Mengenal Orang Bajo Lewat Beragam Teknologi Alat Tangkap di Sulawesi Tenggara

MENGENAL ORANGBAJO LEWAT BERAGAM TEKNOLOGI ALAT TANGKAP DI SULAWESI TENGGARA

 

RECOGNIZING THE IDENTITY OF PEOPLE OF BAJO THROUGH VARIOUS FISHING EQUIPMENTS IN SOUTHEAST SULAWESI

 

Syamsul Bahri

 

Peneliti aspek budaya pada instansi Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Direktorat Jenderal Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI

E-Mail: syamsulbahrihabibi@yahoo.co.id

 

 

Abstract

 

The people of Bajo is one of few tribes in Indonesia which considered as the great sailors. In fact, for centuries, up until present generation, marine environment is still their main space to earn a living eventhough day by day it eventually showing it is life-threatening indication such as the waves, the turn of the season, etcetera. The same as their prey animal especially fish and other marine biota as their main catch, has a different character when it comes to identifying types, scale, lifestyle etc. As described, condition of the sea and the biota force them to find equipment/tools/trap and strategies to minimize the problem that may occur during fishing. Such as building an equipment to fish accordingly, aside from making variant of fishing equipment, also produce a different fish and marine biota. Same as Bajo’s fisherman and their spread area in Southeast Sulawesi, each group lives on their area and produces cultural product which then become their identity, even though there are some group that produce the same product. Fisherman in Saponda known for their utilization of types of bubu, therefore producing export-quality fish; fisherman in Bungin Permai known for their utilization of crab trawl, therefore producing crabs; fisherman in Langara Laut known for their sero’, therefore producing many kinds of marine biota; and fisherman in Petohaa known for their utilization of types of fishing rod, therefore produce types of fish. Method used in this study is a qualitative method, and the data gathering method through observatioin and interview, aside from literature study.

 

Keywords: fishermen, Bajo, tribe, sea, fishing equipments

 

Pendahuluan

Makalah ini merupakan hasil penelitian menyangkut orang Bajo di desa Saponda dan desa Langara Laut, Bungin Peramai, dan Petoahaa.Kondisimasing-masing wilayah berbeda, yaitu Saponda dan Langara laut tumbuh pada area kepulauan, yaitu Saponda di Pulau Saponda, dan Langara Laut di Pulau Wawonii. Sedangkan Desa Bungin Permai dan Kelurahan Petoahaa, tumbuh dengan menempati area pesisir pantai.Khusus Bungin Permai justru tumbuh di permukaan air dengan kondisinya kadang terlihat kering. Melihat kehidupan orang Bajo pada empat wilayah persebarannya, walau klasifikasi aktivitas dikatakan sangat sedikit perbedaannya, tetapi justru perbedaan yang sedikit inilah menjadi acuan untuk mendapatkan suatu bentuk ketertarikan dan keunikan dalam melihat orang Bajo di masing-masing wilayah persebarannya, bahkan justru menjadi cirinya. Seperti orang Bajo di Pulau Saponda (tahun 2007), dalam keterkaitannya dengan kehidupan dunia laut, masyarakatnya menjadikan bubudalam beragam kategori sebagai alat tangkap prioritas dalam mencari nafkah, sehingga mampu memproduksi beragam jenis ikan berkualitas ekspor, seperti ikan kerapu dan sunu dalam berbagai kualitas.

Kategori bubu dimaksud, yaitu satu dirancang dari bahan berupa rang dalam bentuk persegi lima dan satu jenis bubu lainnya dirancang dari bahan besi beton untuk keperluan rangka dan anyaman tali nilon yang ditempatkan pada keempat sisi. Sedangkan bagi orang Bajo yang bermukim di Langara Laut, berdasarkan amatan yang berlangsung tahun 2009, masyarakatnya dalam beraktivitas sebagai pemanfaat dan pengguna lingkungan laut, lebih memprioritas pencaharian ikan dan jenis biota laut lainnya, dengan memanfaatkan satu kategori alat tangkap yang disebutbelle/sero, adalah sebuah alat tangkap yang pengoperasiannya memanfaatkan sebuah area yang terdapat dalam lingkungan laut yang disebutref, yaitu area yang berada di tengah laut dimana kondisi airnya cukup dangkal, sekaligus menjadi tempat lalu lalang dan berkumpulnya beragam jenis biota laut. Bahkan pada area dimaksud terlihat pula tumbuh beragam tanaman laut dan batu karang yang menampakkan sebuah panorama yang indah, sehingga mampu memproduksiberagam jenis ikan dan biota laut sejenisnya.

Dua wilayah permukiman lainnya, yaitu di Desa Bungin Permai dan di Kelurahan Petoaha. Kedua wilayah permukiman tersebut, dibangun dan tumbuh dengan menempati area pesisir. Khusus di wilayah permukiman yang disebut Bungin Permai, walau permukiman ini terlihat tumbuh dengan kondisi mengapung di atas permukaan air, tetapi tidak menempati sebuah area pulau. Artinya, wilayah permukiman ini cukup dekat dengan daratan. Bahkan Bungin Permai sebagai sebuah permukiman terkadang terlihat menyerupai daratan. Di Bungin Permai ketika dilangsungkan pengamatan (tahun 2008), orang Bajo yang menjadi dominan sebagai penghuninya, dalam keterkaitannya dengan dunia laut, mereka dalam melakukan aktivitas sangat terkesan dengan menonjolkan penggunaan alat tangkap yang disebutnya bubu dan pukat. Namun bubu dimaksud berbeda dengan bubu pada umumnya, yaitu dikhususkan untuk mencari kepiting, begitu pula dengan pukat, adalah diperuntukkan untuk mencari kepiting.

Jenis bubu yang dikhususkan mencari kepiting dirancang dengan menggunakan bahan baku besi sebagai rangka dan rajukan tali nilon yang ditempatkan pada setiap sisinya yang berbentuk persegi empat atau menyerupai kotak. Hal yang paling prinsip membedakan dengan jenis bubu lainnya, selain sasaran tangkapnya, perakitannya, juga yang tak kalah pentingnya adalah teknis operasionalnya, yaitu dengan cara dibentangkan seperti saat membentangkan sebuah pukat. Begitu pula halnya dengan pukat yang khusus mencari kepiting, yang membedakan dengan pukat biasa, adalah mata jaringnya jauh lebih kecil (hanya sekitar 0,5 inchi), dan kedalaman yang tercebur ke air lebih panjang, ukurannya sekitar2-3 meter. Satu unit bubu khusus untuk mencari kepiting, panjang tali bentangannya rata-rata mencapai 1000 meter dengan jumlah bubu sebanyak 500 buah, tetapi tidak tertutup kemungkinannya masyarakat pendukungnya merancang dalam ukuran lebih kecil.

Lain lagi ditemukan di wilayah Petoaha yang merupakan sebuah wilayah permukiman juga dihuni umumnya orang-orang Bajo, tumbuh dan terbangun dengan menempati area pesisir. Ketika pengamatan dilangsungkan (tahun 2010), warganya dalam aktivitas kesehariannya dominan sebagai pemanfaat lingkungan alam laut, memprioritaskan aktivitasnya mencari ikan dengan menggunakan pancing yang dirancang dalam berbagai kategori dan kegunaan, mulai dari kategori yang dirancang untuk mencari ikan dalam berbagai jenis ukuran, hingga pada pancing yang digunakan mengail cumi-cumi.

Kehadiran orang Bajo yang sudah pada posisi penduduk tetap di wilayah Sulawesi Tenggara hingga dewasa ini, populasinya sudah hadir dalam jumlah besar. Dikatakan demikian, berdasarkan informasi dari berbagai media, termasuk dari kalangan pemerintah dan masyarakat terkait, orang-orang Bajo justru diklaim sebagai salah satu kelompok sosial yang mendominasi hunian pada hampir seluruh jejeran pulau-pulau yang tersebar di Sulawesi Tenggara. Kehadiran orang Bajo sebagai penghuni pulau dan daerah pesisir, justru masih menunjukkan sebuah kontradiksi. Mereka sebagai sebuah kelompok yang boleh terbilang jumlahnya cukup besar, hadir bukan pada posisinya sebagai sebuah suku bangsa sebagaimana pengklasifikasian suku-suku bangsa yang ditemukan di Sulawesi Tenggara. Padahal orang Bajo hadir dengan membawa identitasnya. Salah satunya adalah kepemilikan satu bahasa khusus yang disebutnya bahasa Bajo. Malah segelintir orang mengatakan, bahwa Bajo terlahir sebagai sebuah subetnis, hanya saja suku bangsa induknya tidak jelas.

Terjadinya kontradiksi seperti dikatakan sebelumnya, justru tersikapi oleh Zacot dalam sebuah tulisannya yang merupakan hasil peneltian yang dilangsungkan di daerah Sulawesi Utara. Dalam tulisan tersebut, beliau justruberani mengatakan, bahwa orang Bajo itu merupakan satu suku bangsa yang hidup dan tumbuh di belahan bumi Indonesia, dengan predikatnya sebagai suku pengembara laut (Zacot, 2008). Apabila kita mencermati lebih bijak tentang aktivitas kesehariannya, orang-orang Bajo itu wajar kalau dikatakan ia adalah kelompok sosial yang tergolong pengembara laut, karena mereka, sebelumnya hidup dari satu tempat ke tempat lain, dengan tujuan semata adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Artinya, ketika tempat yang satu itu dianggap kurang menguntungkan, mereka serta merta berlayar dan berpindah kemana yang diinginkan.Laut itu dianggapnya milik semua orang atau sebuah ruang potensial yang tidak bertuan.

Orang Bajo sebenarnya tidak memiliki tempat tinggal menetap, selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan alasan adanya upaya melihat kondisi lingkungan yang dianggap lebih baik dalam menyediakan kebutuhan hidupnya sebagai komunitas nelayan. Bahkan lebih sensitif lagi dikatakan, bahwa dahulu orang-orang Bajo hidup dan mengembangkan diri dengan menjadikan perahu sebagai rumah/tempat tinggal dan daratan justru dikatakannya hanyalah dijadikan tempat persinggahan sementara, sekaligus tempat berlindung ketika keselamatan jiwanya terancam dari hempasan badai yang kuat.

Mereka hidup dan bertempat tinggal di perahu, membuat kelompok sosial ini juga digelari sebagai manusia perahu. Bahkan Ridwan (2004) dalam sebuah tulisannya secara lebih berani mengatakan, bahwa orang Bajo atau disebut juga Bajau, merupakan satu di antara enam kelompok etnis utama di nusantara, yaitu Bajau, Butun, Bugis, Makassar, Mandar, dan Madura yang terkenal ketangguhannya di laut, termasuk digelari sebagai pelaut ulung. Kecuali etnis Bajau, orang Bugis, Makassar, Mandar, Butun dan orang Madura justru dicap sebagai orang laut yang tinggal didarat, tetapi bidang usaha utamanya adalah bekerja di laut atau disebut juga nelayan.

