Barongko: Unggul pada Cita Rasa dan Nilai Filosofi

0
9744

Oleh: Raodah Hafid, Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Siapa yang tidak kenal barongko? Kue tradisional khas masyarakat Bugis dan Makassar. Rasanya manis dan gurih membuat orang ketagihan.

Barongko merupakan kue tradisional yang sangat terkenal dalam masyarakat Bugis dan Makassar. Kue ini memiliki cita rasa yang khas, sehingga sangat digemari oleh banyak orang. Rasanya manis dan gurih, membuat orang tidak puas kalau hanya satu bungkus yang dimakan. Bagi wisatawan termasuk warga masyarakat Sulawesi Selatan yang gemar kuliner kue tradisional, barongko menjadi salah satu pilihan yang tak terlupakan untuk dinikmati. Ketersediaan kue barongko dapat ditemukan di café-café atau di gerai-gerai kuliner yang ada di Kota Makassar.

Barongko terbuat dari pisang kepok (Bugis: utti manurung) yang sudah masak. Terlebih dahulu diolah dengan cara dihaluskan. Setelah itu, adonan pisang dicampur dengan gula, santan dan telur ayam. Untuk menambah cita rasa, adonan tersebut dicampur dengan irisan nangka (Bugis: panasa). Selanjutnya, adonan dibungkus dengan daun pisang dengan cara terlebih dahulu membentuk polanya, lalu adonan dituangkan ke dalamnya. Berikutnya, dikukus sampai masak.

Orang Bugis dan Makassar memandang bahwa barongko bukan hanya sekedar kue tradisional yang memiliki cita rasa yang tinggi, tetapi juga memiliki nilai filosofi. Setiap pelaksanaan upacara adat atau kegiatan resmi lainnya, barongko senantiasa dihidangkan untuk menjamu tamu kehormatan.

Pelaksanaan upacara adat perkawinan orang Bugis dan Makassar, barongko merupakan kue utama. Sebagai kue utama, maka harus dihidangkan karena memiliki nilai filosofi. Barongko merupakan singkatan dari barangku mua udoko (bahasa Bugis), yang artinya barangku sendiri yang kubungkus. Maksudnya, adonan yang bahan bakunya adalah pisang, juga dibungkus dengan daun pisang . Bagi orang Bugis dan Makassar, istilah tesebut sangat mendasar dan memiliki nilai filosofi. Nilai utama dalam budaya Bugis dan Makassar adalah siri’ (harga diri). Jadi, membungkus atau menjaga harga diri merupakan amalan dari nilai siri’. Tujuannya adalah untuk menjaga harkat dan martabat diri sendiri dan keluarga.

Selain itu, makna lain dari barongko adalah apa yang terbungkus di dalam (adonan pisang), sama dengan yang tampak di luar (daun pisang). Artinya, pembungkus dan yang dibungkus sama, keduanya memiliki kesamaan yang baik. Dalam sebuah perkawinan memiliki makna sebagai awal keharmonisan untuk membangun rumah tangga.  Kedua mempelai akan menjalin keharmonisan bilamana keduanya memiliki hati yang sama baik dan perilaku yang baik pula. Demikian pula, barongko yang rasanya manis dan gurih memiliki makna, sebagai pengharapan akan kesejahteraan dalam kehidupan rumah tangga, baik anugrah rezeki maupun keturunan.

Panasa yang menambah cita rasa barongko, juga ada kaitannya dengan nilai filosofi kehidupan orang Bugis dan Makassar. Sebuah ungkapan Bugis menyebutkan “Iyyana kuala sappo unganna panasaé nabélona kanukué”, artinya yang kuambil sebagai pagar diri dalam rumah tangga ialah kejujuran dan kesucian. Unganna panasaé, yang disebut lempu mengandung arti kejujuran. Sedangkan nabélona kanukué adalah pacci atau paccing mengandung arti kesucian.

Barongko telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya takbenda Indonesia. Penetapan ini diberikan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bernomor 60128/MPK.E/KB/2017. Tujuannya adalah untuk memberikan rasa identitas bagi masyarakat pemilik budaya tersebut, dan menghindari diklaim oleh negara lain. Semoga barongko tetap berkembang dalam kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar.

Foto: Raodah Hafid (Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan)