Cipto Mangunkusumo merupakan seorang dokter sekaligus tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sebagai dokter, Cipto berperan besar dalam pemberantasan wabah pes di Malang pada 1911. Berkat jasa itulah, Dokter Cipto mendapat bintang emas, penghargaan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Walaupun di kemudian hari penghargaan tersebut dikembalikan oleh Cipto karena kekecewaannya terhadap pemerintah kolonial.
Kontribusinya yang lain, dan barangkali terbesar, adalah sepak terjangnya di dunia politik. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara, ia mendirikan Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda.
Pada 16 Desember 1927, Cipto dibuang pemerintah kolonial ke Banda dengan tuduhan membantu pemberontakan pihak komunis. Meskipun hidup jauh di tempat terpencil, kecintaan Cipto terhadap politik dan perjuangan kemerdekan bangsa tidak berkurang. Hampir setiap hari, ia membaca koran yang beritanya telah terlambat sebulan hanya demi mengetahui perkembangan pergerakan kebangsaan di Jawa. Di Banda, Cipto tidak sendiri, terdapat tiga tokoh kemerdekaan nasional lain yang dibuang ke sana, yaitu Iwa Kusuma Sumantri, serta Hatta dan Sjahrir yang datang pada 1935. Berempat mereka sering berkumpul dan secara perlahan menyalakan geloran nasionalisme pada diri masyarakat Banda.
Pada masa pengasingan, penyakit asma Cipto kambuh. Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, namun Cipto menolak dengan tegas. Ia mengatakan bahwa dirinya lebih baik mati di Banda daripada harus melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Bali, Makasar, sebelum pada 1940, dipindahkan ke Sukabumi. Cipto Mangunkusumo meninggal dunia pada 8 Maret 1943 akibat penyakit asma. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ambarawa.
In English:
Cipto Mangunkusumo was a doctor and figure in the Indonesian independence movement. As a doctor, Cipto played a significant role in eradicating the bubonic plague in Malang in 1911. This service gave Doctor Cipto a gold star, an award from the Dutch East Indies colonial government. Although, later, Cipto returned the prize because of his disappointment with the colonial government.
Another contribution, and perhaps the greatest, is his work in politics. Together with Ernest Douwes Dekker and Ki Hajar Dewantara, he founded Indische Partij. This political organization first put forward the idea of self-government in the hands of the local population, not by the Dutch.
On December 16 1927, Cipto was exiled by the colonial government to Banda on charges of aiding the communist rebellion. Even though he lives far away in a remote place, Cipto’s love for politics has not diminished. Almost every day, he read newspapers, whose news was a month late, to learn about developments in the national movement in Java. In Banda, Cipto was not alone, and three other national independence figures were exiled there, namely Iwa Kusuma Sumantri and Hatta and Sjahrir, who came in 1935. The four of them often gathered and slowly ignited the surge of nationalism in the people of Banda.
During his exile, Cipto’s asthma recurred. When Cipto was asked to sign an agreement that he could return to Java by giving up his political rights, Cipto firmly refused. He said he would rather die in Banda than give up his political rights. Cipto was transferred to Bali, Makasar, before being transferred to Sukabumi in 1940. Cipto Mangunkusumo died on March 8 1943, due to asthma. He was buried at the Ambarawa Heroes’ Cemetery.