Menyaksikan Tegaknya Aturan Adat dalam Drama Teatrikal Rumah Panggung Salaka karya Alif Anggara

Oleh: Muhammad Aulia Rakhmat

Pamong Budaya Ahli Pertama Bidang Kesenian

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX

Salah satu adegan dalam drama teatrikal Rumah Panggung Salaka karya Alif Anggara
Sumber: Dokumentasi Muh. Aulia

Ketika aturan adat lebih kuat dari cinta seorang ayah, ‘Rumah Panggung Salaka ‘Bangngi Tangarak” membawa kita ke dalam dilema moral yang menggugah hati dan pikiran.

Drama teatrikal “Rumah Panggung Salaka ‘Bangngi Tangarak'” karya sutradara Alif Anggara ditampilkan pada 29 Juni 2024 di lingkungan Alluka, Kelurahan Salaka, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Takalar. Pertunjukan ini menyajikan kisah mendalam tentang kecemburuan, keadilan, dan tegaknya aturan adat. Cerita ini berpusat pada Karaeng Rewa yang karena dilanda kecemburuan, membunuh seorang pemuda bernama Mappa. Dalam akhir cerita, ayah Karaeng Rewa, seorang panrita bernama Karaeng Sewang, tetap menjatuhkan hukuman mati kepada anaknya, menegaskan bahwa keadilan dan aturan adat harus ditegakkan, walaupun kepada darah dagingnya sendiri.

Sejak awal, penonton sudah disajikan motif dari pemeran utama, sehingga tidak perlu menerka arah cerita. Kejeniusan Alif Anggara sebagai sutradara terlihat dalam kemampuannya memaksimalkan durasi dengan prolog singkat yang efektif, memungkinkan audiens untuk segera memahami alur cerita tanpa bertele-tele.

Mayoritas peran dalam drama ini dimainkan oleh muda-mudi asal Kelurahan Salaka yang tergabung dalam komunitas seni “Kaki ka Art Production”. Meskipun tergolong pendatang baru, mereka berhasil memainkan perannya masing-masing dengan baik. Beberapa aktor bahkan melampaui ekspektasi, menampilkan monolog yang cukup panjang dengan sangat natural. Latihan intensif selama satu bulan di bawah arahan Alif Anggara jelas terlihat dalam setiap adegan. Kerja keras, air mata, dan dedikasi para aktor dan seluruh tim terasa nyata, terutama saat pertunjukan selesai, di mana tangis dan bahagia menyatu dalam suasana haru.

Salah satu aspek yang patut diapresiasi dalam pertunjukan ini adalah konsep panggung yang diusung oleh tim artistik. Berbeda dari ekspektasi awal penonton yang biasanya melihat  panggung konvensional sebagai “center point”, kali ini saat tiba dilokasi pertunjukan kita tidak akan menemukan satupun panggung, yang nampak adalah kursi-kursi penonton yang di set ke arah sebuah rumah panggung khas adat makassar. Hal ini segera menimbulkan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran, “Apa benar rumah ini yang akan dijadikan tempat pertunjukan?”, “Sejauh mana rumah ini dapat dieksplorasi?”, dan “Bukannya ada dinding rumah yang bisa menghalangi pertunjukan?”.

Namun, keraguan tersebut dengan cepat terjawab seiring dengan berkembangnya alur cerita, terutama saat memasuki bagian konflik antara tokoh antagonis dan protagonis. Konflik yang terlihat samar melalui jendela rumah memberikan perspektif unik kepada penonton. Alih-alih menjadi penghalang, dinding dan jendela rumah justru memperkuat imersi penonton, membuat mereka merasakan sudut pandang sebagai masyarakat kampung yang sedang menyaksikan pertengkaran yang acap kali terjadi dalam kehidupan masyarakat desa.

Keputusan untuk menggunakan rumah panggung sebagai ruang pertunjukan bukan hanya inovatif, tetapi juga berhasil memberikan nuansa autentik dan intim kepada pertunjukan. Tim artistik berhasil mengubah elemen arsitektur tradisional menjadi set utama dalam alur cerita yang selaras dengan tema. Eksplorasi rumah panggung dengan segala detailnya memberikan dimensi tambahan pada cerita, membawa penonton lebih dekat dengan budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat Makassar.

Penggunaan ruang dan properti dengan cerdas, ditambah dengan pencahayaan yang tepat, menciptakan suasana yang mendalam dan realistis. Setiap jendela, pintu, dan sudut rumah panggung digunakan secara maksimal untuk memperkuat narasi dan emosi yang dibangun dalam cerita. Ini adalah bukti dari kemampuan luar biasa tim artistik bersama dengan sutradara dalam merancang dan mengimplementasikan ide kreatif yang tidak hanya menarik secara visual tetapi juga mendukung  konsep pertunjukan

Secara keseluruhan, “Rumah Panggung Salaka ‘Bangngi Tangarak'” adalah karya yang berhasil menyampaikan pesan moral yang kuat. Penegakan keadilan dan aturan adat menjadi tema sentral yang disampaikan dengan sangat baik melalui akting yang mumpuni, arahan yang brilian, dan kerja keras seluruh tim. Pertunjukan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang keadilan dan tanggung jawab, menjadikannya pengalaman teater yang tak terlupakan bagi para penonton.

Tidak ada panggung yang terlalu kecil untuk menampung kisah besar; ‘Rumah Panggung Salaka’ membuktikan bahwa tradisi dan inovasi dapat bersatu dalam sebuah pertunjukan yang menggugah hati dan pikiran.

Para Pemeran Drama Teatrikal Rumah Panggung Salaka foto bersama sesaat setelah pertunjukan selesai
Sumber: Dokumentasi Muh. Aulia