BILA: TEKNOLOGI ALAT TANGKAP PADA NELAYAN DI LANGARA LAUT KECAMATAN WAWONII BARAT SULAWESI TENGGARA
Masgaba
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km 7, Makassar 90211
Telepon (0411) 883748, 885119 Fax. (0411) 865166
Pos-el: masgabaumar@yahoo.co.id
Abstrak
Secara turun temurun nelayan Bajo yang bermukim di Langara Laut Kecamatan Wawonii Baratmenggunakan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Bila adalah salah satu jenis alat tangkap ikan yang masih dipergunakan sampai saat ini. Jenis alat tangkap bilapengoperasiannya di laut yang dangkal, sehingga jenis ikan yang ditangkap berupa ikan karang. Pada awalnya bila yang dikenal dan digunakan sebagai perangkap ikan adalah yang terbuat dari belahan-belahan bambu yang disusun menyerupai pagar. Sekarang ini penggunaan bila darring (bambu) mulai ditinggalkan dengan alasan bahan bambu mulai langkasehingga diganti dengan bahan dari jaring.Nelayan pa’bila tetap mempertahankan penggunan alat ini dengan alasan bahwa pengetahuan tentang cara pembuatan dan penggunaan, serta lokasi pemasangan bila merupakan warisandari orang tua mereka.Lokasi pemasangan bila tidak terlalu jauh dari permukiman mereka, sehingga tidak membutuhkan banyak biaya dan waktu untuk menjangkaunya. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode kualitatifdengan teknikwawancara, pengamatan langsung, dan studi pustaka.
Kata kunci: Langara Laut, bila, nelayan, alat tangkap.
PENDAHULUAN
Sumber daya laut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara individu atau berkelompok masyarakat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Komunitas nelayan dapat memanfaatkan segala sumber daya yang terdapat di laut, karena pada umumnya mereka memandang laut sebagai wilayah yang bersifat terbuka (open access). Pandangan tersebut membuat para nelayan dengan bebas memanfaatkan dan mengelolah sumber daya laut dengan cara apapun yang mereka miliki. Menggunakan teknologi penangkapan ikan yang mereka anggap dapat mendatangkan keuntungan.
Unsur teknologi merupakan salah wujud kebudayaan yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Honigmann (dalam Koentjaraningrat, 2002:23) mengatakan bahwa, teknologi adalah segala tindakan baku yang digunakan manusia untuk mengubah alam, termasuk tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain. Oleh karena itu teknologi adalah cara manusia membuat, memakai, dan memelihara seluruh peralatannya, dan bahkan bertindak selama hidupnya. Khusus bagi masyarakat nelayan konsep teknologi menekankan pada bagaimana mereka memberi tanggapan dan harapan dari penggunaan alat tangkap ikan.
Teknologi alat penangkapan ikan telah berkembang semenjak sistem mata pencaharian sebagai nelayan dikenal orang. Seperti halnya komunitas nelayan Bajo di Langara Laut Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara telah mengenal berbagai macam teknik alat tangkap, seperti bubu, pancing, pukat, dan bila. Alat tangkap bilamerupakan alat yang paling utama digunakan oleh mereka. Biladalam istilah lokal (Bajo) disebut bila, atau istilah wawonii disebut bala, sudah dikenal sejak ratusan tahun yang oleh komunitas nelayan Bajo yang bermukim di Langara Laut. Penggunaan alat tangkap bilamerupakan warisan secara turun temurun bagi komunitas nelayan Bajo yang sampai dewasa ini masih tetap survive. Komunitas nelayan dalam menerapkan teknologi bila sebagai alat tangkap hasil laut selain dapat melestarikan ekosistem biota laut, karena pada dasarnya alat tangkap tersebut ramah lingkungan, dan dari segi ekonomi juga dapat meningkatkan produksi nelayan.
Diantara sekian banyak tipe dan variasi alat tangkap yang digunakan oleh nelayan yang ada di Langara Laut dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya laut yang paling menonjol adalah usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bila. Jenis alat tangkap bilayang terdapat di Langara Laut pengoperasiannya di laut yang dangkal, sehingga jenis ikan yang ditangkap berupa ikan karang (seperti baronang (birrah), balana (bonte), ikan putih (inggatan), dan sebagainya). Berbeda pada bila yang terdapat di perairan pantai, dimana lingkungan lautnya berupa pasir sehingga jenis ikan yang ditangkap hanya berupa ikan plagis kecil, seperti ikan layang, katombong. Begitupula bila (bahasa Bugis disebut belle) yang terdapat pada komunitas nelayan Bugis, seperti di danau Marioriawa Kabupaten Soppeng, dimana kondisi lingkungan danau berupa lumpur sehingga ikan yang ditangkap berupa ikan tawar.
Teknologi penangkapan ikan dengan bila telah dikenal oleh komunitas nelayan di Langara Laut sejak ratusan tahun yang lalu. Pada awalnya bila yang dikenal dan digunakan sebagai perangkap ikan adalah yang terbuat dari belahan-belahan bambu yang disusun menyerupai pagar. Lambat laun penggunaan bila darring (bambu) mulai ditinggalkan dengan alasan bahan bambu mulai langka, selain itu proses pembuatan bila darring membutuhkan waktu yang lama. Dengan alasan tersebut, sehingga pa’bila (nelayan bila) mengganti dari bila darring ke bila jaring. Jenis bila jaring itulah yang digunakan oleh pa’bila di Langara Laut. Sampai sekarang ini penggunaan bila tetap eksis pada kalangan komunitas nelayan Bajo Langara Laut. Hal ini didukung oleh lingkungan alam lautan yang tersedia di sekitar tempat tinggal mereka, sehingga memudahkan untuk memanfaatkannya. Sekalipun dikenal berbagai tipe alat tangkap ikan, tetapi pemakaian teknologi bila tetap dipertahankan oleh mereka.
Penggunaan alat tangkap tersebut dapat memperoleh hasil yang maksimal. Bila merupakan alat yang tergolong sebagai perangkap, namun tidak menggunakan umpan sebagai pemikat ikan. Keberhasilan pengoperasian alat tangkap tersebut sangat tergantung pada gerakan arus dan ruaya ikan. Pemasangan bila ditempatkan pada jalur migrasi ikan. Teknololgi penangkapan ikan sangat kaya dalam tipe dan variasi, seperti net, pancing, bubu, panah, dan lain-lain. Setiap tipe juga terdiri atas banyak subtipe. Seiring dengan kemajuan teknologi modern, kemungkinan alat tangkap bila terjadinya perubahan atau adanya inovasi-inovasi baru dalam bidang perikanan, baik hasil cipta masyarakat nelayan setempat maupun hasil adopsi dari luar. Oleh sebab itulah, maka penelitian perlu dilakukan untuk melihat pemanfaatan teknologi penangkapan ikan, sehingga masyarakat nelayan tetap eksis pada dunianya.
Tulisan ini difokuskan pada kajian tentang sistem teknologi penangkapan ikan dengan bila, beberapa permasalahan seperti: Apa alasan nelayan tetap mempertahankan penggunaan bila ?, apakah dengan menggunakan alat tangkap bila dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan ?
Beberapa konsep teori yang dijadikan sebagai acuan dalam pembahasan dan pemahamantentang sistem teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Langara Laut, antara lain :
Masyarakat Nelayan. Kata masyarakat nelayan merupakan penggabungan dua kata, yaitu, masyarakat dan nelayan. Masyarakat adalah sekelompok orang yang mendiami suatu daerah tertentu yang demi kelangsungan hidupnya saling tergantung satu sama lain dan yang bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan yang sama (Haviland, 1985:333).
Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan atau budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai sebuah lingkungan permukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.Pada umumnya masyarakat desa pesisir lebih merupakan masyarakattradisional dengan kondisi strata sosial ekonomi yang sangat rendah. Pendidikanyang dimiliki masyarakat pesisir secara umum lebih rendah di bandingkan dengan pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat lainnya (Pramono, 2005:17). Permasalahan utama yang ada pada komunitas nelayan adalah masih rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan kelautan, pemilikan modal serta manajemen usaha perikanan yang dimiliki. Sehingga kehidupannya tetap berada pada tingkat strata ekonomi yang masih rendah.
Sebagaian besar penduduk yang bermukim di pesisir pantai menggantungkan kehidupannya dari laut, baik sebagai nelayan maupun sebagai pelaut dengan perahu-perahunya berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya. Oleh karena kehidupan mereka bersumber dari laut, maka mereka sering disebut sebagai komunitas nelayan. Selanjutnya Widodo dan Suadi (2008:29) mendefinisikan nelayan sebagai orang atau komunitas orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan. Charles (dalam Widodo dan Suadi, 2008:29) membagi kelompok nelayan dalam empat kelompok, yaitu: (1) nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri; (2) nelayan asli (native/indigenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit banyk memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil; (3) nelayan rekreasi (recreational/spot fishers), yaitu orang-orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekedar untuk kesenangan atau berolah raga; (4) nelayan komersial (commercial fishers), yaitu mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersial atau dipasarkan baik untuk pasar domestik maupun pasar ekspor. Kelompok nelayan ini dibagi ke dalam dua, yaitu nelayan skala kecil dan skala besar.
Selanjutnya, kelompok-kelompok, kategori/golongan-golongan atau komuniti-komuniti yang sebagaian besar atau sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumberdaya biota dan abiota laut serta jenis-jenis laut (seperti nelayan, usaha transportasi laut, industri pariwisata, pelayar, dan lainnya) disebut sebagai masyarakat maritim. Diantara sekian banyak kelompok-kelompok etnis pengelola dan pemanfaat sumberdaya dan jasa-jasa laut, etnis Bajo, Bugis, Makassar, Mandar, Buton, dan Madura dianggap sebagai pewaris kebudayaan maritim di Indonesia (Lampe, 2007:3).
Kebudayaan sebagai konsep yang menyatu dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan kebutuhan hidupnya. Kebudayaan yang merupakan seperangkat sistem pengetahuan atau sistem gagasan yang berfungsi menjadi blue print bagi sikap dan perilaku manusia sebagai anggota warga atau warga dari kesatuan sosial, tumbuh dan berkembang, serta berubah sesuai dengan kebutuhan hidup manusia (Sairin, dkk, 2002:2). Walaupun budaya menunjuk pada pengetahuan yang dimiliki oleh setiap orang di dalam masyarakat, pemilikan makna yang sama di dalam kehidupan sehari-hari semua orang merupakan suatu proses sosial, bukan proses perorangan.
Kebudayaan adalah keseluruhan dari pengetahuan,sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh suatu masyarakat tertentu (Keesing, 1992:68). Masyarakat adalah orang atau manusia yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan dwitunggal. Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungya (Ranjabar, 2013:20). Kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik perilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyarkat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima dalam masyarakat. Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu (Haviland, 1988:331).
Pengertian kebudayaan menurut E.B. Tylor yang menulis pada tahun 1871, kebudayaan sebagai kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan, dan lain-lain kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Haviland, 1988:332). Kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai dan standar perilaku apabila dipenuhi oleh para anggota masyarakat, menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para anggotanya.
Leslie A. White seorang antropolog, melihat kebudayaan dari tiga komponen, yaitu komponen tekno-ekonomis, komponen sosial, dan komponen ideologi. Aspek tekno-ekonomi kebudayaan sebagai cara yang digunakan oleh para anggota suatu kebudayaan untuk menghadapi lingkungan mereka, dan aspek inilah yang selanjutnya menentukan aspek sosial dan ideologi kebudayaan. White menganggap cara kebudayaan beradaptasi dengan lingkungannya merupakan faktor yang terpenting dalam perkembangannya (Haviland, 1988:339).
Sistem teknologi, menurut Koentjaraningrat ( 2009:357), sistem teknologi meliputi unsur kebudayaan fisik yang dipakai dalam aktivitas kehidupan sehari-hari antara lain alat-alat produksi, senjata, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian, tempat berlindung atau perumahan, dan alat-alat transportasi. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungannya. Konsep teknologi dengan menggunakan hampiran antropologi maritim, dengan membatasi pada dua materi, yaitu : sistem perlengkapan yang meliputi perahu atau kapal yang digunakan oleh nelayan, serta sistem peralatan yang digunakan dalam beraktivitas melaut.
Bila atau sero(GuildingBarrier) adalah perangkap ikan yang dipasang atau ditancap di dalam air yang terdiri dari susunan pagar-pagar yang akan menuntun ikan menuju perangkap. Alat ini biasanya terdiri dari kayu, bambu dan jaring. Terdapat 2 bagian bila yaitu bagian penaju (leading net) yang berfungi menggiring ikan untuk berenang menuju daerah jebakan (trap area) saat pasang naik. Trap area berada di daerah yang lebih dalam, sehingga alat ini sangat cocok digunakan di daerah yang landai yang sedikit miring di pinggir pantai. Pengambilan ikan dilakukan saat surut, karena banyak ikan yang terjebak di trap area.Di Eropa Barat, banyak digunakan dan jaringnya dibuat dari bahan multifilament (kalau ditempat kita sekarang biasa disebut benang PE atau Braided untuk senar poping) yang disebut fyke net. Bila ini di Perancis biasa digunakan untuk menjebak ikan sidat (Hasmunandar, 2010).
METODE
Tipe penelitian ini ialah deskriptif kualitatif yang melihat objek pada gagasan atau alasan-alasan nelayan menggunakanbila, kesesuaian teknologi dengan kondisi lingkungan dan sumberdaya perikanan, serta sumbangannya bagi pemenuhan kebutuhan rumah tangga nelayan. Adapun teknik pengumpulan data, yaitu dengan wawancara, ini bertujuan untuk memperoleh data tentang sistem teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Langara Laut Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawe Kepulauan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pengamatan (observasi) terhadap aktivitas nelayan. Teknik pengamatan memungkinkan melihat dan mengamati perilaku nelayan dalam melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya laut sebagai lahan mata pencaharian mereka. Pengamatan dilakukan guna mendapatkan data yang tidak dapat diperoleh melalui wawancara. Adapun yang diamati selama penelitian meliputi teknik pembuatan bila sebelum dipasang di laut, bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bila, teknik pemasangan bila di laut, sarana dan alat yang digunakan dalam penangkapan ikan yang terperangkap dalam bila. Serta pada saat nelayan membersihkan bila dari lumut(dipalai lumukna) atau memperbaiki bila (dipakkialak) yang diangkat dari laut (dipadutai) untuk diistirahatkan.
Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan fokus penelitian. Studi pustaka ini dilakukan dengan membaca literatur karya ilmiah, artikel, makalah, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan fokus penelitian
PEMBAHASAN
Kelurahan Langara Laut terletak dipesisir Pantai Barat pulau Wawonii. Akses menuju ataupun sebaliknya ke Pulau Wawonii sangat lancar, hal ini ditunjang adanya transportasi laut berupa fery dan kapal kayu, serta kapal cepat. Waktu jarak tempuh dari pelabuhan Kendari menuju ke Pulau Wawonii sekitar 3,5-4 jam, dalam keadaan cuaca normal. Jadwal keberangkatan dari pelabuhan kendari menuju Pulau Wawonii atau sebaliknya dua kali dalam sehari. Alat trasportasi laut tersebut selain mengangkut orang juga dapat mengangkut barang, seperti motor, semen, kulkas, dan sebagainya.
Alat tangkap yang digunakan oleh komunitas nelayan Bajo di Langara Laut pada dasarnya cukup variatif dan termasuk ramah lingkungan. Alat tangkap tersebut berupa, bagang, pukat (ringgi), jaring, pancing, bubu, dan bila(sero). Tipe-tipe alat tangkap tersebut telah dikenal dan digunakan oleh komunitas nelayan Bajo di Langara Laut sejak dahulu. Bahkan dewasa ini selain mengenal dan menggunakan alat tangkap tersebut, juga terdapat nelayan yang membuat karamba untuk membudidayakan ikan.
Nelayan bila (pa’bila) adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap bila dalam melakukan aktivitas menangkap ikan. Bilasebagai salah satu alat penangkapan yang ditancap pada laut yang dangkal, sampai saat ini telah mengalami perkembangan terutama dari segi bahan yang digunakan. Pada mulanya bila yang digunakan oleh nelayan di Langara Laut bahannya terbuat dari bambu. Jika dibandingkan pada masa lalu jumlah nelayan yang menggunakan bila saat ini sebagai perangkap ikan sudah mulai berkurang. Hal tersebut disebabkan besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk pembuatan satu unit bila.
Keberadaan bila sebagai alat tangkap oleh komunitas nelayan Bajo di Langara Laut tidak diketahui secara pasti kapan dan siapa yang pertama kali menggunakan. Informasi dari salah seorang yang ditokohkan oleh mereka, H. Adam bahwa bila sebagai alat tangkap telah ada sejak adanya komunitas nelayan Bajo di Langara Laut (sebelumnya bernama Langara Wawonii). Lain halnya informasi dari salah seorang nelayan yang bernama Sanusi (58 tahun), menurutnya pemakaian bila sebagai alat tangkap ikan telah digunakan sejak ratusan tahun yang lalu. Hal itu diketahui, bahwa dirinya adalah sebagai generasi ke empat dari nenek moyangnya yang sebelumnya juga menggunakan bila. Pengetahuan dan cara pembuatan, serta pengoperasian bila diperoleh dari orang tuanya. Pewaris bila biasanya belajar melalui pengalaman dengan melihat cara kerja orang tuanya. Menurut informan, yang diwarisi dari orang tuanya adalah cara pengoperasional dan pengetahuan tentang seluk beluk bila, serta wilayah (tempat) pemasangan bila. Sedangkan Alat perangkap bila pada dasarnya tidak dapat diwariskan karena termasuk jenis barang cepat rusak atau hancur.
Sebelum menggunakan bila jaring seperti yang dikembangkan nelayan bila (pa’bila) sekarang ini, nenek moyang mereka menggunakan bila yang terbuat dari bahan bambu (darring). Untuk membuat Bila bambu prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Dimana bambu yang telah dikumpulkan, sebelum digunakan terlebih dahulu diremdan ke dalam air laut untuk beberapa hari. Hal itu dilakukan agar bambu yang masih dalam bentuk utuh atau batangan mudah dibelah-belah, dan daya tahannya akan lebih kuat. Untuk membuat satu unit bila membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan. Sedangkan untuk pembuatan satu unit bila jaring hanya membuthkan waktu kurang lebih satu minggu.
Dari segi bahan baku pembuatan bila, untuk jenis bila bambu, selain bahan bambu terbilang mahal juga agak susah ditemukan di kawasan pulau wawonii. Berbeda halnya dengan bahan baku bila jaring,komponen utamanya adalah jaring, dapat diperoleh dengan cara membeli di Kota kendari. Dari pertimbangan efisiensi waktu dan faktor harga bahan baku sehingga nelayan bila perlahan-lahan meninggalkan model lama (bila bambu) beralih ke bila jaring.
Proses Produksi.
Bila adalah alat perangkap ikan tradisional berupa bangunan yang ditancap di tengah laut yang dangkal. Bila merupakanalat yang tergolong sebagai perangkap namun tidak menggunakan umpan sebagai pemikat ikan. Keberhasilan pengoperasian alat tangkap itu sangat bergantung pada gerakan arus dan ruaya ikan. Alat tangkap tersebut merupakan suatu unit produksi yang memiliki beberapa unsur. Ukuran luas satu unit bila/sero bisa mencapai 30 depa. Bagian-bagiannya terdiri atas boa yaitu mulut atau pintu masuknya ikan atau biota laut lainnya; panajo sebagai area untuk menghalau ikan; pani merupakan badan ruang ke empatdari bulungan, sebagai tempat berkumpulnya ikan atau biota laut lainnya; palawa ruang ketiga dari bulungan; jonco ruang ke dua dari bulungan; bulungan merupakan ruang terakhir tempat berkumpulnya ikan atau biota laut lainnya. Pada bagian bulungan terdapat pintu. Pada saat nelayan akan panen pintu tersebut akan ditutup sehingga ikan yang berkumpul di dalamnya tidak bisa keluar. Di luar area bila (disekitar bulungan) nelayan membuat tempat penampungan ikan (pamangkungang). Hal itu dilakukan karena terkadang ada pesanan dari pelanggan yang menginginkan ikan yang masih hidup.
Pembuatan
Perubahan bahan kontruksipembuatanbiladaribambuke jaring cukup beralasan bagi nelayan. Bila bambu sangatrumitdanmembutuhkan waktu yang lamapembuatannya,sertadaya tahan pemakaiannya hanyaberkisar 2tahun.Sedangkanbila jaringbahannya dapat dengan mudahdiperolehdenganmembeliditoko. Dan proses pembuatannyatidak terlalumengurastenagakarenabahannyasudahsiappakaisertapenggunaanbisabertahan sampai 4tahun apabila dirawat dengan baik.
Bila jaring pemeliharaannya di lakukan dengan cara menaikkan ke darat (istilah Bajo: dipadutai) setelah maksimal dua bulan di laut. Perawatan bila dilakukan dengan cara diperbaiki (istilah Bajo: pakkialak) apabila ada komponennya yang rusak, seperi jaring robek atau dipalaik lumu’na (dibuka lumut) yang menempel di jaring atau pada tiang bila. Begitupula jika ada kayu yang patah akan diganti. Tali pengikat jaring juga tidak luput dari perbaikan. Pembersihan atau perawatan unit bilamembutuhkan waktu sekitar sepuluh hari.
Setelah dilakukan perawatan dan pengeringan selama kurang lebih sepuluh hari, bila tersebut siap untuk dipasang kembali ke laut (istilah Bajo: tannah bila). Biasanya tempat pemasangan bila yang telah dikeringkan atau diperbaiki, dipindahkan dari tempat sebelumnya. Hal itu dilakukan karena tempat sebelumnya lumut atau tumbuhan sejenisnya yang menempel di karang sebagai makanan ikan sudah berkurang, sehingga ikan tidak banyak lagi ditempat itu. Untuk pemasangan kembali bila yang telah diistirahatkan dibutuhkan tenaga kerja yang sama jumlahnya pada saat pemasangan bila baru, yaitu sekitar 8 orang.
Selain bahan jaring yang digunakan dalam pembuatan kontruksi bilakomponen lain bila pada saat ini tidak menghilangkan bambu (darring) akan tetapi kegunaan dari bambu yang berbeda dahulu digunakan sebagai dinding dari bila,kondisi sekarang ini bambu yang diris berukuran 3 cm digunakan sebagai penyekat dari jaring yang diikat memakai tali nilon kecil berukuran no 4 dan no.5 dengan harga Rp. 37000/kg dengan tujuan agar jaring tersebut tidak mudah tergulung ketika diterjang ombak atau badai saat dioperasikan dilaut. Adapun jenis tasi yang digunakan sebagai bahan pengikat pembuatan bila adalah tasi no. 70 atau no. 80. Untuk memperoleh tasi tersebut dengan cara membeli di Kota Kendari dengan harga Rp. 10000/ikat, untuk satu unit bila diperlukan sekitar 20 ikat. Sedangkan jaring yang diperlukan untuk satu unit bila sekitar 150 kg, dengan harga Rp. 53000/kg.
Jenis kayu bakau yang berukuran kecil sebagai penyekat jaring bila.(Sumber: Dokumentasi pribadi ). |
Bahan lain yang digunakan untuk pembuatan bilayaitu kayu bakau bundar (bangkau) berukuran kecil. Bahan ini diperoleh dengan membeli dengan harga Rp 1500 perbatang. Kayu ini digunakan sebagai penyekat antara tiang utama dengan penyekat dari bambu kecil. Sedangkan untuk tiang utama bila (balas bila) dapat diperoleh dengan cara membeli dari penduduk sekitar, yaitu dari Noko dan Batu Mea, dengan harga perbatang Rp. 3000-5000. Kayu bakau atau jenis kayu besi digunakan sebagai tiang-tiang atau tongkat-tongkat kayu yang ditancap didasar laut yang merupakan tulang atau rangka dari dinding tersebut. Bila dipasang pada laut kedalaman 4 meter berbentuk menyerupai pagar.Sebagai tanda kepemilikan, setiap bila diberi lampu kode otomatis (pada waktu siang lampu otomatis tidak menyala). Selain sebagai tanda kepemilikan, pemasangan lampu kode juga dimaksudkan agar tidak tertabrak ketika ada kapal yang melintas di sekitar bila itu.
Panen pertama ( taka baru) biasanya dilakukan pada hari ke tiga setelah bila terpasang. Proses pengambilan hasil nelayan menggunakan motorisasi (katinting) disertai alat-alat lain seperti dayung, tombak laut, pukat, dan tempat penyimpanan hasil yang disebut (bunde).
Area Tangkapan
Sebagai nelayan, orang Bajo menganggap laut sebagai dunianya, mereka tidak dapat memisahkan diri dengan laut. Orang Bajo mengganggap laut sebagai milik bersama (sama dapu ma di laok) sehingga mereka bebas menggunakannya. Sebagai open acsess atau menurut konsep orang Bajo sama dapu ma di laok , mereka memanfaatkan laut sebagai ruang produksi untuk mengais rezeki. Mereka mengidentifikasi daerah-daerah pemasangan bilaberdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki. Lokasi pemasangan bila tidak hanya berada pada satu tempat.Mereka berpindah-pindah lokasi yang
Satu unit bila yang terpasang di laut. (Sumber : Dokumentasipribadi).
|
dianggap banyak ikannya, seperti pada wilayah yang banyak terumbuh karang. Jika musin panen ikan tidak banyak menghasilkan hasil tangkapan, biasanya pa’bila memindahkan ke wilayah tangkap lainnya. Lokasi pemasangan bilamerupakan warisan dari orang tua mereka. Penguasaan wilayah pemasangan bila tidak ada aturan secara tertulis, mereka saling pengertian. Pada musim pancaroba, peralihan dari musim barat ke musim timur, biasanya nelayan memindahkan bila nya pada kawasan karang yang terletak di dekat Pulau Saponda. Kawasan tersebut merupakan daerah terlindung karena diapit oleh tebing,sehingga apabila terjadi angin kencang,bila mereka kecil kemungkinannya diterpa angin.
Pemilihanlokasipemasanganbilatidakhanyapadasatudaerahsajatetapiterkadangberpindah-pindahtempat.Apabila sedang tidak musim ikan atau tidak ada ikan yang terperangkap di dalam bila, nelayan memindahkanbilanyadilokasi lain yang dianggap banyak ikannya.Padasaat air lautpasang,ikanakan keluar dari persembunyiannya danmasukkedalam areal bilauntuk mencarimakan.Hal inilah yang menjadi pertimbanganbagi pa’bila (nelayan bila) memasangbila di laut yang dangkal dan tidak berpasir.Didaerah yang banyak karang dianggap sebagai jalur ikan bermigrasi untuk keluar mencari makan.
Tempat atau wilayah pemasangan bila, mereka kenal dengan nama bulitoro, yaitu suatu kawasan pemasangan bila yang banyak karang kedalaman lautnya antara laut dangkal dan dalam. Bulitoro dikenal dua tempat, yaitu bulitoro sunanmandarek, tempat pemasangan yang jaraknya dekat dari pantai,waktu jarak tempuh sekitar 0,5-1 jam perjalanan, dan bulitoro sunan mandilaok, tempat atau wilayah pemasangan bila yang jaraknya jauh dari pantai, waktu jarak tempuh berkisar 2 jam satu kali jalan. Pada ke dua tempat tersebut nelayan memasang bila, saling berganti.
Pemasaran Hasil Tangkapan
Pemasaran hasil tangkapan nelayan bila (pa’bila)dilakukan dengan cara: melalui pedagang pengumpul(papalele), dijajakan, dan di pasar. Pemasaran melalui papalele (pedagang pengumpul) terkadang transaksi dilakukan di laut. Ada papalele yang langsung memilih dan membeli ikan ke bila, ada juga yang menunggu di darat. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pemilik bila dengan papalele. Jika pa’bila (nelayan bila) memiliki utang ke papalele, maka hasil tangkapannya dijual ke papalele dengan harga sesuai kesepatakan mereka.Jenis ikan yang dibeli oleh papalele biasanya jenis ikan karang yang masih segar seperti, ikan putih (inggatan), baronang (birrah), kakap, cumi-cumi, dan sebagainya.
Tempat pemasaran lainnya yaitu dibawa di pasar. Untuk pemasaran di pasar biasanya dilakukan pada saat bertepatan hari pasar yaitu hari Senin dan Kamis. Ikan yang dijual di pasar ada yang masih segar, ada juga yang telah diawetkan dengan cara diberi garam. Apabila hasil yang didapat nelayan melimpah, biasanya mereka mengawetkan dengan cara diberi garam kemudian dijemur. Isteri-isteri nelayan berperan serta membantu suaminya untuk memasarkan hasil tangkapannya. Bentuk pemasaran lainnya dengan cara dijajakan ke sekitar permukiman penduduk. Teknik pemasaran seperti ini selain ada yang dilakukan oleh keluarga nelayan itu sendiri, juga oleh orang lain. Penjaja ikan yang bukan dari keluarga nelayan membeli ikan kepada nelayan kemudian menjual ke konsumen secara langsung. Ikan yang dijual biasanya dipilah sesuai dengan jenis dan ukurannya. Takarannya ada yang diikat (seperti ikan plagis kecil, layang, katombong) dan ada yang dibungkus. Untuk satu ikat disesuaikan dengan banyaknya ikan dan harga yang akan dijual.
Alasan Mempertahankan Alat Tangkap Bila
NelayanBajo di Langara Laut tetap mempergunakan alattangkaptradisional. Menurutpengetahuan dan pengalamannyabahwa menggunakan alatseperti bomdapatmerusakekosistemlaut,sedangkanalattangkaptradisionallebihcenderungmemperhatikanaspek-aspek ekologis.Hal yang serupa yang dialamiolehnelayan yang masihmenggunakanbila, tetapmempertahankanpenggunaan alat tangkap bila karena tidakmenimbulkankerusakanekosistemlaut. Untuk menjaga ekosistem laut setiap dua bulan mereka memindahkan lokasi bila nya di tempat yang lain.
Bla dalam proses penjemuran (perawatan).
(Sumber: Dokumen pribadi ). |
Alasan nelayan bila tetap mempertahankan alat tangkap bila pada umumnya mengatakan bahwa, lokasi pemasangan bila dekat dari permukimannya, dapat ditempuh dengan waktu sekitar 15-30 menit dengan menggunakan katinting (perahu bermotor). Pekerjaan sebagai pa’bila (nelayan bila) relatif bisa dijalani dengan mudah dan akses menuju dan pulang dari laut setiap saat.Selain itu, biaya operasionalnya tidak banyak, dua liter bensin cukup digunakan setiap kali melaut. Berbeda dengan nelayan pancing di mana lokasi pemancingan jauh dari permukiman, waktu jarak tempuhnya bisa menghabiskan waktu semalam.Biaya operasionalnya juga banyak dan setiap melaut harus membawa bekal makanan.
Memilih mata pencaharian sebagai pa’bila (nelayan bila) merupakan pekerjaan warisan turun–temurun. Mereka mewarisi dari orang tuanya berupa pengetahuan tentang tata cara membuat bangunan bila dan cara mengoperasionalkan, serta lokasi pemasangan bila di laut.
Aktivitas pa’bila, satu hari setelah pemasangan bila (tannah bila)pa’bila (nelayan bila) mengontrol (ma’lele) keadaan bilanya, melihat dari dekat apakah sudah ada ikan atau biota laut yang terperangkap di dalamnya. Kegiatan ma’lele (mengontrol) dilakukan pada pagi hari dan kembali ke rumah sekitar jam 9-10 wita. Setelah selesai beraktivitas mengontrol bilanya mereka dapat mengerjakan pekerjaan lain, seperti memperbaiki bila. Mereka memiliki lebih dari satu unit bila. Panen pertama (taka baru) dilakukan setelah tiga hari pemasangan bila di laut. Hasil tangkapannya bisa langsung di jual pada hari itu juga, sehingga pada saat itu juga nelayan bisa memperoleh uang. Tingkat penghasilan yang diperolehnya cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangganya. Hal ini yang menjadi salah satu alasan mereka tetap mempergunakan alat tangkap bila.
PENUTUP
Bila sebagai alat tangkap ikan yang dipasang menetap pada perairan laut yang dangkal sampai sekarang masih eksis digunkan oleh komunitas nelayan Bajo di Langara Laut Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawe Kepulauan Provinsi Sulawesi Tenggara. Bila merupakan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan, karena setiap periode waktu tertentu nelayan memindahkan, sehingga ekosistem lautan dapat terjaga. Dengan dilakukan pemindahan tempat pemasangan, maka wilayah atau pemasangan sebelumnya memberi peluang ekosisitem laut untuk tumbuh kembali.
Pengetahuan yang dimiliki pa’bila (nelayan bila) merupakan warisan dari nenek moyangnya. Begitupula mengenai lokasi pemasangan bila, mereka tidak menemukan secara kebetulan tetapi merupakan lokasi yang telah digunakan sebelumnya oleh nenek moyang mereka. Dari segi biaya untuk pengadaan satu unit bila memerlukan biaya yang besar, namun demikian masih ada nelayan yang eksis karena bisa digunakan dalam jangka waktu yang lama. Alasan lain, dari segi pengoperasiannya, tidak membutuhkan waktu yang lama di laut.Jika bila sudah dipasang di laut, pa’bila bisa kembali ke darat untuk melakukan aktivitas lainnya, tidak perlu begadang menunggui alat tangkapnya seperti nelayan pancing.Pengambilan hasil tangkapan dilakukan pada waktu pagi hari dan hasilnya bisa langsung dipasarkan. Selain itu biaya operasional bila termasuk hemat bahan bakar, mereka hanya menyiapkan sekitar dua liter bensin untuk satu kali operasional.
Adapun fungsi daripada bila bagi nelayan, sebagai pekerjaan utama bagi nelayan bila ( pa’bila), hasil yang diperoleh berfungsi ekonomi bagi keluarganya. Hasil yang didapat dari alat tangkap bila dapat mendatangkan keuntungan bagi nelayan beserta keluarganya. Ekonomi nelayan pa’bila,apakah dia sebagai punggawana bila(pemilik bila) atau sebagai anak buah mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Bahkan ada diantara mereka yang menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Hasil yang diperoleh dari tangkapan bila selain dapat dinikmati oleh nelayan dan keluarganya, juga dapat dirasakan oleh pihak pa’palele.
DAFTAR PUSTAKA
Hasmunandar. 2010. Studi Tentang Konsktruksi dan Pengoperasian Fyke Net untuk Menangkap Ikan Karang yang Dioperasikan Di Perairan Pulau Pasi Kabupaten Selayar. Skripsi. Makassar: Unhas.
Haviland, William. 1985. Antropologi. Edisi Keempat. Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Haviland, William. 1988. Antropologi.Edisi Keempat. Jilid 2. Jakarta:Erlangga.
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Antropologi. Edisi revisi. Jakarta:Rineka Cipta.
Lampe, Munsi. 2007. Wawasan Sosial Budaya Bahari.Diktat. Makassar: Unhas
Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahar. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Ranjabar, Jacobus. 2013. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Sairin, Sjafri, Pujo Semedi, Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widodo, J, & Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.