Film Athirah berkisah tentang kegigihan seorang ibu bernama Athirah yang berusaha menjaga keutuhan keluarganya sambil berjuang bangkit dari kesedihan, tatkala sang suami memilih berpoligami. Film ini diangkat dari novel biografi Ibunda Yusuf Kalla dengan judul yang sama, Athirah. Film Athirah telah ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia pada 2016 silam. Juga telah diputar di berbagai ajang festival film luar negeri dengan judul Emma’ (Mother), termasuk pada Festival Europalia tahun 2017. Di ajang Festival Film Indonesia 2016, Film Athirah dinobatkan sebagai film terbaik dan meraih 6 piala citra dari 10 nominasi piala citra.
Mengambil setting Makassar, Bone dan Sengkang tahun 1950an sampai 1960an, Film Athirah berhasil menampilkan potret budaya Bugis-Makassar dengan apik melalui gambar-gambar yang indah. Terutama khasanah kuliner dan warna warni sarung sutranya (Lipa’ Sabbe). Beberapa adegan film memang berpusat di meja makan yang menampilkan makanan khas Bugis-Makassar seperti Pallu Mara dan Barongko. Demikian halnya sarung sutra (Lipa’ Sabbe) yang sangat identik dengan perempuan Bugis-Makassar, dan sekaligus menjadi penopang Athirah dalam menegakkan kembali kepercayaan dirinya.
Barongko dan Lipa’ Sabbe adalah karya budaya yang sangat lekat dengan peran domestik seorang ibu pada masyarakat Bugis-Makassar. Dan keduanya pun telah diakui sebagai warisan budaya takbenda Indonesia. Selain keduanya, ternyata masih ada beberapa warisan budaya takbenda Indonesia asal Sulawesi Selatan yang juga muncul di Film Athirah. Apa saja? Berikut ulasan lengkapnya:
1. Lipa’ Sabbe
Lipa Sabbe ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia pada tahun 2016. Athirah tokoh utama film, diceritakan memiliki ikatan yang sangat emosional dengan Lipa’ Sabbe. Lipa’ Sabbe yang sering dikenakannya adalah mas kawin pemberian suaminya, dan dia merawatnya dengan hati-hati sebagaimana dia merawat keutuhan keluarganya. Pada sebuah adegan antara Athirah dan ibunya, dikatakan oleh ibunya bahwa Lipa’ Sabbe adalah pusaka yang harus terus dijaga sebagaimana dia harus menjaga apa yang dianggap penting dalam hidup.
Pada saat Athirah terpuruk, Lipa’ Sabbe pun menjadi sumber kekuatan Athirah untuk bangkit. Sebagaimana dia terinspirasi oleh kegigihan para penenun Lipa’ Sabbe Sengkang yang menolak menyerah untuk menenun ketika benang sangat sulit didapatkan pada masa penjajahan Belanda. Visualisasi kerajinan Lipa’ Sabbe di daerah sentra produksinya yaitu Sengkang Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, juga dapat kita intip di film ini.
2. Barongko
Barongko adalah kue berbungkus daun, kuliner khas sulawesi selatan yang ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia tahun 2017.
Barongko tidak pernah absen pada setiap adegan makan, yang cukup sering di film ini. Kuliner berbahan pisang kepok, santan dan gula ini menjadi sajian penutup di pesta pernikahan, saat keluarga Athirah makan bersama, atau menjadi kue sajian buat tamu.
3. Ganrang
Ganrang atau gendang tampil beberapa kali di film ini untuk mengiringi tari-tarian yang ditampilkan pada pesta pernikahan. Terutama pada Tari Pakarena di salah satu pernikahan yang dihadiri Athirah dan suaminya, hentakan Ganrang yang dibawakan langsung oleh maestro Ganrang yaitu Serang Dakko atau Daeng Serang dari Sanggar Alam tampil cukup menonjol.
Ganrang ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda indonesia sejak tahun 2015.
4. Tari Pakarena
Tari pakkarena di film ini muncul sebagai hiburan di acara pernikahan yang dihadiri oleh Athirah dan suaminya. Tari pakarena dibawakan oleh perempuan dengan memegang kipas dengan iringan Ganrang dan Pui’-pui’. Gerakannya sangat pelan kontras dengan bunyi Ganrang yang menghentak dan lengkingan Pui-pui yang mengirinya. Gerakan tari yang lambat disimbolkan sebagai karakter perempuan Bugis-Makassar yang senantiasa sopan dan patuh, meski dunia di sekitarnya khususnya laki-laki bergerak dinamis.
Tari pakarena adalah tari klasik yang pada masa kerajaan hanya ditampilkan di Istana. Dalam perkembangannya, setidaknya sejak abad ke-20, Tari Pakarena mengalami perubahan dan penyesuaian sehingga muncul berbagai versi dan kemudian ditampilkan sebagai pertunjukan hiburan, termasuk pada pernikahan seperti di film ini. Namun demikian, Tari Pakarena klasik masih bertahan dan dipertunjukkan pada acara-acara tertentu. Sebagai warisan budaya takbenda Indonesia, tari pakarena ditetapkan pada tahun 2013.
5. Songkok Recca’
Songkok Recca’ atau Songkok To Bone atau Songkok Pamiring Ulaweng, baru saja ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia pada tahun 2018 ini. Songkok Recca’ adalah penutup kepala laki-laki yang bentuknya seperti peci dengan piggiran bagian bawah berwarna emas.
Di film ini, Songko Recca beberapa kali terlihat dikenakan pada pesta pernikahan, sebagaimana fungsinya sebagai pelengkap pakaian adat laki-laki. Selain itu terdapat juga sebuah adegan dimana Athirah memakaikan Songkok Recca pada Ucu’ (Yusuf Kalla) sambil mengucapkan harapannya agar kelak Ucu menjadi pembesar yaitu Gubernur. Seperti kita ketahui, harapan Athirah tersebut terlampaui oleh pencapaian Ucu’ yang berhasil menjadi wakil presiden RI selama dua periode.
6. Pinisi
Pinisi adalah kapal layar bertiang dua yang merupakan kapal khas Bugis-Makassar. Kapal yang mengantarkan para pelaut ulung asal Bugis-Makassar mengarungi samudera sampai nun jauh di negeri asing. Masih segar dalam ingatan, Seni Pembuatan Perahu Pinisi telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia pada 2017. Dan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia sudah ditetapkan sejak 2013.
Di film ini penampakan pinisi hanya sekilas, yaitu saat Ucu’ bermain bola di Pelabuhan Paotere yang memang menjadi pelabuhan utama tempat bersandarnya kapal-kapal Pinisi di Makassar. Meski sekilas namun tiang-tiang layar Pinisi terlihat jelas dan sangat mudah dikenali.
7. Badik
Badik yaitu senjata tajam khas Bugis – Makassar, terlihat dikenakan oleh mempelai pria pada adegan pembuka film. Juga dipegang seseorang seperti Bissu (pendeta agama Bugis Kuno masa pra Islam), yang bertugas menjemput mempelai pria.
Badik yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda pada tahun 2014, bagi masyarakat Bugis-Makassar selain sebagai senjata juga merupakan pusaka dan berkaitan dengan harga diri atau siri’.