Penulis: Eklevina Eirumkuy, Peneliti Antropologi Budaya
Pengantar
Di tengah wabah virus corona (COVID 19) yang melanda dunia, banyak aktivitas masyarakat yang mengalami perubahan. Perubahan tidak hanya dari sisi interaksi social dan ekonomi saja, melainkan juga dari sisi pekerjaan atau mata pencaharian. Hal ini menyebabkan banyak aktivitas baru dalam masyarakat yang dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, juga untuk mengisi waktu luang.
Orang Banda Suli yang mendiami pemukiman kampung Banda di desa Suli tidak luput dari kondisi ini. Wilayah pemukiman penduduk yang terletak di pinggiran kota Ambon ini turut mengalami kebijakan pemerintah kota Ambon untuk pemberlakuan PKM (Pembatasan Kegiatan Masyarakat) maupun PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Perberlakuan PKM dan PSBB yang terakhir dilakukan meliputi beberapa hal, antara lain : pembatasan social di lingkungan tempat kerja, di sekolah, dan di tempat ibadah. Selain juga mengikuti anjuran pemerintah dalam rangka pencegahan dan memutuskan mata rantai penularan virus corona untuk tetap tinggal di rumah, masyarakat beralih aktivitas (pekerjaan).
Aktivitas masyarakat[1] Banda Suli yang dilakukan adalah berkebun dan sarut daun kayu putih. Aktivitas – aktivitas ini sebenarnya telah dilakukan mereka sejak awal menempati kampung Banda Suli, namun di kondisi sekarang mengalami peningkatan yang cukup tinggi bagi sebagian orang. Lahan-lahan kosong milik orang Suli dimanfaatkan masyarakat untuk berkebun. Sementara sarut daun kayu putih ditunjang dengan lingkungan alam sekitar pemukiman Banda Suli yang banyak ditumbuhi tanaman kayu putih. Hasil kebun dan sarut daun kayu putih dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penjelasan lebih lanjut mengenai aktivitas-aktivitas tersebut akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Gambaran Lokal
Gambar 1. Lokasi kampung Banda Suli
Kampung Banda Suli berada di desa Suli Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah. Kampung Banda suli adalah tempat tinggalnya para pengungsi dari Pulau Banda yang bermigrasi karena konflik Maluku tahun 1999 silam. Kampung Banda berada di dusun Amalatuei desa Suli, yang berbatasan dengan kampung Wara (tempat para pengungsi Tial – Larike) dan Asrama RINDAM Suli. Di bagian samping terdapat gunung Eriwakang Suli dan di bagian belakang ada gunung Salahutu. Di dalam perkampungan juga terdapat lokasi Kampus UKIM yang sementara dalam proses pembangunan.
Keadaan alam sekitar, banyak ditumbuhi tanaman kayu putih dan beberapa titik ditumbuhi pohon sagu. Juga terdapat banyak rumput dan pohon-pohon sehingga banyak pemilik ternak sapi membiarkan ternak mereka makan rumput-rumputan. Di dekat perkampungan terdapat sebuah danau (telaga) yaitu telaga Tihu.
Gambar 2. Pemukiman orang Banda Suli
Pola pemukiman penduduk menyebar karena kondisi lahan datar. Terdapat satu jalan utama, yang dilalui kendaraan umum. Ada beberapa jalan setapak di lorong-lorong perumahan. Tanah yang didiami orang Banda ini adalah pemberian pemerintah daerah kepada pengungsi Banda, olehnya itu luas tanah masing-masing rumah hanya 10×15 meter.
Berdasarkan data yang penulis peroleh dari Tim Penanganan Bencana gempa bumi 26 September 2019, jumlah penduduk kampung Banda Suli adalah 310 KK (kepala keluarga) dan kurang lebih 1029 jiwa.[2] Masyarakat kampung Banda Suli tidak hanya terdiri dari orang Banda saja melainkan juga para pengungsi dari beberapa tempat antara lain ; dari Hitu, Waiheru, Halong.
Mata pencaharian masyarakat beragam yaitu PNS, TNI/POLRI, pegawai swasta, pedagang, tukang ojek, tukang bangunan, petani, dan sebagainya. Mayoritas masyarakat beragama Kristen Protestan, ada juga Kristen Katolik, dan ada juga Kristen yang beraliran lain seperti Advent dan GBI Rock.
