Oleh; Nur Alam Saleh
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai budaya moral yang terkandung dalam pappsang turiolo orang Makassar. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan teknik studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada lima pasang turiolo orang Makassar yang terkait erat dengan nilai-nilai budaya moral. Adapun kelima nilai budaya yang dimaksud, adalah nilai kejujuran, nilai kepemimpinan, nilai kehormatan (sirik na pace), nilai persatuan, dan nilai usaha dan kerja keras. Nilai-nilai budaya moral menerangkan apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya.
Kata Kunci: Pappasang turiolo, Nilai-nilai budaya, Orang Makassar
- Pendahuluan.
Indonesia merupakan negara yang berdasar pada ketuhanan dan kemanusiaan, setidaknya itu tercantum dalam landasan ideologi bangsa, Pancasila. Sejak awal para pendiri (founding fathers) bangsa telah menjadikan dasar ketuhanan dan kemanusiaan itu sebagai pondasi utama bangunan yang disebut Indonesia.
Karakter dan jatidiri bangsa terangkum dalam Pancasila dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Karakter yang berdasar pada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial telah mampu menyatukan suku-suku bangsa di seluruh penjuru nusantara. Kelima sila dalam pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi kekuatan yang meleburkan segala perbedaan dalam sebuah persatuan.
Bahkan jauh sebelum NKRI terbentuk, bangsa Indonesia telah memiliki karakter-karakter yang tercermin dalam tradisi dan adat istiadat yang dianut masyarakat hingga sekarang. Nilai-nilai hidup yang diajarkan dalam lokalitas setempat menjadi landasan moral dalam setiap tindakan dan perilaku masyarakat. Kearifan lokal itulah yang menjadikan keberagaman bangsa dapat hidup berdampingan dalam damai dan persatuan.
Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk menemukan kembali identitas bangsa yang bergeser jika tidak ingin dikatakan hilang dari kehidupan masyarakat karena proses persilangan dialektis atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan di era globalisasi seperti sekarang ini. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan kebudayaan bangsa di atas dasar identitas sejumlah etnik yang mewarnai nusantara ini.
Karena menurut Trenholm dan Jensen (1996:387), budaya merupakan seperangkat nilai, kepercayaan, norma, adat, aturan, dan kode yang disosialisasikan dalam sebuah masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya melalui suatu kesepakatan. Koentjaraningrat (1984: 8–25) mengemukakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya adalah suatu yang dianggap sangat berpengaruh dan dijadikan pegangan bagi suatu masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa Sulawesi Selatan sudah sejak lama dikenal memiliki keanekaragaman budaya yang bernilai tinggi. Keanekaragaman budaya daerah Sulawesi Selatan, antara lain berupa peninggalan sejarah, tardisi, dan adat-istiadat, Salah satu peninggalan sejarah yang menyimpan berbagai aspek kebudayaan suku bangsa yang memiliki aksara sendiri ialah naskah.
Orang Makassar adalah salah satu suku bangsa yang beruntung memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan pada masa lampau masih dapat tersimpan dalam naskah lontarak. Salah satu bentuk naskah lontarak Makassar yang berhubungan dengan kearifan dan sarat dengan nilai dan karakter dikenal dengan istilah Pappasang Turiolo yakni ‘Pesan-pesan; nasihat; wasiat’
Pappasang sebagai salah satu bentuk pernyataan yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai sistem sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam kelompok masyarakat Makassar. Dalam pappasang terkandung ide yang besar buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk.
Pappasang sarat dengan makna dan pesan-pesan moral, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman hidup, sebagai pengatur tingkah laku pergaulan dalam masyarakat. Karena itu, perlu adanya upaya pengkajian secara serius guna mengungkap kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya terutama nilai edukatif yang sangat diperlukan untuk pembinaan karakter generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Pada mulanya pappasang diucapkan dan dituturkan. Akan tetapi setelah masyarakat Makassar mengenal tulisan, pappasang itupun ditulis dengan huruf lontarak di atas daun lontar. Karena kemajuan kebudayaan dan peradaban masyarakat Makassar, akhirnya pappasang tidak lagi hanya dapat dibaca melalui daun lontar tetapi sudah dituliskan atau dibukukan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mewariskan kepada generasi muda.
Pemahaman terhadap jenis susastra pappasang perlu dimplementasikan dan di sebarluaskan agar ajaran-ajaran moral yang terkandung di dalamnya bukan hanya menjadi milik generasi nenek moyang kita atau masyarakat pendukungnya, melainkan juga ajaran tersebut dapat diserap oleh sebagian besar masyarakat, terutama bagi generasi sekarang dan generasi mendatang.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk mrngetahui bagaiamana nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pappasang Tu Riolo orang-orang Makassar di Kabupaten Gowa.
- Pengertian Pappasang Turiolo
Pappasang Turiolo sebagaimana judul yang dimaksud dari tulisan ini adalah pesan, wasiat atau petuah dari pada leluhur atau orang-orang dahulu (tu riolo). Pappasang ini tidak saja terdapat dalam kehidupan orang-orang Makassar, melainkan juga ditemukan pada masyarakat suku bangsa Bugis dan Mandar bahkan dikalangan orang-orang Toraja, bagi orang Bugis menyebutnya dengan istilah pappaseng sedangkan orang-orang Mandar juga menyebut pappasang.
Meskipun sampai saat ini kehadiran pappasang belum dapat diketahui secara pasti, namun sebagai warisan budaya masa lampau telah mencerminkan cita rasa dan pandangan hidup serta cara berpikir masyarakat pada waktu itu. Cara pengungkapannya pun cukup bervariasi, yang biasa dilakukan dari kalangan bangsawan atau raja yang menjadi sebuah ketentuan di dalam wilayah kekuasaannya. Di samping itu juga ada kalanya dari kalangan cerdik pandai, guru bahkan terkadang adapula pappasang yang berasal dari orang tua terhadap anak cucunya yang bermuatan norma-norma kesusilaan, Hakim (1993:22).
Dalam konteks budaya Makassar keberadaan pappasang selain sangat dimuliakan, juga memiliki suatu penekanan ajaran moral yang patut dituruti. Pada zaman dahulu seseorang yang senantiasa menjaga pappasang akan selalu terpandang di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, mana kala seseorang tidak mengindahkannya maka ia akan menanggung sanksi berat, dimana nama baiknya akan tercemar dan kedudukan sosialnya menjadi rendah, sehingga sangat sulit beradaptasi dalam pergaulan masyarakatnya.
Sebagai produk budaya leluhur orang-orang Makassar, maka keberadaan pappasang ditengah-tengah masyarakat diharapkan mampu untuk mengetuk pintu hati dan pikiran, yang memerintahkan agar orang-orang senantiasa berlaku jujur dan berpikir dengan menggunakan akal sehat. Dengan demikian masyarakat pendukungnya itu, akan patuh dan teguh memegang pappasang, senantiasa bersemangat untuk menjalani hidup dan kehidupannya, sehingga dapat diterjemahkannya ke dalam usaha atau amal perbuatan.
Adapun makna yang terkandung dalam sebuah pappasang, biasanya berupa petunjuk tentang apa yang mesti, apa yang harus, apa yang boleh dikerjakan, apa yang digalakkan, serta apa yang dilarang untuk dikerjakan. Demikian pappasang sebagai petunjuk tentang cara berkehidupan dan menentukan sesuatu yang ideal mengenai bagaimana seseorang harus hidup untuk menjalin hubungan dengan sesama manusia dan penciptanya.
Pappasang ini ada yang berbentuk kelong dan ada pula yang berbentuk paruntuk kana, serta ada juga dalam bentuk dialog. Namun pada saat sekarang ini bentuk pappasang sudah banyak yang disampaikan dalam bahasa bebas.
- Metode
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif, sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah peneltian kualitatif artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi dan bukan berupa angka-angka. Bongdan dan Taylor (Moleong, 2005:4), mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang lain dan perilaku yang dapaat diamati.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah penelitiaan atau penyelidikan ilmiah terhadap semua buku, karangan atau tulisan mengenai suatu bidang ilmu, topik, gejala atau kejadian (Moeliono, 1990:713). Setelah terkumpul, data kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis). Teknik analisis isi adalah suatu teknik untuk mengungkapkan nilai-nilai dan makna dalam suatu karya yang berfokus pada pemahaman isi, pesan atau gagasan pengarang (Yunus, 1990:5)
- Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Pappasang Turiolo
Dalam pappasang turiolo orang-orang Makassar yang akan dikemukakan dalam tulisan ini, sebagian besar dikutip dari sejumlah buku-buku yang telah didokumentasikan, diantaranya adalah buku Makassarche Chestomathie yang merupakan karya monumental dari seseorang Matthes pada tahun 1860. Di samping itu terdapat pula buku lain yang memuat sekitar 235 butir pappasang hasil karya Drs. Zainuddin hakim berjudul “Pappasang dan Paruntuk Kana Dalam sastera Klasik Makassar” (1992). Karena terbatasnya waktu dan kesempatan maka pembahasan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pappasang orang-orang Makassar, akan dibatasi dengan mengemukakan nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan masalah kejujuran, kepemimpinan, dan sirik sebagai berikut:
- Nilai Kejujuran
Salah satu faktor yang sangat mendasari budaya Orang Makassar dalam kehidupan sehari-hari adalah kejujuran. Apabila konsep ini terabaikan maka akan menimbulkan keresahan, kegelisahan, dan penderitaan dikalangan masyarakat. Karena itu salah satu indikator penilaian seorang pemimpin atau siapa saja adalah kejujurannya. Kejujuran ini merupakan landasan penilaian tentang mulai tidaknya seseorang, tergantung sejauh mana pelaksanaan amanah yang menjadi tanggung jawabnya. Konsep kejujuran ini sayogianya dapat terkaver pada semua bidang kehidupan manusia, kapan dan dimana saja ia berada, maka nilai-nilai kejujuran itu harus tetap dijunjung tinggi
Dalam mengimplementasikan makna suatu kejujuran di tengah-tengah pergaulan kehidupan masyarakat, maka dapat dilihat dari tiga dimensi yakni jujur terhadap Tuhan yang Maha Esa, jujur sesama manusia, dan jujur terhadap diri sendiri, sebagaimana yang diamanahkan dalam pappasang berikut ini :
Issengi keknang, maknassa antu nikanayya lambusuk tallui rupanna. Makaserrena; mallambusuk ri Allahu Taala, iami nikana malambusuk ri Allahu Taala takaluppayya. Makaruanna; malambusuka riparanna tau, iami nikanayya malambusuk riparanna tau tangkaerokia sarenna paranna tau. Makatallunna; malambusuka ri batangkalenna, iami nikana malambusuka ribatang kalenna, angkalitutui bawana ri kana balle-ballea.
Terjemahannya:
Sesungguhnya kejujuran itu ada tiga macam, Pertama; jujur kepada Allah SWT, yakni dengan tidak melalaikan (perintahnya dan menghindari larangannya), Kedua; jujur kepada manusia, yakni tidak mengharapkan imbalan dari seseorang, Ketiga; jujur pada diri sendir, yakni dengan senantiasa menjaga dan mengawasi mulut dari perkataan dusta.
Berdasarkan pappasang tersebut diatas menunjukkan bahwa kita sebagai makhluk ciptaan Allah SWT sangat merasakan ketidak berdayaan dan kelemahan terhadap kemahakuasaan dan kemahaperkasaan-Nya. Sehingga tidak ada alas an untuk tidak menjalankan segala perintahnya dan menjauhkan segala larangannya. Melaksanakan Perintah Allah SWT hanya dapat dilakukan oleh seseorang kalau telah mendapat pancaran iman, yang ditandai dengan appakruppai passuroanna (menunaikan perintahnya). Hal tersebut lebih dipertegas lagi dalam pappasang berikut :
Punna mallakko ri Karaennu pakrupai paksuroan-Na nanuliliang pappisangka-Na, Naia-iannamo tau anggaukang passuroang naliliang papisangka-Na maknassa iamintu tanra tau salamak, tanra tunikamaseang ri Karaeng Mappakjaria
Terjemahan:
Jikalau kamu takut kepada Tuhan, tunaikanlah perintah-Nya dan hindarilah larangan-Nya. Orang yang menjalan perintah kemudian meninggalkan larangannya, itulah tandanya orang yang selamat dan sejahtera serta dikasihi oleh sang Pencipta
Selain jujur kepada Allah SWT yang bersifat vertikal sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, juga yang tak kalah pentingnya adalah jujur terhadap sesama manusia yang sifatnya horizontal. Jujur kepada sesame manusia berarti saling menghormati batas-batas hak orang lain. Saling menghormati hak dan wewenang masing-masing individu merupakan salah satu nilai luhur yang perlu ditegakkan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih aman, tenteram dan damai. Oleh karena itulah sehingga para leluhur orang Makassar menjadikan kejujuran sebagai pusat perhatian terutama ditujukan kepada anak cucunya kelak, agar mampu mewujudkan nilai-nilai kejujuran itu di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya.
Dalam mewujudkan kehidupan yang lebih aman, tenteram dan manusiawi, maka faktor kejujuran dalam berbagai dimensi perlu diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali termasuk para pemimpin saja. Itulah sebabnya pada zaman dahulu yang dijadikan sebagai landasan penilaian dan tolak ukur keberhasilan seorang pemimpin adalah faktor kejujurannya. Apabila seorang pemimpin jujur dan berlaku adil terhadap rakyatnya, maka biasanya negara atau orang-orang yang dipimpinnya itu akan menikmati buah dari kejujuran sang pemimpin, dimana akan menemukan kehidupan yang tenteram dan penuh kedamaian serta negaranya makmur sentosa. Sebaliknya pemimpn yang berlaku tidak jujur, serakah, curang, maka rakyatnya jugalah yang kena getahnya, hidupnya meranah, penuh kegelisahan dan ketidak pastian.
Untuk lebih mengetahui bagaimana tanda-tanda sebuah Negara yang makmur itu. Maka berikut ini akan diungkapkan beberapa pappasang yang berkaitan dengan masalah kejujuran seorang pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya, seperti di bawah ini
Nakana karaeng:, apa pammateinna namalompo buttaya?, Nakanamo innialleanga kananna, nia ruabateianna iamintu: Makasekrena ; punna malambusuki karaenga na mangngasseng, Makaruanna; punna akrurung gaukmo tumakparasanganga
Terjemahannya:
Karaeng berkata: Apa tanda-tandanya sebuah negara yang makmur penduduknya. Orang yang didengar katanya (kepercayaan karaeng) menjawab, ada dua tandanya, yaitu, Pertama; Apabila raja (pemimpin) sudah berlaku jujur. Kedua; Apabila keinginan rakyat sudah sejalan dengan keinginan penguasa.
Dalam pappasang lainnya juga mengungkapkan tentang tanda-tanda tahun yang buruk dalam suatu negeri :
Nakana Karaenga, Apa Tanranna pattaungang makodia? Nakana Tunialleanga kananna, Tallui pammateinna iamintu, Uru-urunna; Punna massarroi cinnana Karaeng Makgauka, Makaruanna; Punna mangngalle sosok gallarang makbicarayya, Makatallunna; Punna tana namakrurung gauk tumakpakrasanganga ilalang pakrasangan lompoa
Terjemahannya:
Karaeng berkata, Apa tanda-tandanya tahun yang buruk? Orang yang didengar katanya (kepercayaan karaeng) menjawab, ada tiga tandanya, yaitu Pertama; Raja (pemimpin) yang berkuasa terlalu serakah, Kedua; Penegak hukum telah makan suap, Ketiga; Apabila tidak ada persatuan dan kata sepakat dikalangan penduduk dalam sebuah negara.
Sebagai dimensi ketiga dalam menerapkan nilai-nilai kejujuran adalah terhadap diri sendiri. Menurut pappasang ada tiga faktor juga yang dijadikan sebagai dasar penilaian kejujuran seseorang terhadap dirinya, yakni bertingkah laku, cara bertutur kata, dan menjaga hati dari pikiran kotor. Hal teersebut dapat kita lihat pada pappasang berikut ini :
Tallui pokokna upaka I lalanna anne linoa, Makasekrea; Ampisangkaia kalenna anggaukang gauk kodi, Makaruanna; Ampisangkaia lilana ri kana-kana kodia, Makatallunna; Ampisangkaia atinna ri nawa-nawa kodia.
Terjemahan :
Ada tiga sumber kebahagiaan di dunia ini, Pertama; Menjaga diri dari perbuatan tercela, Kedua; Menjaga lidah atau mulut dari perkataan dusta, Ketiga; Memelihara hati dari pikiran-pikiran jahat.
Ketiga komponen dalam pappasang di atas yang meliputi tingkah laku, menjaga lidah/bertutur kata dan menjaga hati, maka para leluhur menyampaikan amanahnya melalui pappasang seperti dalam hal mengendalikan tingkah laku atau perbuatan seseorang.
Tangaraki gauknu naia nualle anrong guru, Allei bajika nanu tantangi kodia, nasabak antu kanayya siballakjintu bajikna siagang kodia, kamma tonjintu nawa-nawayya
Terjemahan :
Amatilah perbuatanmu, kemudian jadikanlah pelajaran. Petiklah yang baik, tinggalkanlah yang jelek. Ucapan itu tempatnya kebaikan dan keburukan, demikian pula halnya pikiram.
