Penulis : Mezak Wakim, Peneliti Antropologi Budaya
Pengantar
Diskursus mengenai Maluku di ruang publik selama hampir satu dekade belakangan ini cenderung didominasi oleh wacana konflik sosial yang menunjuk pada konflik antar Islam dan Kristen ataupun juga konflik yang muncul akibat separatis, terorisme dan lainya. Refleksi fenomena yang terjadi sesunguhnya mengidentifikasi secara struktural dan kultural bahwa konflik yang terjadi di Maluku dalam rangkaian sejarah peradaban manusia Maluku tidak pernah lepas dari konflik. Pertentangan antar komunal yang mempertahankan wilayah adatnya atau sebut juga pertentangan antara patasiwa dan patalima (kelompok lima dan sembilan) di Maluku Tengan, Lorsiw dan Lorlim di Maluku Tenggara dan Ursiw dan Urlim di Kepaulan Aru dan lainya sesunguhnya menandakan konflik telah menjadi bagian dari rekonstruksi sejarah peradaban manusia di Maluku. Akan tetapi tidak bisa juga di sepelehkan bahwa konsep konflik yang dipahami masyarakat Maluku tentu menjadi awal munculnya negosiasi damai yang di ukur dari kearifan lokal masyarakat Maluku. Pela dan Gandong, Adik dan Kaka yang di pahami orang Maluku adalah bagian dari keterpaduan unsur perbedaan yang dikontrol dari konsep leluhur yang membaca benar perbedaan-perbedaan besar dalam struktur sosial masyarakat di Maluku, yang kelak akan meninbulkan konflik besar.
Konsep hidup orang Basudara, Potong di kuku rasa di daging, Ale Rasa Beta Rasa, Sagu Salempeng di pata dua, Ain ne ain, Kalwedo, Kidabela, Sitakaka walike dan lain sebagainya adalah konten lokal yang di kemas dalam tradisi masyarakat Maluku yang sangat menentukan harmonisasi kerukunan hidup antar masyarakat Maluku. Namun kini menjadi pudar, apakah setting peradaban masyarakat Maluku di dominasi oleh kepentingan yang mengahancurkan komposisi hidup orang basudara di Maluku.? pertanyaan ini menjadi refleksi panjang yang belum menemukan titik terang dari seluruh kehidupan manusia di Maluku.
A. Merinci Konflik Komunal Di Maluku : [Belajar Dari Sejarah]
Bila merujuk dari perspektif sejarah, tentu membicarakan konflik dalam tataran budaya masyarakat Maluku maka konteksnya akan menunjuk pada sederetan kasus komunal yang merintis adanya dualisme kekuatan besar di Maluku. Presepektif ini akan lebih di dekatkan pada kompentensi Kekuatan Patasiawa dan Patalima.
Dalam kebudayaan Maluku, konsep pata di artikan sebagai kelompok ; atau persekutuan dan siwa =Sembilan dan lima = lima, ini menandakan di Maluku ada dua kelompok persekutuan besar yakni Patasiawa dan Patalima atau kelompok lima dan kelompok sembilan. Rujukan ini kemudian muncul juga di Kei Maluku Tenggara di kenal adanya Ur siuw dan Lor Lim [ur dan Lor ; persekutuan atau kelompok; dan Siuw ; sembilan dan Lim ; lima]. Sementara di Kepulauan Aru terdapat Ur Siuw dan Url Lim [kelompok sembilan dan kelompok lima] di Seram Maluku Tengah orang-orang Alune menggolongkan diri sebagai Uli Siwa dan Wemale menggolongkan diri Uli Lima. Dalam sejarah daerah Maluku tercatat pada abad ke 13 agama Islam di perkenalkan oleh pedagang Arab yang masuk melalui Cina kepada orang Wemale [uli lima] dan sebaliknya orang Alune [uli Siwa] tetap pada agama sukunya. Dari referensi ini kemudian di lacak setidaknya pada abad XV pengaruh empat kerajaan besar yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo melauaskan pengaruhnya pada wilayah Maluku dan Tenate bersekutu dengan [uli lima] sementara Tidore dengan [uli siwa] penjebaranya di komposisikan sebagai berikut; Uli lima atau Patalima pada wilayah pesisir pantai sementara Patasiwa di lebih cenderung di daerah penggunungan.