Fasilitas umum yang tersedia di dalam kampung Banda adalah gereja GPM, gereka GEKRIA (Gereja Kristen Reformasi Indonesia), SD Negeri 6 Suli, Puskesmas Pembantu (Pustu). Satu buah lapangan volley yang biasa dipakai untuk olahraga.
Gambar 3. Gereja GPM Solascriptura Banda
- Orang Banda Suli
Orang Banda yang berada di Kampung Banda Suli adalah orang Banda yang berasal dari beberapa Pulau di kepulauan Banda, yaitu orang Banda Neira dari pulau Neira, orang Hatta dari pulau Hatta, orang Lonthoir dari pulau Banda Besar, dan orang Rhun dari pulau Rhun. Mereka bermigrasi dari pulau asal mereka ke pulau Ambon karena konflik social (kerusuhan) yang terjadi pada tahun 1999 silam. Lokasi tempat tinggal orang Banda sekarang dinamakan kampung Banda Suli . Penamaan ini karena lokasinya berada di dusun Amalatuei desa Suli.
Gambar 4. Tugu Peringatan Berdirinya
Kedatangan orang Banda di dusun Amalatuei desa Suli ditandai dengan pembangunan tugu peringatan seperti gambar di atas. Orang Banda menempati dusun Amalatuei Suli pada tanggal 19 Oktober 2003. Sebelum menempati kampung Banda Suli sekarang, orang Banda (pengungsi Banda) ditampung di asrama Rindam Suli.
Tugu peringatan dibangun sebagai pengingat peristiwa sejarah penting migrasi orang Banda ke Pulau Ambon (desa Suli). Pada tugu peringatan tertulis “Dusun Pawar Wandan”, nama tersebut diberikan oleh pemerintah desa Suli kepada orang Banda. Pawar wandan memiliki arti tanah Banda. Selain itu, terdapat gambar pala dan keranjang (takiri) yang melambangkan kekayaan alam Pulau Banda yaitu pala, biji pala, dan fuli. Takiri sebagai tempat menampung pala di kebun atau hutan. Di samping tugu terdapat gambar ikan, yang melambangkan kekayaan alam laut Banda dengan beraneka ragam ikan. Gambar tangan sedang memegang buah pala, artinya pala sebagai penopang kehidupan orang Banda pada waktu masih berada di Pulau atau tanah Banda.
Dari perspektif sejarah kehadiran penduduk pribumi di kepulauan Banda, maka penduduk kepulauan Banda terbagi dalam tiga komunitas. Komunitas pertama adalah penduduk heterogen yang mendiami kepulauan Banda jauh sebelum orang-orang Eropa menjejakkan kaki di kepulauan ini. Penduduk Banda yang termasuk dalam komunitas pertama ini merupakan masyarakat yang terbentuk menurut struktur adat dengan ikatan persekutuan Ulisiwa dan Ulilima. Komunitas kedua merupakan penduduk kolonis yang heterogen, yang secara stratifikasi diatur bahwa orang-orang Eropa menduduki strata teratas, selanjutnya kelompok menengah yang terdiri dari kaum mardijker (bekas budak), mestizo (Indo atau campuran Eropa dan pribumi) dan Inlandse Christenen (Kristen pribumi), serta orang buangan dan budak menempati strata terbawah. Penduduk kolonis merupakan masyarakat yang sengaja diciptakan oleh VOC. Penduduk ini terbentuk pasca-pembantaian berdarah terhadap penduduk Banda komunitas pertama yang dilakukan oleh Gubernur Jendral Jan Piter Coen. Komunitas ketiga merupakan penduduk Banda yang terintegrasi dari berbagai ras, etnis dan kuli kontrak, yang telah mengalami transisi yang cukup lama untuk kemudian membentuk satu komunitas baru yakni komunitas Banda dewasa ini.[3]
Orang Banda yang ada sekarang memanglah bukan penduduk asli pulau Banda. Mereka adalah generasi ketiga dan keempat dari leluhur mereka yang tinggal dan menetap di pulau Banda sejak lama. Walaupun demikian, mereka menamakan diri mereka sebagai orang Banda. Menjadi orang Banda adalah sebuah identitas yang melekat dalam diri maupun komunitas orang Banda. Logat Banda yang begitu kental dengan aksen dan intonasi berbicara yang khas. Beberapa kata khas orang Banda yang sering dipakai dalam percakapan sehari-hari antara lain : Pane (kamu), trong (kami) akurang (kenapa), trada ( tidak ada), tar nodek (tidak peduli atau tidak mau), ral (marah), lastek (ribet), kalatak (buah pala yang jatuh dari pohon dan yang telah dimakan burung), manyuluh (bameti pada malam hari karena memakai lampu), manggarebo (berebutan).