Demikian pula dengan pappasang tentang menjaga lidah/mulut dari perkataan dusta dapat dikemukakan sebagai berikut :
Jagai laloi bawanu, teako jai kana kana salai, nasabak antu kanayya rua tallui battuanna. Jaga tongi lilanu, ka antulilayya tarangangi na saulea
Terjemahan:
Periharalah mulutmu, jangan sembarang bicara, karena pembicaraan itu dapat menimbulkan beberapa makna atau pengertian. Jaga pula lidahmu, karena lidah itu lebih tajam daripada sembilu.
Untuk menjaga dan memelihara hati dari pikiran-pikiran jahat, dapat kita perhatikan pappasang berikut :
Jaga bajiki andellekanna atinnu, nasabak punna bajik pandallekanna atia, bajik tongi antu ampe-ampea ri karaenta siagang ri paranta nipakjari. Naia tossing punnakodi andallekanna atia, kodi tongi antu pangngampeta ri karaengta siagang ri paranta nipakjari.
Terjemahan:
Jagalah dengan baik haluan hatimu, karena jika hati itu baik maka akan baik pula tingkah lakumu kepada Allah dan kepada sesama ciptaan-Nya. Jika hatimu tidak baik maka pengaruhnya akan tampak pula dalam tingkah lakumu kepada Allah dan sesame ciptaannya.
Berdasarkan dari tiga komponen yang telah dikemukakan di atas, dapatlah ditarik suatu pelajaran yang sangat berharga. Pertama bahwa untuk melakukan suatu pekerjaan maka yang terlebih dahulu harus dipikirkan adalah akibat atau untung rugi yang ditimbulkannya. Kedua adalah senantiasa menjaga lidah/mulut dari kata-kata dusta, yang dalam konsep budaya Makassar di sebut balle-balle, sedangkan orangnya disebut paballe-balle. Keberadaan lidah terkadang membawa keberuntungan namun tidak jarang lidah yang menyebabkan suatu kehancuran dan penyesalahan yang tak berkesudahan. Meskipun demikian baik tingkah laku maupun karena ulah lidah/mulut, kesemuanya ini terkandung dari hati. Hati inilah merupakan suatu komando yang dapat menggerakkan kepada kedua komponen tersebut, bila yang dikirim itu sifatnya positif maka akan diterima secara positif pula, sebaliknya bila hati telah rusak/kotor maka semua instruksi yang dikirim ikut pula mengalami gangguan dan bernuansa negatif.
- Nilai Kepemimpinan
Untuk menjadi seorang pemimpin baik yang bersifat formal maupun informal diperlukan sejumlah persyaratan tertentu, karena pemimpin itu merupakan symbol kebesaran dan kehormatan seseorang. Itulah sebabnya sehingga pemimpin harus terlebuh dahulu dapat memenuhi criteria-kriteria, seperti berperilaku terpuji, memiliki wawasan luas, adil dan jujur, selalu memikirkan sebab akibat dari perbuatannya.
Sejumlah kriteria dimaksudkan di atas mutlak dimiliki oleh seorang calon pemimpin masa kini dan masa akan dating, sebagaimana yang digambarkan dalam pappasang turiolo berikut ini :
Iapa nakulle nialle parewa sekre tau niakpi na ballaki annanga passalak. Makasekrena; mangngassempi rigauk-gauk adaka, Makaruanna; Bajik pangngampai ri tau jainna, Makatallunna; Sakbarakpi rigauk antabaia, Makaappakna, mallakpi ri karaeng sekrea, Makalimana; Mangngassempi ri sesena rapanga, Makaannanna; Mangngassempi ritujunna bicarayya.
Terjemahannya:
Seseorang baru dapat diangkat untuk menjadi seorang raja/pemimpin, apabila ia telah memenuhi enam pasal (persyaratan). Pertama; Mengenal seluk beluk ketentuan adat, Kedua; Berperilaku terpuji terhadap yang dipimpinnya, Ketiga; Tabah dan menghadapi musibah, Keempat; Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kelima; Mendalami Undang-undang (ketatanegaraan), Keenam; Mengetahui seluk beluk pelaksanaan hukum.
Apabila keenam persyaratan tersebut di atas dimiliki oleh seorang calon raja atau pemimpin baik yang sifatnya formal maupun informal, maka ia termasuk pimpinan ideal. Karena salah satu saja diantara enam persyaratan tersebut tidak terpenuhi, berarti tidak memenuhi untuk dinobatkan sebagai pemimpin. Apabila disimak satu persatu persyaratan di atas maka akan ditemukan sejumlah nilai-nilai yang terkandung di dalam pappasang tertentu.
