You are currently viewing Pemikiran Maccae Ri Luwu Pada Sistem Kepemimpinan Tradisional di Luwu
gsgdrhdfbdfhdfhd

Pemikiran Maccae Ri Luwu Pada Sistem Kepemimpinan Tradisional di Luwu

PEMIKIRAN MACCAE RI LUWU PADA

SISTEM KEPEMIMPINAN  TRADISIONAL  DI  LUWU

 

Iriani

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Jalan Sultan Alauddin/ talasalapang  km 7 Makassar, 90221

Telepon (0411) 885119,883748,Fsksimile (0411) 865116

iriani_96@yahoo.com

 

 

 

Abstrak

 

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem kepemimpinan tradisional di Luwu yang menerapkan pemikiran-pemikiran Maccae ri Luwu. Adapun proses pengumpulan data digunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara, observasi dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada masa pemerintahan Kerajaan Luwu, raja sebagai pemimpin tradisional dikenal dengan nama pajung, didalam menjalankan sistem pemerintahannya, ia selalu bertanya kepada orang pandai yang dikenal dengan Maccae ri Luwu. Ada beberapa pemikiran Maccae ri Luwu yang sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin atau raja, yakni mempunyai hati yang bersih (ati macinnong), yang melingkupi lempuk, ada tongeng,  dan getteng. Selain itu di dalam pemikiran Maccae ri Luwu, juga sangat menganjurkan adanya persatuan dan tegaknya supremasi hukum. Pemikiran-pemikiran Maccae ri Luwu tersebut bukan saja bisa diterapkan pada masa dahulu, namun juga masih bisa diterapkan pada kondisi saat ini. Nilai-nilai yang ada dalam pemikiran Maccae ri Luwu masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.

 

Kata Kunci: kepimpinan tradisional, Maccae ri Luwu, pajung

 

 

  1. PENDAHULUAN

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 dinyatakan, bahwa “…untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….”

Cita-cita negara yang tertera dalam pembukaan Undang-Undang dasar 1945 tersebut di atas masih belum terlaksana. Masyarakat masih merasakan adanya kesenjangan. Oleh karena itu menurut Tirto (2012:3) ada semacam ruang kosong  yang semakin luas membentang antara “negara” dan “warganegara”. Janji kemerdekaan dan konstitusi bahwa negara akan mengurus warganya terbukti jauh dari apa yang diniatkan. Negara terbukti merupakan arena pertarungan antara elit politik yang masing-masing pihak selalu mengatasnamakan rakyat. Jatuh bangunnya pemerintahan sejak awal kemerdekaan, hingga hari ini, memperlihatkan bahwa hubungan antara negara dan warganegara, tidak pernah berlangsung dengan aman, stabil dan berkelanjutan.

Oleh karena itu maka kondisi demikian memunculkan apa yang disebut ketidaksabilan struktural, yakni akibat tidak terdistribusinya akses terhadap kekuasaan bagi warga negara secara merata. Tidak terbuktinya janji konstitusi yang mengandaikan bahwa pemimpin negara akan memikirkan nasib warga negaranya, disatu sisi, dan si sisi lain, terakumulasi akses terhadap kekuasaan hanya pada elit politik dan pemilik modal, merupakan suatu ketidakadilan yang bersifat struktural (Tirto, 2012: 5).

Kegagalan negara (pemerintah) untuk membangun sebuah masyarakat yang didasari pada kesetaraan, kebersamaan, senasib dan sepenanggungan juga mendorong terjadinya konflik di berbagai daerah. Masyarakat mencoba mencari alternatif lain untuk keluar dari permasahan yang di hadapi dan dirasakan. Modernisme/modernisasi ataupun globalisasi dengan semangat postmodernismenya tidak mampu memecahkan semua persoalan kemanusiaan. Oleh karena itu yang lokal/sub nasional bangkit untuk menawarkan alternatif bagi kehidupan politik, sosial, budaya dan ekonomi dalam masyarakat. Dalam hal ini masih banyak kearifan lokal yang dimiliki oleh sub etnis yang bisa dijadikan model dalam sistem politik, di Sulawesi Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya. Misalnya saja sistem kepemimpinan tradisional di Sulawesi Selatan sangat kaya dengan nilai-nilai kepemimpinan yang masih bisa diterapkan pada saat ini. Seperti halnya nilai-nilai pemikiran para to acca atau orang pintar. Seperti halnya Pemikiran La Mellong Kajaolaliddo di Kerajaan Bone dan Pemikiran Maccae ri Luwu di Kerajaan Luwu dan Soppeng.

Luwu sebagai sebuah kerajaan besar dan pertama di Sulawesi Selatan serat dengan nilai-nilai yang tidak kalah dengan sistem kepemimpinan modern. Seperti sistem kepemimpinan Kedatuan Luwu yang mana menerapkan pemikiran-pemikiran orang terdahulu seperti Maccae ri Luwu. Namun saat ini paham modernism telah mengalahkan nilai-nilai budaya nasional dan budaya lokal. Kebersamaan dalam sistem kepemimpinan tradisional/datu sudah terpinggirkan dan dianggap ketinggalan zaman, padahal sangat kaya akan kandungan makna, pesan-pesan kemanusiaan dan nilai-nilai budaya yang masih relevan dengan kondisi saat ini untuk menjaga keharmonisan hidup manusia.

Era pos-modernisme telah menyadarkan manusia tentang pentingnya hal-hal yang bersifat non-material sebagai kebutuhan yang sangat mendasar lebih dari kebutuhan materi. Dalam perspektif ini, pemikiran-pemikiran dalam sistem kepemimpinan tradisional di Luwu  sebagai salah satu warisan budaya Bugis yang kaya dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran dalam kehidupan manusia, khususnya manusia Bugis, dapat menjadi salah satu alternatif yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia di tengah-tengah kekeringan dan kehausan manusia terhadap eksistensi manusia di muka bumi sebagai khalifah. Oleh sebab itu, perlu direaktualisasi, di-refungsionalisasi, dan direinterpretasi serta diikuti dengan upaya pelestarian yang berkelanjutan.

Berkaitan dengan fenomena tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah, bagaimana sistem kepemimpinan Kedatuan Luwu pada masa lampau? Kemudian kedua adalah nilai-nilai apa yang mendasari sistem kepemimpinan tersebut pada masa dahulu, sehingga ia mampu menjadi suatu kerajaan terbesar di Sulawesi Selatan dan bisa dikaitkan dengan kondisi saat ini?

 

  1. METODOLOGI

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan diakronik. Pengumpulan data melalui wawancara kepada beberapa informan, diantaranya adalah Datu Luwu yang ada saat ini dan beberapa perangkat adat pada istana Kedatuan Luwu. Disamping itu data wawancara didukung dengan melakukan observasi dan studi pustaka/studi dokumentasi, yakni membaca tulisan-tulisan terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian ini, yang dilakukan mulai dari awal pengumpulan data hingga penulisan berlangsung.

 

  1. PEMBAHASAN

1, Gambaran Umum Lokasi

Kota Palopo dulunya merupakan ibu Kota kabupaten Luwu, namun setelah dimekarkan menjadi empat kabupaten, yakni Luwu, Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur, maka saat ini Kota Palopo berdiri sendiri. Kota Palopo selain berdiri sendiri, juga merupakan bekas Kedatuan Luwu yang dibuktikan dengan adanya bekas istana bangunan Belanda dan masjid tua yang dikenal dengan Masjid Jami’.

Pada awal terbentuknya Kota Palopo sebagai daerah otonom, maka secara administrasi pemerintahan, kota Palopo memiliki 4 (empat) wilayah kecamatan dan 19 kelurahan, serta 9 desa. Seiring perkembangan jumlah penduduk, maka pada tahun 2006 hingga saat ini, wilayah Kecamatan Kota Palopo dimekarkan menjadi 9 kecamatan dan 48 kelurahan.

Jumlah penduduk Kota Palopo sekitar 147.932 jiwa, yang terdiri atas 72.520 jiwa laki-laki dan 75.412 perempuan. Tiga kecamatan mempunyai penduduk yang paling banyak, diantaranya Kecamatan Wara, Kecamatan Wara Timur, Kecamatan Wara Utara.

Berdasarkan keyakinan, penduduk Kota Palopo beragama Islam. Sekitar 85% dari jumlah penduduk Kota Palopo. Masyarakat Luwu telah memeluk Islam sejak zaman kerajaan yang dibuktikan dengan hadirnya masjid tua (Jami’) di tengah Kota Palopo. Dari segi etnis, masyarakat Kota Palopo sangat heterogen yang terdiri atas beberapa etnis dan sub etnis, diantaranya adalah Bugis, Toraja dan sub etnis Rongkong.

Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari terdiri atas bahasa Bugis (Ware) dan bahasa Tae (termasuk di dalamnya bahasa Rongkong dan Toraja). Bagi anak muda menggunakan bahasa Indonesia berdialek Palopo.

  1. Sekilas tentang Sejarah Kedatuan Luwu

Secara historis Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, bahkan dipandang sebagai asal-usul raja-raja di Sulawesi Selatan (Abidin, 1999: 103). Hal ini dibuktikan dengan adanya penghargaan terhadap kaum bangsawan Luwu. Disamping itu hadirnya artefak berupa istana yang merupakan realita kekinian Kerajaan Luwu yang berada tepat di sentral Kota Palopo. Bahkan Kern dalam Abidin (1999:103) menyatakan, bahwa Kedatuan Luwu merupakan kerajaan maritim terbesar yang sering mengirimkan  anak-anak bangsawannya untuk pergi berlayar sampai ke negeri asing.

Kedatuan Luwu dipimpin oleh seorang raja yang disebut (address of reference) pajung. Kemudiam pajung dipanggil datu.  Di dalam menjalankan sistem pemerintahannya pajung dibantu oleh beberapa pejabat kerajaan yang disebut dengan pakkatenni ade yang terdiri atas: Opu Patunru, Opu Cenning, Opu Pabicara, Opu Temmarilaleng, dan Opu Balirante.

Pada masa Pemerintahan Kedatuan Luwu, wilayah kekuasaannya sangat luas, sehingga secara garis besar wilayah kekuasaan Kedatuan Luwu dibagi atas 3  yang masing-masing dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut dengan Ma’dika Ponrang, Ma’dika Bua, dan Makole Baebunta. Mereka merupakan perpanjangan tangan dari pajung dalam menjalankan pemerintahannya di daerah-daerah. Ketiga pemimpin tersebut dikenal dengan istilah ade telluE.

Untuk lebih jelasnya struktur pemerintahan Kerajaan Luwu pada masa dahulu dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Struktur Pemerintahan

Kerajaan Luwu

DATU/PAJUNG
KADI
Pakkatenni Ade

 

 

 

 

 

 

 

Bendera Tellue
Anak Tellue
Bete-Bete Tellu

 

Berdasarkan struktur di atas, pajung dalam menjalankan pemerintahannya di dalam istana dibantu oleh pakkatenni (Opu Patunru, Opu Pabbicara, Opu Tomarilaleng, dan Opu Balirante). Dalam pemungutan suara, keempat jabatan orang tersebut dianggap satu suara, karena keempat jabatan tersebut dianggap satu kesatuan dalam suatu sistem pemerintahan Kedatuan Luwu. Mereka tidak bisa terpecah dalam bersuara. Hal ini menunjukkan, bahwa jauh sebelumnya sistem kepemimpinan lokal, khususnya di Luwu sudah mengenal nilai-nilai demokrasi yang semestinya sampai saat ini dapat diterapkan dan tidak harus mencontoh sistem demokrasi dari negara barat, sebab kita telah memiliki modal politik yang sesuai dengan budaya masyarakat pendukungnya.

Secara keseluruhan sistem pemerintahan Kedatuan Luwu dikenal dengan ade seppulo dua, yaitu satu suara datu, 1 suara pakkatenni ade, 1 suara kadi dan 9 suara ade asera. Kemudian diasosiasikan dalam budaya Luwu, bahwa angka yang paling tertinggi adalah 12 (seppulo duo) dianggap sebagai angka yang paling sempurna.

Ade asera terdiri atas 9 (Sembilan) jabatan dan orang, yang masing-masing dibagi tiga, yakni (1) bête-bete tellu terdiri atas Matowa Wage, Matowa Cendrana, Matowa Lalantonra, (2) Anak Tellue yang terdiri atas; Makole Baebunta, Madika buah, Maddika Ponrang, (3) Bendera Tellu terdiri atas: goncingnge, macangnge, kamummue (Iriani,2011: 15)

Kadi merupakan perangkat agama yang membawahi Khatib dan Bilal, dia bertugas mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan agama Islam. Kehadiran Kadi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Luwu menunjukkan, bahwa Islam pada masa itu merupakan spirit Kedatuan Luwu, bahkan segala mekanisme yang dijalankan di Kerajaan Luwu pada saat itu tidak terlepas dari kontrol ajaran Islam.  Tugas dari ade seppulo dua adalah sebagai pengambil keputusan dalam pemerintahan Kerajaan Luwu pada masa lampau. Masing-masing perangkat adat tersebut memiliki satu hak suara, termasuk raja (pajung), serta pakkateni ade memiliki satu suara, walaupun diwakili oleh empat orang (Pangerang, 2011: 21).

 

  1. Konsep Pemimpin (raja) dalam Pemerintahan Tradisional di Kedatuan Luwu

Menurut Setiadi (2011: 280) kepemimpinan merupakan kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain, yaitu yang dipimpinnya, sehingga orang yang dipimpinnya bertingkah laku sesuai yang dikehendaki oleh pemimpinnya. Kemudian sistem kepemimpinan ada dua macam ada yang resmi dan ada yang tidak resmi. Kepemimpinan resmi selalu tersimpul dengan jabatan, sementara kepemimpinan tidak resmi didasarkan pada pengakuan dan kepercayaan masyarakat.

Apabila disimak kedua sistem kepemimpinan yang diuraikan di atas, maka sistem kepemimpinan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sistem kepemimpinan tidak resmi. Raja atau pajung memimpin berdasarkan kepercayaan masyarakat, yang sangat terkait dengan istilah To Manurung. Bahkan Errington (dalam Gibson, 2009:223) menyatakan bahwa jabatan pada masa Kerajaan Luwu di turunkan ke kandidat berdarah paling murni.

Pemimpin atau raja dalam masyarakat Bugis, seperti di Kedatuan Luwu selalu dikaitkan dengan adanya mitos To Manurung, yaitu orang yang turun dari langit. Sehingga pajung atau datu dianggap sebagai dewa yang turun dari kayangan yang diutus oleh Tuhan untuk memerintah di muka bumi.

Dengan demikian maka keberadaan pajung atau pemimpin sangat terkait dengan adanya To Manurung, dianggap memiliki sifat-sifat yang sempurna. Pemimpin tersebut dianggap mampu menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi dalam masyarakat dan dianggap mampu mempersatukan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Setiadi (2011: 779) bahwa munculnya seorang pemimpin biasanya bersamaan dengan keadaan kelompok yang sedang mengalami kesulitan menentukan langkah-langkah yang diambil untuk menyelesaikan kesulitan . Dalam keadaan demikian maka muncullah sesorang yang memiliki kemampuan yang menonjol yang diharapkan mampu menghadapi kesulitan yang ada. Dengan demikian muncullah seorang pemimpin hasil proses yang dinamis sesuai kebutuhan kelompok.

Secara etimologi “To Manurung” berasal dari kata to yang berarti orang dan kata Manurung berarti turun. Jadi To Manurung secara harafiah berarti orang yang datang dari luar, dari tempat yang tinggi. Oleh karena itu raja atau pajung pada Kedatuan Luwu dianggap sebagai pemimpin yang sempurna yang mampu menguasai semua aspek-aspek kepemimpinan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Terkait dengan pajung yang dianggap sebagai seorang pemimpin yang harus bisa mensejahterakan masyarakatnya dan harus bisa menjadi seorang pajung atau raja yang tangguh yang bisa menjadi pelindung dan pengayom, masyarakat. Maka dari itu dalam proses pengangkatan pajung diwajibkan melewati proses pengujian sebelum dilantik menjadi pajung[1].

Adapun proses sebelum dilantik menjadi pajung, yaitu seorang datu harus tinggal di atas panggung kecil yang tinggi tanpa atap, selama sembilan hari sembilan malam. Selama berada di panggung kecil itu, calon pajung hanya diberi minuman sedikit dan tidak diberi bantal. Hal ini bertujuan agar seorang raja/pajung bisa merasakan penderitaan rakyat yang kekurangan makanan dan tinggal dalam rumah yang sempit tanpa atap. Setelah lulus ujian, maka seorang pajung diwajibkan belajar hukum adat dan sistem kepemimpinan, serta etika.

Proses pengangkatan seorang pajung atau raja pada Kedatuan Luwu memperlihatkan bahwa seorang pemimpin harus bisa merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Bukan sekedar raja yang bisa berkuasa dan semena-mena terhadap rakyat. Oleh karena itu pajung dimaknai sebagai payung yang bisa dijadikan sebagai tempat berlindung.

Hal ini juga disebutkan dalam naskah I La Galigo, bahwa Sawerigading sebelum menjadi pajung di Kedatuan Luwu dianjurkan untuk pergi mengembara untuk belajar teknologi serta pola-pola kepemimpinan semua raja-raja yang ada di muka bumi ini. Dengan harapan seorang pajung harus bisa menguasai aspek kepemimpinan, yang dalam ungkapan bahasa Bugis disebut nalliburi sulapa eppa’e, artinya segala segi kehidupan harus dikuasai oleh seorang pajung atau pemimpin.

Selain itu seorang pajung dalam sistem kedatuan Luwu harus maddara takku (berdarah putih). Yakni seorang bangsawan murni yang dimaknai sebagai seorang yang memiliki hati yang suci dan murni, bebas dari godaan materi yang bersifat duniawi.

Selain itu, pada sistem kepemimpinan Kedatuan Luwu, dianggap bahwa pajung atau raja yang memiliki hati yang bersih dan batin yang bersih, maka ia mampu mengendalikan diri. Seorang pajung atau raja harus mampu mempersatukan semua aspirasi yang ada dalam masyarakat, yakni mempersatukan aspirasi dari atas dan dari bawah. Hal ini tertuang dalam ungkapan Bugis, bahwa massorong pawo mangngelle wae pasang artinya mengalir dari atas seperti air sungai dan berkembang dari bawah seperti air pasang.

Demikian sekilas tentang sifat ideal seorang pemimpin dalam sistem kepemimpinan Kedatuan Luwu yang menjadikan To Manurung sebagai simbol budaya politik pada sistem kepemimpinan tradisional Luwu. Oleh karena itu segala yang menyangkut tata kelakuan  yang dilakukan oleh Sawerigading diusahakan menjadi pola tata kelakuan bagi orang Luwu.

 

  1. Pemikiran Maccae ri Luwu dalam sistem Pemerintahan Tradisional Luwu

Di dalam menjalankan sistem pemerintahannya, seorang pajung atau raja mengalami perubahan, yakni sorang pajung atau raja biasanya mengalami pertambahan sifat-sifat To Manurungnya, oleh karena itu dievaluasi oleh seorang boto atau lebih dikenal dengan Maccae ri Luwu. Apabila seorang raja tidak mendengar atau menghiraukan wejangan seorang boto, maka dia dianggap kehilangan sifat To Manurungnya, dengan demikian seorang raja kehilangan legitimasi politiknya sebagai seorang raja  dan dewan adat akan memaksa seorang raja meletakkan jabatannya dengan istilah ri sorong rakko lopinna artinya perahunya didorong turun ke laut dalam keadaan air pasang surut (Pangerang, 2000: 70).

Boto merupakan orang yang berada di luar istana dan tidak terikat dengan struktur yang ada di istana, namun pemikiran-pemikirannya melampaui ruang dan waktu, serta sangat obyektif. Oleh karena itu seorang boto menjadi panutan di dalam masyarakat juga sebagai tempat bertanya oleh  masyarakat dan juga raja atau pajung. Seperti halnya boto yang dijadikan sebagai tempat bertanya oleh banyak orang termasuk raja atau pajung yang bernama To Ciung Maccae ri Luwu. Kemudian lebih dikenal dengan Maccae ri Luwu  Pemikiran-pemikiran Maccae ri Luwu lah  diikuti oleh Datu Luwu di dalam menjalankan pemerintahannya (Rahman, 2000:69).