 

Bajo dan Asal Usulnya

Arti Bajo

Bajo, ketika dilihat sebagai sebuah kata, ia tidak bermakna apa-apa. Bahkan dalam bahasa Bajo sekalipun, kata Bajo ini tidak mempunyai makna atau arti. Tetapi ketika kata Bajo itu dikaitkan dengan kehadirannya sebagai salah satu kelompok sosial, maka ia dapat bermakna atau berarti. Seperti terhadap orang yang berlatar belakang etnis Bugis, justru kata Bajo dikatakannya berasal dari kata ta’bajo-bajo, yang diartikannya terbayang-bayang. Lain lagi yang terungkap dalam bahasa Lamaholot, justru kata Bajo diartikan dayung atau mendayung perahu. Bahkan di daerah Flores, khususnya di Flores Timur, Bajo yang merupakan kelompok sosial disebutnya dalam kata Wajo sama artinya Bajo, yaitu dayung atau mendayung perahu Bajo juga disebutnya watam dan besidu. Watam disini diartikannya pantai atau keseluruhan hidup di pesisir pantai. Sedangkan kata besidu diartikannya rumah panggung di atas air atau kehidupan di atas air (Faisal, 2009). Jadi, ketika kita mencermati apa yang dikatakan Bajo berdasarkan ulasan yang terungkap sebelumnya, maka kata Bajo memang dapat dikatakan sebuah kelompok orang dimana hidupnya tak terpisahkan dengan sebuah lingkungan alam yang dikatakan laut, dan perahu yang umumnya hanya dimanfaatkan sebagai sarana transfortasi justru menjadi sebuah kebutuhan vital dalam lingkungannya karena sebuah perahu bagi mereka dijadikan rumah atau tempat berlindung bersama anggota keluarganya.

Sedangkan kata Bajo dalam lingkup kehidupan orang Bajo sendiri menyebut dirinya dengan kata “sama” dan terhadap orang luar (bukan orang Bajo), menyebutnya dengan kata “bagai”. Kata sama seperti dikatakan (Nasruddin, 2003), adalah difokuskan pada orang Bajo yang masih bertempat tinggal di laut. Sebaliknya orang Bajo yang sudah bermukim di darat, disebutnya “bagai Sedangkan menurut Lapian (1987), sebutan Bajo atau Bajau terhadap orang-orang yang berlatar belakang sosial orang Bajo, hanya populer di kawasan Timur Indonesia. Sebab umumnya mereka dapat ditemukan di perairan Selat Makassar, seperti di pulau dan pantai timurKalimantan (sekitar Bontang), di Teluk Bone, yaitu di Pulau Bajoe, di Nusa Tenggara Timur, yaitu di Pulau Alor dan sekitarnya, di Kepulauan Banggae (sebelah timur Sulawesi), di Teluk Tomini, di Maluku Utara, dan di perairan Laut Sulawesi.

Merujuk pada uraian sebelumnya, ketika kondisi terurai dikaitkan dengan hasil amatan di empat wilayah persebaran yang menjadi sasaran amatan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa seperti apa pun orang Bajo disapa, dikategorikan, sekaligus dipandang, namun pada prinsipnya, orang-orang Bajo dimaksud merupakan sekumpulan orang yang hidupnya secara faktual tidak terpisahkan dari dunia laut,apakah ia hidup dengan membangun atau mendirikan bangunan rumah tinggalnya di daratan maupun di atas permukaan air, mereka tetap berada pada posisi sebagai komunitas yang tidak terpisahkan dari lingkungan alam laut. Faktanya, hidup dan segala bentuk aktivitasnya dihabiskan di laut, yaitu mereka tinggal di lingkungan laut, apakah ia di wilayah pulau atau di wilayah pesisir. Bahkan laut baginya, merupakan satu-satunya tumpuan harapan dalam meraup dan mencari nafkah guna mempertahankan kelangsungan hidup bersama anggota keluarganya.

Bentuk kasus yang dikisahkan orang Bajo yang bermukim di Bungin Permai terkait ketidakcocokan hidup di darat, yaitu ketika fasilitas permukiman mereka diporak-porandakan oleh kekejaman pasukan DI/TII yang ketika itu mereka terusir dan terpencar-pencar ke daerah yang dianggap lebih aman. Setelah wilayahnya dianggap aman, mereka tetap bersikap keras untuk kembali membangun dan menempati wilayahnya semula, walaupun pemerintah setempat melarangnya. Bahkan oleh pihak pemerintah menyediakan lahan untuk dijadikan wilayah permukiman baru, tetapi dalam perjalanannya, mereka merasa kurang cocok tinggal dengan dunia barunya itu (di darat).Ketidakcocokan orang Bajo dengan dunia daratan diperlihatkan ketika sebagian besar penduduk yang bermukim di wilayah dimaksud (wilayah daratan) terkena dua musibah, yaitu musibah pertama yang melanda mereka adalah saat itu mereka sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, termasukmencari kebutuhan hidup sehari-hari oleh karena hujan turun terus menerus sepanjang lebih kurang satu minggu. Musibah kedua yang melanda mereka, yaitu hampir seluruh penduduk ketika itu terkena penyakit gatal-gatal yang secara pengobatan medis tidak bisa disembuhkan.

Lanjut dikisahkan, kedua musibah tersebut baru dapat teratasi, ketika hujan mulai berhenti dan penyakit yang mereka derita sudah sembuh, ketika mereka bersikeras kembali meninggalkan wilayah permukiman baru mereka dan kembali membangun wilayah yang ditempati semula, yang dewasa ini disebut Bungin Permai. Oleh karena itu, ketika kisah ini kita cermati secara seksama, secara faktual ada benarnya, bahwa orang Bajo itu betul-betul susah dipisahkan dengan dunia laut. Apakah yang bersangkutan membangun dan menempati wilayah permukiman di daerah pesisir atau pun di daerah pulau, pada prinsipnya adalah sesuatu yang dianggapnya paling ideal.

 

 

Asal Usul Orang Bajo

Lain lagi ketika orang Bajo itu diusut dan dipertanyakan tentang asal usulnya. Jawaban atas pertanyaan ini dijawab secara spontan oleh kelompok orang Bajo yang ditemukan di empat wilayah yang menjadi acuan dalam tulisan ini, yaitu asal usul pendahulu saya dikatakannya dari Bajoe. Bajoe, merupakan sebuah daerah permukiman yang ditemukan di wilayah Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Wilayah yang populer dengan nama Bajoe, dalam catatan sejarah dikatakan, sejak dahulu hingga kini tidak pernah ditinggal pergi orang-orang yang memafaatkan lingkungan alam laut sebagai mata pencaharian utama (nelayan), khususnya bagi orang-orang yang terklasifikasi suku bangsa yang disebut suku bangsa Bajo. Bahkan dari hasil pantauan, mereka yang tergolong orang Bajo, walau hidupnya telah menyatu dengan masyarakat sekitarnya, mereka tetap berada dalam kafasitas memperlihatkan sebuah identitas, yang menandakan bahwa yang bersangkutan adalah orang-orang Bajo, dengan ciri khasnya adalah membangun rumah tinggal mereka di area perairan, termasuk matapencahariannya sebagai nelayan.

Kisah lain yang menceritakan tentang asal usul orang Bajo, khususnyainformasi yang didapatkan dari warga yang menghuni Pulau Saponda, mengatakan, bahwa asal usul orang Bajo adalah dari dua buah pulau yangdikenal dengan nama Pulau Mastillu dan Pulau Mistullu. Keduanya dikisahkan kondisinya seakan menyatu, sehingga dikatakan pulau suami-istri. Pulau Mastillu didaulat sebagai suami dan Pulau Mistillu didaulat sebagai istri. Berdasarkan ceritera yang beredar di kalangan masyarakat yang menghuni Pulau Saponda, kedua pulau kecil dikisahkan berada di negara Arab. Namun, ketika itu terjadi badai yang cukup besar, sehingga kedua pulau tersebut tenggelam dan semua penghuninya tersebar kemana-mana, diantaranya ke Johor, Philipina, dan ke wilayah yang didiami orang-orang Melayu. Bahkan dikisahkan, orang-orang yang hanyut terombang ambing terbawa gelombang ombak kemana-mana, dialah yang dikatakan atau dicap orang Bajo yang ditemukan dewasa ini. Khusus seorang yang menjabat raja Bajo ketika itu, ditemani putrinya serta beberapa pengikutnya terdampar di daerah yang menjadi cikal bakal dikatakan Bajoe. Bajoe dahulu, oleh sang putri raja Bajo mencapnya sebagai sebuah wilayah permukiman yang sangat indah, terutama kehadirannya yang dihiasi dengan tumbuhnya rumpun bambu, yang mana tanaman bambu inilah kelak melahirkan sebuah kisah yang unik dan menarik disimak bersama.

Munculnya kisah unik Bajoe sebagai sebuah wilayah ketika itu, oleh karena wilayah ini (Bajoe) hadir dengan pohon bambu yang tumbuh subur. Bahkan pohon bambu inilah yang menghasilkan sebuah kisah, yaitu ketika sang putri raja Bajo tiba-tiba mendekati rumpun bambu, lalu mengumandankan doa dalam wujud lantunan suara yang bernada bertanya, yaitu “mana kekuasaanku dan mana keturunanku”. Ketika doa itu terucapkan, tiba-tiba sebatang pohon bambu terbelah dan seketika itu pula sang putri raja menghilang dari penglihatan orang banyak. Dengan menghilangnya sang putri raja disinyalir masuk ke dalam bambu. Sebab bersamaan hilangnya sang putri raja dari pantauan orang sekitarnya, bambu yang tadinya terbelah seketika terlihat utuh kembali. Kisah hilangnya sang putri raja, lalu disikapi serius oleh sang raja, dengan cara mengambil sikap tegas memerintahkanpengikutnya untuk mencari putrinya. Sikap ketegasan yang diperlihatkan seorangraja, yaitu memberi ancaman yang berbunyi “jangan kembali sebelum putrikuditemukan, sebab kalau tidak, semuanya kubunuh. Pencarian spontan dilakukan, namun upaya pencarian berbuntut gagal, bahkan semua person yang terlibat mencarinya tidak ada lagi yang kembali.

Dibalik kisah penemuan sang putri raja, baru terwujud ketika seorang nelayan mengambil atau menebang bambu yang merupakan bahan baku pembuatan sebuah alat tangkap yang disebutbubu. Saat bambu tersebut dipotong-potong sesuai kebutuhan, yang tidak digunakan oleh nelayan dibuangnya ke laut. Ketika bubu yang dibuat dioperasikan, dan ketika diangkat keesokan harinya, nelayan bersangkutan menunjukkan perasaan gembira disebabkan bubu yang diangkat berat dan diprediksinya berisi banyak ikan yang terperangkap. Tetapi dibalik kegembiraan seorang nelayan, ternyata bubu yang diangkat bukan penuh dengan ikan, melainkan hanya penuh dengan potongan bambu. Bambu tersebut diperkirakan adalah potongan bambu yang sebelumnya dibuang ke laut. Kejadian bubu yang dipasang hanya mendapatkan potongan bambu berlangsung tiga kali.Pengangkatan bubu kali pertama dan kedua, bambu yang masuk ke bubu selalu dibuang kembali ke laut. Namun, yang ketiga kalinya, bambu yang masuk ke dalam bubu dibawanya pulang ke rumah dan langsung meletakkannya pada teras (galampa dalam bahasa Bajo).

Ketika potongan bambu yang ditempatkan pada teras rumah terkena sinar matahari yang cukup menyengat, saat itu pula terdengar suara tangisan seorang perempuan dari dalam bambu, dan suara tangisan pun diiringi kata- kata yang tertuang dalam bahasa Bajo, yaitu “nggai aku biasa tarua illau battitu dan nggai aku biasa singsara battitu”, artinya aku tidak bisa terkena panas matahari seperti ini dan aku juga tidak bisa menderita seperti ini. Dengan lantunan suara yang muncul pertama kalinya, suami istri nelayan terheran. Bahkan berselang beberapa saat muncul lagi suara tangisan yang juga diringi kata-kata yang berwujud ungkapan dalam bahasa Bajo, yaitu “tolohta aku lamunia andata pungaita ana’ aku”, artinya jika kita (nelayan) seorang bapak punya istri, maka dimintanya peliharalah saya sebagai anak.

Setelah tangisan kedua, muncul lagi suara tangisan yang ketiga yang juga diringi kata-kata dalam bahasa Bajo yang berbunyi, “lamumissa ndata pugauta nda au”, artinya kalau kita (nelayan) tidak punya istri, maka jadikanlah saya atau aku sebagai istrimu.Ketika suara tangisan dan dialog berakhir, sang nelayan membelah bambu tersebut, dan bersamaan itu pula muncul sosok perempuan dengan wajah yang cantik, dengan rambut yang panjang. Munculnyaseorang perempuan yang berparas cantik, seketika itu pula sepasang suami istri nelayan yang melihatnya lalu jatuh pingsan dan perempuan yang diperkirakan keluar dari belahan bambu lalu menolongnya, dengan cara mengambil air yang ditempatkan pada sebuah mangkuk, lalu mencelupkan rambutnya ke dalam air yang ada pada mangkuksetelah diberi mantra, dibasuhkan ke wajah sepasang suami istri yang sedang jatuh pingsan dan seketika pula mereka berdua langsung sadarkan diri. Dibalik kesadaran sepasang suami istri, ketiganya lalu berangkulan dan sepakat untuk tinggal dan hidup bersama.

Seiring perjalanan waktu, ketika keberadaan putri raja Bajo tercium kemana-mana, maka datanglah suruhan raja Gowa untuk menjemput perempuan yang dianggapnya penuh kisah unik dan kharismatik. Ketika perempuan tersebut diperhadapkan pada raja Gowa, maka sang raja tersebut tertarik dan berhasil mempersuntinnya. Dari hasil perkawinannya, membuahkan seorang anak. Namun sang anak tersebut ketika lahir tidak pernah mau berhenti menangis. Dengan tangisan sang anak yang tidak kunjung berhenti, tidak dimengerti oleh sang raja. Kondisi ini disiasati oleh seorang raja dengan berpura-pura pergi entah kemana, justru kepergiannya ditanggapi serius oleh sang istri. Dari kesedihan istri ditinggal pergi sang suami, maka seorang ibu tetap berusaha mendiamkan tangisan anaknya, dengan cara mendendangkan sebuah lagu yang dikomandankan dalam syair berbahasa Bajo, yaitu “punna bajo ri to bajo, punna tidung ia tiduang dan tidunni Gowa di sombayyang to Bajoa”, artinya Bajo bukan sembarang Bajo, kalau raja mempunyai adat, Bajo pun juga punya dan kalauraja disembah, Bajo pun ikut disembah. Dari kisah inilah yang menjadi cikal bakal orang Bajo mulai dikenal saat itu.

Selain kisah cikal bakal mulai dikenalnya orang Bajo seperti terungkap sebelumnya, juga masih ditemukan kisah lain, seperti terungkap oleh Ramadhan (dalam Faisal, 2009). Beliau dalam tulisannya menegaskan, bahwa asal usul orang Bajo diawali adanya ceritera yang berkembang terkait hilangnya sang putri raja Johor dari Malaysia, yang pada saat itu sedang melakukan tamasya laut. Kisah hilangnya sang putri raja disikapi keras oleh sang raja dengan cara memerintahkan pasukannya untuk mencari anaknya dan tidak diperbolehkan kembali jika tidak menemukannya. Ketika itu, seluruh pasukan pencari tidak ada yang kembali ke pusat kerajaan dan mereka tersebar kemana-mana sesuai hembusan angin, Mereka inilah yang terpencar kemana-mana dan menjadi cikal bakal orang Bajo dengan klasifikasi hidup di atas perahu dan mengembara kemana-mana, terutama di wilayah perairan Sulawesi.

Kisah berikutnya adalah disuarakan dalam tulisan Hafid, dkk. (1996). Beliau mengatakan dalam tulisannya, bahwa orang Bajo berasal dari sebuah daerah atau wilayah di Luwu-Sulawesi Selatan, yang disebutnya Ussu. Ussu merupakan sebuah wilayah yang terdapat di tepi danau yang ditumbuhi pohon kayu yang disebut walenrang. Daerah dimaksud, pertamakalinya dipimpin oleh seorang raja yang bernama Sawerigading, yaitu putra dari Batara Lattu. Ketika Sawerigading masih berkuasa, maka pohon kayu raksasa tadi diperintahkan ditebang untuk dijadikan perahu. Pohon kayu tersebut ketika ditebang terjadi banjir besar dan dikisahkan sebagai akibat pecahnya telurburung dalam sarang yang melekat pada pohon kayu dimaksud. Ketika terjadi banjir besar, penduduk di sekitarnya ikut hanyut dan tidak jarang menggunakan rakit dari bambu, melalui Sungai Malili tembus ke laut, hingga pada akhirnya terdampar di Gowa. Orang Luwu yang bermukim di darat melihat dan menyaksikan kejadian ini secara samar-samar, dalam bahasa Bugis dikatakan ta’bajo-bajo, yang artinya terbayang-bayang Saat kejadian inilah sehingga dikatakan orang-orang yang hanyut ini dicap sebagai orang Bajo.

Kisah berikutnya yang terkait dengan asal usul orang Bajo, juga terungkap dalam tulisan Ramadhan (Faisal, 2007). Beliau mengatakan orang-orang Bajo berasal dari dari Vietnam dan Philipina. Disinyalirnya sebagai daerah asal Vietnam dan Philipina oleh karena ditemukan banyak persamaan dalam bahasa kedua negara yang disebutkan sebelumnya Kalau pun ditemukan perbedaan, yaitu ada pada dialek yang umumnya dipengaruhi oleh dialek masyarakat yang ada di sekitar dimana orang-orang Bajo bermukim atau bertempat tinggal.

 

Pemahaman Orang Bajo Tentang Laut

Laut secara umum diartikan sebagai sebuah lingkungan alam yang merupakan wilayah perairan. Wilayah yang disebut laut, di Indonesia kehadirannya justru lebih luas dari wilayah daratan, yaitu 2/3 dari keseluruhan luas negara Indonesia Kondisi ini mengantar Indonesia meraih predikat sebagai negara maritim terbesar di dunia, dengan panjang garis pantai lebih kurang 81 000 km. Malah kepemilikan garis pantainya, Indonesia berada pada posisi kedua di dunia setelah Canada, (Mulyadi, S., 2007). Laut yang teramati secara fisik, justru terlihat sebagai sebuah lingkungan alam yang hadir dengan menuai banyak fungsi dan kegunaan, terutama dalam menunjang pencapaian tuntutan kebutuhan manusia dalam banyak hal, khususnya di Indonesia yang merupakan negara Kepulauan.

Seperti halnya, laut dijadikan sebagai sebuah sarana berlalulintas bagi transportasi laut, dalam rangka memudahkan penjalinan hubungan antarsatu wilayah dengan wilayah lainnya. Namun yang paling utama dalam keterkaitannnya dengan kehidupan manusia, khusus terhadap masyarakat pendukung dan pencintanya, justru laut yang merupakan lingkungan alam yang dijadikan manusia sebagai sarana mencari hidup. Laut merupakan lingkungan alam yang dijadikan sasaran garapan manusia karena banyak menyimpan sumberdaya yang menjadi kebutuhan dalam menunjang kelangsungan hidup manusia, baik itu kebutuhan akan bahan konsumsi yang langsung dapat dirasakan, seperti halnya berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya, maupun kebutuhan yang sebelumnya memerlukan proses untukdapat dinikmati manusia, seperti area pengeboran migas. Belakangan ini, laut juga menjadi area pembudidayaan tanaman rumput laut dan jasa-jasa yang erat keterkaitannya dengan kawasan rekreasi dan pariwisata patai yang faktanya belum dikelola secara optimal, (Dahuri,1999).

Khusus kehadiran dan posisi laut sebagai penyedia bahan kebutuhan manusia, terutama kebutuhan dalam bentuk konsumsi akan beragaman biota laut, disikapi lebih seksama dan bijak oleh orang-orang yang berprofesi sebagai nelayan, khususnya bagi orang-orang yang berlatar belakang suku Bajo, yang hadir dengan menghabiskan hidupnya semata di dunia laut, walau sebenarnya laut itu pula hadir dalam sebuah dilematis, oleh karena laut juga suatu ketika berada pada posisi pembawa bencana. Terjadinya kondisi seperti ini tidak terlepas dari kepemilikan sifatnya yang dikatakan mendua, sehingga terkadang ditemukan titik-titik tertentu sukar dimasuki atau dijamah orang, terutama untuk kegiatan survei, Smith (dalam Lampe, 1989).

Khusus bagi orang-orang yang berlatar belakang suku bangsa Bajo, pinsipnya melihat sebuah wilayah yang dikatakan laut dan pesisirnya adalah segala-galanya. Artinya, laut baginya adalah suatu lingkungan alam yang tidak dapat dipisahkan dari persoalan menyangkut hidup dan kehidupannya. Itulah sebabnya dalam setiap wilayah persebaran orang Bajo selalu dijumpai, baik posisinya sebagai penghuni wilayah pulau atau daerah pesisir Kondisi seperti ini terungkap sebagai dasar menguatkan pendapat banyak orang, termasuk di kalangan orang Bajo sendiri yang menganggap dirinya laut itu adalah segala-galanya yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupannya. Di samping itu pula laut yang walau penuh dengan tumpukan berbagai bentuk bencana, bagi orang Bajo juga tetap menjadikannya arena utama dalam berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya (hidup sebagai nelayan).

Keterikatan laut dengan orang Bajo, merupakan sesuatu yang tidak terpungkiri secara turun temurun, yaitu dari generasi terdahulu hingga generasi yang kita temukan sekarang ini, tetap memberlakukan laut sebagai sebuah lingkungan alam yang sangat dicintainya. Bahkan wujudkecintaan orang Bajo terhadap lingkungan alam laut, dapat kita jumpai lewat berbagai bentuk penerapan dalam kehidupan kesehariannya, terutama yang erat keterkaitannya dengan perihal mempertahankan lingkungan alam laut sebagai tempat tinggal dan bermukim, serta perihal mempetahankan lingkungan alam laut sebagai satu-satunya ruang produksi atau tempat beraktivitas dalam rangka berusaha menjaga kelangsungan hidupnya.

 

  1. Lingkungan Laut Sebagai Tempat Tinggal.

Berbagai ceritera yang berkembang di tengah masyarakat kebanyakan, termasuk di lingkungan kehidupan orang Bajo sendiri, bahwa dahulu orang Bajo menganggap daratan hanyalah sebuah arena atau tempat persinggahan sementara. Justru yang dijadikan arena tempat tinggal bersama keluarganya yang sebenarnya adalah di atas sebuah perahu atau disebut juga lepa. Di atas perahu inilah mereka sekeluarga berkumpul sambil melakukan segala bentuk aktivitas keseharian. Menurut mereka, dijadikannya sebuah perahu sebagai tempat tinggal dan tempat membangun hidup bersama anggota keluarganya, memang memungkinkan oleh karena dahulu, kondisi perahu yang mereka bangun umumnya dibuat atau dirancang menyerupai sebuah rumah kecil yang mengapung di atas air. Perahu dimaksud dalam perakitannya diberi atap yang berfungsi sebagai tempat berlindung para penghuninya dari terpaan teriknya sengatan matahari dan hempasan hujan.

Momentum sebuah kehidupan yang terfokus di atas sebuah perahu yang berlangsung dalam lingkup kehidupan orang Bajo, pada dasarnya berlangsung dengan tidak terlepas dari kepemilikan pola hidup yang disinyalemen selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau bahkan dari satu pulau ke pulau lainnya. Kesemua momen seperti ini dilakukan, adalah semata berusaha mencari-cari suatu bentuk kehidupan yang lebih terkesan dari sebelumnya. Selain wilayah yang disukainya diharapkan selalu berada dalam kondisi aman, terutama aman dari berbagai bentuk gangguan yang dapat membahayakan keselamatan hidupnya di samping berusaha mencari suasana kehidupan baru, terutama yang dianggapnya lebih terkesan baik dari sebelumnya, khususnya yang erat keterkaitannya dengan ketersediaan sumberdaya yang dapat mendukungkelangsungan hidup bersama anggota keluarganya sepanjang masa Momen- momen perpindahan dari satu tempat ke tempat lain bagi orang Bajo, membuat kelompok sosial bersangkutan mendapat julukan pula sebagai manusia pengembara laut.

 

  1. Lingkungan Laut Sebagai Tempat Berusaha

Lingkungan alam laut pada prinsipnya, berfungsi tidak ubahnya sama dengan lingkungan alam daratan Sebab laut dan daratan kita sama ketahui dapat menjadi tempat tinggal, dapat menjadi lalu lintas perhubungan, dapat menjadi tempat bermukim, sekaligus menjadi sebuah sarana atau tempat berusaha. Kalau pun terdapat perbedaan di antara dua lingkungan alam tersebut, hanya ditemukan pada bentuk fisiknya, yaitu lingkungan alam laut terlihat dalam wujud perairan dan lingkungan darat adalah berwujud daratan. Namun, bagi orang Bajo, dalam menjatuhkan pilihannyapada laut sebagai ajang satu-satunya tempat usaha. Oleh karena itu, dalam sejarah perjalanan hidupnya telah tercatatat. bahwa lingkungan alam laut sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan, sudah menjadi segala-galanya. Kondisi seperti diungkap membuat orang Bajo dalam hidupnya terus bertahan memanfaatkan laut sebagai sebuah ruang dan tempat berusaha yang ideal.

Dalam perjalanan hidup sosok manusia yang didukung kerasnya arus perubahan yang selalu mengarah kepada tingkat perbaikan dari yang dihadapi sebelumnya, maka persoalan yang dianggap ideal bukanlah sesuatu harga mati. Seperti halnya masalah pendidikan, yang sebelumnya kurang direspon, dewasa ini sudah mulai dilirik sebagai suatu kebutuhan. Sebab tidak terpungkiri, bahwa pendidikan formal dewasa ini dapat menjadi sebuah ukuran untuk mengarahkan masyarakat ke arah perbaikan hidup yang lebih baik daripada sebelumnya. Seiring dengan derasnya arus modernisasi yang mereka hadapi. Sebab ketika prinsip hidup masyarakat selalu berada pada posisi ketergantungan terhadap lingkungan alam yang hidup dengan kenyataan atau apa adanya, maka hampir dikatakan mereka sulit keluar dari himpitan dunia nyata yang lazim dengan sebutan dunia kemiskinan.

Besarnya taruhan harapan sebahagian besar orang-orang Bajo, adalah dari dua sisi yang saling mendukung, yaitu satu sisi lingkunganlaut tetap menjadi penyedia akan keberagaman sumberdaya hayat, laut yang sungguh dibutuhkan sebagai sosok manusia, dan satu sisi sosok manusia yang menamakan dirinya orang Bajo seakan tidak akan melepaskan diri dari dunia laut yang sudah berlangsung secara turun temurun,sebagaimana terungkap sebelumnya.Kondisi yang dihadapi bagi kelompok orang yang dikenal dengan nama suku bangsa Bajo memang dalam sejarah hidup, orang Bajo memiliki mitologi, legenda, dan ceritera-ceritera kepahlawanan yang kesemuanya menjadi paru-paru kebudayaannya dan menjadi rujukan yang paling tinggi dan tak dapat dipindahtangankan. Di dalam kisah-kisah inilah orang menemukan segala bentuk kepekaan yang dimiliki orang Bajo, alasan mereka untuk hidup, termasuk sedikit tentang masa depan orang Bajo.Bagi orang Bajo. dijadikannya lingkungan alam laut sebagai tempat melakukan aktivitas dalam rangka berusaha memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya, adalah menjadi sesuatu yang sulit terhindarkan. Sebab bagi orang Bajo dalam usaha memperkenalkan bentuk usaha yang menjadi kebiasaan orang tuanya memang berlangsung sejak dini, yaitu mulai dari bayi baru lahir, ari-ari yang diyakininya sebagai saudara sulungya ditenggelamkan kelaut oleh seorang dukun, sampai kepada pengenalan berbagai alat tangkap, kesemuanya tercermin dalam dongeng.

Itulah sebab dongeng dalam kisah sejarah orang Bajo ditujukan kepada anak yang dianggap lebih mudah menerima. Sebab dongeng yang ditujukan dalam bentuk wejangan nilai pendidikannya cukup besar. Itulah sebabnya, bagi orang Bajo belajar untuk menghormati anak-anaknya yang akan datang. Seorang anak dengan usia dini telah membentuk kesadarannya sebagai orang dewasa. Berlangsungnya kondisi seperti yang dikatakan sebelumnya, memang tidak lepas dari sebuah pernyataan yang dikemukakan Zacot (2008: 238). Beliau dalam salah satu tulisannya mengatakan, bahwa masyarakat Bajo adalah sebuah masyarakatyang sejak dini mempersiapkan seorang individu dalam perannya sebagai orang tua.

Kesemua momen-momen yang diungkapkan sebelumnya, adalah menjadi perihal yang melatari dan mengokohkan kehadiran orang Bajo yang penuh dengan julukan terkait dengan laut, termasuk dalam posisinya sebagai sebuah kelompok masyarakat yang menjadikan satu-satu lingkungan alam laut sebagi sebuah tempat melangsungkan aktivitas mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sifat ketulusan orang Bajo dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidup bersama anggota keluarganya dengan tidak memilih lingkungan alam lain, kecuali lingkungan alam laut, adalah menjadi sebuah wujud keunikan. Sifat keunikan seperti dikatakan memang tidak salah atau patut dijatuhkan pada kehadiran orang Bajo yang diketahui menjadi salah satu di antara kelompok masyarakat pelaut, seperti halnya orang Bugis, orang Makassar dan orang Madura. Perbedaan orang Bajo dengan kelompok masyarakat lain boleh dikatakan sangat prinsip. Sebab bagi orang Bajo, lingkungan alam laut merupakan dunia yang tidak terpisahkan dari kehidupannya, sehingga pencarian nafkah hidup pun mereka langsungkan di laut. Sedangkan masyarakat laut lainnya, pemanfaatan laut bukan segala-galanya, artinya mereka sewaktu-waktu bisa beralih profesi dengan meninggalkan dunia laut dan berjuang di darat.

 

Simpulan

Pertama, adalah menyangkut siapa itu orang Bajo, merupakan sebuah kelompok masyarakat yang hidup dan berkembang dengan menempati area kepulauan dan daerah pesisir. Khusus di daerah Sulawesi Tenggara, kehadiran orang Bajo hampir menempati seluruh jejeran pulau-pulau kecil, termasuk sebagaian besar wilayah pesisir.

Kedua, adalah menyangkut asal usul orang Bajo, secara faktual sukar diprediksi, namun kehadirannya sebagaisalah satu kelompok sosial, ada yang mengatakan orang Bajo berasal dari dua buah pulau kecil (Pulau Mastillu dan Pulau Mistullu) yang terdapat di negara Arab. Selain itu, ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa orang Bajo berasal dari Ussu, yaitu sebuah wilayah permukiman yang terdapat di Luwu. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa orang Bajo itu berasal dari negara Vietnam dan Philipina, hal ini terkait dengan adanya persamaan bahasa dari kedua negara yang disebutkan.

Ketiga, adalah menyangkut pemahaman orang Bajo tentang laut, dimana satu sisi laut dijadikan sebuah sarana tempat tinggal yang dianggap ideal. Pada sisi lain, laut juga membawa kontribusi besar dalam kehidupan orang Bajo. Oleh karena itu, laut menjadi sebuah ruang yang paling potensial dijadikan sasaran mencari nafkah dalam rangka memenuhi tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup, namun juga banyak membawa bencana ketika tidak dicermati secara bijak dalam pemanfaatannya.

 

SUMBER RUJUKAN

Alimuddin. Muhammad Ridwan, 2004. Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Dahuri, Rokhmini, dkk, 1999.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu Jakarta: Pradna Paramita.

Faisal, 2009. Nelayan Bajo di Bungin Permai (Studi Tentang Sistem Pengetahuan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut). Makassar: Metapena.

Hafid, Yunus, dkk, 1996. Pola Pemukiman dan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bajao di Bajoe-Bone-Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Selatan.

 

Lampe, Munsi, 1989.“Strategi-Strategi Adaptif yang Digunakan Nelayan Madura dalam Kehidupan Ekonomi Perikanan Laut”. Tesis. Jakarta: Fakultas Pascasarana Universitas Indonesia.

Lapian, A Bernad, 1987. “Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut. Sejarah Kawasan Laut Sulawesi pada Abad XIX”. Disertasi: Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Mulyadi, S.2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Suyuti, Nasruddin, 2003. “Bajo dan Bukan Bajo (Studi Tentang Perubahan Makna Sama dan Bagai pada Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasuasua, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara”. Makalah Kendari: Universitas Haleuleo.

Syamsul, Bahri. 2008. “Pengetahuan Lokal Orang Bajo yang Menunjang Kelestarian Lingkungan (Studi Tentang Pelestanan Lingkungan laut di Bungin Permai-Sulawesi Tenggara”. Hasil Penelitian. Makassar: Balai Pelestanan Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

Syamsul, Bahri. 2009. Strategi Adaptif Penangkapan Hasil Laut (Studi Masyarakat Nelayan Bajo di Saponda Sulawesi Tenggara. Makassar: Penerbit Metapena.

Syamsul, Bahri, 2009.“Etos Kerja Komunitas Bajo yang Menunjang bagi Eksistensinya sebagai Masyarakat Bahari (Studi Komunitas Bajo di Langara Laut-Wawonii-Sulawesi Tenggara).” Hasil Penelitian. Makassar: Balai Pelestanan Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

Syamsul Bahri, dkk. 2010.“Tekonologi Penangkapan Hasil Laut Berbasis Ramah Lingkungan (Studi Terhadap Komunitas Nelayan di Petoaha- Abeli-Sulawesi Tenggara)”. Hasil Penelitian. Makassar: Balai Pelestanan Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

Zacot Robert Francois. 2008. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Forum Jakarta-Pans. Ecole Francais d’Extreme-Onent.