Migrasi Orang Bugis: Adaptasi Kemelayuan danStabilitasSosialEkonomi
(Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi)
BUGINESE MIGRATION: ADAPTABILITY IN MELAYU AND SOCIAL-ECONOMIC STABILITY (SOCIAL-ECONOMIC HISTORICAL REVIEW)
Oleh Simon Sirua Sarapang
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar
Telepon dan Faksimili: (0411) 865166
ABSTRACT
Ater the independence of Indonesia, internal conflict in 1950, marked with local turbulence (DI/TII and Permesta Movements) resulting the large migration of the Buginese to Malaysia. Migration during this period is not only reflecting the relation between the elite as happen in kingdom era, but bringing forth a bigger social relationship which reach the lower class. The migration waves continue therefore the larger of the social relationship grow and stimulates a pretty strong adaptation as Melayu. This long lasting cultural relationship is responsing and creates a new relationship which is important for the sustainability of both culture. The Buginese migration creates relationship which is not only Melayu-cultured, but also social-economic stability interest within. Buginese can increase their social-economic status because of their journey to Malaysia will bring Melayu culture into a wider context in their native land (Bugis). The Buginese then adapts and bringing forth important changes in their native land, such as their way of seeing music, technology, agriculture, and their way of life. This article try to see the migration process of the Buginese since 1950 after the political and economical chaos in South Sulawesi. Observation in this article sees the migration process and it’s changes since 1950-2000. The main question to be answered is how the migration creates apatation to Melayu culture and strengthen both culture? About how the Melayu’s relationship have grown into a social and economical interest. To examine the Melayu relation of both culture which is no longer affecting only the elites, but also reaching deeper in social relationship within the context of the lower class society.
Keywords: migration, adaptation, Melayu, social-economic strength
Abstrak
Setelah Indonesia merdeka, konflik internal tahun 1950-an, yang ditandai pergolakan daerah (Gerakan DI/TII dan Permesta) mengakibatkan migrasi orang Bugis ke Malaysia secara besar-besaran. Migrasi pada periode ini tidak hanya mencerminkan hubungan antara elit (bangsawan) sebagaimana yang terjadi pada masa kerajaan-kerajaan, tetapi melahirkan hubungan-hubungan sosial yang lebih besar yang menyentuh masyarakat bawah. Gelombang migrasi terus berlanjut dan hubungan sosial itu semakin besar pula yang melahirkan adaptasi kemelayuan yang cukup kuat. Hubungan-hubungan budaya berlangsung lama telah merespon dan melahirkan hubungan-hubungan baru yang sifatnya sangat penting untuk keberlangsungan keduanya. Migrasi orang Bugis ke beberapa wilayah Malaysia melahirkan hubungan yang tidak sekedar persamaan kemelayuan, tetapi di dalamnya terdapat kepentingan stabilitas sosial dan ekonomi. Orang Bugis dapat meningkatkan status sosial ekonominya karena merantau di negeri Malaysia kemudian membawa budaya kemelayuan dalam konteks lebih luas di negeri asalnya (Bugis). Orang-orang Bugis beradaptasi dan membawa perubahan-perubahan penting dalam pola hidup di tanah Bugis, seperti cara pandang tentang musik, teknologi perikanan/pertanian, dan pola hidup sehari-hari. Artikel ini mencoba melihat proses migrasi orang Bugis sejak tahun 1950-an setelah kekacauan politik dan ekonomi merebak di Sulawesi Selatan. Fokus pengamatan dalam artikel ini adalah melihat proses migrasi dan perubahan-perubahannya sejak tahun 1950-2000. Pertanyaan utama yang akan dijawab dalam rentang periode itu adalah bagaimana migrasi itu melahirkan adaptasi kemelayuan sehingga memperkuat hubungan keduanya, bagaimana hubungan-hubungan kemelayuan telah berkembang menjadi kepentingan untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Untuk memeriksa hubungan kemelayuan keduanya tidak hanya menyentuh hubungan antara elit penguasa (bangsawan) semata, tetapi melihat lebih dalam lagi hubungan-hubungan sosial dalam konteks masyarakat bawah.
Kata Kunci : Migrasi, adaptasi, kemelayuan, ketahanan sosial ekonomi.
Pendahuluan
Begitu banyak naskah Melayu-Bugis yang mengisahkan hubungan keduanya. “Raja muda, “raja laut”, bajak laut, “sullewatang”, “pengembara”, “lanun” adalah kumpulan istilah yang banyak ditemukan dalam mengkaji histriografi Melayu-Bugis. Kajiannya pun mengarahkan suatu benang hubungan Melayu-Bugis melalui proses migrasi, yang mengisahkan hubungan Melayu-Bugis dalam konteks elit. Menurut Asba (2006: 529-530), ada tiga gelombang migrasi untuk melihat benang merah hubungan Melayu-Bugis. Pertama, migrasi berlangsung sebelum proses islamisasi, kedua, terjadi pada proses islamisasi berkaitan dengan gerakan Politik Kerajaan Gowa untuk menundukkan kerajaan-kerajaan yang belum memeluk Islam, dan ketiga berlangsung setelah kerajaan Gowa dan Wajo dikuasai oleh VOC.
Orang Melayu dan Bugis melakukan migrasi kemudian keduanya memiliki peran penting dalam penataan sosial politik di tanah Melayu dan Bugis. Peran orang Bugis, misalnya dapat ditemui dalam novel Bulang Cahaya, sebuah novel dari Rida K. Liamsi. Walaupun hasil dari imajinasi tetapi berdasarkan kisah sejarah, didalamnya mengisahkan hubungan awal Bugis-Melayu dalam konteks kebangsawanan. Kemudian dapat juga ditemuai dalam kitab Silsilah Melayu dan Bugis beserta raja-rajanya yang ditulis tahun 1339 oleh Al Alim Alfadilah Marhuma Raja Ali, menunjukkan hubungan raja-raja Melayu dan Bugis. Ia mengisahkan migrasi bangsawan Bugis ke pelosok nusantara sampai di Malaysia dan kemudian menjadi sultan di negeri rantauan. (Kesuma, 2004).
Orang Bugis terkenal sebagai pelaut yang ulung, pedagang–pedagang yang pintar, dan pejuang–pejuang yang ganas (Eing, 1977: 30). Mereka juga termasuk pedagang–pedagang yang berpengaruh di dunia sebelah timur. Francis Light, seorang berkebangsaan Inggris yang berhasil mendapatkan Pulau Pinang ketika orang- orang Inggris sangat membutuhkan satu pelabuhan, mengatakan bahwa orang– orang Bugis pernah bekerja di kapal–kapal Portugis. Mereka ini selain bekerja sebagai buruh-buruh di atas kapal tersebut, juga bekerja sebagai penunjuk jalan bagi kapal–kapal Portugis yang berdagang di kawasan Nusantara ini. Dari pengalaman berlayar ini, orang-orang Bugis banyak mendapatkan pengetahuan tentang taktik perang dan cara menggunakan meriam-meriam besar, senapan-senapan, dan bahkan cara menggunakan baju besi.
Kerajaan Gowa dengan pelabuhan utamanya Somba Opu mulai di kunjungi dan berkembang sejak kejatuhan Malaka pada tahun 1511. Kejatuhan Malaka, sebuah kota pelabuhan utama di Asia Tenggara dan juga sebagai pusat penyebaran agama Islam ketika itu, telah mengakibatkan banyak pedagang, terutama pedagang Islam meninggalkan pelabuhan itu dan mencari tempat yang baru untuk melakukan perdagangan. Hijrahnya pedagang itu telah membawamunculnya beberapa pelabuhan baru dan juga penyebaran agama Islam di Nusantara ini. Secara pelan tapi pasti kota pelabuhan Somba Opu berkembang dengan pesat dan menjadi satu diantara sekian banyak kota-kota di Asia Tenggara yang memiliki jumlah penduduk yang besar. Perkembangan pesat itu telah mengundang VOC unuk menguasainya sebagai salah satu upaya untuk melakukan monopoli perdagangan. Namun, usaha itu mendapat perlawanan dari penguasa Kerajaan Gowa.
Sejak kedatangan orang-orang Melayu di Kerajaan Bugis-Makassar peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan sosial budaya dan bahkan dalam birokrasi. Karena besarnya pengaruh orang Melayu di Kerajaan Gowa misalnya, Raja Gowa ke XII, Mangarai Daeng Pamatte Karaeng Tunijallo membangun sebuah mesjid di kampung Mangalekka untuk kepentingan orang-orang Melayu yang tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam (Asba, 2006: 534). Berikutnya, migrasi orang Bugis-Makassar ke tanah Melayu pascaperang Makassar abad ke 17. Dalam penelusuran proses migrasi ke Johor Malaysia, di awal abad ke 17, tersebutlah diantara mereka nama-nama seperti Opu Daeng Parani, Opu Daeng Manambung, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Celak, dan Opu Daeng Kamase. Bangsawan Bugis-Makassar yang tidak menerima kekuasaan Belanda melakukan migrasi ke negeri Melayu yang pada akhirnya melahirkan hubungan Bugis-Melayu yang unsur kebangsawanan dan pemerintahannya lebih menonjol. Orang Bugis memiliki pengaruh dalam struktur politik pada kesultanan Johor. Hubungan kebangsawanan ini terus berlanjut seiring dengan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang diikuti proses migrasi berlanjut pula sampai sekarang ini. Dalam terminologi Bugis istilah migrasi lazim disebut sebagai sompe
Istilah sompe’ berasal dari bahasa Bugis yang artinya berlayar. Zaman dahulu, kendaraan yang paling lazim digunakan untuk bepergian jauh adalah (perahu) kapal layar. Maka, orang yang berlayar untuk bepergian jauh meninggalkan kampung halaman demi mencari penghidupan yang lebih baik biasa disebut passompe’. Antropolog dari Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Abu Hamid (2004), dalam buku Pasompe: Pengembaraan Orang Bugis, memaknakan pasompe’ sebagai pelaut-pedagang yang berlayar dari pulau ke pulau atau dari satu negeri ke negeri lain. Orang Bugis lekat dengan budaya migrasi karena ketangkasannya berlayar. Ini erat dengan hukum pelayaran dan perdagangan, seperti kontrak kerja, perkongsian, upah muatan/penumpang, dan utang-piutang.
Sompe’ yang dilakukan orang Bugis telah mengalami perkembangan dan perubahan, utamanya berkaitan dengan faktor-faktor sompe’ tersebut. Perubahan-perubahan ini melahirkan hubungan-hubungan baru yang tidak lagi mencerminkan hubungan elit semata, tetapi bersentuhan dengan lapisan masyarakat bawah.Pertanyaan yang kemudian mengemuka, bagaimana dengan hubungan Bugis-Melayu dalam periode kontemporer? Apakah paradigma hubungan elit masih bertahan atau telah mengalami perubahan? Bagaimana pula migrasi orang-orang kecil yang terus berlanjut itu? Dan sejauh mana hubungan-hubungan baru ini memberi kontribusi sosial ekonomi masyarakat, baik bagi Melayu maupun Bugis? Pertanyaan-pertanyaan ini secara otomatis menggiring kita pada suatu kajian kontemporer tentang hubungan Melayu-Bugis pada kurun periode tertentu. Artikel ini berusaha memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus diharapkan dapat menjadi salah satu pemikiran perlunya penelitian-penelitian lebih lanjut dan kontemporer tentang hubungan Melayu-Bugis yang tidak hanya memperlihatkan peran elit, tetapi juga melibatkan orang-orang awam (masyarakat biasa). Hal ini dimaksudkan agar historiografi kemelayuan mampu menggambarkan masa lalu masyarakat secara optimal, sejarah kehidupan sehari-sehari, sejarah yang manusiawi, keragaman eksplanasi, dan keberagaman epistemologis.
Diaspora orang Bugis: Suatu Pengantar
Penggunaan konsep diaspora sebagai wacana dalam antropologi semakin populer karena konsep diaspora ditarik dari kesukaran yang dalam paradigma etnik dan ras yang ada, khususnya dalam mengenali tingginya perpindahan penduduk secara transnasional dan adanya bentuk-bentuk identitas yang lebih hibrid (Anthias, 1998b: 576). Selain itu, juga karena konsep etnisitas tidak dapat melihat hubungan yang simbiotik antara migran, negara penerima, dannegara asal (Anthiasa: 559). Hal ini disebabkan oleh paradigma etnisitas cenderung mengabaikan level transnasional dan hanya berfokus pada kerangka negara dan bangsa. Implikasinya adalah ketika kemajuan teknologi dan informasi berkembang sangat pesat, banyak para ahli memprediksi memudarnya atau bahkan hilangnya ikatan-ikatan berdasarkan etnisitas, ras, dan bangsa (Hutchinson & Smith 1996). Memang, kategori etnisitas itu merujuk pada populasi yang dihubungkan dan menghubungkan atas kesamaan tempat asal, esensi, dan pengalaman yang berbeda. Namun dengan bertambah banyaknya orang-orang yang hidup tidak di negeri asalnya lagi, konsep etnisitas menjadi hal yang problematik.
Oleh karena itu, konsep diaspora memiliki kekuatan wacana secara politik dan intelektual melalui metafora akan akar, tanah, dan kekerabatan (Soysal, 2000:13). Namun, menurut Athias (1998a), konsep diaspora tidak ditujukan atau menggantikan konsep tentang etnis. Anthias berpendapat bahwa konsep diaspora bergantung pada sebuah konsepsi ikatan etnis yang utama, tetapi dinamis. Identitas etnik dalam bentuk yang kontemporer lebih memfokuskan pada pencarian atas akar dan dasar, namun juga menjangkau berbagai macam pengalaman, baik dari negeri asal dan sekarang, untuk membentuk sesuatu yang baru dan lebih positif dapat dimanfaatkan untuk intervensi budaya yang lebih efektif dalam wacana yang rasialis (Hall 1992). Hal ini juga untuk mendesain bentukan identitas baru, yang memiliki karakter yang lebih trans etnik dan transnasional.
Identitas orang Bugis-Makassar sangatlah dinamis dan bersifat situasional daripada esensial seperti beberapa ahli merujuk sebagai”creolised dan rhizomatic” dalam karakternya (Deleuze & Guattari 1987, Hebdge 1987 dan Malkki 1992). Konsep esensialis sebaiknya dihindari dalam menganalisis identitas kultural di dalam komunitas diaspora seperti yang dikatakan oleh Hall (1990: 235)’
“The diaspora experience as I intend it here is defined, not by essence or purity but by the recognition of a necessary heterogenety and diversity, by a conception of identity which lives with and through, not despite, difference, by hybridity. Diaspora identitas are those which are constantly producing and reproducing theselves a new through transformation and difference.”
Clifford (1988: 1) juga mengatakan hal yang sama bahwa identitas para diaspora tidaklah boleh dilihat sebagai root essence karena hubungan yang bersifat isomorphic yang menghubungkan antara idenitas dengan tempat tidak lagi menjadi sebuah pegangan dan bahkan cenderung menjadi hal yang problematik.
Kemudian untuk memeriksa diaspora Bugis-Makassar dalam beberapa jaman yang berbeda menunjukkan adanya kesinambungan perubahan di dalamnya,baik latar belakang diaspora, maupun tujuan diaspora. Diaspora Bugis-Makassar sejak perjanjian Bongaya yang ditandatangani, 24 Juni 1669, di benteng Somba Opu akhirnya jatuh ketangan VOC (baca: Kompeni Belanda). Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape alias Sultan Hasanuddin dipaksa turun. Kerajaan Gowa-Tallo runtuh. Makassar pun tak lagi jadi kiblat perdagangan anak-anak negeri di wilayah timur Nusantara. Bukan saja harus mengakui kekuasaan Belanda, Sultan Hasanuddin dan pengikutnya juga dipaksa mematuhi Perjanjian Bongaya (1667) serta perjanjian-perjanjian sebelumnya (1660). Lalu, Gowa antara lain harus melepas kontrol atas sejumlah daerah sumber ekonomi dan penopang kekuasaannya. Belum lagi ancaman hukuman bagi mereka yang dituding telah membunuh orang-orang Belanda semasa perang. Butir-butir perjanjian Bongaya yang dimaksudkan untuk mengakhiri Perang Makassar tahun 1667 — dua tahun sebelum Sultan Hasanuddin sebagai penguasa Somba Op tidak lagi terlibat dalam perdagangan dan pelayaran benar-benar bertekuk lutut setelah dibombardir pasukan Cornelis Speelman dan sekutunya—itu sangat merugikan posisi tawar bangsawan dan kerabat kesultanan.
Pengalihan kontrol kekuasan Gowa kepada kompeni melemahkan perekonomian kerajaan. Apalagi adanya larangan kepada rakyat Gowa agar tidak lagi terlibaat dalam perdagangan dan pelayaran. Pembatasan-pembatasan itu bukan saja menjatuhkan peran ekonomi kerajaan, melainkan juga memudarkan wibawa bangsawan Bugis-Makassar yang terikat dalam Perjanjian Bongaya.