Seorang pemimpin itu harus mempunyai pengetahuan dan menguasai adat istiadat selanjutnya dapat diaplikasikan pada semua pihak. Sebaliknya, karena tanpa pengetahuan yang stu ini, maka akan mengalami kesulitan dalam memimpin terutanma terhadap rakyat yang dipimpinnya. Demikian pula bila seorang pemimpin berperilaku terpuji otomatis akan disenangi dan dicintai oleh rakyatnya sehinggasegala kesulitan, rintangan dan hambatan dapat diselesaikan dengan baik. Seorang pemimpin juga harus tabah dalam menghadapi masa kepemimpinannya, karena yang dihadapinya itu banyak orang yang memiliki karakter dan pribadi yang berbeda-beda, sehingga diperlukan suatu kesabaran dan harus berjiwa besar dalam menghadapinya. Persyaratan lain yang cukup berat bagi seorang calon pemimpin adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang ditandai dengan nilai keimanan yang cukup mantap. Sedangkan persyaratan berikutnya harus menguasai hokum dan perundang-undangan yang berlaku dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Selanjutnya, bagi seorang pemimpin yang akan melanggengkan masa kepemimpinannya, maka ada lima persyaratan lagi yang harus dipenuhinya sebagaimana yang diamanahkan dalam pappasang berikut ini :
Nia lima parakara naballaki karaeng makgauka namajannang ri kakaraenganna. Makasekrena; Lambusuki ri Karaeng sekrea, malambusuki ri paranna karaeng, malambusuki ri pakrasanganna, malambusuki ri tau jaina, malambusuki mange rikalenna siagang ri bone ballakna, malambusuki mange ri sangkamma nacinika mata, nalangngereka toli. Makaruanna; Apa-apa erok na gaukang iareka erok na kanang, nacinippi dallekanna, nakira-kira bokona, appatangarappi ri pakbicaranna, nasabak sabajik-bajikna gauka ia mintu gauk nipassamaturukia. Makatallunna; Malompo pangngamaseangi siagang malompo pannulungi ri tau jaina, Makaappakna; Jarreki rijanji namalukmu kana-kana siagang mabajik panggaukang risesena adaka siagang saraka, Makalimana; Baranipi rigauk kontu tojeng.
Terjemahan :
Ada lima sifat yang haris dipenuhi oleh seorang raja (pemimpin) bila ingin tetap langgeng dalam jabatannya. Pertama; Jujur kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT), jujur kepada sesame raja (pemimpin), jujur kepada negeri tetangganya, jujur kepada rakyatnya (orang-orang yang dipimpinya), jujur kepada dirinyasendiri, jujur kepada keluarganya, bahkan harus jujur kepada segala sesuatu baik yang dapat dilihat maupun didengar. Kedua; Apa saja yang dilakukan ataupun yang diucapkan, maka seorang raja/pemimpin selalu memikirkan akibatnya dan setelah mendapat restu dari pemangku adat/stafnya, karena sebaik-baiknya perbuatan ialah yang disepakati bersama. Ketiga; Sangat pengasih dan penolong kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya. Keempat; Memegang teguh janji atau ikrar yang disepakati bersama, berkata-kata dengan lembut dan berperilaku menurut ketentuan adat. Kelima; Berani bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran.
Kelima persyaratan tersebut di atas yang bila dapat dipenuhi seorang pemimpin, maka akan amanlah suatu Negara ataupun instansi yang dipimpinnya tanpa mengalami kendala atau hambatan yang cukup berarti.
- Nilai Sirik na pace (Kehormatan)
Apabila diamati secara seksama keberadaan pappasang sangat didominasi dengan nilai-nilai sirik. Sirik yang biasa pula dipadankan dengan kata pacce merpakan falsafah hidupnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh HD Mangemba (1989:1) bahwa sirik na pacce itu adalah pandangan hidup dan inti kebudayaan orang-orang Makassar.
Secara harfiah kata siri berarti malu dan dapat pula berarti kehormatan, harga diri dan martabat seorang manusia. Sedangkan kata pacce bermakna pedih dan perih yang dirasakan meresap ke dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Karena itu selain sebagai wujud rasa solidaritas, pacce ini juga berfungsi sebagai alat menggalang persatuan, kebersamaan bahkan menjadi motivasi untuk berusaha walaupun dalam kondisi memprihatinkan. Padanan kata siri na pacce ini dapat diibaratkan satu mata uang dengan dua sisi yang saling melengkapi. Keduanya merupakan konsep ideal dalam berpola pikir dan berperilaku ditengah-tengah masyarakatnya.
Begitu tingginya penghargaan orang-orang Makassar terhadap sirik na pacce ini, sehingga dapat dijadikan sebagai barometer penilaian tentang layak tidaknya seseorang disebut tau (manusia). Dalam konsep budaya Makassar dikenal istilah tau dan rupa tau, dimana secara harfiah kedua istilah tersebut merujuk kepada makhluk yang bernama manusia. Namun apabila disimak lebih mendalam lagi dua istilah tersebut mempunyai perbedaan.
Menurut Hakim (1992:46) konsep tau dalam budaya Makassar menggambarkan manusia yang paripurna, dimana seluruh aspek kehidupannya diwarnai dengan nilai-nilai sirik disatu sisi dan pacce disisi lain yang disertai dengan takwa kepada Tuhan sebagai wujud orang yang beragam. Selanjutnya, dapat menempatkan diri pada posisi yang semestinya sebagaimana yang tercermin dalam ungkapan empoi ri gauk siratannayya, disamping itu ia juga pandai menempatkan orang lain pada tempat yang semestinya, yakni dengan, napaempoi paranna tau ri gauk siratannayya.
Untuk lebih jelasnya lagi tentang konsep tau manusia yang paripurna ini dapat dikemukakan pada pappasang berikut :
Katutui siri’nu nanujagai mallaknu nasabak iaminjo sirikka siagang mallaka akjokjok ri niaknu tau tojeng-tojeng.
Terjemahan ;
Peliharalah kehormatanmu serta takwamu kepada Allah, karena sirik dan takwa itulah yang menjadi identitas manusia yang paripurna.
Sedang mereka yang diistilahkan rupa tau adalah kebalikan dari apa yang telah dikemukakan diatas, orang-orang seperti itu bukanlah tau atau manusia, melainkan ia hanyalah makhluk yang menyerupai manusia, suhingga disebut akrupa tauji (menyerupai manusia/orang) pernyataan ini terungkap dalam pappasang yang mengemukakan :
Ia iannamo tau allakkaki sirika siagang mallaka, maknassa tanjari taumi antu
Terjemahan :
Barang siapa yang meninggalkan sirik dan takwa kepada Tuhan, pada hakikatnya orang yang demikian itu bukanlah manusia lagi
Sejak lama orang-orang Makassar berpandangan bahwa keberadaan seseorang perempuan dalam sebuah rumah tangga merupakan lambang kehormatan bagi keluarganya. Oleh karena itu ketinggian martabat seorang perempuan terkandung pada sanggup tidaknya menjaga dan mempertahankan kehormatan serta kesucian dirinya, sebagaimana yang terungkap dalam pappasang yang mengatakan kapanrakangna bainea ampelaki sirikna yang artinya kehancurannya seorang perempuan pada saat ia mengorbankan kehormatannya.
- Nilai Persatuan dan gotong royong.
Nilai budaya moral yang dapat dipetik dalam pappasang turiolo ini adalah yang terkait dengan sikap persatuan dan gotong royong. Dalam pappasang Makassar seperti yang disimbolkan dengan ungkapan akbulo sibatang, assamaturuk, akbayao sibatu, dan kana/gauk sekre. Sebagai contoh kita perhatikan pappasang berikut:
Assamaturuk kana laloko ri sekrea jama-jamang nasabak taenamo
antu assauruki gauk assamaturuk.
Terjemahan:
Bersatu padulah menghadapi suatu pekerjaan, karena tak ada yang
dapat mengalahkan perbuatan yang demikian.
Bajiko assamaturuk nanukalliki boriknu, ianna na niak emponu mangurangi
Terjemahannya;
Kamu harus bersatu membela negaramu, semoga menjadi kenangan bagi generasi muda sesudahmu.
Pappasang ini menganjurkan pada setiap individu agar mengutamakan sikap persatuan dalam menghadapi suatu pekerjaan atau persoalan. Dengan persatuan, suatu pekerjaan atau persoalan dapat diatasi, yang berat menjadi ringan dan yang sulit menjadi mudah..
- Nilai Usaha dan Kerja Keras
Kerja keras sama artinya dengan kata kareso, tamatappuk dalam bahasa Makassar. kareso berarti kerja dan tamatappuk berarti keras. Kerja keras adalah salah satu sikap hidup yang perlu ditanamkan kepada setiap individu di dalam mengerjakan sesuatu. Jika sikap ini dipegang teguh atau dilaksanakan, peluang untuk mencapai kesuksesan hidup juga akan tercapai. Hal tersebut dapat kita lihat pada pappasang berikut ini.
Akbulo sibatangpakik
na mareso tamatappuk
na nampak niak
sannang la ni pusakai
Terjemahan:
Hanya dengan persatuan
diserati kerja keras
barulah
kebahagiaan tercapai
Resopa siagang tambung ri karaenga nalatei pangngamaseang
Terjemahannya;
Hanya dengan semangat kerja yang tinggi disertai niat ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa, usaha kita berhasil.
Akkaresoko, nasabak tenamo antu ansauruk lakbiriki wasselek titik songokta
Terjemahannya;
Bekerjalah dengan giat, karena hasil (rezeki) yang diperoleh dari tetesan keringat sendiri itulah yang paling mulia.
Sejumlah pappasang di atas menganjurkan bahwa tangan harus selalu digerakkan. Artinya, setiap individu harus selalu bekerja keras dan tekun. Bekerja apa saja, asalkan halal. Hanya dengan cara seperti ini keselarasan, keserasian, dan keharmonisan antara kehidupan lahiriah dan batiniah akan tercapai.
Setiap individu tidak boleh berprinsip seperti dalam ungkapan Makassar ero annganre tea kareso (mau makan tidak mau bekerja) atau akpala-palak (minta-minta). Prinsip seperti tersebut di atas merupakan sikap batin yang sangat tercela. Karena itu, harus di atasi dengan akkareso atau anjama (bekerja keras). Sebagaimana dikemukakan dalam pappasang berikut ini;
Laabbiriki appala, mingka lakbirampa ia assarea
Terjemahannya;
Meminta itu baik, tetapi member jauh lebih baik.
- Penutup
Sebagai uraian penutup dari tulisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut; Pertama nilai budaya yang terkait dengan kejujuran baik terhadap kepada Tuhan Yang Esa, maupun terhadap orang lain dan diri sendiri; Kedua nilai budaya yang terkait dengan kepemimpinan; Ketiga nilai budaya yang terkait dengan sirik na pace atau kehormatan; Keempat nilai budaya yang terkait dengan persatuan, dan; Kelima nilai budaya yang terkait dengan usaha dan kerja keras.
Pappasang sebagai salah satu warisan budaya harus tetap dipelihara dan dijaga kelestariannya agar tidak hilang ditelan masa. Ia sebaiknya dihidupkan secara turun temurun dari generasi ke generasi karena terkandung bermacam-macam ajaran moral yang dapat dijadikan pegangan dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan, baik yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi..
Demikianlah beberapa nilai-nilai moral budaya orang Makassar yang berkaitan dengan pappasang sebagai salah satu hasil karya klasik para leluhur di daerah ini, yang meskipun sesungguhnya pemikiran nilai budaya seperti itu juga terdapat pada kebudayaan suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia. Namun semuanya ini tergantung bagaimana masyarakat pendukungnya dalam memelihara dan menghargai nilai budaya yang telah dibangun oleh pendahulunya.
Daftar Pustaka;
Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustidaka Utama.
Hakim, Zainuddin, 1992. Pappasang dan Paruntuk Kana dalam Sastra Klasik Makassar Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
Koentjaraningrat 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Koentjaraningrat, 2003. Pengantar Antropologi,. Jakarta: Rineka Cipta.
Moeliono, Anton M. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka
Moleong, Kexi, I, 2005. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rahim,Rachman 1985. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis, Makassar: Lembaga Penerbitan UNHAS.
Suseno, Frans Magnis. 2008. Etika Abad Kedua Puluh. Yogyakarta: Kanisius.
Trenholm, Sarah @ Jansen, Arthur. 1996. Interpersonal Communication. California: Wadsworth Publishing Company
Wiramihardja, A. Sutarjo. 2007. Pengantar Filsafat (Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Lodika dan Filsafat Ilmu ‘Epistemologi’, Metafisika dan Filsafat Manusia, dan Aksiologi). Bandung Ad
Yatim, Nurdin, 1983. Subsistem Honorifik Bahasa Makassar: Sebuah Analisis Sosiolinguistik, Jakarta: Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat itama.
Yunus, Ahmad, dkk, 1990. Kajian Analisis Hikayat Budistihara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan