan dalam bentuk ikan rebus berkuah yang masih hangat.
  4. Kerang-kerangan :juga biasa disajikan sebagai pendamping makanan pokok. Orang Tomia biasanya mengkonsumsi makanan ini melalui proses : cuci bersih kemudian dimasak, tetapi ada juga yang mengkonsumsi mentah dengan terlebih dahulu melumuri jeruk nipis.
  5. Kurasi :sejenis makanan ringan atau cemilan yang berbahan dasar tepung beras. Kurasi biasanya dibuat adonan lebih dahulu, kemudian dicetak lalu digoreng. Makanan ini biasa dikonsumsi sambil minum kopi atau teh hangat.

Sektor industri rumah tangga orang Tomia dapat menjadi sebagai sarana penunjang kepariwisataan (supporting tourism supprarstructure) yang berfungsi tidak hanya melengkapi sarana pokok dan sarana pelengkap, tetapi fungsinya yang Iebih penting adalah di sektor ekonomi lokal, dimana wisatawan Iebih banyak membelanjakan uangnya untuk kebutuhan membeli oleh-oleh sebagai cenderamata.

Hasil industri rumah tangga orang Tomia yang dapat menjadi cenderamata adalah Homoru, yaitu sarung tenun tradisional dengan motif wama-wami :leja, katamba, dan kasopa. Selain itu terdapat kerajinan batok ketapa yang bisa digunakan sebagai hiasan rumah atau ruang tertentu.

PENUTUP

Pada dasarnya industri budaya merupakan unsur penunjang kepariwisataan (Supporting Tourism Superstructure), yakni fasilitas yang diperlukan wisatawan, dan berfungsi tidak hanya melengkapi sarana-sarana pokok dan sarana pelengkap, tetapi yang lebih penting menjadi sarana yang berfungsi agar wisatawan dapat tinggal lama dan mau membelanjakan uangnya lebih banyak. Selain itu, industri budaya dapat menghadirkan citra wisata yang mengesankan bagi wisatawan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alvonso. C. Goilner

2001      Trade  and Globalization (Terj.) Kanisning, Yogyakarta.

Arjana, I. Gusti Bagus

2016      Geografi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Rajawali Press, Jakarta.

Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

2012      Panduan Pariwisata Wakatobi

Fandely C. Mukhlison.

2000      Perpustakaan Ekowisata, Pustaka Pelajar, Fak. Kehutanan UGM, Unit Konservasi Sumberdaya Alama DIY.

Hadara Ali (Ed.)

2013      Mingku I Hato Pulo : Karakteristik Budaya di Keempat Pulau, Graindo Media, Yogyakarta.

Kamaruddin

2014      Transformasi Budaya Lariangi pada Masyarakat Kaledupa (Suatu Kajian Etnografi), Tesis, Program Pascasarjana Universitas Haluoleo, Kendari.

 

 

Latarima

2005      Zonasi dan Perubahan Sosdial (Studi Kasus Pada Komunitas Nelayan Bajo Desa Samaturu, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi

Munafi Laode

2015      Eksistensi Barata Kaledupa dalam Semesta Sejarah dan Budaya Buton, dalam Gau Satoto : Kearifan Lokal Orang Wakatobi, Asrif dan Laode Usra (Ed), Frame Pub. Yogyakarta

Pangestu, M.E

2008      Pengantar dan Arah Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia

 

Sani M. Yamin

216        Eksotisme Etnik Lokal Panggung Wisata Budaya Wakatobi, Masagena Press, Makassar.

Sedarmayanti

2005      Membangun Kebudayaan dan Pariwisata (Bunga Rampai Tulisan Pariwisata), CV. Mandar Maju, Bandung.

Sedarmayanti

2014      Kebudayaan & Industri Pariwisata, Reflika Aditama,  Bandung.

Soekadijo

2000      Anatomi  Pariwisata. Memahami Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Spillane J. James

1991      Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prosfeknya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Waluya Haroy

2007      Pengembangan Kepariwisataan Indonesia, Seminar : Menuju Kemandirian Daerah Halmahera Utara (23 April 2007), Depbudpar R.I.