Eksistensi Bissu di Bone Dalam Mempertahankan Nilai Budaya Lokal di Kabupaten Bone

0
11673

EKSISTEN BISSU DI BONE DALAM MEMPERTAHANKAN NILAI BUDAYA LOKAL DI KABUPATEM BONE

Oleh Masgabah

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan komunitas bissu di Kabupaten Bone. Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang munculnya Bissu di Kecamatan Bone diawali ketika Raja Luwu diturunkan dari langit. Karena tidak mampu mengatur kehidupan di muka bumi maka diturunkanlah bissu sebagai penghubung antara manusia dengan dewata. Bissu pertama bernama Lae-lae. Berawal dari sinilah Bissu kemudian menyebar keseluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk Bone. Terjadinya penumpasan terhadap Bissu oleh Pasukan Kahar Muzakkar dan masa Orde Baru disebabkan karena dianggap penyembah berhala dan tidak sejalan dengan syariat Islam serta tertuduh anggota Partai Komunis Indonesia. Keberadaan komunitas Bissu pasca penumpasan mengalami pergeseran peran, hal ini disebabkan karena perubahan sistem kenegaraan, dari sistem kerajaan menjadi negara kesatuan. Status Bissu sekarang hanya sebatas masyarakat biasa. Keberadaan bissu di masyarakat mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat Bone yaitu agama Islam.

 

 

 

 

PENDAHULUAN

Sejak ratusan tahun lalu, Suku Bugis yang mendiami Jazirah Sulawesi Selatan mengenal istilah bissu. Bissu adalah sebutan bagi pemimpin ritual agama Bugis kuno, sebelum pengaruh Islam masuk. Bissu, berasal dari kata bessi, yang dalam bahasa Bugis memiliki arti bersih. Mereka disebut bissu karena tidak “berdarah”, ”suci (tidak kotor)”, dan “tidak haid” bagi yang perempuan. Ada pula yang menyatakan bahwa kata bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha. (Pelras, 2006 : 68).

Berdasarkan Kitab La Galigo, kitab rakyat Bugis kuno, manusia tidak dapat berhubungan dengan penciptanya. Keadaan ini membuat lara sang pencipta, sehingga ia pun menurunkan manusia tanpa kelamin yang jelas, untuk memimpin upacara adat keagamaan. Oleh karena tanpa kelamin yang jelas, manusia ciptaan terakhirnya ini kerap disebut waria (Trianto, 2003 : 1).

Orang Bugis mengenalnya sebagai bissu. Pada masa pra Islam Bissu merupakan golongan yang sangat penting dan sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat Bugis. Di pundak bissu inilah semua upacara keagamaan dibebankan, untuk dilaksanakan demi memuji sang pencipta. Upacara adat keagamaan Mat Temu Taung (upacara syukuran diakhir tahun)  merupakan salah satu upacara yang mengedepankan peran bissu. Acara ini harus dipimpin oleh bissu. Upacara tradisional di Sulawesi Selatan ini bermakna mencari keselamatan dan perlindungan dari sang pencipta (Trianto, 2003 : 1)

Masa kerajaan pra-Islam di tanah Bone (1623 – 1605 M) adalah masa kejayaan para bissu. Kaum transvestites Bugis ini memegang peranan yang begitu penting dalam kerajaan (addatuang), sehingga nyaris tidak ada kegiatan upacara ritual tanpa kehadiran bissu sebagai pelaksana sekaligus pemimpin prosesi upacara. Pada saat tersebut, setiap ranreng atau semacam wilayah adat memiliki komunitas bissu. Di Kerajaan Segeri dan Kerajaan Bone dikenal komunitas bissu dengan sebutan Bissu PatappuloE (40 orang bissu). Pada setiap upacara ritual, ke-40 bissu itu harus hadir ( Kompas,  Juli 2005).

Sejak tahun 1990 sampai sekarang, komunitas bissu masih dapat di jumpai dan kelihatan masih tetap mempertahankan nilai-nilai luhur budayanya.Eksisnya nilai budaya yang diimplementasikan dalam tradisi, baik yang menyangkut aspek normatif maupun praktek ritual, tercermin pada komunitas bissu yang ada di Sulawesi Selatan seperti di daerah Luwu, Segeri, Bone, Wajo, dan Soppeng yang dalam kenyataannya hingga kini masih berpegang teguh pada warisan budaya leluhurnya walaupun jumlah dan kualitasnya pun semakin menyusut dari hari ke hari (Alam Azis, 2007 : 2). Hal ini disebabkan karena hubungan antargenerasi dari komunitas Bissu itu sendiri yang semakin memprihatinkan serta tidak adanya kemudian perhatian yang lebih dari lembaga adat untuk kemudian lebih memperhatikan nasib mereka. Bissu yang masih tersisa sekarang ini adalah sebagian kecil yang masih mewarisi tradisi Bugis klasik.