Referensi ini kemudian menjadi awal kompetensi munculnya konflik komunal di Maluku dengan pengaruh dua kekuatan besar peresekutuan di Maluku. rincianya dapat di peroleh sebagai berikut :
- Pengaruh Ternate dan Tidore Dalam Konflik Patasiwa dan Patalima
Dalam kebudayaan daerah Maluku, ruang sejarah memberikan penjelasan penting adanya permusuhan antara dua peresekutuan Patasiwa dan Patalima dengan di bawah pengaruh unsur Kerajaan Ternate dan Tidore. Dua kerajaan besar ini yang saling berebut wilayah kekuasaanya telah melibatkan dua persekutuan ini dalam permusuhan besar. Peperangan antar komunal dengan konsep perluas daerah kekuasaan tentunya membuat banyak kasus konflik komunal di munculkan dalam pendekatan ini. Adanya istilah Hongi (heboh; dalam dialektika Ambon] rujukanya menunjuk pada pembakaran negeri atau wilayah yang di jadikan sebagai basis pertempuran. Sehingga tradisi konflik telah ada dalam sejumlah rekam kasus komunal di Maluku.
- Pengaruh Eropa Dalam penciptaan Konflik Komunal di Maluku
- Persaingan Portugis dan Spanyol
Pada tahun 1512 Portugis tiba di Banda untuk berdagang rempah-rempah dan menyiarkan agama, di manfaatkan Ternate untuk membina kekuatan melawan Tidore, namun pada tahun 1521 Spanyol yang tiba di Tidore atas permintaan Sultan Tidore Spanyol menjadi kekuatan Tidore melawan Ternate. Persaingan ini juga kemudian melibatkan Portugis dan Spanyol dalam memperebutkan daerah kekuasaan dalam monopoli perdagangan rempah-rempah. Ini menjadi konsep medasar munculnya kembali potensi konflik komunal di Maluku.
- Misi Belanda
Bila di telusuri dari sejarah maka dapat di data sebauh akurasi data yang jelas bahwa pada tahun 1605 Belanda tiba di Maluku dan mendarat di Hitu dengan membawa sejumlah permasalahan antara lain ; (1) agama Islam yang lebih duluh telah masuk di Maluku telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Maluku, kini menjadi ancaman munculnya misi penyebaran agama Kristen oleh Belanda. Hal ini kemudian menimbulkan peperangan antar pemeluk agama yang berujung pada perluasan daerah kekuasaan dengan tetap melibatkan komunitas lokal setempat untuk saling bermusuhan. Dengan demikian pilihan memilih salah satu agama berarti bermusuhan. Atau dengan kata lain konteks sejarah membenarkan adanya ketenggan antar komunal yang berkaitan dengan prose penyebaran agama. (2) pada masa penjajahan Belanda, pada basis pertahanan wilayah-wilayah Islam yang tidak dapat di perluas kekuasaanya Belanda kemudian menerapkan kondisi perpecahan dalam kehidupan masyarakat di mana pemeluk agama Kristen tentu mendapat perhatian dan prioritas. (3) pada bidang pendidikan penganut agama Kristen lebih di prioritaskan dalam mengikuti pendididkan yang di ajarakan oleh Zeending (guru injil) dan mendapat posisi penting dalam pemerintahan. Sejarawan Leirissa menyebutkan bahwa sejak abad ke 17 VOC mendukung gereja-gereja di Nederland untuk membangun sistem pemerintahan di Maluku.
Sistem pendididkan yang diterapkan Belanda adalah bagian dari upaya menanamkan ajaran agama Kristen. Hal ini sangat bertolak belalakang dengan konteks ajaran agama Islam, sehingga bila ada pemeluk Islam yang mengikutinya dianggap telah masuk Kristen. (4) sistem perang Hongi yang di jalankan Belanda dalam memangkas produksi cengkih dengan ekstrapasi yakni penebangan pohon cengkih guna menjaga kestabilan harga cengkih dunia. Hal ini juga menimbulkan konflik antar masyarakat. (5) perombakan struktur sosial terutama yang berkaitan dengan solidaritas-solidaritas antar masyarakat hal ini kemudian menjadi gagsan Belanda untuk menciptakan ketidakstabilan dan perpecahan dalam masyarakat.