Oleh karena itu segala yang menyangkut tata kelakuan  yang dilakukan oleh Sawerigading diusahakan menjadi pola tata kelakuan bagi orang Luwu. Sebagai pajung Tanah Luwu, maka ia tidak akan mengambil apa-apa dari rakyatnya, kecuali yang diberikan untuk keperluan Tanah Luwu. Menurut keterangan dari beberapa informan, bahwa pada masa dahulu, ketika pajung atau datu selesai menjadi pajung atau selesai tugas kedatuannya atau berakhir masa kedatuannya, tidak pernah memiliki harta melebihi hartanya sebelum ia menjabat sebagai pajung atau datu, maka ia dianggap sebagai pajung atau datu yang mampu mempertahankan kemuliaan tanah Luwu.

Menurut Ibrahim (2002:34) ada beberapa pemikiran-pemikiran yang di jalankan oleh Raja Luwu di dalam menjalankan pemerintahannya, sehingga Kerajaan Luwu pada zaman dahulu menjadi sutu kerajaan yang sangat besar dan berjaya. Adapun pemikiran-pemikiran Maccae ri Luwu dapat dilihat pada penjelasan berikut ini:

 

Hati nurani

Maccae ri Luwu menekankan, bahwa hati yang bersih yang dimiliki oleh seorang raja (datu), para bangsawan, pemangku adat dan seluruh masyarakat akan berhubungan sangat erat dengan perilakunya. Oleh karena itu mereka harus memiliki hati yang bening (ati macinnong). Hati nurani yang berada dalam diri manusia merupakan hakekat manusia yang sebenarnya, mata telinga, hidung dan anggota-anggota tubuh lainnya hanyalah menumpang dalam diri manusia. Hati lah yang menggerakkan seluruh anggota tubuh manusia (Ibrahim,2002:36). Oleh karena itu maka segala sesuatu yang ingin dilakukan oleh manusia selalu berdialog dengan hati. Demikian halnya dengan seorang raja dan penegak hukum sebelum memutuskan sesuatu harus mendengar hati nurani.

Terkait dengan hati yang bersih ati macinnong maka pada dasarnya pemikiran Maccae ri Luwu menekankan nilai-nilai, ada tongeng, lempuk, dan getteng. Adapun yang dimaksud dengan ada tongeng artinya perkataan yang benar. Antara perkataan dan perbuatan selalu sama. Ada tongeng harus dimiliki oleh seorang pemimpin pada zaman itu.

Ada tongeng merupakan perkataan yang baik dan benar, dalam hal ini seorang raja harus memilki nilai tersebut, sehingga apa bila ia berkata, maka kata-katanya adalah benar dan selalu terkait dengan hati yang bersih. Antara kata dan perbuatan selalu sama atau dikenal dengan taro ada taro gau.

Kemudian nilai lempuk merupakan nilai kejujuran atau dalam bahasa Indonesia berarti lurus, tidak bengkok. Orang yang lurus sangat diperlukan dalam memimpin suatu negara atau masyarakat. Nilai inilah yang dimiliki oleh seorang raja/pajung pada masa Kedatuan Luwu, sehingga masyarakatnya aman dan makmur.

Lempuk merupakan kejujuran, sangat penting dimiliki oleh pemimpin pada saat ini, sebab nilai lempuk sangat jarang dimiliki oleh pemimpin saat ini. Padahal kejujuran adalah kunci dari segala perbuatan manusia. Apabila seorang pemimpin memiliki sifat jujur, maka masyarakatnya akan sejahterah, sebab segala kebijakan-kebijakan yang dibuat didasari dengan kejujuran.

Getteng adalah sifat tegas dari seseorang, dalam hal ini tidak mudah terpengaruh dan goyah, tetap pada pendiriannya atau bersifat konsisten. Sifat ini merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh seorang datu atau raja pada masa lampau di Kedatuan Luwu. Apabila sifat ini tidak dimiliki oleh seorang pemimpin maka, masyarakat yang dipimpinnnya akan terombang-ambing.

Nilai-nilai tersebut sangat penting diterapkan pada kondisi saat ini dan perlu dimiliki oleh seorang pemimpin pada saat ini. Sebab dapat dikatakan, sebagian besar pemimpin tidak memiliki nilai ada tongeng, oleh karena itu lain yang di ucapkan lain pula yang dilakukan. Misalnya saja seorang anggota DPR, ketika masih kampanye mereka menjanji akan mensejahterakan rakyat, namun setelah menjabat sebagai anggota DPR mereka lupa dengan janji-janjinya itu. Demikian juga program-program yang tidak membolehkan korupsi, namun kenyataannya berbeda. Banyak para pemimpin masuk buih gara-gara korupsi uang rakyat. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai ada tongeng yang diterapkan oleh pemimpin di masa Kedatuan Luwu.

 

Perilaku Manusia

Perilaku manusia sangat terkait dengan hati nuraninya, segala perilaku yang baik muncul dari hati nurani yang bersih. Seorang pemimpin atau raja harus menjaga perilakunya. Raja yang mempunyai perilaku yang baik otomatis memilki hati yang bersih dan bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya, mampu memelihara perkataan yang benar dan melakukan perbuatan yang bermanfaat untuk manusia atau rakyatnya..

Seorang raja harus mampu menunjukkan nilai keteguhan/ketegasan dan kejujuran yang dibuktikan dengan perbuatan. Hal inilah yang diterapkan dalam menjalankan sistem pemerintahan di Kerajaan Luwu pada masa lampau, sehingga ia menjadi sebuah kerajaan yang besar dan terkenal sampai ke Semenanjung Malaysia (Abidin,1999:54). Sifat-sifat semacam inilah yang semestinya dimiliki oleh setiap pemimpin pada saat ini agar masyarakat bisa tentram damai dan sejahterah.

 

Penegakan Supremasi Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu yang sangat penting, karena sangat terkait dengan kesejahteraan dan kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu maka pada masa pemerintahan Kedatuan Luwu, seorang raja atau pajung sangat mengutamakan adanya supremasi hukum dengan menempatkan sesuatu pada tampatnya (asitinajang).

Pada penegakan hukum, Maccae ri Luwu menganjurkan agar berhati-hati menghadapi empat jenis manusia dan perlu ripagettengi beccik atau dibentangkan tali pelurus yang tegas. Adapun orang-orang yang dimaksud yaitu: to mawatangngE (orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan), to majekkoE (orang culas), to maccaE (orang pandai), to benngoE (orang dungu). Keempat orang tersebut akan mempengaruhi penegakan hukum dalam suatu pemerintahan atau masyarakat. Orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan akan menggunakan kekuasaannya untuk melakukan tekanan pada penegak hukum. Orang yang culas akan memutarbalikkan fakta dan kesaksian, orang pintar akan dapat menyusun argumentasi dan pembenaran atas perbuatan yang salah, kemudian orang dungu akan menimbulkan rasa kasihan dan pada akhirnya prinsip asitinajang atau kewajaran akan ditinggalkan (Ibrahim, 2002:41).

Pemikiran Maccae ri Luwu tersebut sangat penting diterapkan pada kondisi saat ini. Dimana saat ini masyarakat bingung mencari keadilan, karena tidak ada supremasi hukum. Para penegak hukum tidak memiliki nilai-nilai yang ada dalam pemikiran Maccae ri Luwu seperti yang dungkapkan di atas. Ada tebang pilih dalam penegakan hukum, uang dan kekuasaan bisa mengalahkan keadilan dalam penegakan hukum. Sehingga apabila orang miskin atau tidak mampu melakukan pelanggaran hukum dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Sementara orang kaya atau penguasa yang melanggar hukum tidak dihukum karena bisa mempengaruhi hakim atau penegak hukum dengan kekuasaannnya atau uang yang dimilikinya.

 

Persatuan

Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” merupakan suatu ungkapan yang digunakan untuk mempersatukan masyarakat. Untuk membentuk suatu masyarakat yang kuat, maka perlu ada persatuan di dalam masyarakat. Menurut Ibrahim (2002:41) Maccae ri Luwu mengungkapkan beberapa pemikirannya tentang pentingnya persatuan, sehingga ada beberapa sifat yang harus dipelihara untuk menciptakan persatuan, yakni:

  1. Seia-sekata mereka di dalam negeri (massituruk-i rilalempanuwa)
  2. Jujur mereka kepada sesamanya (sialempurenngi)
  3. Saling berkata benar di antara mereka (siakkeda-tengengenngi)
  4. Saling memelihara sirik (siasirik-i)
  5. Dalam duka mereka bersatu, dalam suka mereka bersatu (jaknauru,deceng nauruk)
  6. Ke gunung sama mendaki, tidak saling menurunkan ke lembah, (sitereng ribuluk-E, tessinoreng ri lompok-E)
  7. Tidak saling berhitung-hitung di antara sesamanya (tessicirinnainngi ri silasanae)
  8. Saling membenarkan apa adanya (sipattongenngi ri akkunae)

Dengan tertintegrasinya kedalapan sifat-sifat tersebut pada seorang pemimpin dengan masyarakatnya, maka akan terjalin persatuan di dalam masyarakat, dengan demikian maka negara atau negeri akan kuat, dan tahan terhadap gangguan dari luar. Kemudian persatuan ada beberapa macam menurut pemikiran Maccae ri Luwu, yaitu “bersatu bagaikan telur ayam, bersatu bulat bagaikan beras, dan bersatu bulat bagaikan buluh bambu”.

Persatuan bulat telur dimaknai, bahwa segala masalah yang ada di dalam negara atau negeri dihadapi bersama-sama, baik dalam hal keburukan maupun dalam hal kebaikan. Kemudian persatuan bagaikan bulat beras, dimaknai sebagai suatu persatuan yang bersifat vertikal adalah persatuan antara raja atau pemimpin dengan rakyatnya, sehingga apa yang menjadi kebesaran dari sang raja, akan menjadi kekuatan bagi sang hamba. Tidak ada saling mencurigai antara raja dengan rakyatnya, rakyat tidak menginginkan kedudukan raja, demikian juga sang raja tidak ingin diperhambakan oleh rakyatnya. Tidak ada saling memarahi dan saling dendam. Hubungan baik antara raja atau pemimpin dengan rakyat berjalan sampai pada anak cucu. Kemudian persatuan bulat bagaikan buluh bambu, yakni antara raja atau pemimpin dengan rakyatnya bersatu dalam suka maupun duka. Sehingga apabila salah satunya khilaf maka saling mengingatkan, apabila jatuh, maka saling membangkitkan. Persatuan ini merupakan persatuan buluh bambu antara bulat di luar dengan di dalam sama, sehingga apabila rusak di luar, maka rusak pula lah di dalam.

Pemikiran Maccae ri Luwu yang telah dijelaskan di atas menujukkan, bahwa di Sulawesi selatan, seperti di Luwu memiliki nilai-nilai kepemimpinan yang dijadikan sebagai frame of reference dalam komunitasnya. Nilai-nilai tersebut masih relevan digunakan di zaman sekarang ini dan tidak kalah dengan faham modernism. Nilai-nilai kepemimpinan yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan sangat terkait dengan sistem budaya yang dimiliki. Salle (2011:1) Nilai-nilai itulah yang mempengaruhi dan membentuk keseluruhan sikap masyarakat terhadap satu orientasi, dan itulah yang muncul atau terpolakan ke atas permukaan dalam kehidupan sosial.

Setiadi (2011:280) menyatakan, bahwa sifat-sifat yang diisyaratkan pemimpin dalam setiap kehidupan sosial tidak sama, sebab didalam setiap kehidupan masyarakat memiliki ketentuan-ketentuan sosial sendiri tentang bagaimana sifat pemimpin yang diharapkan memiliki kemampuan mengatasi persoalan-persoalan di dalam masyarakat sesuai dengan latar belakang budaya dan falsafah hidup masyarakatnya.

 

PENUTUP

Sistem kepemimpinan tradisional di Luwu dikenal dengan sistem kerajaan atau sistem kedatuan Luwu. Sistem pemerintahan Kedatuan Luwu diperintah oleh seorang datu atau raja dan dibantu oleh beberapa pejabat kerajaan. Ketika raja atau Datu Luwu memerintah, memiliki seorang cerdik pandai yang mengontrol datu atau raja dalam menjalankan pemerintahannya. Oleh karena itu datu atau raja selalu berhati-hati di dalam menjalankan pemerintahannya. Bahkan datu atau raja sering bertanya kepada orang pandai (to acca) untuk menghindari kesalahan didalam menjalankan pemerintahannya. To acca yang dikenal dengan sebutan Maccae ri Luwu.

Sistem pemerintahan tradisional di Luwu menerapkan pemikiran-pemikiran Maccae ri Luwu, oleh karena itu Kerajaan atau Kedatuan Luwu pernah menjadi sebuah kerajaan yang cukup besar dan tekenal di Sulawesi Selatan. Banyak nilai-nilai yang ada dalam pemikiran Maccae ri Luwu yang ada pada zaman dahulu masih relevan digunakan pada saat sekarang. Misalnya nilai kebersihan hati (ati macinnong) yang di dalanya mencakup, nilai kejujuran, nilai ketegasan, keadilan dan saling menghargai. Demikian juga dengan nilai persatuan yang bisa menjadikan suatu pemerintahan menjadi kuat. Semua nilai-nilai dalam pemikiran Maccae ri Luwu masih sangat ddibutuhkan dalam kondisi saat ini, yang mana pada saat ini sistem pemerintahan yang notabene modern, namun tidak menghiraukan nilai-nilai yang semestinya dimiliki oleh seorang pemimpin di dalam menjalankan sebuah pemerintahan. Hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemimpin dan para penegak hukum, yang sangat kontradiktif dengan sistem pemerintahan tradisional, yang sangat kaya dengan nilai-nilai persatuan dan kedamaian.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A.Zainal, 1999, Kapita Selekta Sejarah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.

Iriani, 2011. Tari Pajaga Bone Balla Sebagai Cermin Budaya Luwu. Makassar: Dian Istana.

 

Ibrahim, Anwar, 2002. Sulesana (Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal). Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (Lephas).

 

Gibson, 2009. Kekuasaan, Raja, Syeikh, dan Ambtenaar, Pengetahuan Simbolik dan Kekusaan Tradisional Makassar 1300-2000. Makassar: Ininnawa.

Pangerang, 2000. “Landasan Kultural bagi Civil Society: Perspektif Budaya Luwu”. Dalam Ali Fadilah (Ed) Kedatuan Luwu. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin atas Kerjasama dengan Institut Etnografi Indonesia.

Pangerang, 2011. Sinopsis Kirab Keraton Luwu (Langkanae). Festival Keraton Nusantara XI  di Palembang.

Rahman, Mas’ud, 2000. “Identitas Budaya Luwu: Tinjauan Ringkas”. Dalam Ali Fadilah (Ed) Kedatuan Luwu. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin atas Kerjasama dengan Institut Etnografi Indonesia.

 

Setiadi, Elly.M, Usman Kolip, 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana

 

Salle, Aminuddin, J Bostan dg Maja, dan Supriadi Hamdat, 2010. Rekaman awal Kepemimpinan Elit Lokal Karaeng Galesong. Makalah dalam .http//sistem kepemimpinan galesong

 

Tirto, 2012. Loyalitas terhadap Pertumbuhan Cita-Cita Negara di berbagai Kewargaan Subnasional, Makalah. Disampaikan pada seminar Internasional Percik tgl 12 Juli 2012.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Orang Galesong merupakan bagian dari masyarakat Makassar yang bermukim dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Takalar, Sulawesi Selatan. Dalam sejarah perkembangannya, Galesong sebagai sebuah komunitas dan bekas kerajaan berdaulat yang dipimpin oleh seorang raja yang disebut’Karaeng Galesong’ memiliki kearifan tradisi-tradisi dan nilai-nilai budaya yang menjadi frame of reference komunitasnya. Dan hal lain dari sisi akedemis menarik untuk dikaji terutama berkenan dengan nilai-nilai budaya dalam kepemimpinan elit lokal dalam menyonsong otaonomi daerah.

Kajian mengenai nilai-nilai budaya kepemimpinan elit lokal sebagai salah atu dimensi sosial budaya masyarakat dapat membantu rencana pambangunan yang diwarnai stressing program dan proiritas-prioritas untuk menjawab situasi konkret masyarakat. Sebaliknya jika pembangunan yang dilakukan secara drastis dengan mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal akan menjadi problem bila menurut Peter L.Berger; menuntut korban manusia karena kurang mempertimbangkan dimensi sosial budaya yang menjadi bingkai laku hidup masyarakat.

Salah satu kearifan tradisi yang menjadi bingkai laku masyarakat Galesong adalah pranata adat dan kepemimpinan elit lokal ‘Karaeng Galesong’ yang masih sangat berperan dalam kehidupan komunitasnya.

Sejumlah sosiolog bersepakat bahwa pemimpin ialah seorang yang memiliki pengaruh atas orang lain, dalam arti bahwa pemikiran, kata-kata dan tindakannya mempengaruhi tingkah laku orang lain. Dalam tatanan birokrasi tradisional ‘Karaeng Galesong’ adalah panutan, simbol dari adat, semua sisi dari dimensi kehidupan seorang‘Karaeng’, perilaku dan hubungan-hubungan sosialnya, adalah pencerminan dari kelembagaan tradisional yang disebut ‘Pangngadakkang’ yang sarat dengan nilai-nilai kepemimpinan tradisional yang barangkali masih sangat relevan untuk diangkat ke permukaan menyonsong otonomi daerah.

Dalam persfektif sosiologis yang disebut pemimpin ialah seseorang yang dapat memiliki pengaruh atas orang lain, dalam arti bahwa pemikiran, kata-kata dan tindakannya mempengaruhi tingkah laku orang lain. Dalam tatanan birokrasi tradisional seorang pemimpin, raja ataukaraeng adalah panutan, simbol dari adat, semua sisi dari kehidupan seorang keraeng perilaku dan hubungan-hubungan sosialnya adalah pencerminan dari kehidupan dan kelembagaan tradisional yang disebut Pangadakkang.

Dalam sistem kepemimpinan tradisional sebagaimana yang ditampilkan oleh raja karaeng di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di daerah Makassar pada khususnya menunjukkan bahwa model-model kepemimpinan raja-raja bersumber dari naskah lontara[4]. Sebagaimana, ditegaskan oleh Mattulada bahwa dalam sistem kepemimpinan tradisional seperti yang tersirat dan tersurat dalam naskah lontara, rakyat, raja atau kelompok bangsawan (penguasa) merupakan unit sosial yang utuh. Dua komponen sosial ini pada hakekatnya tidak terpisahkan[5]. Mekanisme kehidupan politik dan sosial-budaya saling terkait dalam struktur sosial. Oleh sebab itu, menyebabkan sistem tingkatan sosial masyarakat bersifat terbuka[6].

Dalam tatanan kepemimpinan elit lokal Karaeng Galesong, nampaknya tidak jauh berbeda dengan sistem kepemimpinan tradisional di beberapa kerajaan, seperti Kerajaan Gowa dan Tallo. Bahwa landasan utama dalam sistem kepemimpinannya senantiasa berpijak pada adat yang termaktub dalam lontara. Berdasarkan ajaran lontara itu, moral kepemimpinanbagi seorang raja atau karaeng sangat mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, faktor moral merupakan faktor yang sangat menentukan berjaya dan tidak berjayanya seorang pemimpin, raja ataukaraeng/penguasa di masyarakat. Moral merupakan landasan dan kriteria utama dari rakyat yang dipimpinnya. Apabila moral seorang pemimpin atau raja telah dinilai terpuji oleh rakyatnya, maka tidak diragukan lagi bahwa adat akan mendukungnya, pemimpin atau karaeng yang bersangkutan senantiasa mendapat simpati dari rakyatnya. Kesediaan berkorban dari anggora masyarakat, termasuk kerelaan mengorbankan harta bendanya dan bahkan jiwanya yang paling berharga, akan terus mendukung bila moral seorang pemimpin atau penguasa memperlihatkan pula kesediaan untuk berkorban guna kepentingan rakyatnya. Artinya sosok seorang karaeng senantiasa menjadi pelindung rakyatnya, tidak memperkosa hak rakyatnya, dan menyayangi rakyatnya seperti sang raja/karaengmenyayangi diri dan keluarganya. Sebaliknya, bila moral sang raja/karaeng, tidak terpuji seperti hanya mementingkan diri dan keluarganya saja, berlaku tidak adil dalam memutuskan perkara di masyarakat, egoistis, serakah (korup), menindas rakyat dan dikuasai oleh nafsu angkara murka. Maka tak ayal lagi sang raja yang bersangkutan akan dibenci oleh rakyatnya[7].

Tradisi lisan tersebut di atas mencerminkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh berbuat curang, dia sebagai sosok manusia yang menetapkan dan mengarahkan tujuan dan kemaslahatan orang banyak, orang yang dipimpin pun harus seia-sekata dengan pemimpinnya.

Kriteria moral kepemimpinan yang diharapkan oleh masyarakat dalam sebuah negara adalah berkaitan dengan moral agama (iman dan amal), maupun konsep hidup dalam tatanan interaksi sosial di masyarakat. Penilaian moral ini tidak hanya ditujukan pada pribadi sang Karaeng saja, tetapi juga segenap anggota kerabatnya. Khususnya terhadap sikap keluarga ini mutlak harus diperlihatkan sikapnya yang tegas di masyarakat jika sang penguasa berkeinginan dihormati dan dipatuhi perintahnya. Sebab jika dia bersikap tegas hanya kepada rakyatnya saja, sedangkan kepada keluarganya/kerabatnya memperlihatkan keraguan untuk bertindak tegas, bahkan berusaha melindungi kesalahan yang dibuat oleh keluarganya, maka jelas rakyat akan sukar mendukung kepemimpinannya dan bahkan akan mendapat cacat sosial dari rakyat yang dipimpinnya.

Berdasarkan kedua contoh kasus di atas menunjukkan bahwa dalam sistem kepemimpinan tradisional / elit lokal kedudukan seorang Karaeng, sikap dan tingkah lakunya senantiasa berpangkal pada adat dan sistem hukum sebagaimana yang terdapat dalam pranata sosial masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula sebaliknya jika rakyat yang melanggar ketentuan adat, maka rakyat yang melakukan pelanggaran tersebut mutlak dikenakan sanksi adat. Contoh ini merupakan fakta sejarah untuk melihat bagaimana kedudukan seseorang sama di depan hukum tanpa membedakan posisi sosialnya di masyarakat.

Selain faktor moral yang merupakan landasan kriteria seseorang layak menjadi pemimpin, dalam lontara juga dinyatakan bahwa apabila seorang raja atau putra mahkota telah disetujui oleh adat atau dewan kerajaan termasuk raja yang berkuasa, maka seyogyanya sebelum dia memangku tahta atau jabatan kerajaan mutlak harus melakukan partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar yang bersangkutan dapat mengetahui kehidupan rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Dengan perkataan lain raja/karaeng belajar menjadi rakyat, mencoba mengidentifikasi persoalan yang dihadapi rakyat, memahami apa yang menjadi keinginan rakyatnya, kerisauan hati rakyatnya[10]. Partidipasi seorang raja/karaeng untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi rakyat merupakan suatu tindakan untuk lebih memudahkan seorang raja/karaengmenetapkan suatu keputusan atau kebijkana mengenai persoalan yang dihadapi oleh mesyarakat. Apabila unsur-unsur tersebut di atas telah terpenuhi maka akan menambah derajat kepanutan masyarakat terhadap karaeng.

Berkaitan dengan konteks di atas ada baiknya di ketengahkan pemikiran yang terkandung dalam lontara yang berkaitan dengan masalah moral seorang raja/karaeng/ bangsawan terhadap rakyatnya. Pemikiran itu menyebutkan sebab musabab kehancuran sebuah negara sebagaimana pernyataan Karaeng I Mangadaccing Daeng Sitaba Karaeng Pattingaloang;

Nakana Karaenga lima pammanjenganna matena butta lompoa uru-uruna punna tea nipakainga’ karaeng ma’gauka makaruanna punna taena tumangngasseng ilalang pa’rasangan lompoa; maka talluna, punna mangngalle soso’gallarang ma’bicaraiya; maka appa’na punna majai gau’ ilalang pa’rasangan lompoa; maka limana punna tana kamaseangnga atanna karaeng ma’gauka.

Artinya: ada lima faktor yang dapat meruntuhkan suatu negara besar. Pertama, raja yang memerintah tidak mau diperingati; kedua, tidak ada orang pandai, kelompok cendekiawan dalam negeri besar; ketiga, para hakim dan pejabat kerajaan dapat disuap; keempat, terlampau banyak masalah besar dalam negara tersebut; kelima, raja tidak mencintai rakyatnya.

Kelima faktor yang diceritakan oleh Karaengta ini merupakan penyakit masyarakat atau negara. Bila sang penguasa tidak memiliki atau rendah moralnya. Dalam konteks itulah, kualitas moral harus diperhatikan oleh seorang raja/karaeng selama masa pemerintahannya. Bagaimana agar moral seorang raja atau karaeng dapat dikontrol? Dalam hal ini pentingnya budaya siri berperan dalam kehidupan masyarakat[11].

Dalam sistem pemerintahan di kerajaan Galesong pada umumnya dikenal dengan sistem Demokrasi Terpusat pada kekuasaan karaeng sebagai pemimpin yang kharismatik. Para karaeng langsung berhadapan dengan rakyatnya karena ia memiliki atau pemilik kalompoang dan membentuk pola kepemimpinana yang dikenal sebagaiPamminawangngangTojeng (kepemimpinan langsung).

Munculnya konsep kepemimpinan langsung pada masyarakat di Kerajaan Galesong bersumber pada konsepkalompoang dan gaukang yang dianggap oleh masyarakat memiliki kekuatan supranatural. Oleh karena itu,kalompoang dan gaukang mengandung kebesaran atau kehormatan. Kalompoang dan gaukang merupakan atribut kerajaan. Konsep gaukanglebih menunjukkan pada benda dan hasil perbuatan (Gau=berbuat), sedang konsepkalompoang lebih mengaitkannya dengan jabatan tertentu, dan benda-benda tertentu yang ditemukan secara ajaib dengan bentuknya yang ajaib pula. Kooreman mengatakan bahwa gaukang adalah sebuah benda yang aneh bentuk ataupun warnanya, dapat berupa sebuah batu, sepotong kayu, buah-buahan tertentu, sepotong kain atau kadang-kadang senjata atau perisai dengan kekhususan tertentu. Pendeknya dia adalah benda aneh, yang diketemukan atau didapat dengan cara yang aneh, rahasia atau dengan cara yang luar biasa. Gaukang di Galesong misalnya berupa batu dengan rupa mirip tubuh manusia[12].

Sebuah kalompoang dapat berupa benda pusaka kerajaan atau benda-benda peninggalan tokoh yang dinyatakan turun dari khayangan yang mereka nobatkan sebagai peletak dasar kerajaan. Benda ini merupakan jaminan pengabsahan yang memberikan kesaksian bahwa pemegang telah memiliki kekuasaan sebagai perwalian pemilik utama kekuasaan yang berasal dari kalompoang dengan demikian pemegang kekuasaan itu akan bekerja sesuai petunjuk pemilik utama kekuasaan itu bagi kesejahteraan dan ketertiban masyarakat[13].

Pemilik gaukang dan kalompoang berhak untk duduk pada puncak kekuasaan untuk memimpin suatu kaum atau negeri dan dinobatkan sebagai pemimpin atas dasar keabsahan gaukang dan kalompoang. Dalam lingkunganKaraeng Galesong, gaukangdan kalompoang merupakan sumber legitimasi kekuasaan. Oleh karena itu, KaraengGalesong diterima dan dihormati sebagai pemimpin Pamminawangngang tojeng. Selain itu, kalompoang ataugaukang berkaitan erat dengan anggapan masyarakat bahwa melalui benda itu pemegang, penerima kekuasaan dan akan terikat ikrar kepatuhan, ketaatan dan tata tertib yang diwarisi oleh pendiri kerajaan, sehingga dapat memikat pengakuan dan ketaatan dari rakyat bahwa seseorang yang dianugrahi memiliki kalompoang dan gaukang pada dirinya tercermin kepemimpinan karismatik yang pada akhirnya bermuara pada kedudukan seorang karaeng sebagai pemilik kallabbirang(kemuliaan), kacaraddekang (kepintaran), kabaraniang(keberanian), kakalumayyangang(kekayaan).

Pemilik gaukang dan kalompoang berhak untk duduk pada puncak kekuasaan untuk memimpin suatu kaum atau negeri dan dinobatkan sebagai pemimpin atas dasar keabsahan gaukang dan kalompoang. Dalam lingkunganKaraeng Galesong, gaukangdan kalompoang merupakan sumber legitimasi kekuasaan. Oleh karena itu, KaraengGalesong diterima dan dihormati sebagai pemimpin Pamminawangngang tojeng. Selain itu, kalompoang ataugaukang berkaitan erat dengan anggapan masyarakat bahwa melalui benda itu pemegang, penerima kekuasaan dan akan terikat ikrar kepatuhan, ketaatan dan tata tertib yang diwarisi oleh pendiri kerajaan, sehingga dapat memikat pengakuan dan ketaatan dari rakyat bahwa seseorang yang dianugrahi memiliki kalompoang dan gaukang pada dirinya tercermin kepemimpinan karismatik yang pada akhirnya bermuara pada kedudukan seorang karaeng sebagai pemilik kallabbirang(kemuliaan), kacaraddekang (kepintaran), kabaraniang(keberanian), kakalumayyangang(kekayaan).

Seorang pemimpin adalah panutan, ia adalah simbol dari adat, semua sis dari dimensi kehidupan seorang pemimpin atau karaeng perilaku dan hubungan-hubungan sosialnya adalah pencerminan panggadakkang. Di satu sisikaraeng sebagai suatu sosok tunipinawang (panutan) sedangkan rakyat sebagai sosok tumminawang (pengikut).

penutup

Berbicara tentang aktualisasi niali-nilai tradisional dalam kepemimpinan komunitas lokal di Galesong pada dasarnya tidak terpisahkan dari lembaga adat yang disebut pangngadakkang. Sebagaiman yang dikatakan oleh Mattulada bahwa adat istiadat dalam masyarakat Bugis-Makassar merupakan salah satu kekuatan untuk menopang kelangsungan hidupnya. Dalam masyarakat tersebut terdapat seperangkat tata nilai sebagai salah satu unsur yang diyakini dan menjadi frame of reference tentang bagaimana seharusnya seseorang berbuat, bersikap dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai itulah yang memepengaruhi dan kadang-kadang dapat dikatakan “membentuk” keseluruhan “sikap” masyarakat terhadap satu orientasi, dan itulah yang muncul atau terpolakan ke atas permukaan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Dalam masyarakat Makassar pada umumnya dan komunitas orang Galesong pada khususnya, lembaga adatpangngadekkang yang sarat dengan nilai-nilai utama yang terhimpun dalam sejumlah lontara termaktub berbagai aspek dan nilai-nilai kepemimpinan yang menjadi acuan rakyat dan raja atau karaeng (kelompok bangsawan) ataupun pemerintah tentang siapa yang pantas dan tidak pantas dijadikan sebagai pemimpin. Dengan demikian pengambilan peran setiap anggota masyarakat pada dasarnya berpatokan pada hukum-hukum, norma-norma dan aturan-aturan adat yang mengatur tingkah laku pendukungnya. Itulah yang menyebabkan kita dapat menelusuri pranat sosial, kelakuan berpola dari masyarakat pendukung kebudayaan itu. Adat tata kelakuan dama masyarakat Makassar, dilihat dari tingkah laku berpola dalam berkomuniti dan dalam hubungan kekerabatan.

Tingkah laku berpola dalam erkomunitas menyangkut pranata yang mengatur tingkah laku masyarakat dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat. Hal ini menyangkut nilai-nilai budaya dalam penataan pemerintahan. Pranata seperti ini disebut “Siri Butta” yang secara berurutan diatur oleh ada’ buttaAda’ butta merupakan adat tata kelakuan bernegara yang menata kelakuan berpola dari anggota-anggota kesatuan kenegaraan menuntut kejujuran setiap warga untuk mematuhi segala hukum, norma, dan aturan kenegaraan dan bertanggung jawab terhadap keutuhan, keamanan dan ketertiban masyarakat[14].

Akhirnya secara hipotetik dapat dikatakan bahwa nilai-nilai kepemimpinan dan kelembagaan tradisional yang terdapat dalam masyarakat Makassar, dan komunitas orang Galesong kelihatannya masih tetap relevan dan perlu diaktualkan, diimplementasikan dalam program-program pembangunan khususnya pembangunan desa dan daerah dalam sistem kepemimpinan di daerah senantiasa terkait dengan aspek kebudayaan. Sebagaimana dikatakan oleh Schein: Culture and leadership are really two sides of the same coin one can not understand one without the other[15].

[1] Pada sistem pemerintahan Kedatuan Luwu, seorang yang akan diangkat menjadi pajung masih bergelar datu, dan setelah dilantik maka ia boleh memakai gelar pajung, namun ketika berkomunikasi dengan seseorang, maka  ia tetap disapa atau dipanggil datu.