Namun, akhir perang dasyat dalam sejarah VOC di Nusantara tersebut justru awal dari periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika perantauan orang Bugis-Makassar di tanah Air. Jika sebelumnya hanya masyarakat pada umumnya yang bermigrasi ke seantero Nusantara, sejak Perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi banyak dimotori bangsawan. Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam pergeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat Perjanjian Bongaya menimbulkkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur kepulauan Indonesia. Selain mendapatkan monopoli dagang di pelabuhan Makassar, Belanda juga menerapkan berbagai pembatasan. Raja Gowa bahkan diminta agar menganjurkan rakyatnya menanggalkan aktivitas kemaritiman mereka, dan mengubah profesi dari pelaut menjadi petani.
Munculnya kekuasaan otoriter di kawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi. Katanya, “Mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak Viking yang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru”.
Di tempat baru, orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial politik lokal. Sebutlah di Lombok, Sumbawa, Kalimantan,Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, bahkan di Siam. Sampai abad XVIII, prajurit ganas ini menjadi momok di Nusantara. Migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar tersebut ikut mewarnai dinamika lokal. Mukhlis Paeni mencatat, sepanjang dua abad (XVII-XIX) lebih mereka tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi dan politik, tetapi juga akulturasi sosial budaya melalui perkawinan campuran. Fenomena ini bukan migrasi biasa.Ia menyebutnya diaspora Bugis-Makassar. Bangsawan dan raja-raja kecil yang terikat dalam persekutuan dengan Kerajaan Gowa—beserta pengikutnya tersebut mengembara dan membuka daerah baru, yang kemudian menjelma menjadi komunitas-komunitas Bugis-Makassar di berbagai daerah di Nusantara.
Mereka mencari arena yang lebih leluasa untuk kehidupan yang lebih bebas, sekaligus menegakkan kewibawaan mereka di mata pengikutnya. Di tempat-tempat baru mereka membaur kedalam dinamika sosial politik lokal yang berlangsung melalui kerja sama saling menguntungkan. Keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal di berbagai tempat di Nusantara masih bisa dilacak kini. Dinamika lokal ini berefek positif pada tumbuhnya kesadaran-kesadaran yang selanjutnya dapat menjadi kesadaran kolektif.
Di Kalimantan, Sumatera, dan Tanah Semenanjung, keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal juga memberi warna baru. Di beberapa tempat mereka bahkan bisa masuk ke pusat kekuasaan istana, baik sebagai raja muda (dalam kasus di Kesultanan Melayu, di Johor dan Riau) maupun sebagai raja atau sultan, seperti di Aceh, Selangor, Trengganu, Pahang, danMempawah. Dalam naskah Tuhfat Al Nafis secara gamblang dijelaskan perjalanan lima bersaudara yang kemudian melahirkan generasi yang memiliki peran penting dalam dinamika Melayu. Raja Ali Haji adalah keturunan langsung kelompok The Rulling Class penguasa Bugis-Makassar yang telah berhasil mendominasi politik di daratan semenanjung dan Kepulauan Riau, serta kawasan-kawasan di sekitarnya seperti Sambas, Pontianak, dan Mempawa di Kalimantan Barat pada permulaan abad ke 19.
Dalam bidang kesusasteraan, Raja Ali Haji menulis naskah silsilah Melayu Bugis dan Tuhfat Al Nafis mahakarya sastra dan kisah sejarah yang mendunia. Tomi Halman menggambarkan bahwa Raja Ali Haji adalah aktor sejarah yang melihat dan mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari keturunan masyarakat Bugis di Kepulauan Riau dan di daratan Semenanjung. Di dalam silsilah Melayu Bugis diberitakan bahwa Opu Tenri Bong Daeng Rilaka adalah saudara kandung Payung Luwu dan Opu Daeng Biyasa. Mereka bertiga disebut sebagai putra-putra dari Lamaddusila. Selain itu, mereka disebut cucu Datu Soppeng dan Datu Arung Betteng Pola dari Wajo. Opu Daeng Rilaka dan kelima putranya kemudian mengembara sampai di Tanah Melayu dan selanjutnya mengambil peran penting dalam dinamika politik lokal.
Di pulau Jawa, misalnya, baik naskah Babad Tanah Jawi maupun Babad Keraton Jawa menggambarkan prajurit-prajurit dari timur Nusantara ini membantu Trunajaya mempereteli kekuasaan Mataram yang disokong Belanda. Nama Karaeng Galesong dan Karaeng Daeng Naba, dua bangsawan Kerajaan Gowa-Tallo, jadi tokoh sentral dalam kisah perseteruan itu. Tiga puluh dua makam prajurit dari Gowa di kompleks Pemakaman Mlati, Sleman, Yokyakarta, adalah saksi sejarah keterlibatan orang Bugis-Makassar dalam dinamika politik setempat. Label kesatuan prajurit Bugis dalam “ketentaraan” di Keraton Yogyakarta yang ada saat ini menjadi bukti lain dari eksistensi Bugis_Makassar di jantung kekuasaan Mataram. Dokter Wahidin Soedirohoesodo—pahlawan nasional, tokoh pendorong lahirnya Budi Utomo—–ternyata leluhurnya pun keturunan Bugis-Makassar. Daeng Naba: Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi orang Bugis-Makassar dalam pentas sejarah nusantara memiliki peran penting kalau tidak dikatakan sentral dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia.
Demikian pula, peran Syech Yusuf di Kesultanan Banten dalam melawan Belanda. Pada waktu Syech Yusuf sampai di Banten yang menjadi raja adalah Sultan Abu al-Mafakhir Abd al-Qadir (1596-1651). Muhammad Yusuf yang ramah dan tampan itu serta memiliki bekal ilmu agama Islam dalam bidang ‘aqidah, syari’ah, akhlaq dan gramatika bahasa Arab, disambut gembira oleh Sultan Abd al-Qadir. Muhammad Yusuf cepat sekali akrab dan bersahabat dengan Abd al-Fatah bin Abu al-Ma’ali bin Abual-Mafakhir, putra mahkota yang kelak akan menjadi raja Banten dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa, persahabatan ini akan sangat berpengaruh atas jalanhidup Muhammad Yusuf kelak. Atas persahabatan itu, Syech Yusuf mengambil peran sosial politik dan bersama–sama Sultan Ageng Tirtayasa berjuang melawan dominasi Belanda.
Jejak Bugis-Makassar di Tanah Jawa Sejarah etnis Bugis-Makassar dan Jawa memiliki pertautan. Darah Bugis Makassar yang mengalir dalam tubuh Dr. Wahidin Sudirohusodo, pelopor Budi Uomo, adalah fakta bahwa betapa etnis Bugis Makassar yang tersohor sebagai pelaut ulung sekaligus perantau ulung telah melahirkan tokoh yang berperan dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Pendapat yang selama ini berkembang bahwa bangsa Indonesia lahir berkat perjuangan etnis tertentu adalah keliru, melainkan bangsa ini lahir dari pergolakan multietnis yang tersebar di seluruh Nusantara.
Penelusuran genetis Dr. Wahidin Sudirohusodo berawal pada bangsawan Bugis-Makassar, Karaeng Daeng Naba mengembara ke Jawa setelah Kerajaan Gowa takluk pada Kompeni Belanda tahun 1669. Di Jawa, Daeng Naba terlibat dalam intrik perebutan kekuasaan antara Trunajaya melawan Mataram, yang mengantarkan Daeng Naba pada posisi negosiator antara pasukan Trunajaya-Madura, dan Karaeng Galesong tidak berhadapan dengan pasukan Mataram melainkan berhadapan dengan pasukan kompeni.
Selain keterlibatan dalam dunia perdagangan hingga politikkekuasaan, ”sumbangan” terbesar dari sejarah sosial orang-orang Bugis- Makassar pasca Perjanjian Bongaya adalah lahirnya manusia baru Nusantara dari perkawinan campuran dengan warga setempat. Akulturasi budaya pun terjadi. Disanalah akar kemajemukan yang menjadi kekuatan bangsa disemai dalam taman keindonesiaan kita hari ini.
Migrasi Orang Bugis Periode Kontemporer
Penduduk Sulawesi Selatan terdiri atas tiga suku bangsa; Bugis, Makassar, dan Toraja. Orang Bugis yang berjumlah kira-kiratiga setengah juta orang, mendiami kabupaten-kabupaten: Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng-Rappang, Enrekang, Pinrang, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajenne Kepulauan dan Maros. Kedua kabupaten tersebut terakhir, merupakan daerah peralihan yang penduduk pada umumnya menggunakan bahasa Bugis-Toraja-Makassar. Kabupaten Enrekang merupakan daerah peralihan antara Bugis dan Toraja dan penduduknya sering dinamakan orang Duri (Massenrempulu), memiliki dialek yang khusus, yaiut bahasa Duri (Lampe, 2005: 1). Orang Makassar yang berjumlah kira-kira satu setengah juta orang mendiami kabupaten-kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Maros dan Pangkajene Kepulauan, yang terakhir disebut merupakan daerah peralihan antara daerah Bugis dan Makassar. Penduduk pulau Selayar, walaupun menggunakan dialek khusus namun masih dianggap orang Makassar juga (Mattulada, 1993 276).
Tahun 1950–1962, dalam sejarah Sulawesi Selatan, pascaproklamasi kemerdekaan, terdapat dua peristiwa politik yang penting dan menonjol serta berefek pada berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat, yaitu; Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar (1950-1962) (Gonggong, 2004), dan Gerakan Permesta yang dipelopori perwira militer di Sulawesi Selatan (1957-962), (Harvey 1983, Leirissa, 1997). Perbedaan mencolok dari kedua gerakan ini terletak pada ideologi dan strategi perjuangannya. DI/TII Kahar Muzakkar secara tegas menyatakan diri sebagai gerakan yang beridiologi Islam sebagai landasan perjuangannya. Gerakan DI/TII terfokus di daerah pedalaman. Sedangkan Permesta adalah sebuah gerakan yang dipelopori perwira militer yang menawarkan suatu format pembangunan daerah dan menuntut otonomi. Utamanya Gerakan DI/TII, kedua gerakan ini memengaruhi struktur pemukiman serta migrasi besar-besaran penduduk di pedalaman.
Kondisi di atas mengakibatkan mundurnya ekonomi pedesaan, yang disebabkan oleh adanya musim paceklik pada tahun 1950-an, maupun karena situasi keamanan yang tidak stabil akibat Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar. Keadaan ini mendorong terjadinya migrasi besar-besaran dari pedalaman Sulawesi Selatan. Terdapat dua gelombang dari tahun 1945 hingga tahun 1970. Gelombang migran pertama di antara tahun 1945 hingga 1950 dari berbagai daerah di Indonesia Timur, sedangkan gelombang migran kedua dari tahun 1950 hingga akhir tahun 1970-an dan mereka umumnya berasal dari daerah di Sulawesi Selatan menuju berbagai daerah di Indonesia. Migran itu juga mendatangi kota Makassar sebagai daerah tujuan. Arus masuk migran ini lebih merupakan refleksi pentingnya posisi sosial politik kota Makassar di daerah Indonesia bagian timur dan untuk menghindari ketidakamanan dan ketidakpastian di daerah pedesaan bersamaan dengan meluasnya operasi militer, baik oleh TNI maupun oleh ‘gerombolan.’(Pradadimara, 2004: 8)
Penguasaan wilayah-wilayah tertentu oleh DI/TII dan operasi militer TNI dalam penumpasannya menjadikan daerah yang didiami oleh penduduk dalam keadaan tidak aman. Rakyat seringkali berpindah-pindah tempat, bahkan terkadang harus membuka permukiman baru demi mencari rasa aman. Oleh karena itu, selain berefek pada roda pemerintahan, eksistensi Gerakan DI/TII itu juga mempengaruhi perubahan struktur permukiman. Seperti, munculnya pemukiman-pemukiman baru akibat adanya perpindahan penduduk secara besar-besaran sehingga membentuk kampung-kampung baru. Penduduk sipil harus berpindah-pindah menghindari efek negatif dari pertempuran DII/TII dengan TNI.
Kemacetan dalam bidang pemerintahan di Sulawesi Selatan memberikan pula pengaruh pada bidang ekonomi terutama daerah kekuasaan DI/TII. Sumber-sumber perekonomian utama di daerah pedalaman, seperti kopra dan beras berada di bawah kontrol Gerakan DI/TII Kontrol ini menyulitkan kehidupan rakyat pada umumnya. Sebagian masyarakat meninggalkan pemilikannya mencari tempat yang aman. Sementara mereka yang bertahan mengalami kesulitan untuk menggarap lahan pertanian mereka seperti sawah atau kopra karena dinikmati oleh pasukan DI/TII baik untuk perjuangan mereka maupun untuk kepentingan pribadi. Banyak contoh untuk hal ini, misalnya, penduduk harus mempersiapkan bagi tentara DI/TII dalam jumlah besar. Sementara itu penduduk setempat terkadang diteror dengan pembunuhan, penganiayaan dan perampokan bahkan tindakan kekerasan terhadap kaum wanita berupa pemerkosaan,yang bukan tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab kemudian mengatasnamakan kelompok tertentu (Arisp Provinsi Sulawesi, Reg 488). Rasa tidak aman yang dialami oleh penduduk di pendalaman menyebabkan pengungsian penduduk. Sebagian besar penduduk pedalaman Sulawesi Selatan melakukan migrasi ke kota Makassar dan daerah-daerah lain termasuk ke Malaysia (Arsip Pemerintah Kotamadya Ujung Pandang 1926-1988 Volume I Reg. 184.). Pada akhir tahun 1965 dan awal tahun 1966 terjadi lagi migrasi yang cukup drastis sebagai akibat dari meletusnya Gerakan 30 September 1965. Anggota-anggota PKI yang dianggap terlibat dalam gerakan itu melarikan diri sampai ke Malaysia. Tampaknya dorongan migrasi pada periode ini lebih disebabkan oleh situasi politik yang tidak stabil.
Akan tetapi, tradisi migrasi orang Bugis berlanjut sampai kini. Namun migrasi pada periode ini tidak semata mencerminkan pengembaraan para bangsawan yang menolak kehadiran pemerintah kolonial, tetapi migrasi yang dilakukan oleh orang-orang marginal secara ekonomi, mereka umumnya petani penggarap dan nelayan di daerah pedalaman.Beberapa kasus memperlihatkan migrasi orang Bugis bukan karena motif ekonomi, melainkan persoalan pribadi menyangkut soal “siri” (harga diri), juga terdapat kasus hanya menjadikan negeri tujuan rantau sebagai tempat pelarian. Akibatnya merekapun menempati status migran pinggiran yang bekerja di perkebunan, buruh pabrik dan nelayan. Namun banyak diantara mereka berhasil meningkatkan status sosialnya. Mereka merantau untuk berusaha mencapai tujuan dengan meninggalkan negeri tempat kelahirannya, dengan maksud memperbaiki kualitas hidupnya. Perbaikan kualitas kehidupan mereka itu mencakup pada semua aspek dalam lapangan kehidupan, termasuk di bidang politik dan ekonomi. Banyak diantara mereka yang sukses secara ekonomi dan politik menjadi pemimpin dalam komunitasnya.
Keberadaan masyarakat Bugis dalam hubungan antarbangsa, baik dalam skala regional (Asia Tenggara) maupun dalam skala internasional (global) sudah terkenal sejak beberapa dekade yang lalu; khususnya dalam hubungan serumpun bangsa-bangsa Melayu mendapatkan kedudukan tertentu karena memiliki karakter khas yang memengaruhi dinamika kehidupan masyarakatnya. Salah satu aspek yang menjadi fokus perhatian adalah keberhasilan pengusaha Bugis dalam mengembangkan usahanya, karena didalam perkembangan masyarakat Bugis posisi pengusaha menjadi salah satu pilar penopangnya.
To sugikyang merupakan manifestasi dari kewirausahaan (pengusaha), to acca merupakan manifestasi dari kecendekiaan, to panritamerupakanmanifestasi dari keulamaan, dan to mapparenta merupakan manifestasi pengaturan kekuasaan dalam masyarakat. Ke empat pilar ini dalam filosofi ‘sulapa eppa’orang Bugis sekaligus merupakan orientasi pembentukan kompetisi dasar (rette) dalam pembinaan generasi mudanya. Dengan demikian, keempat indikator ini pula yang menjadi tolok-ukur keberhasilan hidup dalam masyarakat Bugis.
Keberhasilan merupakan titik awal sekaligus tujuan yang ingin di capai oleh seseorang dalam kehidupannya. Oleh karena itu, keberhasilan menjadi indikator kemajuan baik dalam diri individu maupun dalam suatu pranata masyarakat. Dalam mencapai keberhasilan tersebut terdapat sejumlah nilai dasar yang menjadi penopangnya dalam kehidupan suatu masyarakat.
Pola Adaptasi
Dalam perspektif kebudayaan, dapat dicermati bahwa heterogenitas kultural cenderung mapan dalam sebuah masyarakat prularistik, dan biasanya pula, heterogenitas kultural tersebut bersemi dalam budaya masyarakat yang demokratis. Atau paling tidak, masyarakat tersebut cukup terbuka dan adaptabel untuk menerima unsur-unsur budaya yang datang dari luar (berbagai etnis) baik sebagai sahabat, tetangga dekat dan kemudian menjadi anggota keluarganya setelah melalui asimilasi budaya.Bila heterogenitas kultural ini dapat terpelihara dengan baik, saling menghargai, mendukung, dan terintegrasikan dalam nilai-nilai kelokalan, maka dapat menghasilkan produk-produk budaya yang local genius.
Bila produk-produk budaya yang local genius ini diberdayakan secara persistensi, maka dapat menjadi bagian dari sebuah identitas/jatidiri, dan sekaligus perekat budaya bangsa. Tentunya dengan catatan, bahwa produk-produk budaya lokal tersebut harus didukung oleh masyarakatnya baik secara vertikal maupun horizontal. Dengan kata lain, masyarakat tidak sekedar merasa memilki (sense of belonging), tetapi juga merasa bangga (sense of pride) terhadap produk-produk budaya tersebut. Proses sebuah tradisi sangat dipengaruhi oleh daya dukung persepsi dan responsi masyarakatnya. Apabila sebagian besar lapisan masyarakat masih mendukung beredarnya sebuah produk tradisi, tradisi tersebut bakalan kuat dan tahan lama menjadi sebuah local geniusyang membumi.Local genius diterjemahkan sebagai unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang memiliki kemampuan defensif, akomodatif, serta integratif terhadap unsur-unsur budaya luar (Poespowardojo, 1989:120)
Produk budaya yang muncul dalam tata pergaulan sederhana Bugis Melayu dapat dilihat dari fleksibelitas cara orang Bugis beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam banyak kasus, migran Bugis mampu menempati posisi penting dalam masyarakat. Mempelajari teknologi baru dalam berbagai bidang kehidupan seperti pertanian dan perikanan atau membawa teknologi dari daerah asal untuk kemudian menjadi bekal mempertahankan hidup. Misalnya, nelayan Bugis di pesisir Teluk Bone menggunakan alat tangkap kepiting yang mereka sebut “bagang Malaysia” dan model perahu cepatyang mereka rakit sendiri adalah diadopsi dari model perahu orang Melayu di Tawau, Malaysia. Orang Bugis cukup terbuka dan adaptabel untuk menerima unsur-unsur budaya yang datang dari luar (berbagai etnis) baik sebagai sahabat, tetangga dekatnya, bahkan kemudian menjadi anggota keluarga setelah melalui asimilasi budaya.
Cara pandang orang Bugis kemudian berangsur-ansur mengalami perubahan dan membawa serta perubahan itu dari daerah asal. Cara pandang ini dapat dilihat dari minat orang Bugis Rantau dalam bidang musik dan makanan. Setelah kembali ke daerah asal, mereka memperkenalkan aliran-aliran musik baru lalu menjadi tren di tengah masyarakat. Aliran musik Malaysia begitu mudah diterima orang Bugis. Demikian pula dalam bidang makanan, ada kecenderungan orang Bugis Rantau telah terbiasa mengonsumsi produk-produk dari Malaysia yang kemudian diperkenalkan di daerah asalnya. Berbagai jenis makanan diperdagangkan di daerah Bugis yang dibawaoleh orang-orang Bugis Rantau.
Dalam bidang busana dan produk-produk kecantikan memperlihatkan hal yang sama, yaitu orang Bugis Rantau memperkenalkan jenis-jenis busana dan produk-produk kecantikan untuk diperdagangkan di daerah asal, kemudian mereka membawa jenis-jenis busana dan produk-produk kecantikan tersebut untuk diperdagangkan di daerah Malaysia. Tampaknya, migrasi orang pinggiran telah membawa pada suatu tata pergaulan yang lebih luas kendatipun masih sederhana dan dalam jumlah yang relatif kecil.
Fleksibilitas juga tampak dalam bidang jaringan mafia seperti, penyulundupan dan perampokan. Orang-orang Bugis sebagian bekerjasama dengan para pelarian dari negara-negara Asia Tenggara kemudian menjadi tokoh kunci dalam jaringan mafia itu. Penyulundupan yang terjadi di daerah perbatasan adalah bagian cara kerja jaringan mafia yang sebagian dari mereka berasal dari daerah Bugis.
Status Sosial Ekonomi
Dalam memasuki era globalisasi, orang Bugis harus mempersiapkan diri demi kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, perlu diadakan tinjauan untuk mengetahui apakah orang Bugis yang ada sekarang ini sudah siap menghadapi era globalisasi. Budaya yang dapat menghadapi tuntutan seperti itu adalah budaya yang tangguh, sehingga ia dapat menghimpun potensi untuk menghadapi tantangan dari luar.
Ketangguhan orang Bugis dapat diamati mulai dari proses rantau yang biasa disebut sompe sebagai pemberontakan sosial ekonomi. “Resopa temmangingi, matinulu, namalomo naletei pammase dewata sewwa-E.” Begitulah pesan tetua Bugis kepada anak cucunya. Bahwa ”Rahmat berupa kesejahteraan dari Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa diraih melalui kerja keras, gigih, dan ulet”. Bagi warga Bugis, semangat kerja keras yang biasa dilafalkan sebagai Makkareso tak hanya diwujudkan dalam bentuk bekerja ulet di tanah kelahiran atau di kampung asal. Guna bertahan hidup, di mana saja, semangat itu di kobarkan. Namun, lazimnya, kutipan pesan itu diucapkan para tetua kepada anak-anak muda yang meminta restu untuk ‘massompe’ atau merantau.
Semangat merantau itu merupakan wujud dari naluri kegandrungan akan tantangan adrenalin orang Bugis untuk hidup lebih baik ketika dirinya dihadapkan pada tantangan. Kondisi hidup berpahit-pahit dan bersusah-susah sedapat mungkin dikondisikan untuk memacu diri meraih kehidupan yang lebih baik. Semangat survival orang Bugis di tanah rantau, juga tidak lepas dari sistem sosial-budaya yang lekat dengan hierarki (kasta), yakni Arung (bangsawan/juragan) dan Ata (hamba/orang kebanyakan). Bagi orang kebanyakan yang ingin bebas dari sistem itu atau setidaknya ingin naik kelas sosial, merantau adalah salah satu pilihan. Peningkatan taraf hidup seseorang berbanding lurus dengan strata sosial yang disandangnya.
Atas dasar itulah, orang Bugis dalam rantauan bekerja keras untuk meningkatkan status sosial ekonominya. Kecenderungan aktivitas mereka adalah berdagang di pasar-pasar tradisional, nelayan di pesisir pantai, atau pun sebagai petani dan sebagian bekerja sebagai buruh pabrik atau buruh perkebunan kelapa sawit. Di daerah asal sebagian besar dari mereka tercatat sebagai orang-orang yang sukses dan meningkatkan status sosial ekonominya. Orang-orang berikutnya terinspirasi untuk melakukan perantauan dengan harapan dapat pula meraih sukses seperti para pendahulu mereka. Oleh karena itu, aktivitas orang Bugis ini telah memberi kontribusi untuk kelangsungan ekonomi, baik di daerah tujuan rantau maupun daerah asal.
Penutup
Migrasi orang Bugis sejak tahun 1950-an ke negeri Melayu melahirkan hubungan-hubungan baru antara orang Bugis dengan orang Melayu. Periode migrasi ini tidak lagi memperlihatkan pengembaraan elit (bangsawan) sebagaimana yang terjadi pada abad ke-17, tetapi menunjukkan hubungan-hubungan masyarakat yang lebih luas. Proses migrasi pada periode ini didorong oleh upaya peningkatan status sosial ekonomi. Mereka yang melakukan migrasi adalah masyarakat yang terpinggirkan secara ekonomi. Mereka umumnya adalah petani penggarap di daerah pedalaman yang tidak memiliki lahan pertanian atau nelayan tradisional yang tidak memiliki modal. Merantau kemudian menjadi pilihan hidup untuk meningkatkan status sosial ekonominya.
Migrasi orang Bugis tersebut kemudian melahirkan hubungan-hubungan baru dengan orang Melayu. Orang Bugis mengadopsi berbagai macam pola hidup lalu diperkenalkan ke daerah asal. Cara pandang tentang budaya dan teknologi pertanian dan perikanan memengaruhi pola hidup orang Bugis. Demikian pula, hubungan secara personal dan sederhana melahirkan bentuk perdagangan baru antarnegara. Orang-orang Bugis memperkenalkan berbagai macam produk busana dan kecantikan di tanah Bugis, demikian sebaliknya, membawa barang-barang keluar untuk diperdagangkan di tanah rantauannya. Hubungan-hubungan ini menunjukkan pergaulan yang cukup luas. Demikian pula orang-orang Bugis yang sukses dalam perantauan berhasil meningkatkan status sosial ekonominya. Mereka juga umumnya menempati posisi penting dalam bidang ekonomi di negeri rantau.
Artikel ini telah memberi pandangan sederhana tentang migrasi orang Bugis pada periode kontemporer dan hubungan-hubungan Bugis-Melayu dalam ranah sederhana dan bersifat personal. Studi tentang hubungan ini menarik untuk dikembangkan, mengingat sejarah orang-orang kecil yang melakukan migrasi penting diketahui sebagai kerangka untuk memahami pola tingkah laku, pandangan-pandangan mereka, adaptasi mereka, agar dapat menjadi acuan untuk memahami berbagai persoalan yang melingkupinya.
Daftar Bacaan
Al Alim Alfadilah Marhuma Raja Ali, 1339 H Kitab Silsilah Melayu dan Bugis beserta raja-rajanya
Arsip Pemerintah Kotamadya Ujung Pandang 1926-1988 Volume I Reg. 184
Arsip Provinsi Sulawesi 196-1960 Reg. 488
Asba,A. Rasyid 2006 “Bugis Melayu dan Melayu Bugis: Menarik Benang Merah Sejarah yang Putus”, dalam Kemelayuan Indonesia dan Malaysia: Sejarah dan Sejarah Maritim, Sosial Politik, dan Ekonomi. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI.
Dijk,Cornelis van 1983 Darul Islam Sebuah Pemberontakan (terjemahan) Jakarta: Grafiti Press.
Gonggong, Anhar 1992 Abdul Kahar Muzakakar: Dari Patriot Hingga Pemberontak, Jakarta: Grasindo
Harvey,Barbara Sillars 1983 Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Grafiti Press
harvey,Barbara Sillars 1989 Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi Ke DI/TII, Jakarta: Tmprint
Kesuma,Andi Ima 2004 Migrasi dan Orang Bugis Yoyakarta: Ombak, 2004.
Lampe, Munsi “Masyarakat Massenrempulu Sebagai Suatu Suku Bangsa”Makalah disajikan dalam Forum Dialog Budaya Etnis Massenrempulu yang diadakan oleh Jaranitra tanggal 22 Juli 2005 di Makassar.1
Leirissa, 1997 PRRI/Permesta: Strategi Pembangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta: Grafiti Press.
Liamsi,Rida K.Bulang Cahaya, Novel.
Mattulada, 1993. Kebudayaan Bugis Makassar dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Yogyakarta: Djambatan.
Pradadimara,Dias. 2004.Penduduk Kota, Warga Kota, dan Sejarah Kota: Kisah Makassar, Draf Pertama, Juli 2004. The 1st International Conference on Urban History, Surabaya, August, 23rd-25th 2004 hal.8.
Soerjanto Poespowardojo, 1989 Strategi Kebudayaan.Jakarta: Gramedia.