B. Bakalae, Bakudapa, Bakubae : Insisatif Damai Dalam Budaya Orang Maluku
Term atau istilah antropologi yang mengindetifikasi istilah lokal Bakalae, atau yang dikenal lebih dekat dengan konflik [pertentangan; pertikaian] dalam masyarakat Maluku, menunjukan sebuah konfrontasi besar yang melibatkan negeri-negeri di Maluku. Konflik seringkali di perspektifkan sebagai bagian dari melemahnya sistem sosial dalam masyarakat namun disisi lain konflik juga memberikan kontribusi damai dalam kebudayaan Maluku. dalam kebudayaan Maluku istilah Bakalae [konflik] memunculkan Bakudapa [kumpul bersama] kemudian insisiatif Bakubae [berdamai] akan dapat diwujudkan. Ini kemudian menjadi gagasan awal munculnya sejumlah solusi damai yang diatur menurut budaya orang Maluku. Budaya rukun atau damai yang berasas kekerabatan adalah konsep local wisdom (kearifan lokal) yang murni muncul dan digagas dari kecerdasan leluhur dalam membeda konflik di Maluku :
- Ikatan Gandong : Gandong adalah Istilah dalam bahasa melayu Ambon yang mengartikan [sekandung] atau ibu. Ikatan gandong merupakan satu ikatan kekerabatan antar individu [laki-laki dan perempuan] atau negeri satu dengan lainya. Yang menganggap mereka adalah saudara yang dilahirkan dari kandungan ibu yang sama. Perspektif ini lebih dilihat pada warisan yang sama, hidup bersama, saling melindungi, saling memanggil dengan sebutan gandong. Hubungan ini terjadi antar negeri dengan tidak memperlihatkan agama yang dianut oleh penduduk negeri-negeri tersebut. Negeri-negeri yang terikat gandong akan saling melidungi dalam waktu susah maupun senang. Misalnya di Maluku ikatan gandong antara Latu-Hualoy [Islam] dengan Aboru, Boy,Kariuw [Kristen] atau juga Siri-Sori Kristen dan Siri-Sori Islam di Kecamatan Saparua.
- Ikatan Bongso
Ikat bongso adalah term kekerabatan dalam bahasa melayu Ambon untuk menyebut anak bungsu atau adik bungsu. Bongso [bungsu] dalam budaya rukun dan damai dalam penyelesaian konflik adalah semata menunjuk pada ikatan atau hubungan antara dua negeri atau lebih di mana satu menyapa yang lainya dengan Bongso. Dalam budaya Maluku anak atau saudara bungsu biasanya di manjakan, disayangi dan dilindungi oleh orang tua dan kaka-kakaknya. Penduduk dua negeri atau lebih yang terikat hubungan gandong bila bertemu maka ada sapaan bongso. Ikatan bersaudaraan ini melintasi perbedaan agama, pulau maupun negeri. Penduduk yang terikat hubungan bongso akan saling melindungi, membantu baik dalam susah maupun senang dan diperlakukan seperti anak bungsu dalam satu keluarga.
- Ikatan Adi-kaka
Adi-kaka [adik-kakak] adalah juga term yang menunjuk pada hubungan antara dua atau lebih orang baik laki-laki maupun perempuan atau hubungan antar negeri yang sebagai adik dan kakak dari satu keluarga batih. Pada negeri-negeri yang terikat hubungan adik-kakak, negeri yang berstatus Kakak akan memangil negeri yang adik sebagai adi dan sebaliknya. Hubungan adi-kaka dapat juga mencakup hubungan antara dua pulau seperti antara masyarakat pulau Ambalau [di Buru] dengan masyarakat di Pulau Nusalaut. Penduduk Nusalaut yang menganut Kristen berstatus kaka dan penduduk pulau Ambalau yang Islam berstatus adi.
- Ikatan Pela
Kata Pela diambil dari kata pelania yang berarti sudah atau selesai. Budaya Pela yang dimaksud dalam kebudayaan orang Maluku yang di munculkan dengan kata selesai menunjuk pada sebuah peristiwa sosial besar yang terjadi dan kemudian dinyatakan selesai atau berakhir. Istilah pela dalam term kekerabatan cakupanya akan meluas karena tidak terikat pada hubungan kekerabatan satu keluarga batih saja. Dengan demikian pela dapat berhubungan dengan ikatan kelompok kekerabatan antar negeri-negeri di Maluku. [baca Cooley 1987].Pela bagi masyarakat Maluku dikenal Pela Tuni yaitu pela yang didasarkan atas penyelesaian perang dengan perdamaian. Pela Tempat Sirih, diartikan sebagai jenis pela yang berlaku atas ikatan persaudaraan yang tumbuh akibat penanggulangan bersama penyelesaian masalah ekonomi.[Sahusilawane 2004]
Ikatan pela terjadi melampaui batas keagamaan misalnya pela antara negeri Tuhaha [kristen] dengan negeri Rohomoni [Islam] dan juga pela antara Passo [kristen] dan Batumerah [Islam] atau juga Negeri Ouw [kristen] di Saparua dengan Negeri Seith [Islam] di pulau Ambon. Atau juga pela bisa antar pulau misalnya etnik Kei di Kepulauan Kei Maluku Tenggara dengan etnik Seram bagian Timur dan lainya.
C. Filosofis Penyatu Perbedaan Dalam Komposisi Kebudayaan Maluku
Dalam kebudayaan Maluku selain adanya ikatan-ikatan teritorial genolosis yang kuat dalam penyelesaiaan konflik ataupun bentuk bangunan sosial yang di bangun leluhur untuk menjembatani perbedaan yang ada di Maluku.
Akan tetap juga berlaku beragam filosofis yang juga mendukung adanya konsep damai lahir dari konsepsi lokal masyarakat Maluku. konsep tersebut dapat di lihat pada beberapa filososfis antara lain :
- Siwalima ;menjadi konsepsi filososfis atau ikon orang Maluku, dimana belajar dari pertikaian kelompok Patasiwa dan Patalima maka Siwalima adalah merupakan bentuk dari penegah yang menyatukan komposisi perbedaan itu sendiri. Sehingga konsep Siwalima tentu merupakan gagasan penyatuan semua perbedaan dalam peradaban masyarakat Maluku. Lorlabay ; istilah lokal masyarakat Kei Maluku Tenggara yang menjadi penegah utama dalam kompetisi yang menunjuk pada peritikaian antara Loorsiw dan Lorlim. Sama dengan [kelompok lima dan sembilan di Maluku Tengah]. Di mana ada kelompok siwa sebagai penegah.
- Hidop Orang Basudara : Kita adalah bersaudara, konsep bersaudara atau [sekandung] memiliki pengertian mendasar tentang kehidupan yang harmonis antar masyarakat baik yang beragama Islam maupun Kristen. Atau dalam kebudayaan Maluku sering di kenal sebagai kehidupan basudara Salam [Islam]-Sarane [Kristen].
- Gandong Hati Tuang : Sapaan penting bagi masyarakat Maluku yang mengidentifikasi kesamaan mendasar antara masyarakat yang memiliki gandong atau sekandung dalam kebudayaan Maluku walupun berbeda secara agama. Atau lebih mengakrabkan kekerabatan antar gandong.
- Potong di Kuku-Rasa Di Daging; penyebutan ini lebih diarahkan pada rasa kebersamaan antar masyarakat di Maluku dimana bila ada yang susah [ketong ; kita] sama-sama menangungnya. Atau kita juga merasa bagian dari apa yang di rasahkan.
- Sagu Salempeng Dipatah Dua : Pemaknaan sagu salempeng [satu lempeng sagu dibagi dua] memberikan pengertian kita sama-sama memiliki rasa yang sama. Keadilan dan kebersamaan menjadi bentuk solidaritas antar masyarakat.
D. Urgensi Kebudayaan Lokal : Refleksi Penyamaan Persepsi Mambangun
Maluku Yang Damai
Membicarakan konflik komunal yang terjadi di Maluku di tinjau dari pendekatan sejarah dan budaya, tentu melahirkan beragam penafsiran tentang konflik yang dipahami berdasarkan pendekatan kebudayaan masyarakat Maluku.
Gagasan untuk menentukan masa depan Maluku yang bebas dari benturan kepentingan tentu rujukannya akan mengarah pada bagaimana pengembalian roh kebudayaan orang Maluku yang selama ini redup akibat tidak lagi membicarakan berbagai kearifan lokal masyarakat Maluku yang telah di bangun leluhur pada masa lalu. munculnya istilah-istilah katong-katong saja [kita-kita saja] atau ale sapa la [kamu siapa] sapa pung pus [siapa yang punya] sapa kamong? atau sapa ose- sapa beta!!!, dan lain sebagainya. Istilah ini kemudian menjadi kebudayaan baru yang justru menimbulkan perbedaan mendasar dalam kebudayaan masyarakat Maluku. Pertanyaan-pertanyaan yang di munculkan dalam istilah ini kemudian memberi pendekatan atas kecenderungan manusia di Maluku untuk mencari lawan atas perbedaan tersebut. Dari pengalaman ini kemudian memunculkan beberapa hal pokok untuk kembali dilihat antara lain tentang perlu adanya kebudayaan lokal untuk menjembatani hal tersebut :(1)pengembalian komposisi adat pada letaknya semula; tradisi kembali di hidupkan. (2) pemahaman tentang kesadaran pentingnya hidup dalam berbagai perbedaan yang telah di wariskan leluhur melalui kekuatan budaya lokal (3) gagasan menghidupkan panas gandong, panas pela, kumpul adi-kaka dan lainya adalah semata model pembelajaran bagi generasi muda. (4) pemahaman pela dan gandong hendaknya tidak di persempit dengan kekerasan sosial yang melibatkan negeri-negeri yang memiliki ikatan pela dan gandong akibat dangkalnya pemahaman yang di maksudkan.
E. Penutup
Penguatan kebudayaan lokal melalui sosialsiasi dan pelestarian kebudayaan lokal adalah bentuk dari proses melepaskan Maluku dari keterpurukan akibat konflik komunal yang berlaku dan melibatkan agama dan perbedaan lainya sebagai isu strategis. Melemahnya solidaritas antar masyarakat pendukung kebudayaan di Maluku, sesungguhnya menunjukan betapa tidak berfungsinya tradisi adat dan budaya sebagai kekuatan besar dalam mengeliminir konflik. Kekerasan sosial yang menunjuk pada tindak kriminalitas tentu menjadi jawaban atas ketidak berimbangnya ruang adat dalam komposisi penyelesaian konflik di Maluku.
Pendekatan budaya lokal atau dikembalikan pada roh damai orang Maluku pada posisi local genius adalah model dari pelestarian kembali inisiatif damai yang di gagas leluhur pada masa lalu. Pendekatan adi-kaka, gandong, pela dan filososfis Siwalima, konsep hidup orang-basudara dan lainya adalah tentu merujuk pada harmonisasi hidup yang selaras dengan konteks hidup orang di Maluku.
Sumber Bacaan
Adnan Amal 2010, Kepulauan Rempah-Rempah : Perjalanan Sejarah Maluku Utara : Jakarta, PT Gramedia
Aholoab Watloly,2012 Cermin Eksistensi Masyarakat Kapulauan dalam Pembangunan Bangsa, Perspektif Indigenous Orang Maluku, Ins Nusantara, Jakarta.
Abidin Wakano Dkk, 2012 Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku : Jakarta ,KIRPM Maluku
Cooley.F.L 1987, Mimbar dan Tahta. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
Rumahuru Yance Dkk, 2010 Paradigma Transpormatif Masyarakat Dialog : Jogjakarta, Pustaka Pelajar
Sahusilawane, 2004, Sejarah Lahirnya Pela dan Gandong di Pulau Ambon. BKSNT Ambon
Mezak Wakim, 2009 Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Konsep Limuk-Limor Kweunun-Kweamam Pada Masyarakat Masela Provinsi Maluku [artikel Dalam warta Sejarah Direktorat Sejarah dan Purbakala Jakarta] BPSNT Ambon