Ditulis oleh :

Tim Peneliti BPNB Maluku

Myaoo……Sapaan dalam bahasa Fordata yang mengandung arti “selamat datang” atau “salam jumpa” terpampang di hampir setiap gapura desa yang dilewati dalam perjalanan menuju pulau Larat di kecamatan Tanimbar Utara. Perjalanan dari bandara Mathilda Batlayeri menuju pulau Larat ditempuh dalam waktu 4 jam. Tim peneliti di tahun ini beruntung tidak lagi perlu menggunakan rakit untuk menyeberang dari pulau Yamdena ke pulau Larat karena jembatan Leta Oaralan telah berdiri dan diresmikan pada Januari 2019.

Aktivitas Bakar Batu masyarakat Pulau Larat di Watidal bersama Tim Peneliti

Pulau Larat merupakan salah satu pulau kecil terluar yang berpenduduk. Penelitian yang dilakukan di pulau Larat tahun ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis lokal. Dalam hal ini, tim peneliti menggali kearifan dan pengetahuan lokal orang Larat dalam mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan darat dan laut mereka.

Adapun desa-desa yang dikunjungi oleh tim peneliti adalah desa-desa yang termasuk dalam empat serangkai, yakni desa Ritabel, Ridool, Lelingluan dan Watidal. Persekutuan empat serangkai ini dilatarbelakangi oleh peritiwa kedatangan mereka mula-mula di pulau Larat. Desa Lelingluan merupakan desa yang terletak di pulau Yamdena tapi masih termasuk dalam kecamatan Tanimbar Utara serta merupakan bagian dari empat serangkai. Desa-desa lainnya yang terdapat di pulau Larat adalah desa Kaliobar, Kelaan, Lamdesar Barat dan Lamdesar Timur. Desa-desa tersebut semuanya terletak di pesisir.

Sebagai masyarakat pulau kecil, orang-orang Larat dahulu tidak menggantungkan hidup mereka pada satu aktivitas di satu tempat tertentu saja. Beragam aktivitas mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka antara lain; berkebun, berburu, meramu dan mencari ikan di laut. Jauh sebelum tersentuh oleh modernitas, aktivitas-aktivitas tersebut dijalankan berdasarkan pengetahuan yang mereka dapatkan secara turun-temurun dari leluhur. Berbagai kearifan lokal mengimbangi pengetahuan tersebut. Kearifan lokal diperlukan untuk menjaga kelestarian lingkungan alam tempat mereka tinggal.

Pada aktivitas berkebun, orang Larat membedakan pengelolaan kebun mereka dalam tiga periode yakni tnemun, lawlowar dan tual. Pada tiap periode tersebut ditanami tumbuhan yang berbeda, dan pada periode yang terakhir atau tual ditanami tanaman berumur panjang misalnya kelapa. Tanaman kelapa ini juga sebagai penanda bahwa tanah tersebut merupakan milik seseorang yang tidak boleh diambil oleh orang lain. Selain itu, berbagai dedaunan dan tumbuhan juga dimanfaatkan sebagai bahan dalam meramu berbagai jenis obat-obatan tradisional. Misalnya daun “blakang sakit” atau dalam bahasa lokal disebut walwulin roan adalah daun yang berkhasiat menyembuhkan nyeri tulang punggung.

Pada aktivitas mencari ikan di laut para nelayan memiliki beragam pengetahuan lokal seperti pembagian wilayah laut berdasarkan kedalamannya, jenis-jenis ikan atau hewan laut yang banyak terdapat di tiap-tiap wilayah tersebut, serta alat tangkap yang tepat untuk jenis ikan atau hewan laut di tempat dan kedalaman tertentu. Pengetahuan lokal dalam melaut juga meliputi cara mengamati langit misalnya awan dan bintang serta adanya berbagai pantangan melaut atau menangkap ikan tertentu dalam kondisi tertentu.

Tim Peneliti melakukan perjalanan menuju Desa Lelingluan

Berbeda dengan wilayah di Maluku pada umumnya, pada musim timur keadaan laut dan cuaca di Pulau Larat justru cerah dan lautannya tidak bergelombang. Hal ini memungkinkan tim penelitian melakukan observasi partisipan dalam aktivitas buka kebun dan totmeti di laut. Sungguh merupakan pengalaman yang berkesan dan tak terlupakan bagi tim penelitian.  Mtio…….