PERILAKU TATA KRAMA DALAM DAN LUAR LINGKUNGAN KERABAT PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA WOLIODI KOTA BAU BAU – Nur Alam Saleh

0
17566

PERILAKU TATA KRAMA DALAM DAN LUAR  LINGKUNGAN KERABAT

PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA WOLIODI KOTA BAU BAU

 

Nur Alam Saleh

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Jalan Sultan Alauddin/Tala Salapang Km.7 Makassar

Telepon : (0411) 865166

Pos-el: salehnuralam@gmail.com

 

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan adat istiadat tata krama yang terjadi di dalam dan luar lingkungan keluarga masyarakat sukubangsa Wolio di Kota Bau-bau, sebagai salah satu aspek budaya, yang perlu untuk disebarluaskan pada masyarakat lainnya di Indonesia.. Tata karma menjadi pola bagi kelakuan warga pada suku bangsa Walio, ketika mereka harus berinteraksi satu dengan lainnya dan tradisi tersebut diturunkan dari satu generasi kegenerasi selanjutnya.Seiring dengan perkembangan zaman, seperti dengan kenyataannya yang sekarang ini sedang dihadapi maka perilaku tatakrama dalam kahidupan sehari-hari, sedikit mengalami perubahan namun masih dalam batas-batas toleransi kesopanan sesuai dengan norma-norma dan adat istiadat suku bangsa Walio.Hal tersebut berlaku baik dalam lingkungan kerabat maupun di luar lingkungan kerabat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dimana pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatandan wawancara. Pemilihan informan dilakukan secara snowballing yaitu informan pertama memberikan nama informan lain untuk diwawancari.

Kata kunci; Tata krama, perilaku, masyarakat suku bangsa Wolio

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENDAHULUAN

Pada dasarnya setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan yang bersifat fisik dan non fisik.Dengan  kata lain suatu kebudayaan ada yang dapat diwujudkan atau terlihat dan ada juga yang tidak terlihat. Salah satu bentuk kebudayaan yang berwujud itu, adalah seperti tingkah laku atau prilaku manusia. Hal tersebut dapat kita temukan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dengan cara berhubungan terhadap orang lain sehingga dapat menimbulkan interaksi.

Menurut Parsudi Suparlan (1981:238) bahwa kebudayaan merupakan kesluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan mewujudkan dan mendorng terwujudnya kelakuan.

Ketika manusia telah berhubungan atau berinteraksi itu, maka pada saat itu ada hal-hal yang mengaturnya yakni tata krama.Tata krama ini hampir dapat ditemukan pada setiap suku bangsa, yang tentunya mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lainnya.Oleh karena itu salah satu kemajemukan budaya yang dimiliki masyarakat Indonesia dapat dilihat dari tatakramanya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa tata krama berarti sopan santun.Sementara sopan santun itu adalah segala tindak tanduk, perilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucap dan cakap sesuai dengan kaidah serta norma-norma tertentu.Di Indonesia yang terdiri atas berpuluh bahkan ratusan etnis dengan bahasa lokalnya masing-masing, sehingga menyebabkan tata krama yang berlaku pada setiap suku bangsa berbeda pula satu dengan lainnya.

Tata krama adalah salah satu bentuk dari aturan-aturan yang menjadi kerangka acuan terciptanya masyarakat yang tertib dan harmonis, pada dasarnya melarang atau menganjurkan seseorang untuk berbuat sesuatu dalam satu keadaan tertentu, oleh karena itu tata krama dapat berfungsi mendorong atau mengawasi orang untuk berbuat sesuatu (Isarwisma, 1989:1).

Dalam kehidupan sosial, tata krama ini memiliki peran yang sangat penting karena merupakan suatu filsafat moral yang merefleksikan secara sistematis tentang pendapat-pendapat, norma-norma dan penilaian yang dapa dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai pedoman  hidup atau blueprint of behaviour dalam pergaulan bermasyarakat dan berbangsa, sebagaimana dikemukakan oleh Suseno (1984:24) bahwa tata krama sebagai cerminan peradaban suatu masyarakat atau bangsa.

Karena itulah Koentjaraningrat (1981:210) menilai bahwa segala aktivitas manusia di dalam berinteraksi, berhubungan, serta bergaul antara satu individu dengan individu lainnya, dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari bulan ke bulan serta dari tahun ke tahun, selalu menuruti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata krama  yang berlaku di daerah bersangkutan.

Pengetahuan menyangkut tata krama bagi setiap orang sangat penting.Karena dengan mengetahui tata krama tersebut, maka interaksi individu dalam masyarakat mudah dilakukan tanpa melakukan suatu kekeliruan yang memungkinkan dapat merusak pembauran antar sesama manusia.Dengan adanya saling memahami pembaruan antar sesama manusia. Dengan adanya saling memahami konsep-konsep kebudayaan yang berbeda, tentunya akan lebih memudahkan terjadinya pembauran antara sesama manusia dengan latar belakang budaya yang berbeda, manakala senantiasa mengikuti dan menuruti pola-pola tertentu sesuai tata krama dalam masyarakat  pendukungnya.

Dalam kehidupan masyarakat suku bangsa Wolio, juga telah sejak lama mengenal dan mempunyai tata krama sebagai etika pergaulan di tengah-tengah masyarakatnya. Etika pergaulan yang telah disepakati sejak abad ke-13 itu, berupa konvensi yang dalam bahasa Wolio dikenal dengan namaaso-aso atau tuturakaAso-aso bermakna tata urutan yang kemudian dikotonasikan sebagai kesesuaian.Aso-asona ini terdiri atas aso-asoana kauncu rumaka yakni merupakan aturan protokoler menurut jabatan dan aso-asona oni/batuaga yaitu ujaran terhadap seseorang yang layak dan sesuai dengan statusnya masing-masing dalam masyarakat.Pada masyarakat Wolio adalah merupakan suatu kewajiban orangtua terhadap anaknya, untuk mengajarkan sejak dini dengan ajaran aso-asoana atau tuturaka  ini. Oleh kerna itu bagi orang-orang Wolio yang tidak mematuhi norma-norma tersebut akan terhina dan dijuluki sebagai yinda aoango-rango kaadari yakni tidak mendapatkan pendidikan dalam rumah tangga, biasa pula disebut yinda amatau aso-aso atau yinda amatau adat.

Ada beberapa sumber yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam bertata krama pada orang-orang Wolio, diantaranya adalah sara pata anguna dimana azas pertamanya yaitu poangka angkataka, murtabat tujuh, dan al’quran serta hadits. Poangka angkata berarti saling menghormati atau dengan kata lain sikap saling menghormati yang dilakukan oleh dan untuk semua orang. Sedangkan martabat tujuh adalah sarana penghormatan yang dalam bahasa Wolionya yaitu kaangkataka terdiri atas;yoni tebatanga (bahasa atau tutur kata), soda (jabatan), harta kekayaan, dan mingku dan kakaro uncura (perangai).

Dimasa lampau bahkan sampai sekarang ada sebuah lembaga yang disebut dengan namaSio Limbona, yang bertugas dan berhak untuk menilai serta mengawasi perilaku semua orang-orang Wolio termasuk Sultan sekalipun. SioLimbona ini menilai seseorang dari segi biangana sarawa Wolio dan Mata lapuna sarawa Wolio.

Biangana sarawa Wolio merupakan catatan-catatan khusustentang perangai yang terpuji dari seseorang, sedangkan Mata lapuna sarawa Wolio.Adalah mencatat perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh kemudian memanggil yang bersangkutan untuk di nasehati. Karena itu pada pintu dan jendela ruang depan setiap rumah Sio Limboana  tergantung teras yang dalam bahasa Wolionya disebut lante-lante  yang digunakan untuk mengintip perilaku orang yang lalu lalang.

 

METODE

Penulisan yang dilakukan di Kota bau-bau ini merupakan sebuahhasil penelitian kualitatif. Menurut Hendarso (2005:165) bahwa sebuah penelitian kualitatif menekan tiga aspek yakni realitas sosial merupakan hasil konstruksi pemikiran dan bersifat holistik, proses penelitian kualitatif tidak dikatakan sepenuhnya bebas nilai, dan proses pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian tidak bersifat kaku tapi disesuaiakan dengan keadaan lapangan. Mengikuti pemikiran Koentjaraningrat (1994:89; Miles dan Habermas, 1992) bahwa dalam penelitian kualitatif itu, penentuan besarnya jumlah informan tidak ada ukuran mutlak, melainkan berdasarkan pada kebutuhan dan perkembangan di lapanagan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, dengan teknik pengamaran (obervasi) adalah alat pengumpulan data dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis gejala yang akan diselidiki (Narboku, 1991:70). Kemudian teknik wawancara (interview) yang menurut Satori dan Komariah (2010:130) bahwa wawancara mendalam adalah tanya jawab terbuka untuk memperoleh data yang diinginkan oleh peneliti, tentang bagaimana informan menggambarkan dunia mereka dan bagaimana mereka menjelaskan perasaan-perasaannya tentang kejadian-kejadian penting dalam hidupnya. Sedangkan studi kepustakaan atau dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang digunakan sebagai pelengkap data. Menurut Moleong (1995:178) untuk melihat keabsahan data tersebut digunakan teknik implementasi data yang memiliki tiga prosedur, yakni membandingkan data observasi dengan hasil intervierw, membandingkan informasi antar sumber yang satu dengan yang lainnya, dan membandingkan hasil interview dengan dokumen terkait.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

  1. Latar Belakang Sejarah dan BudayaSuku Bangsa Walio

Dalam mengungkapkan latar belakang budaya suku bangsa Wolio di Kota Bau-bau, berikut ini akan dikemukakan yang berkaitan dengan stratifikasi sosial, sistem kekerabatan  dan  sistem  kepercayaan masyarakat.

Stratifikasi sosial atau sistem pelapisan masyarakat telah sejak lama dikenal pada masyarakat sukubangsa Wolio di Kota Bau-bau. Menurut tradisi Buton, bahwa stratifikasi masyarakat Wolio ditetapkan pada masa  kekuasaan Sultan ke-4 yaitu Dayyan Ihsan Ad-Din. Sultan menetapkan lapisan-lapisan masyarakat ini, untuk membedakan golongan yang boleh dan tidak boleh menduduki tiga jabatan tinggi kesultanan.Ketiga jabatan Kesultanan yang dimaksud itu adalah Sultan, sapati dan kenepulu.Sehingga ada anggapan bahwa terjadinya klasifikasi tersebut disebabkan oleh alasan politik atau kekuasaan (Abd. Rahim Yunus, 1995:24).

Apabila dicermati sistem pelapisan masyarakat  sukubangsa Wolio pada masa silam, terdiri atas dua lapisan yaitu mereka yang berasal  dari lapisan atas terdiri atas golongan kaomu dan walaka merupakan kelompok penguasa. Sedang yang termasuk lapisan bawah adalah golongan papara dan batua, mereka ini merupakan kelompok yang dikuasai.

Pada kelas lapisan atas antara golongan Kaomu dan walaka, masing-masing dapat lagi dibagi ke dalam beberapa lapisan.Untuk golongan kaomu berdasarkan faktor bisa tidaknya seseorang dapat menduduki jabatan raja atau jabatan-jabatan penting lainnya, maka golongan ini dapat dibagi lagi menjadi dua lapisan.Pertama kaomu yang dipilih menjadi Sultan, yang terdiri atas kaomu-masasa (Ibu Bapanya berasal dari golongan Kaomu) dan Kaomu indah masasa (Ayahnya saja dari golongan kaomu).Kedua kaomu yang tidak berhak atas jabatan apapun, terdiri atas aomuIsambali dan Analaki.

Demikian pula dengan golongan walaka, dapat pula diklasisfikasikan menjadi tiga lapisan, yaitu walaka  yang berdomisili  dalam keraton, walaka yang berdomisisli diluar keraton, dan limbo atau disebut juga labua. Bagi walaka  yang berdomisili di dalam maupun di luar keraton berhak untuk menduduki jabatan.

Sebenarnya kedua golongan ini, baik kaomu  maupunwalaka  mempunyai garis keturunan ke atas. golongan  Kaomudan walaka bertemu pada satu nenek, masing-masing La Balwu dan Bulawambona. Melalui bataraguru melahirkan kaum kaomu, sementara itu golongan walaka  juga berasal dari ketrurnan melalui saudara-saudara bataraguru.

Sedangkan dua golongan lainnya masing-masing papara dan batua, sama sekali tidak mempunyai hak untuk menduduki jabatan dalam struktur pemerintah kerajaan, karena mereka itu tidak mempunyai garis keturunan dari kedua golongan yang telah disebutkan di atas. Golonganpapara  ini berasal dari keturunan masyarakat asli sebelum berdirinya kerajaan, di samping ada pula yang datang dari luar dan tunduk di bawah kerajaan secara sukarela. Sementara golongan batua adalah orang-orang yang berasal dari keturunan ibu – bapaknya budak.

Walaupun dalam systempelapisan masyarakatnya terdiri atas lapisan yang menguasai terutama dari golongan kaomu  dan lapisan masyarakat yang dikuasai baik dari golongan  papara maupun batua, namun pada prakteknya kelompok yang berkuasa yang lebih tinggi tidak dibenarkan untuk bertindak sewenang-wenang  terhadap golongan di bawahnya. Pada masyarakat Buton telah sejak lama dikenal falsafat adat di sebut binci-binci kuli, yang merupakan pengatur hubungan antar berbagai lapisan masyarakat.

Dalam falsafah  adat binci-binci kuli  ini, terdiri atas empat point kata  yang sangat mempengaruhi dalam kehidupan masyarakatnya, yakni Baabaana, opomae-maeka; ruaanguka, opopia-piara; taluanuka, opomaa-maasiaka; pataanguka, poangkaa-angkata Artinya; pertama, takut-menakuti; kedua pelihara-memelihara; ketiga, sayang-menyangi; dan keempat, hormat-menghormati.

Dengan melihat falsafah adat yang masih dipegang teguh oleh mesyarakatnya tersebut, sehingga menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat suku bangsa Wolio di Kota Bau-bau saling menghormati dan menyayangi antar satu golongan dengan golongan lainnya.Bagi mereka yang status sosialnya lebih tinggi tidak memandang remeh golongan yang ada di bawahnya.

Pada masa sekarang ini seiring dengan perkembangan zaman, dimana ditandai dengan tingkat pendidikan yang lebih memadai serta pemahaman Agama Islam  yang mayoritas di anut oleh masyarakat Wolio, sistem pelapisan masyarakat bukan lagi merupakan hal yang utama dalam kehidupannya. Namun demikian terkadang masih nampak pada beberapa kegiatan terutama pada upacara pesta adat, yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat.

Menyangkut  sistem  hubungan kekerabatan pada masyarakat sukubangsa Wolio di Bau-bau, dapat terjadi karena keturunan bagi orang Wolio menyebutnya lee. Sedangkan hubungan kekerabatan yang dikarenakan faktor perkawinan disebutnya  sebangkai.

Dalam sebuah rumah tangga orang-orang Wolio yang merupakan satu keluaraga batih disebut dengan istilah sawaitinai atau kobanua,  terdiri atas ayah atau bapak dan ibu beserta sejumlah anak-anaknya. Baik sawitinaimaupun kabanua merupakan  suatu kesatuan hidup terkecil yang terkait oleh tanggungjwab bersama antara bapak atau ayah dan ibu serta anak-anaknya.

Seorang ayah atau bapak atau yang biasa pula diistilahkan dengan sapaan amadalamsebuah rumah tangga orang Wolio itu, mempunyai peranan dan fungsi serta tanggungjawab yang tinggi terhadap isteri dan anak-anaknya.Sebagai kepala keluarga selain dapat memberikan kesejahteraan lahir batin dan sebagai pencari nafkah, juga bertanggungjwab atas keamanan keluarganya, serta yang tak kalah pentingnya adalah penanggungjawab terhadap anak-anaknya dalam memenuhi kebutuhannya mulai sejak kecil sampai memasuki jenjang perkawinan.

Demikian pula peranan seorang ibu yang biasa pula diistilahkan dengan sapaan ina atau iaata, yakni sebagai pembantu suami yang turut membina kehidupan rumah tangga dan memelihara harta yang telah diperoleh suami. Ibu juga berperanan sebagai pengasih dan penyayang serta mendidik anak-anaknya sampai dewasa.Sedangkan anak-anak itu sendiri yang biasa diistilahkan dengan sapaan ana, merupakan harapan dan dambaan orang tua sebagai penerus keturunan dan lambang prestise keluarga, yang tentunya juga sebagai tenaga andalan dalam turut membantu memperkuat ekonomi rumah tangganya.

Kendatipun dalam sebuah rumah tangga atau keluarga batih itu, terdiri atas ayah/bapak, ibu dan anak-anaknya, namun bagi orang Wolio hal tersebut tidak mutlak karena biasanya terkadang masih terdapat orang lain, yang secara geneologis maupun sosiologis mempunyai hubungan keluarga dengan ego di rumah tangga tersebut.

Dikalangan orang-orang Wolio keluarga luas disebut juga dengan istilah leena walakana atau powitinai.Leena berarti kelompok kerabat dari satu nenek moyang.Dalam kelurga luas ini oleh La Ode Abdul Munafi, M.Si menyebutnya sakabumbua atau sakamboru-borua, yaitu kesatuan keluarga-keluarga saudara sekandung; suami atau isteri serta anak-anaknya.

Biasanya disetiap keluarga luas ini terdapat orang yang dituakan atau dianggap tua dalam keluarga tersebut.Orang ini tidak saja dilihat dari segi usianya, melainkan dapat juga karena jabatan dan kedudukannya di tengah tengah masyarakat. Karena itu Ia dianggap sangat berperan bilamana terjadi suatu permasalahan terhadap anggota keluarganya maupun yang bukan keluarganya. Bahkan kepadanya juga diharapkan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dan pendapatnya, pada hal-hal tertentu yang dianggap cukup penting. Misalnya ketika seseorang akan melakukan suatu kegiatan upacara pesta adat perkawinan, khitanan dan sebagainya, maka orang tua itulah sebagai tempat untuk berkonsultasi.

Walaupun masyarakat Wolio biasanya memiliki prinsip keturunan bilateral, namun pada prakteknya masih cenderung berdasarkan kaidah patrilineal, yakni anak-anak yang dilahirkan masuk dan diperhitungkan melalui garis keturunan orang tua laki-laki atau bapaknya. Karena itu meskipun dalam sebuah rumah tangga sepasang suami isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama, namun terkadang peranan suami lebih dominan dan menentukan. Demikian pula anak laki-laki dan perempuan mempunyai nilai yang sama pula, termasuk menyangkut hak pewarisan.

Dalam hubungan dan pergaulan keluarga tidak terdapat perbedaan antara keluarga yang berdasarkan geneologis atau keturunan maupun keluarga yang terbentuk karena adanya tali perkawinan. Namun demikian untuk lebih menjalin keharmonisan hubungan antara satu dengan yang lainnya, maka tentunya ada berbagai norma yang harus ditaati secara bersama.

Sikap seorang anak terhadap orangtua ataukah kepada paman, bibi, maupun keluarga dekat lainnya dapat bersifat bebas. Akan tetapi dalam pertemuan-pertemuan tertentu, misalnya kegiatan upacara adat atau dimuka umum, maka disitu berlaku tata tertib adat dimana sang anak harus menghormati orangtua, terutama dalam hal pembicaraan dengan menggunakan bahasa yang sopan.

Demikian pula pergaulan antara suami-isteri dengan mertuanya, tidak ada perbedaannya dengan pergaulan antara suami dan ayah-ibunya atau isteri dengan ayah-ibunya.Bagi orang Wolio yang telah kawin (nikah) maka dengan sendirinya mempunyai empat orangtua, yakni kedua orangtuanya sendiri ditambah dengan mertua laki-laki dan perempuannya.Antara mertua dengan mertua (bisan), mereka itu layaknya seperti orang bersaudara.Dalam pergaulan saling bahu membahu dan masing-masing mengarahkan anak-anaknya dengan baik, dalam menjalankan bahtera rumah tangganya. Antara suami-isteri dengan ipar maupun kerabat dekat lainnya, diperlakukan sama seperti saudara kandung. Saling membantu didalam pekerjaan berdasarkan fungsi dan peranan masing-masing.

Sehubungan dengan apa yang telah dipaparkan diatas, maka berikut ini dikemukakan beberapa istilah kekerabatan dalam masyarakat sukubangsa Wolio seperti di bawah ini ;

Uma/aba/ode               : sapaan untuk ayah/bapak

Ina/umi                                    : sapaan untuk ibu

Ana                              : sapaan untuk anak

Uwa                             : sapaan untuk kakek maupun nenek

Pinoama                      : paman

Pinoina                                    : bibik atau tante

Pinoama tolida                        : sepupu laki-laki dari ibu/bapak

Pinoina tolida              : sepupu perempuan dari ibu/bapak

Tolida                          : sepupu satu kali dari anak saudara ibu                                                                                                          atau ayah/bapak

Topendua                    : sepupu dua kali

Topentalu                    : sepupu tiga kali

Poabaaka                    : sepupu empat kali

Mania Manantu                       : mertua-menantu

Iparaumane                 : ipar laki-laki

Iparauawine                : ipar perempuan

Amawo                         : ayah tiri

Inawo                          : ibu tiri

Anawo                         : anak tiri

Meskipun masyarakat sukubangsa Wolio mayoritas penduduknya telah beragama Islam, namun sisa-sisa kepercayaan tersebut masih nampak pada sekelompok penduduk.Jauh sebelum Islam dijadikan sebagai agama resmi di kerajaan Buton, dikalangan sukubangsa Wolio mempunyai kepercayaan kepada dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, kekuatan gaib dan sebagainya.

Demikianlah sehingga pohon beringin dianggap sebagai tempat kediaman makhluk-makhluk halus yang dapat mematikan atau juga menghidupkan.Manakala ada seseorang yang sedang sakit, maka kebiasaan memberikan makan kepada makhluk-makhluk halus tadi, dengan suatu harapan agar si sakit dapat di sembuhkan. Selain itu benda-benda pusaka seperti keris dan benda-benda kerajaan lainnya, yang dianggap memiliki kekuatan sakti.

Pada masa sekarang ini kebiasaan-kebiasaan penduduk yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan masih sering diselenggarakan oleh sebagian kecil dari masyarakat Wolio, adalah upacara pakande jiini, pakande wurake, dan pakande kiwalu.Maksud penyelenggaraan pakande jiini ini, karena mereka berkeyakinan bahwa jin-jin sering mengganggu kehidupan manusia, sehingga diberikanlah makan agar tidak marah.Demikian pula dengan pakande wurake yaitu dengan memberikan makan kepada setan yang ganas, karena mereka meyakini hanya dengan memberikan makan maka para setan itu tidak mengganggu atau menimbulkan bencana terhadap manusia.Sedangkan pakande kiwalu yakni menyelenggarakan upacara sesajian ditempat tidur suami isteri, hal ini dimaksudkan agar mereka dapat hidup rukun dan damai serta sejahtera selalu dalam rumah tangganya.

Disamping itu masyarakat setempat juga mempercayai bahwa ada waktu yang baik dan ada pula waktu yang buruk. Oleh karena itu setiap upacara adat yang akan dilaksanakan senantiasa terlebih dahulu mencari waktu yang terbaik. Misalnya untuk sebuah upacara perkawinan maka biasanya diselenggarakan pada bulan-bulan Sya’ban, Zulhijjah atau Jumadil Awwal.

Di bidang kesenian telah sejak lama masyarakat Wolio dalam kehidupan sehari-harinya mengenal berbagai cabang jenis kesenian, mulai dari ungkapan-ungkapan prosa liris maupun nyanyian-nyanyian dan ceritera rakyat baik berbentuk dongeng ataupun legenda. Demikian pula dengan seni tari yang sampai sekarang ini masih digemari oleh masyarakat Wolio, terutama dilingkungan keraton  dikenal tari galangi yaitu tari perang dan tari manguru yang juga menggambarkan tentang perang. Tari lainnya lagi adalah tari kalegoa yang biasanya dilakukan pada saat upacara adat  posuo yakni upacara pingitan.

Perilaku Tata Krama dalam lingkungan Kerabat

Pembahasan mengenai bagaimana perilaku tatakrama dalam lingkungan kerabat (keluarga) pada kehidupan sehari-hari masyarakat suku bangsa Wolio, tentunya dengan sendirinya akan terpusat kepada keluarga inti (batih) dan keluarga luas. Sebuah keluarga  terdiri atas seorang ayah/bapak, ibu dan sejumlah anak-anak. Dalam hal ini termasuk pula ayah tiri, ibu tiri dan anak tiri. Sedangkan keluarga luas orang Wolio disebut sakabumbua  atausakamborumborua, yakni terdiri atas kesatuan keluarga-keluarga  saudara sekandung; suami atau isteri serta anak-anaknya.

Pada dasarnya orang Wolio sejak kecil telah mengalami sosialisasi atau pendidikan tentang tatakrama dalam kehidupan rumahtangganya melalui orang tua dan kerabatnya. Pendidikan ini walaupun secara tidak langsung ditujukan kepada  anak-anaknya, akan tetapi dengan kebiasaan yang sering dilakonkan oleh orang tua mereka, sehingga dengan sendirinya dapat teradopsi nilai-nilai budaya leluhurnya. Kebiasaan dalam tatakrama menghormati orang tua, makan dan minum, bersalaman, berpakaian dan berdandan, berbicara, bertamu dan lain sebagainya telah berlangsung secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Untuk menularkan nilai-nilai tatakrama atau sopan santun itu kepada generesi muda atau anak-anak, selain dengan melalui pendidikan (pengajaran) juga dapat diperlihatkan  dengan tingkah laku atau contoh yang dapat ditiru oleh anak-anaknya. Disinilah orang tua sangat berperan dalam menentukan perilaku setiap anak-anaknya, bagaimana dapat menerapkan tatakrama yang benar baik ketika berhubungan dengan kerabatnya maupun masyarakat luas.

Dengan melihat secara langsung tingkah  laku orang tua atau orang yang lebih tua dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangganya atau kerabatnya, maka seorang anak dengan sendirinya akan mencontoh  kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarganya. Sehingga anakpun akan terbiasa dengan melakukan tatakrama secara baik.

Demikianlah dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kerabat orang-orang Wolio masih sangat memperhatikan tatakrama terutama yang berkaitan dengan penghormatan terhadap orang tua atau yang dituakan.Perilaku menghormat terhadap orang tua ini dapat terimplementasi lewat sapaan, sikap berbicara dan bahasa yang digunakan.

Sapaaan terhadap orang tua seperti ayah/bapak dan ibu, demikian pula terhadap orang yang lebih tua seperti kakek/nenek, paman/ tante maupun kerabat lainnya, masih memakai istilah daerah setempat.Misalnya dalam menyapa ayah dengan mengatakan Odhe bagi mereka yang berasal dari keturunan bangsawan Koumu dan uma atau aba.Kata  Ina atau iata sapaan untuk ibu. Sedangkan untuk sapaan kakek/nenek dipanggil Uwa.Panggilan kepada  paman disapa  pinoama  dan kaaka  sapaan  terhadap bibi atau wanita yang lebih tua umurnya, dan lain sebagainya.

Berdasarkan dengan sapaan atau panggilan tersebut menandakan adanya dasar penghormatan yang dapat mempengaruhi  cara berbicara serta bersikap lemah lembut terhadap orang tua atau yang dituakan. Namun demikian seiring dengan perkembangan zaman seperti sekarang ini, kendatipun tidak secara keseluruhan telah ada perubahan istilah sapaan atau panggilan, dimana yang biasanya  hanya menggunakan istilah lokal  telah berubah menjadi istilah umum. Misalnya odhe, aba atau uma  untuk panggilan ayah berubah menjadi  Bapak. Demikian pula Ina atau Umi  untuk sapaan seorang ibu berubah  menjadi mama, ibu bahkan mami yang merupakan pengaruh dari luar.

Terjadinya perubahan  sikap menghormati orang tua atau yang lebih tua ini yang berkaitan dengan panggilan atau sapaan mrupakan contoh kecil saja dan tidak berlaku secara umum di kalangan orang-orang Wolio. Walaupun demikian perubahan penggunaan istilah dalam menyebut   dan menyapa terhadap orang tua, masih dianggap dalam batas-batas  kesopanan dan belum mengganggu norma-norma adat setempat. Apalagi hal tersebut hanya terjadi pada lingkungan kerabat tertentu.

Tata krama lainnya yang juga ditemukan di daerah penelitian adalah perilaku makan dan minum.Hal-hal yang masih dipertahankan pada saat makan dan minum ini, anak-anak tidak dibenarkan makan sambil berbicara serta tidak boleh mendahului orang tua baik memulai maupun mengakhiri makan. Kalaupun anggota lainnya telah selesai makan, maka ia harus duduk ditempat menunggu orang tua selesai makan.

Pola makan masih tetap berlangsung  tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan malam. Namun terkadang dalam sebuah  keluarga inti atau batih, tidak dapat makan bersama karena adanya masing-masing kepentingan terutama pada  siang hari. Bedahalnya pada malam hari atau pagi hari biasanya masih sempat berkumpul dan makan bersama.

Kalau tradisi orang-orang Wolio pada masa lampau, ketika makan dan minum masih duduk bersila, maka pada masa sekarang  ini sudah jarang ditemukan hal yang demikian. Pada umumnya setiap rumah tangga telah memiliki kursi dan meja  makan, sehingga mereka tidak bersila melainkan duduk menghadap meja makan. Terkecuali pada hal-hal tertentu misalnya ada hajatan atau pesta dengan mengundang orang banyak, maka biasanya tamu-tamu duduk bersila.

Perilaku makan dan minum yang sampai saat ini masih didapatkan dalam sebuah keluarga, dimana ketika keluarga sedang makan dan tiba-tiba saja ada tamu atau ada anggota yang hendak keluar dari  rumah tersebut dan tidak sempat makan, maka orang tersebut mencicipi nasi sesuap kecil lalu pergi. Demikian pula tamu yang datang oleh tuan rumah langsung mempersilahkan untuk makan bersama. Biasanya untuk menolak ajakan tersebut, maka sang tamu hanya mengambil sesuap kecil nasi sembari mengucapkan terima  kasih karena telah kenyang.

Pada sejumlah keluarga tertentu apalagi ketika mengadakan pesta perjamuan disuatu gedung ataukah di pekarangan rumahnya, sewaktu acara makan dan minum berlangsung terkadang tatakrama sedikit dikesampingkan setidak-tidaknya telah mengalami pergeseran. Penghormatan terhadap orang tua untuk terlebih dahulu mengambil makanan diabaikan, bahkan ketika sedang makan sambil berbincang-bincang tentang apa saja. Hal tersebut walaupun dianggap melanggar tatakrama, namun masih dianggap biasa-biasa saja. Serta kurang memberikan perhatian terhadap orang tua atau yang dituakan, disebabkan adanya pengaruh pola kehidupan orang-orang kota serta dampak siaran televisi.

Perilaku bersalaman dalam keluarga orang-orang Wolio merupakan suatu hal yang sering dilakukan.Bersalaman ini biasa dilakukan terutama pada saat hari raya lebaran, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Bersalaman juga dilakukan pada saat seseorang keluarga baru datang atau akan pergi dalam suatu perjalanan jauh dan bersalaman juga dapat menunjukkan sebagai ucapan selamat.

Dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah keluarga inti, biasanya setiap anak terutama yang baru berusia sekolah Taman Kanak-kanak (TK) atau tingkat Sekolah Dasar (SD), diajarkan kepadanya untuk bersalaman kepada kedua orang tuanya sambil mencium tangannya, baik ketika akan berangkat maupun pulang dari sekolah. Sedang bagi anak-anak yang telah duduk di bangku tingkat Sekolah  Menegah Pertama maupun Sekolah Menegah Umum (SMU) atau SMK apalagi telah berstatus mahasiswa, untuk bersalaman kepada kedua orang tuanaya itu relatif terkecuali pada keluarga-keluarga tertentu yang pembinaan tatakrama  telah ditanamkan sejak dini.

Bersalaman dilakukan tidak hanya terbatas dalam keluarga inti saja, melainkan kepada  segenap kerabat bahkan handai taulan.  Dalam bersalaman terdapat sejumlah variasi tergantung dengan siapa yang  diajak bersalaman. Pada saat bersalaman dengan kedua orang tua biasanya dengan menggunakan dua tangan dan ada pula yang mencium kedua belah pipih sambil berpelukan.Demikian pula halnya dilakukan terhadap kakek dan nenek. Sedangkan apabila bersalaman dengan kerabat lainnya terkadang hanya menggunakan satu tangan  saja.

Meskipun orang-orang Wolio memiliki pakaian adat tradisional tersendiri, baik untuk dikenakan sehari-hari, ketika bepergian, namun pada masa sekarang  ini penggunaan pakaian tersebut sudah tidak dikenakan lagi melainkan hanya dipakai pada waktu-waktu tertentu saja.

Baju pesta adat lainnya yang sampai sekarang ini masih tetap dikenakan pada saat-saat diselenggarakan suatu pesta upacara adat tertentu, diantaranya  adalah pakaian adat kalembe yang dikenakan pada upacara posuo(gadis pingitan). Sedangkan baju yang  biasa dipakai oleh pengantin laki-laki Wolio disebut balahadada  dan busana pengantin  wanita disebut kombo.

Sebagai  pelengkap dari pakaian  yang dikenakan oleh setiap orang Wolio, maka sebagaimana layaknya manusia sekarang ini membutuhkan nilai estetika pada dirirnya. Salah satu upaya untuk mempercantik diri tentunya dengan jalan berhias atau berdandan. Dalam berdandan ini biasanya disesuaikan dengan kondisi  dimana berada. Kalau sedang berada di rumah, maka dandanannya yang biasa-biasa saja tidak terlalu mencolok.Demikian pula pada saat bepergian terutama untuk ketempat kerja, maka dandanan cukup sederhana saja. Lain halnya ketika akan menghadiri suatu pesta upacara adat perkawinan misalnya, maka terutama kaum wanita berupaya lebih tampil menarik baik dengan polesan bedak dan semacamnya, juga biasanya mengenakan perhiasan berupa kalung, gelang dan cicncin. Sementara dandanan untuk kaum laki-laki biasanya hanya sederhana saja, yang penting pantas dipandang dan rambut disisir dengan rapi.

Selanjutnya perilaku dalam berbicara merupakan sesuatu hal yang paling penting diperhatikan di kalangan orang-orang Wolio. Dalam berbicara kepada  orang tua atau lawan bicara lainnya, maka yang harus diperhatikan adalah intonasi suara. Intonasi suara datar merupakan suara normal, karena suara tersebut tidak terlalu kecil sehingga sulit untuk mendengarnya.Sedangkan kalau intonasi suara terlalu besar ketika orang berbicara dianggap kurang sopan.

Demikian pula sikap seorang anak ketika sedang berbicara dengan teman bicaranya terlebih dahulu duduk di kursi, apalagi yang ditemani itu adalah orang tua atau yang lebih tua.Seseorang tidak dibenarkan terlalu berteriak ketika sedang berbicara, sementara teman bicaranya tidak tuli. Sebaliknya orang tua walaupun bagaimana marahnya terhadap anaknya, namun ketika memberikan nasehat kepada  anaknya tetap menggunakan bahasa yang lemah lembut. Menurut salah seorang informan bahwa orang Wolio ketika memarahi anak-anaknya tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Apatah lagi menhardik di depan orang banyak.

Seperti halnya dengan tata krama berbicara, maka  dalam kenyataan sehari-hari orang Wolio senang  bertegur sapa baik terhadap  kerabatnya maupun terhadap orang lain yang tentunya terlebih dahulu telah dikenalnya.  Dalam bertegur sapa ini biasanya diawali oleh orang yang lebih muda usianya.  Namun tidak menutup kemungkinan dapat saja orang yang lebih tua usianya yang lebih dahulu menegur  kepada orang yang  lebih muda usianya.  Demikian pula seorang laki-laki yang terlebih dahulu menyapa seorang perempuan.

Dalam bertegur sapa ini biasanya diawali dengan ucapan salamAssalamuAlaikum sembari memperlihatkan sikap yang simpatik, kemudian dilanjutkan dengan berjabat tangan atau terkadang ada pula yang saling berangkulan. Hal ini biasanya terjadi manakala pertemuan dua orang kerabat atau sahabat secara tiba-tiba. Lalu dilanjutkan dengan bincang-bincang baik tentang keadaan dirinya maupun kerabat dekatnya dan lain sebagainya.

Sampai sekarang ini orang-orang Wolio sangat menghormati dan selalu menjaga perasaan tamunya, sehingga seorang tamu tidak dibatasi berapa lama ia harus berada di rumah tersebut. Terlebih lagi terhadapkerabat dekat yang datang bertamu, nampaknya tidak terlalu terikat dengan konsep ideal. Kapan dan waktu apa saja dapat bertamu, baik pagi, siang, sore maupun malam hari. Bahkan kalau memang ada keperluan yang sangat mendesak, maka pada waktu tengah malampun pintu rumah tetap terbuka bagi sang tamu.

Dalam tatakrama menerima tamu ini nampak sedikit mengalami pergeseran. Pada masa dahulu orang Wolio ketika akan bertamu atau menerima tamu, maka terlebih dahulu dilihat siapa yang datang atau ada di rumah tersebut. Apabila yang datang itu adalah seorang laki-laki, sementara yang ada di dalam rumah hanya orang  seorang perempuan maka otomatis tidak dibukakan pintu. Demikian pula sebaliknya dan terkecuali yang datang bertamu itu adalah kerabat dekatnya, maka akan dibukakan pintu. Namun sekarang ini sudah tidak demikian lagi, akan tertapi semua tamu yang datang terutama yang telah dikenal dipersilahkan masuk kedalam ruangan tamu dan dijamu serta mendapat pelayanan simpatik dari tuan rumah.

Perilaku Tata Krama di Luar Lingkungan Kerabat

Perilaku tatakrama dalam kehidupan sehari-hari di luar kerabat masyarakat  suku bangsa Wolio, nampak berlaku agak sedikit longgar dan bersifat umum, bila dibandingkan dengan tatakrama yang diterapkan pada masa lalu. Kalau dalam kerabat tatakrama menghormat kepada  orang tua atau yang lebih tua itu, harus bersikap sopan dan ketika memanggil bukanlah namanya langsung, melainkan dengan sapaan atau panggilan sesuai dengan istilah-istilah setempat.

Aturan tatakrama yang berlaku dalam kerabat itu, biasanya dapat pula tertular kepada  orang yang berada di luar kerabatnya. Hal tersebut merupakan suatu kebiasaan dalam rumah tangganya (keluarga).Lain halnya dengan keluarga yang didalamnya kurang memahami tentang tatakrama terutama dalam menhormati orang tua atau yang lebih tua, sehingga bila seorang anak bertemu dengan orang tua apatah lagi di luar kerabatnya maka tidak terjadi respon. Sebaliknya, akan tetapi orang Wolio tetap berlaku santun terhadap orang-orang di luar kerabatnya.

Demikian pula pada saat berada  di tempat pelayanan umum, terkadang masih terdapat pula orang muda memberikan pertolongan terhadap yang tua kendatipun bukan kerabatnya. Namun ada juga yang membiarkan dan tidak memberikan kesempatan pertama kepada  orang yang lebih tua, misalnya dalam mengurus sesuatu hal. Bahkan dalam kendaraan umum terkadang membiarkan orang yang lebih tua berdiri, sementara sang anak muda duduk tanpa menghiraukan orang yang ada disampingnya. Lain halnya terhadap orang yang telah dikenalnya maka biasanya cepat mendapatkan bantuan dari orang yang lebih muda usianya.Penghormatan terhadap orang tua atau yang dituakan di luar kerabat, sifatnya relatif tergantung tatakrama penghormatan yang biasa dilakukan di lingkungan kerabat sendiri.

Demikian juga haalnya dengan perilaku tatakrama pada saat makan dan minum di luar lingkungan kerabat, tak ubahnya sama dengan ketika makan dan minum bersama keluarga atau kerabat dekat lainnya. Ketika makanan telah disiapkan walaupun orang yang di luar kerabat itu, usianya masih sangat muda maka ia lebih didahulukan untuk mencicipi makanan tersebut. Pada saat tamu (diluar kerabat) masih sedang makan, tuan rumah tidak boleh berhenti terlebih dahulu melainkan nanti setelah selesai tamu makan. Pada saat sedang makan bisa pula diselingi dengan percakapan –percakapan ringan.Beda halnya makan dan minum di tempat umum misalnya di restoran, biasanya tatakrama dikesampingkan namun masih dalam batas-batas normal.Karena biasanya di tempat umum seperti itu merupakan tempat pertemuan orang-orang banyak dari segala lapisan masyarakat.

Orang Wolio dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat dalam menjalankan ajaran agamanya, sehingga bersalaman terhadap sesama kerabatnya maupun di luar kerabatnya bukanlah merupakan suatu hal yang baru.Bersalam dan bersalaman mempunyai perbedaan namun memiliki hubungan. Bersalam yaitu mengucapkan salamAssalamu Alaikum sedangkan bersalaman yakni melakukan jabatan tangan antara dua orang. Hubungan keduanya yaitu sebelum bersalaman atau berjabat tangan, maka biasanya terlebih dahulu dengan mengucapkan salam.

Bersalaman dengan orang diluar kerabat dapat juga dilakukan kapan saja pada saat bertamu.Paling sering dilakukan bersalaman dengan orang diluar kerabat sewaktu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha serta terutama pada acara kegiatan shalat Jum’at.Dapat pula pada acara resepsi atau perjamuan suatu pesta perkawinan dan sebagainya. Tata cara bersalaman dengan orang lain yang bukan kerabat biasanya hanya menggunakan satu tangan saja. Lain halnya ketika berjabat tangan dengan seorang ulama, kiyai, ustadz  atau orang-orang terhormat biasanya menggunakan  dua tangan sambil mencium telapak tangan orang-orang yang dihormati itu. Berjabat tangan dengan lain jenis kelamin bukan lagi masalah selama orang tersebut telah dikenal terlebih dahulu. Beda halnya pada masa lampau berjabat tangan dengan lain jenis tidak diperbolehkan.

Berpakaian dan berdandan pada masa sekarang ini sudah merupakan kebutuhan semua orang.Pakaian diperlukan untuk melindungi diri baik dari teriknya panas matahari juga cuaca dingin.Disamping pakaian sebagai salah satu bagian untuk mempercantik diri, juga dapat menunjukkan identitas suatu suku bangsa.Tentunya yang dimaksudkan itu adalah pakaian adat setempat.Dalam berpakaian dan berdandan antara orang di lingkungan kerabat tidak terlalu jauh perbedaanya.Bahkan banyak ditemukan persamaannya.Berpakaian dan berdandan itu sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.Misalnya pakaian yang dikenakan ketika berada di rumah, biasanya hanya memakai kaos atau kemeja dengan bercelana panjang atau pendek, bahkan terkadang untuk laki-laki remaja tidak memakai baju.Sedangkan remaja puteri dan dewasa biasa pula hanya mengenakan baju daster atau pakaian yang dapat menutup aurat.Pada waktu bepergian umumnya mereka mengenakan pakaian yang praktis, seperti baju kaos dan celana jeans atau kain baik anak remaja laki-laki maupun perempuan.Perbedaan yang nampak dalam berpakaian dan berdandan ini, ketika berada di tempat pesta upacara adat.

Ketika berbicara dengan orang di luar kerabat pada dasarnya tidak jauh beda dengan orang di lingkungan kerabat sendiri. Beberapa hal yang biasa menjadi perhatian pada saat berbicara antara lain intonasi suara, sikap berbicara dan adat sopan santun berbicara. Intonasi suara pada saat sedang berbicara jangan terlalu  kecil  namun juga tidak boleh terlalu besar, akan tetapi dapat didengarkan dengan baik oleh teman bicara. Berbicara dengan orang orang yang lebih tua atau juga yang lebih muda diluar lingkungan kerabat, biasa dengan mengambil sikap duduk. Kecuali teman bicara itu  berdiri maka harus ikut pula berdiri. Berbicara dalam bentuk kelakar biasa pula ditemukan pada anak-anak remaja di pos-pos ronda atau dipinggir-pinggir jalan. Demikian pula saat memberikan nasehat kepada seseorang biasa dengan menggunakan bahasa kias dan bahasa adat setempat dengan penuh lemah lembut. Dalam memberikan nasehat itu tidak boleh ada kesan merendahkan lawan bicaranya, apatah lagi berbicara keras dan kasar. Oleh Karen itu orang Wolio pada saat  akan berbicara, maka terlebih dahulu harus mengetahui siapa  teman bicaranya, apakah dari kalangan orang tua atau yang lebih tua, sebaya atau lebih muda bahkan anak-anak sekalipun. Sehingga dalam berbicara itu dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Seperti halnya dengan perilaku tatakrama berbicara, maka dalam tatakrama bertegur sapa dengan orang di luar lingkungan kerabatnya pada prinsipnya   hampir  sama ketika berada di lingkungan kerabatnya. Kalau ada perbedaan hanya terletak pada masalah istilah saja dalam menyapa atau memanggil.Sedangkan persamaan yang banyak ditemukan pada saat menyapa atau memanggil. Sedangkan persamaan yang banyak ditemukan pada saat menyapa Kepada orang lain yang bukan kerabat, biasanya terlebih dahulu mengucapkan salamAssalamu Alikum dan biasa pula ditambah dengan ucapan Warahmatullahi Wabarakatuh. Kemudian  terkadang pula berjabat tangan sambil berbincang-bincang menanyakan keberadaan kedua belah pihak. Beda halnya bila terjadi pertemuan, antara anak remaja baik laki-laki maupun perempuan, biasanya mereka langsung saja menegur temannya tanpa didahului ucapan salam apalagi berjabat tangan. Namun hal tersebut cukup dimaklumi oleh kalangan orang-orang tua. Waktu bertegur sapa ini sifatnya tiba-tiba tanpa diketahui terlebih dahulu dan kapan dimana saja  dapat dilakukan.

Orang-orang Wolio dalam menerima dan menyambut tamu yang nota bene di luar lingkungan kerabatnya selalu bersifat terbuka.Kunjungan  tamu-tamu tidak dibatasi  waktunya. Waktu bertamu dapat dilakukan pada pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari.  Bagi tamu yang datang apalagi bukan termasuk anggota kerabat dekat, maka tetap diperlakukan sama dengan kerabat lainnya. Bahkan tamu yang baru dikenal sekalipun tetap disambut dengan penuh perhatian. Walaupun pada masa lalu bertamu di rumah orang yang tuan rumah laki-lakinya sedang tidak berada di rumah, dianggap hal yang tidak wajar, namun sekarang aturan tersebut sedikit bergeser. Sekarang ini baik laki-laki maupun wanita dapat saja bertamu di rumah orang yang belainan jenis kelamin, asalkan saja tetap bersikap sopan terhadap tuan rumah. Akan tetapi seorang remaja puteri akan dinilai kurang etis apabila datang bertamu seorang diri ke rumah teman laki-lakinya, kecuali karena ada keperluan atau kebutuhan yang sangat mendesak.

 

PENUTUP

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian berkaitan dengan tatakrama, yang berlaku dalam kehidupan masyarakat suku bangsa Wolio di Kota bau-bau, setelah mengamati bagaimana tatakrama menghormati orang tua atau yang lebih tua, makan dan minum, bersalaman, berpakaian dan berdandan, berbicara, bertegur sapa  dan  bertamu. Maka untuk mengetahui sejauhmana perkembangan dan perubahan yang telah terjadi  selama ini dapat ditarik kesimpulan seperti berikut ini.

  1. Wolio merupakan salah satu etnis suku bangsa yang ada di Sulawesi Tenggara, dimana masyarakatnya adalah mayoritas beragama Islam yang senantiasa taat menjalankan perintah-Nya. Disamping itu Wolio juga dikenal sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Islam yang di tandai para pemimpinnya dengan gelar Sultan pada waktu itu.
  2. Kebiasaan tradisional masyarakat orang-orang Wolio yang berkaitan dengan tata krama yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, selain bersumber dari adat istiadat para leluhur juga dipadukan dengan ajaran agama Islam. Salah satu sumber tatakrama orang Wolio berasal dari Murtabat Tujuh, dalam bahasa Wolionya disebut Kangkata, terdiri atas tutur kata, jabatan, harta kekayaan, perangai yang disebut pula mingku dan kakaro uncura.
  3. Dimasa lalu terutama dikalangan orang-orang Wolio mengenal istilah Sio Limbona. Sio Limbona  adalah lembaga yang berhak menilai dan mengawasi setiap perilaku orang Wolio, bahkan Sultan sekalipun. Sio Limbona memberikan penilaian yang meliputi buagana sarana Wolio, yaitu catatan-catatan khusus untuk orang-orang terpuji dan mata lapuna sarana Wolio, yakni perbuatan seseorang yang tidak senonoh. Sio Limbona dengan mengatasnamakan Sarana Wolio sangat bertanggungjawab dan memberikan nasehat kepada mereka yang telah melanggar norma-norma adat setempat.
  4. Tatakrama dalam lingkungan kerabat orang Wolio masih diwarnai dengan latar belakang adat istiadat dan ajaran agama (Islam). Orang tua dianggap sangat besar jasanya dalam membimbing anak-anaknya, sehingga ia wajib untuk dihormati tanpa terkecuali. Dalam menyebut atau memanggil orang tua atau yang lebih tua tidak boleh namanya langsung, melainkan dengan sapaan atau gelar yang bersangkutan. Demikian juga ketika makan dan minum tidak boleh mendahului orang tua, baik memulai maupun selesai serta pada saat makan tidak boleh berbicara. Bersalaman senantiasa dilakukan pada saat bertemu baik kerabat maupun kenalan atau sahabat bila berjumpa dimana saja. Orang Wolio pada masa lalu mempunyai jenis pakaian adat, baik yang dikenakan untuk sehari-hari di rumah, pakaian kerja, pakaian bepergian, pakaian upacara adat dan keagamaan, dan lain sebagainya. Pulu mokana merupakan sebuah istilah dalam sikap berbicara kepada  orang lain.Pulumokana  ini berarti ucapan yang benar dan kebalikan dari Pulu mosala  yakni ucapan atau tutur  yang salah dan menyimpang dari nilai-nilai etika. Seperti halnya dengan bersalaman maka bertegur sapa pun sering dilakukan baik ketika berada di rumah maupun di tempat-tempat umum terutama orang yang telah dikenal terlebih dahulu. pada masa lalu orang laki-laki tidak dibenarkan datang bertamu dirumah  yang tuan rumahnya tidak ada laki-laki. Demikian pula sebaliknya sangat dianggap tabu seorang wanita datang berkunjung ke rumah laki-laki yang bukan kerabatnya.
  5. Seiring dengan perkembangan zaman, seperti dengan kenyataannya yang sekarang ini dihadapi maka perilaku tatakrama dalam kahidupan sehari-hari, sedikit mengalami perubahan namun masih dalam batas-batas toleransi kesopanan sesuai dengan norma-norma dan adat istiadat Hal tersebut berlaku baik dalam lingkungan kerabat maupun di luar lingkungan kerabat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi et.al, 1989 : Tata Krama di daerah Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Hendarso, E.E. 2005. Penelitian Kualitatif; Sebauah Pengantar, dalam Bagong & Sutinah (ed). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Prenada Sosial

Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Moleong, L.J. 1994. Metodologi Penelitian Kuaitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Narboku, C. Dan A. Achmad.1991. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bima Aksara.

Suparlan. Parsudi, 1981. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan dalam, Majalah Ilmu-ilmu Sosial Sastera Indonesia. Jilid IX No.2 dan 3

Suseno, F.M. 1984. Etika Jawa : Sebuah Analisis Filosofis Tentang Kebijaksanaan Hidup. Jakarta: Gramedia.

Yunus, Abd. Rahim,  1995 :  Posisi Tasauf Dalam Sistem   Kekuasaan   Di KesultananButon Pada Abad KE 19, Seri INIS XXIV, Jakarta