Masa Depan Pekerja Anak di Paotere pada Waktu Sekolah

0
869

Oleh: Iriani, Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

“Dunia anak adalah bermain dan belajar. Akan tetapi berbeda dengan anak yang tinggal di sekitar Tempat Pelelangan Ikan Paotere, yang kesehariannya bergelut pada aktivitas membantu nelayan membongkar hasil tangkapan dan mencuci perahu”

Nelayan merupakan suatu komunitas yang memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan komunitas lainnya, seperti petani. Banyak aspek yang dapat menjadi bahan kajian pada kehidupan nelayan. Salah satu aspek yang sering menjadi bahan kajian adalah masalah ekonomi atau kemiskinan nelayan. Hampir semua nelayan memiliki permasalahan yang sama, khususnya bagi nelayan tradisional yang memiliki alat tangkap yang masih sederhana. Kehidupan ekonomi mereka mengalami fluktuasi sesuai dengan musim yang ada atau kondisi alam, yakni ada musim-musim tertentu mereka pergi melaut dan mendapatkan ikan dan juga ada musim dimana nelayan tidak bisa melaut dan tidak mendapatkan ikan.

            Selain kehidupan ekonomi nelayan, ada aspek lain yang sangat menarik untuk dikaji pada kehidupan nelayan yaitu keterlibatan anak-anak usia sekolah dalam aktivitas kenelayanan. Hampir semua masyarakat nelayan melibatkan anak-anak dalam proses perekonomiannya di pantai. Hal ini dapat disaksikan pada Tempat Pelalangan Ikan (TPI) Paotere di Kota Makassar. Banyak anak-anak usia sekolah ikut terlibat dalam kegiatan ekonomi di pelelangan.

Berdasarkan pengamatan, faktor ekonomi bukanlah satu-satunya alasan seorang anak ikut bekerja pada aktivitas kenelayanan yang berlangsung di tempat pelelangan ikan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada keluarga pemilik modal/perahu, yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang cukup, namun mereka lebih memilih bekerja dibanding bersekolah. Namun ada juga anak yang bekerja karena tuntutan ekonomi, selain itu juga karena pengaruh lingkungan sosial  di mana mereka berada.

Keterlibatan anak-anak dalam aktivitas kenelayanan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, ada yang terlibat karena ingin membantu ekonomi keluarga, ada yang terlibat karena ingin memperoleh penghasilan sendiri, dan ada pula yang terlibat karena dorongan budaya bahari yang dimiliki. Ada juga yang bekerja karena ingin menjadi punggawa seperti pamannya atau ayahnya, sebab untuk menjadi seorang yang berhasil memiliki alat tangkap harus dimulai dari bawah, yakni belajar membantu aktivitas kenelayanan, nanti lama-kelamaan perlahan-lahan akan menjadi seorang yang mampu memiliki alat tangkap, demikian ungkapan salah seorang anak yang sempat diwawancarai. Di samping itu adanya kepercayaan sebagian nelayan tradisional yang menganggap bahwa dengan melibatkan anak-anak, rezeki lebih mudah diperoleh sebab kegembiraan anak-anak merupakan sebuah doa atau pengharapan. Sehingga mengajak anak untuk ikut menangkap ikan dan aktivitas kenelayanan bukan hal yang baru atau aneh bagi masyarakat nelayan, sebab hal semacam itu juga merupakan proses sosialisasi untuk memperkenalkan kepada anak bagaiamana menangkap ikan dan merawat alat tangkap.

            Berkaitan dengan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang ada di wilayah pesisir tersebut, tepatnya di Kelurahan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah  cukup memadai. Oleh karena itu, masyarakat di Kelurahan Gusung Kecamatan Ujung Tanah secara umum anak-anak memiliki peluang untuk melanjutkan pendidikan sampai pada jenjang yang lebih tinggi. Namun kenyataan yang ada tidak demikian, anak-anak banyak yang putus sekolah dan bahkan ada juga yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan. Namun anak-anak tidak ingin sekolah dan lebih senang bekerja, dengan alasan lebih mudah mendapatkan uang dan hasil yang diperolehnya dapat mereka membeli apa yang mereka inginkan dan tidak harus meminta kepada orang tua. Oleh karena itu dari hasil wawancara dengan salah seorang anak bernama Bundu, menyatakan, bahwa “lebih baik bekerja dari pada bersekolah tinggi-tinggi, namun susah juga mendapatkan pekerjaan.

            Pekerja anak di Tempat Pelelangan Ikan Paotere tidak memerlukan keterampilan khusus, sehingga siapa saja boleh bekerja di sana yang penting mengikuti aturan yang ada, terutama kejujuran. Sebab nilai-nilai kejujuran dan kepercayaan sangat penting dimiliki oleh seorang anak. Apabila nilai-nilai tersebut tidak dimiliki oleh seorang anak, maka ia tidak akan bertahan lama bekerja. Namun sebaliknya apabila nilai-nilai kejujuran ada pada anak, maka dengan mudah ia diterima sebagai pekerja, kapan dan di mana saja. Adapun pekerjaan yang mereka kerjakan, seperti mengangkat ikan, mengangkat air untuk membersihkan perahu, membantu mengklasifikasikan ikan di atas perahu, dan berenang menjemput perahu nelayan yang membawa ikan. Sementara juragan akan memberi upah kepada pekerja anak sesuai hasil tangkapan yang terjual dan ada pula yang memberikan upah sesuai jumlah keranjang ikan yang diangkat.

            Setelah mereka mendapatkan upah dari juragannya, maka mereka bersenda gurau bersama teman-temannya dan bersama nelayan lainnya sambil menikmati hasil yang diperolehnya dengan membeli jajanan yang ada dijual di sekitar pantai. Suatu pemandangan yang lazim ditemukan di daerah pesisir pantai, khsusnya di kampung nelayan. Identias ini tidak mudah hilang dan bahkan tidak akan hilang, sebab keterlibatan anak merupakan bagian dari kehidupan mereka yang selalui muncul secara alamiah dan secara terus menerus.

Fenomena seperti ini sangat memprihatinkan, sebab anak-anak seharusnya tidak boleh bekerja. Berdasarkan Pasal 68 UU No.13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Dalam ketentuan undang-undang tersebut, anak adalah setiap orang yang beruumur di bawah 18 tahun. Berarti 18 tahun adalah usia minimum yang diperbolehkan pemerintah untuk bekerja. Namun demikian, anak-anak yang berusia 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Bilamana ada anak yang terpaksa bekerja, maka harus dengan persyaratan, di antaranya bekerja pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, lama bekerja maksimal tiga jam sehari. Kenyataannya tidak demikian, berarti melanggar amanah undang-undang.

Demikian secuil kehidupan anak yang sejak kecil sudah diperhadapkan antara bekerja dan bersekolah. Semoga menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah.

(Foto: Iriani, Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan)