Sistem Pengetahuan Kemaritiman Orang Longga apara. Di Kepulauan Aru

0
9616

Prof. Mus Huliselan

Marthen pattipeilohy S.Sos

Indahnya-kepulauan-Aru

I.PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara Maritim adalah aktualisasi Wawasan Nusantara untuk memberi  gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak bangsa Indonesia secara bulat. Sebagai Negara Maritim, laut merupakan alat pemersatu bangsa, sebagai media lalu lintas, sebagai media penghubung antar pulau dan antar masyarakat, sebagai media sosial budaya, sebagai media sumberdaya, media pertahanan keamanan serta laut sebagai media diplomasi.

Bangsa Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu, telah dikenal sebagai Bangsa Maritim, karena peranannya dalam arus pelayaran dan perdagangan dunia. Pada abad V sampai XVII dikenal berbagai kerajaan Maritim yang terkemuka di Nusantara antara lain Majapahit (1293 – 1478/1522 M), Sriwijaya (628 M – 1025 M), Kutai (5M – 400 M) dan Makassar. Mereka menguasai pelayaran dan perdagangan Nusantara dan melakukan pelayaran sampai ke Afrika. Kemajuan dalam pelayaran dan perdagangan telah melahirkan berbagai Kota Dagang besar dan ternama dengan masyarakat yang makmur. Kota-kota dagang itu antara lain Tuban, Gresik, Surabaya dan Banten di Jawa, Palembang di Sumatera, Kutai di Kalimantan, Makassar di Sulawesi, Ternate, Todore, Banda dan Hitu di Maluku.

Nusantara merupakan satu kawasan maritim yang unik. Secara kultural masyarakat yang mendiami kawasan ini beragam, tetapi dari sisi sejarah mereka dipersatukan oleh laut melalu pelayaran (lalu lintas antar pulau) dan komunikasi yang memungkinkan tumbuhnya interaksi sosial. Ini sudah barang tentu dimungkinkan oleh penduduknya yang telah mengembangkan satu jaringan maritim melalui pelayaran  yang lebih baik, didukung oleh kemajuan teknologi perkapalan dan keahlian navigasiserta tumbuhnya masyarakat pesisir yang lebih maju, sebagai akibat perjumpaan dengan berbagai pedagang asing (Cina, India, Arab dan Persia). Kegiatan di laut yang dominan dalam kehidupan bangsa Indonesia dimasa lampau, dipererat dan diperkuat oleh perdagangan rempah-rempah yang ramai-ramainya mulai abad XIII s/d abad XVII  dan yang diikuti oleh perdagangan antar pulau untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup yang lain seperti bahan makanan (beras, garam, gula, ikan), perlengkapan rumah tangga dan kebutuhan sandang.

Kedatangan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris), dengan politik Kolonialisme dan monopoli perdagangannya, telah menghancurkan kekuatan dan kebudayaan maritim bangsa Indonesia. Perdagangan dan pelayaran diambil alih dan dikuasai Potugis kemudian oleh Belanda. Secara perlahan tapi pasti budaya kemaritiman bangsa Indonesia memudar dan akhirnya tenggelam.

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 sampai saat ini laut tetap di tinggalkan, sampai munculnya deklarasi Indonesia sebagai poros maritim dunia dan kita sudah lama membelakangi laut oleh Presiden RI ke 7  Jokowidodo.Bukan saja para Pemimpin Negara, perencana, pengambil kebijakan tetapi sampai pada tingkat terendah di Kabupaten, Kota dan Desa membelakangi laut bahkan berimbas juga pada para ilmuan dan penelitipun turut membalakangi laut. Tekat untuk menghadaplaut dan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia bukan tanpa alasan. Indonesia pernah menduduki posisi sebagai Poros Maritim dunia dan jaya dilaut Nusantara. Laut pernah memberi kemakmuran kepada bangsa ini. Kenapa ke depan tidak ?

Sudah lama masyarakat pesisir dan nelayan di abaikan dalam perencanaan pembangunan bangsa. Sebagian besar dari mereka tetap miskin dan usaha mereka di laut serta mata pencariannya tidak berkembang karena banyak bantuan yang diberikan salah sasaran bahkan ada yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Pada hal tidak dapat kita pungkiri bahwa masyarakat pesisir dan para nelayan kita kaya dengan berbagai pengetahuan tentang Kemaritiman dan Kelautan yang merupakan modal kultural. Modal kultural yang dimiliki oleh masyarakat pesisir dapat dipakai sebagai kekuatan dalam membangun masyarakat pesisir dan nelayan dalam rangka menunjang pengembangnan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan mengembalikan masyarakat pesisir dan nelayan untuk mengembangkan ruang pesisir dan laut mereka serta menunjang pengembangan Tol Laut yang sementara dirintis.