Komunitas bissu yang ada sekarang ini  semakin berkurang dan berada dalam ambang kepunahan. Dikatakan ada karena sesekali komunitasnya masih menghendaki dan memandang perlu untuk mengedepakannya bagi kepentingan yang bertalian dengan upacara. Dapat menjadi tiada ketika masyarakat yang semula menopang keberadaannya kemudian meninggalkannya karena berbagai sebab. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa bissu saat ini hanya sebagai perhiasan saja, dalam arti keberadaannya kini masih dirasakan kehadirannya namun dianggap tidak ada lagi.

Berbagai faktor eksternal dan faktror internal yang menjadikannya demikian. Faktor eksternal antara lain adalah pergseran pemahaman tentang keagamaan dan perubahan sistem pemerintahan dari sistem kerajaan ke negara kesatuan yang bermuara pada melemahnya lembaga adat dan hak tanah adat. Sementara faktor internal komunitas bissu adalah bagaimana bissu harus beradaptasi jaman yang penuh perubahan, dan regenerasi kepemimpinan serta keanggotaan baru (Lathief, 2007 : 3).

Pada masa Kerajaan Bone , bissu menempati posisi terhormat di dalam masyarakat Bugis sebagai penasihat spiritual kerajaan, seorang bissu bukanlah orang sembarangan. Menjadi bissu dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Tidak semua orang, bahkan jenis calabai, bisa menjadi bissu atas kehendak sendiri. Walaupun sebahagian besar bissu pada mulanya memiliki kecenderungan sebagai calabai.

Perubahan dan tanda-tanda untuk  menjadi seorang bissu biasanya dimulai sejak kanak-kanak, ketika seorang anak mengidap ambiguitas orientasi seksual dan di saat yang sama menampakkan keterkaitan dengan dunia gaib. Anak-anak dengan keunikan ganda ini kemudian akan dipersiapkan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu diperlukan banyak persyaratan untuk membuktikan bahwa dia menerima berkat itu diantaranya berbaring dalam sebuah rakit bambu di tengah danau selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum dan bergerak. Jika berhasil, maka dia kemudian akan ditahbiskan menjadi bissu sejati (Gobel, 2007 : 1).

Keberadaan bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Untuk menjadi seorang bissu harus melalui proses yang panjang dan tidak mudah. Walaupun bissu ini adalah lelaki yang memiliki figur feminin, namun tidak boleh identik dengan perempuan.

Runtuhnya Kerajaan Bone di tanah Sulawesi pada masa pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri (1895 – 1905 M), berakibat buruk bagi kehidupan kaum bissu. Kehidupan mereka didalam istana kerajaan terpaksa ditinggalkan dan kembali hidup berbaur di tengah masyarakat. Dalam kehidupan kesehariannya, para bissu ini seolah menarik diri. Bahkan mereka cenderung menyembunyikan identitasnya sebagai bissu. Hal ini kemudian memuncak setelah agama islam mulai masuk dan dianut orang Bugis (Trianto, 2003 : 2)

Bertolak dari kenyataan inilah eksistensi bissu cenderung fenomenal mengingat keberadaannya yang kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami. Bissu juga dianggap menyimpang dari agama karena kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki kekuatan gaib dari leluhur. Oleh anggota DI/TII dibawah pimpinan Kahar Muzakkar. Kenyataan itu menjadi bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan para penganut agama Islam yang kemudian menyebabkan timbulnya pengejaran dan pembunuhan dalam tubuh komunitas bissu. Pengejaran dan pembunuhan yang di alami oleh komunitas bissu mulai pada tahun 1950. Kejadian ini berlangsung secara bertahap dan puncaknya itu terjadi pada tahun 1966.

Pada masa pergolakan DI/TII, tahun 1950-an, pasukan Kahar Muzakkar memberantas para bissu karena dianggap penyembah berhala dan tidak sejalan dengan syariat Islam. Ribuan perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan ke laut. Banyak dukun (sanro) dan bissu dibunuh, atau digunduli lalu dipaksa menjadi laki-laki normal (Lathief, 2007 : 3).

Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme. Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan di mana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vazal. Para vazal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vazal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti. Dengan begitu muncul struktur hirarkhi berbentuk piramida.

Penderitaan para sanro dan bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rezim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Para bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran animisme. Barang siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria) (Gobel, 2007 : 1).

Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut di kenal dengan nama “Operasi Toba”  (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Para bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya (Lathief,  2007 : 3).

Namun beberapa tahun belakangan, para bissu mulai mendapatkan keberanian untuk menunjukkan identitasnya. Bahkan kembali melakukan berbagai ritual keagamaan. Kembalinya fungsi bissu sebagai bagian dari acara ritual Bugis, sesungguhnya melalui pengorbanan yang panjang. Bissu bisa bertahan hingga saat ini karena punya fungsi sosial yang terekam dalam masyarakat. Sejak zaman Bugis kuno hingga sekarang ini masih ada sebagian masyarakat Bugis yang percaya bissu dapat menghubungkannya dengan leluhur dan mengabulkan segala hasratnya.

Kini para bissu terpaksa bekerja sendiri untuk mendapatkan penghasilan. Hal ini disebabkan tidak adanya lagi perhatian dari pemerintah terhadap kelangsungan hidup mereka. Tidak ada lagi galung arajang (sawah kerajaan) yang menjadi sumber kehidupan sepanjang tahun seperti pada masa kerajaan. Mereka menggantungkan hidup pada panggilan orang-orang yang menggelar upacara adat. Sebagian besar di antara mereka menjadi perias pengantin dan penyedia perlengkapan pesta-pesta perkawinan  untuk bisa tetap bertahan dengan kondisi kehidupan yang sangat berbeda dimana mereka tidak lagi diperhatikan didalam kehidupan masyarakat sekarang ini.

Persoalan yang akan dijawab dalam penelitina ini adalah, Bagaimana keberadaan komunitas bissu di Kabupaten Bone pada masa kerajaan?Mengapa komunitas bissu di Kabupaten Bone dikejar dan dibunuh serta dampak apa saja yang ditimbulkan ?Bagaimana status bissu pada saat sekarang ini dengan agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Bone ?

 

Keberadaan bissu di Bone pada masa kerajaan 

Keberadaan Bissu dalam sejarah masyarakat Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Dalam tradisi adat dan budaya Sulawesi Selatan yang berakar kepada kerajaan Luwu, calabai yang bertransformasi menjadi bissu, sesungguhnya mendapat tempat terhormat. Diriwayatkan dalam Epos Galigo atau naskah-naskah Bugis kuno, Raja Luwu diturunkan dari langit bersama Latimojong dan Lae Lae, yang merupakan bissu pertama (Intisari, 2007). Berawal dari sinilah Bissu kemudian menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk Bone. \Sebelum kelahiran Kerajaan Bone, keadaan pada waktu itu berada dalam kekacauan yang disebabkan oleh tidak adanya lagi hukum yang dapat memberikan tekanan sebagai pegangan serta pedoman hidup bagi masyarakat secara keseluruhan. Hamid, dkk (2007 : 9) mengemukakan bahwa tomanurung datang di tengah kelompok masyarakat yang sedang bermusuhan satu dengan yang lainnya, masyarakat yang chaos tidak ada yang taat pada aturan dan peri kemanusiaan, sianre bale tauwe (orang saling membunuh sesamanya), komunitas jadi kacau, yang kuat memaksa yang lemah, kekerasan terjadi dimana-mana. Kekacauan ini sudah berlangsung lama, sehingga beberapa pemimpin atau Matowa-matowa wanua (desa) menyadari perlunya tokoh penyelamat.

Munculnya manurunge di Matajang yang kemudian diangkat sebagai raja Bone yang pertama berawal ketikaPuang Matowa sebagai pemimpin bissu tampil sebagai juru bicara masyarakat Bone untuk kemudian memohon kepada Manurunge ri Matajang agar berkenan menetap di Bone dan bersedia diangkat menjadi pemimpin atau raja.Tersebut dalam lontarak bahwa dialog Puang Matowa dengan Manurunge ri Matajang dilukiskan sebagai berikut :

Iana mai kilaowang riko lamarupe

Maelokkeng tamaseang tamaraddena mai ritanata

Ajana tallajang

Tudanni mai naidina kipopuang

Elomu eloku rikkeng passuromu kuwa

Namauna anammeng napattaromeng

Rekkuwa muteaiwi kitea toisa

Narekko tudanno mennomai

Naikona potakkeng mudongiri temmatip-pakkeng

 

Artinya : kami datang kepadamu kiranya engkau mengasihi kami, agar menetaplah di tanah kami. Engkaulah yang kami angkat menjadi raja guna memimpin kami. Walau anak dan istri kami, apabila engkau tidak menyetujuinya, kami akan menurut kepadamu. Asalkan engkau menjaga keselamatan kami serta harta benda kami (Roslinah, 2007 : 8)

 

Kemudian selanjutnya To Manurung mengikuti permintaan masyarakat untuk memimpin mereka sambil berkata :

Tedua nawa-nawago temmabbalecco’go

            Ujujungi uparibotto ulu

            Upate ri pakka-pakka ulaweng ada-adammu tomaegae

            Riwettu mabbulo sipeppamu mae pangajika arung.

 

Artinya : tidak bercabang hati kami dan tidak akan mengakui dikemudian hari. Saya junjung tinggi diatas kepala atas kata-kata dan persatuanmu untuk mengangkat saya menjadi raja (Roslinah, 2007 : 10).

 

Demikianlah sehingga Manurunge ri Matajang diangkat sebagai raja pertama di Tanah Bone yang diperkirakan terjadi pada tanggal 6 April 1326 M (Roslinah, 2007 : 10). Gambaran dialog antara rakyat dengan To Manurung yang kemudian berakhir dengan suatu kesepakatan berupa kontrak sosial melahirkan sebuah ikrar atau kesepakatan bersama atas kehendak rakyat untuk membangun negeri yang aman dan sentosa. Meskipun kontrak tersebut secara konsepsional masih sederhana namun diakui bahwa sifat kerakyatan tersebut merupakan akar budaya Sulawesi Selatan.

Manurunge ri Matajang  memerintah di Kerajaan Bone selama 32 tahun (± 1326 – 1358)  dalam keadaan makmur, tentram dan damai (Roslinah, 2007 : 5). Beliau merupakan peletak dasar pembangunan Kerajaan Bone. Datangnya To Manurung merupakan awal terbentuknya sistem politik yang lebih teratur dan terbentuknya organisasi sosial yang mengantarkan kaum-kaum pada kemaslahatan hidup.

Selama Bone masih berbentuk kerajaan (± 1326 – 1950), peranan bissu sangat besar sekali. Tugas bissu adalah merawat dan menjaga arajang, menentukan dan memimpin jalannya upacara-upacara di istana serta bertindak sebagai sanro kerajaan. Mereka tinggal dalam tembok istana pada sebuah rumah yang disebut ”Bola Payung” dimana arajang disimpan, hidupnya tergantung dari dapur istana. Kesibukan Bissu adalah mengurus pemujaan arajang dan pelaksanaan upacara-upacara. Upacara yang sering dilakukan seperti upacara pelantikan raja, upacara perkawinan, upacara kelahiran bila ada anak raja yang lahir, upacara pemakaman bila raja wafat dan sebagainya.

Menurut Hamid, dkk (2007 : 105) bahwa daerah Bone mempunyai 40 orang Bissu dipimpin oleh seorang Puang Matowa dan wakilnya disebut Puang Lolo. Mereka mempunyai organisasi sendiri, bahasa kelompok sendiri disamping bahasa Bugis dan masing-masing mempunyai tugas sebagai pembagian kerja mereka. Pakaiannya disebut ”Baju bodo” atau ”Baju garusu”. Pakaian ini sama dengan pakaian adat yang sama dengan pakaian adat yang biasa dipakai oleh wanita bugis. Warna pakaian disesuaikan dengan tugas-tugasnya yang berhubungan dengan upacara kerajaan.

Pada bulan Mei 1950 – untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk dan berdiri di awal abad ke XIV atau tahun 1326 Masehi   terjadi suatu demonstrasi rakyat di Kota Watampone yang menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, dihapuskannya pemerintahan kerajaan dan menyatakan berdiri di belakang pemerintahan Republik Indonesia (Roslinah, 2007 : 97).

Tanggal 21 Mei 1950 terbentuklah Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Bone. Setelah pelantikan KNI maka terjadilah peristiwa penyerahan kekuasaan legislatif dan pemerintahan kerajaan kepada KNI dan beberapa hari kemudian para anggota Ade Pitu’e mengajukan permohonan berhenti. Disusul pula beberapa tahun kemudian terjadi perubahan nama distrik/onder distrik menjadi kecamatan sebagaimana yang berlaku sekarang ini (Roslinah, 2007 : 97). Demikianlah perjalanan panjang Kerajaan Bone hingga memasuki masa kemerdekaan. Hingga saat ini senantiasa memperlihatkan kemajuan.

 

Pembekuan komunitas bissu di Bone

Peran dan fungsi dari keberadaan komunitas Bissu di Bone pun lama kelamaan semakin tidak mempunyai arti seiring dengan semakin kuatnya pengaruh islam di dalam kerajaan. Hal ini pun kemudian memuncak di tahun 1950 setelah terjadi suatu demonstrasi rakyat di Kota Watampone yang kemudian menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur serta dihapuskannya pemerintahan kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang pemerintahan Republik Indonesia.

Berawal pada tahun 1950 inilah merupakan awal upaya penghancuran seluruh komunitas Bissu baik yang ada di Bone maupun di daerah Sulawesi Selatan lainnya karena istana tidak lagi menjadi pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan orang Bugis. Tidak ada lagi sumber dana tetap untuk biaya upacara dan biaya hidup para Bissu yang tinggal di Bola Arajang.

Seiring dengan bergesernya nilai-nilai lama oleh nilai-nilai yang baru, maka nilai tradisional pun berangsur-angsur terkikis, dan bahkan hilang dalam masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh komunitas Bissu sejak tahun 1611 M hingga sekarang ini. Maka pada tahun 1950 sampai pada tahun 1966 terjadi pembataian dalam tubuh komunitas Bissu yang ada di Kabupaten Bone beserta daerah-daerah di Sulawesi Selatan lainnya.

Kejadian ini dimulai pada masa pergolakan DI/TII di bawah pimpinan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan (1950 – 1965) yang menilai bahwa kepercayaan yang selama ini dilakoni oleh para bissu  tidaklah sesuai dengan ajaran Islam yang telah menjadi agama mayoritas masyarakat Kabupaten Bone pada waktu itu. Tentara Islam Indonesia kemudian berusaha keras menghapuskan dan melarang semua yang mereka anggap tidak sesuai dengan ajaran islam.Pasukan Kahar Muzakkar memberantas para bissu karena dianggap penyembah berhala dan tidak sejalan dengan syariat Islam. Bissu dianggap menyimpang dari agama islam karena kecenderungannya selama ini telah menganggap arajang memiliki kekuatan gaib. Oleh karena itu, alat-alat upacara yang sering digunakan ataupun benda-benda arajang yang selama ini dianggap sakral dan memiliki kekuatan gaib oleh para bissu dihancurkan dan dibakar oleh pasukan DI/TII sebagai langkah awal untuk membersihkan kebudayaan dan tradisi lama di masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran islam.

Petaka gempuran kelompok DI/TII juga dirasakan secara langsung oleh Puang Saidi beliau adalah Puang MatowaBissu di Segeri Pangkep sekarang ini. Ia termasuk orang yang diburu untuk dinaturalkan kelelakiannya. Rambut panjangnya dipotong habis. Bahkan, ia pun harus meraih cangkul dan pergi ke sawah (www. majalah.tempointeraktif. com). Tidak ada lagi calabai, atau bissu,  karena Islam hanya mengenal lelaki atau perempuan.

Pasukan DI/TII tidak hanya sampai disitu, mereka terus berlanjut untuk terus memurnikan keislaman dan menghilangkan kemusyirikan dari para bissu. Perlengkapan upacara dari para bissu dilenyapkan dengan cara dibakar atau ditenggelamkan ke laut supaya tidak ada lagi ritual-ritual yang selama ini sering dilaksanakan oleh para bissu terhadap arajang. Banyak bissu dibunuh ataupun dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras agar mereka tidak lagi melaksanakan segala kegiatan-kegiatannya terutama yang menyangkut dengan arajang.

Rumah arajang juga dihancurkan untuk menghentikan aktivitas dan kegiatan mereka yang kesemuanya itu selalu diawali  di rumah arajang sebagai tempat rutin dalam melakukan ritual-ritual bagi arajang. Pada saat itu rumah Arajang dihancurkan berserta isi-isinya. Dulu rumah Arajang masih berada di daerah Bukaka. Setelah kejadian itu rumah Arajang tidak terurus lagi. Rumah itulah yang kemudian dibongkar dan dipindahkan ke jalan La Tenritatta (tempat Bola Soba sekarang ini). Namun tidak semua peralatan Bola Soba saat ini asli karena pada saat dipindahkan sudah banyak kayu-kayu beserta papannya yang sudah rapuh.

Penderitaan para bissu kemudian berlanjut pada masa Orde Baru. Gerakan pembantain besar-besaran itu diberi nama ”Operasi Toba” (operasi taubat) yang lancarkan oleh masyarakat pada masa rezim Orde Baru antara tahun 1965 – 1967. Para bissu dan mereka yang percaya dengan kesaktian dari arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai terlarang di Indonesia sampai sekarang ini.

Bissu yang tertangkap harus memilih antara mati dibunuh atau memilih masuk agama tertentu secara benar serta harus bersikap sebagai pria normal bukan sebagai waria. Para bissu bersembunyi dan tidak berani menampakkan diri dimasyarakat sebagai seorang bissu. Gerakan pemurnian ajaran Islam atau “Operasi Toba”  (operasi taubat) ini gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Para bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya (Lathief,  2007 : 3).

Identitas mereka sebagai seorang bissu disembunyikan dengan berpenampilan sebagai pria normal. Masyarakat tidak lagi peduli dengan nasib mereka karena sebagian dari masyarakat memang mendukung gerakan ”Operasi Toba” tersebut.  Sebagian masyarakat yang masih bersimpati kepada para bissu memilih diam tanpa bisa berbuat sesuatu. Setelah peristiwa ini jumlah serta tingkat kualitas dari komunitas bissu semakin mengalami penurunan. Setelah masa itu pun tekanan dan hujatan kepada komunitas bissu masih terus berlangsung, terkadang bissu dianggap sebagai kelompok orang-orang sesat yang masih sering menyembah-nyembah pohon, bahkan tak jarang beberapa kelompok agamawan bersama dengan aparat mendatangi acara-acara adat yang digelar lalu membubarkannya. Maka seiring dengan berjalannya waku tradisi ataupun berbagai macam ritual-ritual mereka yang selama ini terus di lakoni seketika lenyap dan tidak lagi tampak di masyarakat.

Dampak pembekuan komunitas bissu

Terjadinya pengejaran dan pembunuhan komunitas bissu di Bone menyebabkan masyarakat tidak lagi mengenal dan merasakan kehadiran bissu ditengah-tengah masyarakat. Bissu yang masih hidup atau lolos dari ”Operasi Toba” pada saat itu hanya dikenal sebagai seorang calabai yang setiap saat mendapat cemohan dari masyarakat karena pandangannya yang mengatakan bahwa nasib mereka akan sial selama 40 hari ketika melihat salah seorang calabai melintas didepan mereka. Sehingga komunitas bissu yang ada menutup diri dari masyarakat mulai dari pasca penumpasan 1967 sampai 1990. Kehidupan dan pergaulan mereka menjadi sangat terbatas. Nasib mereka selama sesudah penumpasan menjadi menderita disamping mereka harus berusaha sendiri untuk menafkahi kehidupannya mereka juga harus senantiasa mendengar cemohan dari masyarakat yang senantiasa memojokkan akan keberadaannya.

Masyarakat Bugis sebagai pemilik tradisi ini sebagian besar berubah menjadi menyudutkan keberadaan komunitas bissu. Berbagai tekanan menjadikan mereka sebagai suatu komunitas yang terasing, walaupun beberapa diantaranya masih dapat bertahan dengan berkompromi dengan perubahan. Komunitas bissu menjadi tercerai berai, jumlah dan kualitasnya semakin menyusut sampai sekarang.

Perubahan zaman membuat status bissu tidak lagi mendapat tempat terhormat dan memberikan keuntungan materi. Bissu tak lebih sebuah warisan budaya, yang menjadi pelengkap bagi kehidupan tradisional masyarakat Bugis. Hal inilah yang membuat sehingga  regenerasi di kalangan bissu yang ada di kabupaten Bone menjadi tersendat dan semakin berkurang tanpa ada regenerasi baru.

Pada tahun 1990 para bissu yang masih tersisa di Bone  mulai kembali mencoba tampil di masyarakat walaupun dalam jumlah  yang sedikit melalui pekan budaya pertama karena pada saat itu Bone diminta menampilkan 40 orang bissu. Dibawah inisiatip Andi Mappasissi Petta Awampone, bissu yang masih tersisa kemudian dikumpulkan. Karena jumlah yang ada tidak lagi mencukupi 40 orang maka dikumpulkanlah waria untuk kemudian mencukupkan menjadi 40 orang supaya bisa tampil pada pekan budaya pertama  dengan status sebagai seorang bissu

Kemudian setelah itu melalui peran Halilintar Latief, pada tahun 1997, dan LSM lokal bernama Latar Nusa memediasi bissu untuk pentas di hadapan publik di Bali. Sejak saat itu, perlahan bissu mulai dikenal kembali dan mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat di Kabupaten Bone walaupun hanya dikenal sebatas suguhan pariwisata bagi para wisatawan lokal maupun wisatawan asing melalui antraksi maggiri.

Keinginan komunitas bissu untuk tetap menjaga kebudayaan mereka kemudian menjadi kenyataan setelah era orde baru berakhir di tahun 1998, zaman yang sebelumnya memojokkan keberadaannya dimasyarakat karena dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia.  Sejak saat itu komunitas bissu yang ada di Kabupaten Bone kemudian tidak segan-segan lagi menampilkan diri mereka sebagai seorang bissu dalam masyarakat. Mereka bahkan terus memperjuangkan nasibnya untuk tetap mendapat tempat tersediri di masyarakat dengan kembali aktif mengumpulkan anggota-anggotanya yang masih tersisa.

Usaha dari komunitas  bissu di Bone untuk mencukupkan anggota mereka sebanyak 40 orang mengalami hambatan, hal ini disebabkan sebagai dampak dari penumpasan yang mereka alami sejak tahun 1965. Untuk mencukupkan anggotanya, mereka kemudian memediasi waria yang ada untuk dijadikan seorang bissu.  Perjuangan dari komunitas bissu di Kabupaten Bone yang masih tetap setia menjaga tradisi budaya klasik mereka sebagai sebuah kebudayaan masa lalu yang masih bisa dilihat secara langsung walaupun sudah mengalami pergeseran nilai yang cukup besar  akhirnya berhasil yang ditandai dengan dilantiknya 40 orang bissu di Bone pada tanggal 4 – 6 Oktober 2003 (Roslinah, 2007 : 10). Pada saat inilah Kabupaten Bone kemudian mempunyai 40 orang bissu lagi. Namun sampai tahun 1998 komunitas itu terus berkurang karena tidak adanya regenerasi.

Setelah pelantikan komunitas bissu di Bone mereka kemudian diberikan tempat di Bola Soba sebagai pusat kegiatan mereka sekaligus diberi kepercayaan menjaga dan mengelolanya. Bagunan yang didirikan pada akhir abad XIX tahun 1890 oleh Panglima tertingi kelaskaran Kerajaan Bone bernama Andi Abdul Hamid yang bergelar Petta Ponggawae, pertama kali dibangun di atas tanah yang sekarang ini berdiri rumah jabatan bupati Kabupaten Bone (Roslinah, 2007 : 93).

Kehidupan bissu sekarang ini telah mengalami pergeseran peran karena berbagai ritual yang menempatkan bissu jadi penting telah tereduksi oleh zaman. Hubungan antargenerasi di kalangan bissu pun, makin memprihatinkan. Saat ini berbagai ritual yang dahulu melibatkan bissu sudah berbeda dengan tujuan sesungguhnya. Misalnya, tarian penyambutan tamu istimewa sere leluso yang sarat makna dan hanya dilakukan oleh bissu, sekarang sudah dilakonkan dengan leluasa oleh sanggar seni (Aspryanto, 2007).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

  1. Kesimpulan
  2. Latar belakang munculnya Bissu di Kerajaan Bone diawali ketika Raja Luwu diturunkan dari langit. Karena tidak mampu mengatur kehidupan di muka bumi maka diturunkanlah bissu sebagai penghubung antara manusia dengan dewata. Bissu pertama bernama Lae-lae. Berawal dari sinilah Bissu kemudian menyebar keseluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk Bone. Terjadinya pengejaran dan pembunuhan terhadap Bissu oleh Pasukan Kahar Muzakkar serta pada masa Orde Baru disebabkan karena dianggap penyembah berhala dan tidak sejalan dengan syariat Islam serta tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia.
  3. Pasca pengejaran dan pembunuhan keberadaan komunitas Bissu mengalami pergeseran peran, hal ini disebabkan karena perubahan sistem kenegaraan, dari sistem kerajaan menjadi negara kesatuan. Faktor lainnya adalah penyebaran ajaran Islam yang menganggap seluruh kegiatan Bissu tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam murni. Penyebaran agama Islam membawa arti dan pengaruh yang sangat cepat bagi perkembangan yang menyimpang dari kebiasaan lama Bissu.
  4. Status Bissu sekarang hanya sebatas masyarakat biasa. Keberadaan bissu di masyarakat mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat Bone yaitu agama Islam. Ibadah sholat dikerjakan sehari-hari, bahkan mendalami agama lebih serius. Diantara mereka sudah ada yang menunaikan ibadah haji, namun tanpa menanggalkan status kebissuannya
  5. Saran
  6. Pemerintah setempat, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh adat hendaknya berperan aktif dalam memperhatikan keberadaan komunitas Bissu yang ada sekarang ini sebagai wujud pelestarian tradisi budaya klasik yang merupakan warisan leluhur Bugis yang masih bisa didapatkan sampai saat ini sebagai suguhan pariwisata daerah karena fungsi dan status yang mereka bawa sekarang ini sudah berbeda  dari yang sebelumnya.
  7. Para Komunitas Bissu, supaya tetap bisa memelihara tradisi budaya klasik itu serta terus berusaha mencari regenerasi agar dimasa mendatang masyarakat masih bisa melihat secara langsung salah satu peninggalan tradisi Bugis klasik walaupun sudah berbeda dengan sebelumnya.
  8. Kepada para mahasiswa yang berkeinginan untuk mengadakan penelitian yang relevan dengan penelitian ini agar kiranya mengkaji faktori-faktor lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Andaya. 2006. Warisan Arung Palakka. Makassar : Ininnawa

Aspryanto. 2007. Kabar Panyingkul: Kisah Seorang Bissu yang Tertusuk Keris Sendiri, (http : //panyingkul. com, diakses 20 Januari 2008)

Azis, Nasru Alam. 2005. Yang Tersisa dari Peradaban:Bugis Kuno.(www. boysforum.com, diakses 20 Januari 2008)

Gobel, Amril Taufik. 2007.Bissu, Celah Tersisih Budaya Bugis. (http ://www. geocities.com, diakses 20 Januari 2008)

Gonggong, Anhar. 2004. Abdul Kahar Muzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak. Yogyakata : Ombak

Gotschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press.

Hamid, Abu Dkk. 2007. Sejarah Bone. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Kabupaten Bone.

Ihroni (ed), 1980. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT. Gramedia.

Intisari. 2007. Waria sakti dari Bugis. (http ://www. Forum pelangi.com, diakses 20 Januari 2008)

Kartidirjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta UI Press

Lathief, Halilintar. 2007. Paradoks Bissu Bugis: Mencari Identitas Sekaligus Kehilangan Identitas. (www. kongresbud.budpar.go.id, diakses 20 Januari 2008)

Lathief, Halilintar. 2004. Bissu : Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis. (www. ham. go.id, diakses 20 Januari 2008)

Nasution. 1996. Metode Research, Jakarta : Bumi Aksara.

Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah, Jakarta: DEPHANKAM.

 

Pamelleri, Andi. 2006. Riwayat Kabupaten Bone. (www. yuhardin.scriptinter media. com, di akses 21 Oktober 2008)

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta : Nalar .

Rahman, Nurhayati Dkk (Eds), 2003. La Galigo menelusuri jejak warisan sastra dunia.  Makassar : Pusat Studi La Galigo Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Negeri Hasanuddin dengan Pemerintah Kabupaten Barru.

Roslinah, Andi. 2007. Riwayat To Bone. Pemerintah Daerah Kabupaten Bone

Salim, Muhammad. 2004. I La Galigo, Bissu, dan Keberadaannya. (http : // www. Kompas. com, diakses 20 Januari 2008)

 

Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta ssss Nasikum, 2004. Sistem Sosial In,donesia. Jakarta: PT. Gravindo Persada. K:~nius, Vanpeursen. C.A. 1988. St1Gtegi Kebudayaan. Yokyakarta: Kanius

Syahrir, Nurlina. 2003. Bissu dalam masyarakat Pangkep (kedudukan, Upacara, dan Sejarahnya). Makassar : Badan Pengembang Bahasa dan Seni FBS UNM kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation.

 

Tempo. 2002. “Bissu” Antara  Ada dan Tiada. (www. majalah.tempointeraktif. com, diakses 21 Oktober 2008)

 

Trianto, Medi. 2003.  Di Sini Ia Terhormat. http ://wap. Indosiar. com, diakses 20 Januari 2008)

Yauri, Andi M. Tanpa Bissu, takkan Dilantik Raja di Bugis, (http : // www. panyingkul. com, diakses 20 Januari 2008)

 

___________  Fajar Online. Waria Versus Komunitas Bissu.  15 September 2007

 

___________ Kompas. 2005. Bertahan di Arus Peradaban. (www. kompas. com, diakses 20 Januari 2008)