Makanan tradisional khas yang menjadi favorit di meja-meja makan adalah saot, colo-colo bakasang, ulang-ulang, ikan bumbu rujak, dan sebagainya. Saot adalah kasbi (ubi kayu) parut yang dikukus. Colo-colo bakasang terbuat dari bahan utama ikan cakalang, yang diambil hanya daging ikan, kemudian diawetkan dengan garam dan cuka. Dibiarkan beberapa hari di bawah terik matahari. Setelah itu, dimasukan dalam botol. Ulang-ulang adalah sayur yang terbuat dari campuran beberapa sayuran seperti kangkung, terong, dan ketimun. Dicampur dengan kacang yang telah dihaluskan, ditambah bawang merah, garam, cuka. Ikan bumbu rujak, dimasak dengan bumbu dan rasa pedas adalah ciri khas masakan ini.
Gambar 5. Potret orang Banda dalam aktivitas di kebun
Perpindahan penduduk dari pulau Banda ke tanah Suli memberikan dampak besar bagi orang Banda Suli. Perubahan mata pencaharian adalah sesuatu hal penting demi kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anak. Kebiasaan berkebun dengan tanah milik sendiri pada waktu di pulau Banda kini berubah dengan memanfaatkan lahan milik orang Suli. Aktifitas melaut kini sudah tidak lagi dilakukan karena kampung Banda terletak jauh dari laut. Selain itu, sarut daun kayu putih dengan memanfaatkan alam sekitar yang banyak ditumbuhi tanaman kayu putih.
- Aktivitas Masyarakat Banda di tengah Pandemi COVID 19
Dalam kondisi pandemic COVID 19 yang melanda seluruh dunia ini, komunitas orang Banda Suli pun mengalami dampak pandemic COVID 19. Banyak aktivitas baru masyarakat yang terjadi pada masa pandemic ini, yaitu mengikuti protocol kesehatan atas anjuran pemerintah seperti : memakai masker ketika keluar rumah, menjaga jarak (social distancing), dan rajin mencuci tangan. Selain anjuran yang diberikan oleh pemerintah, anjuran pun sering disampaikan setiap hari minggu oleh pihak gereja, yaitu pendeta dan majelis jemaat lewat pengeras suara dari gereja. Anjuran untuk jemaat dan masyarakat dalam menerapkan pola hidup bersih, tidak keluar rumah jika tidak penting, tetap memperhatikan waktu belajar anak
Pembuatan portal dan pos-pos pengamanan, pengadaan tempat-tempat mencuci tangan di depan rumah warga. Selain itu aktivitas beribadah dilakukan di rumah masing-masing dan di tempat ibadah khusus bagi para pelayan.
Gambar 6. Aktivitas di pos pengamanan
Aktivitas orang Banda Suli dalam kondisi pandemi COVID 19 ini disesuaikan dengan anjuran pemerintah yaitu : menggunakan masker ketika ke luar rumah, menjaga jarak sosial, rajin mencuci tangan. Selain itu aktivitas masyarakat yang lagi gencar-gencarnya dilakukan yaitu berkebun dan sarut daun kayu putih. Pertama, aktivitas berkebun memang telah dilakukan warga sejak mendiami kampung Banda suli, namun sekarang dengan adanya situasi pandemic COVID 19 masyarakat semakin banyak yang berkebun. Mereka menggunakan lahan-lahan kosong milik orang Suli untuk berkebun. Bahkan lahan kosong yang masih penuh pohon dan rumput belukar dibongkar dan dibersihkan untuk berkebun. Tanaman yang ditanam pun beragam, yaitu : kasbi (ubi kayu), jagung, petatas (ubi jalar), kacang-kacangan, dan sayur-sayuran.
Gambar 7. Aktivitas menggarap kebun oleh perempuan Banda
Gambar 8. Kebun jagung dan kasbi (ubi kayu)
Kebun yang dibuat ada yang milik sendiri dan milik bersama (keluarga besar) yaitu orang tua, anak menantu dan cucu. Aktivitas berkebun biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari. Orang tua sering membawa anak-anak mereka untuk ikut berkebun. Hasil kebun, seperti pisang, kasbi, dan sayur-sayuran biasanya dijual atau ditukar dengan hasil lain milik tetangga atau keluarga.
Gambar 9. Kebun sayur sawi dan kacang panjang
Kedua, aktivitas sarut daun kayu putih. Sarut daun kayu putih adalah mengurut atau mengambil daun kayu putih dari tangkai tanaman kayu putih. Aktivitas ini biasanya dilakukan oleh perempuan dan anak-anak. Sarut daun kayu putih adalah pekerjaan sampingan para ibu rumah tangga dalam membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga.
Gambar 10. Aktivitas sarut daun kayu putih
Daun kayu putih yang diambil dimasukan dalam karung dan ditekan-tekan agar padat dan bisa menghasilkan hasil yang banyak. Daun kayu putih yang telah terkumpul kemudian dijual ke pihak penyuling minyak kayu putih. Daun kayu putih dijual dengan harga Rp. 1500 per kilogram. Hasil jualnya, dapat dipakai untuk membantu mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.
Gambar 11. Proses menekan daun dalam karung
Penutup
Orang Banda yang ada sekarang memanglah bukan penduduk asli pulau Banda. Mereka adalah generasi ketiga dan keempat dari leluhur mereka yang tinggal dan menetap di pulau Banda sejak lama. Walaupun demikian, mereka menamakan diri mereka sebagai orang Banda. Menjadi orang Banda adalah sebuah identitas yang melekat dalam diri maupun komunitas orang Banda.
Aktivitas orang Banda Suli dalam kondisi pandemi COVID 19 ini disesuaikan dengan anjuran pemerintah yaitu : menggunakan masker ketika ke luar rumah, menjaga jarak sosial, rajin mencuci tangan. Selain anjuran yang diberikan oleh pemerintah, anjuran pun sering disampaikan oleh pihak gereja, yaitu pendeta dan majelis jemaat. Anjuran untuk jemaat dan masyarakat dalam menerapkan pola hidup bersih, tidak keluar rumah jika tidak penting, tetap memperhatikan waktu belajar anak
Dalam menyesuaikan diri dengan kondisi pandemi yang terjadi tidak sedikit orang Banda yang tidak bisa kerja di luar Suli sehingga cukup kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam menyikapi kondisi pandemi, masyarakat melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat membantu mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas tersebut adalah berkebun dan sarut daun kayu putih. Berkebun pada lahan-lahan milik orang Suli yang kosong, baik secara pribadi maupun bersama keluarga besar. Tanaman yang ditanam beragam, yaitu : petatas (ubi jalar, kasbi (ubi kayu), pisang, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran. Hasil berkebun ada yang dijual dan sebagian untuk dimakan. Ada pula yang menukarkan hasil kebunnya dengan hasil lain dari keluarga/ tetangga . Sarut daun kayu putih biasanya dilakukan oleh perempuan dan anak-anak. Daun kayu putih dijual kepada penyuling minyak kayu putih dengan harga Rp. 1500 per kilogram.
Sumber referensi :
Tuhumena Winde Dale, 2020. Makna Tanah Pengungsian bagi Jemaat GPM Banda Suli. Dalam Arumbae : Jurnal Ilmiah Teologi dan Studi Agama Volume 2 No.1 2020, UKIM. Ambon.
Data Tim Penanganan bencana gempa bumi 26 September 2019, Jemaat GPM Solascriptura Banda Suli.
https://www.google.co.uk/maps/
[1] Dalam penulisan artikel ini terdapat beberapa penggunaan istilah “masyarakat” yang penulis pakai untuk menggambarkan aktivitas-aktivitas berkebun dan sarut daun kayu putih tidak hanya dilakukan oleh orang Banda saja tetapi juga mereka yang bukan orang Banda.
[2] Data diperoleh dari Tim Penanganan bencana gempa bumi 26 September 2019, Jemaat GPM Solascriptura Banda.
[3] Dapat dilihat dalam Tuhumena Winde Dale, 2020. Makna Tanah Pengungsian bagi Jemaat GPM Banda Suli. Dalam Arumbae : Jurnal Ilmiah Teologi dan Studi Agama Volume 2 No.1 2020, UKIM.