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Maritim terdiri dari 33 (Tiga Puluh Tiga Propinsi). Salah satu dari Propinsi-Propinsi tersebut adalah Propinsi Maluku yang terletak di bagian Timur Indonesia. Propinsi Kepulauan terdiri dari 1340 buah pulau dengan garis pantai terpanjang di Indonesia. Penduduknya sebagian besar berdiam di pesisir pantai dan bermata pencaharian sebagai nelayan.Sebagai Propinsi Kepulauan, Maluku memiliki keberagaman Etnik, Budaya, Adat Istiadat, Bahasa dan Agama. Keberagaman ini menampilkan berbagai fariasi budaya yang sangat tinggi. Salah satu budaya yang sangat berfariasi dan belum banyak tersentuh oleh dunia ilmu pengetahuan adalah kebudayaan yang berkaitan dengan kemaritiman dan Kelautan Kekayaan budaya sebagai Modal kultural ini perlu dikenal dan dipelajari untuk dapat dipakai sebagai modal dasar pembangnan kemaritiman di Indonesia, khususnya di Maluku.

Kabupaten Kepulauan Aru adalah salah satu Kabupaten yang masyarakatnya belum banyak tersentuh arus modernisasi tetapi memiliki Pengetahuan kemaritiman yang kaya. Seluruh masyarakat Kabupaten Kepulauan Aru adalah masyarakat pesisir. yang baru dimekarkan pada tahun 2006. Sebagai masyarakat pesisir yang menghuni pulau kecil, pada umumnya mereka hidup sangat tergantung pada laut. Kehidupan mereka sangat sederhana karena pendekatan pembangunan yang terlalu berorientasi pada daratan dengan menggunakan metode pendekatan kontinental sehingga tidak tepat sasaran.  Masyarakatnya tetap miskin, dan terpencil serta jauh dari sentuhan modernisasi sebab untuk menjumpainya harus dijangkau melalui jalan laut bukan darat.

Masyarakat pesisir Kepulauan Aru yang menjadi perhatian dalam penelitian ini  adalah Orang Longga Apara di Kecamatan Aru Tengah.Menurut informasi awal, masyarakat Longga Apara adalah masyarakat pesisir dengan memiliki kebudayaan maritim yang kaya dan belum banyak tersentuh arus globalisasi. Alasan memilih masyarakat Longga dan Apara sebagai sasaran penelitian adalah karena mereka masih memegang teguh adat-istiadat yang terkait dengan kemaritiman dan kelautan.

  1. Fokus Penelitian

Karena demikian luasnya cakupan dari Kebudayaan Maritim maka Fokus Penelitian ini  adalah tentang Pengetahuan Kemaritiman yang dimiliki dan dipraktekan oleh Masyarakat Longga Apara. Penelitian ini adalah penelitian eksplorasi karena belumpernah penelitian dengan fokus pengetahuan maritim dilakukan di Kabupaten Kepulauan Aru.

Diharapkan melalui penelitian ini dapat diperoleh informasi (data) yang berkaitan dengan:

  1. Pengetahuan Kemaritiman meliputi:
    • Laut dalam kosmologi Orang Longga apara
    • Pengatahuan tentang Pelayaran
    • Lahirnya perahu
    • Pengetahuan tentang Navigasi, angin dan arus
  2. Aktivitas Sosial meliputi:

2.1.  Jalan dan pusat-pusat pelayaran

2,2.  Pelaksanaan Pelayaran dan perdagangan

2.3.  Tempat penghasil Barang

2,4. Adat pembuatan kapal

2.6. Letak dan fungsi desa

2.5. Pemilik modal

2.7. Organisasi Pelabuhan

2.8. Sistem Pemungutan Bea cukai

2.9. Pelaut dan Nelayan Longga apara

2.10. Adat Melaut

  1. Benda kebudayaan meliputi

3.1.  Jenis Kapal dan tempat pembuatan

3.2. Jenis dan alat tangkap serta cara mengoperasikannya

3.3. Teknologi Kemaritiman dan Perikanan Orang Koijabi

Sesuai dengan latar belakang permasalahan yang dikemukakan diatas maka penelitian terhadap Kebudayaan Orang Longga apara mengambil Topik: Sistem Pengetahuan Kemaritiman Orang Longga apara.

 

  1. Rumusan Masalah

Dengan demikian masalah dalam penelian ini adalah:

  1. Sistem Pengetahuan kemaritiman apa saja yang dimiliki masyarakat Longgaapara
  2. Bagaimana system pengetahuan ini dipraktekkan dalam kehidupan keseharian masyarakat Longgaapara.

 

  1. Tujuan Penelitian
    1. Untuk memperoleh dan mendalami tentang pengetahuan kemaritiman yang dimiliki oleh orang Longgaapara
  2. Untuk mengetahui bagaimana sistem pengetahuan kemaritiman Orang Longgaapara di praktekan dalam kehidupan keseharian mereka.

 

  1. Manfaat Penelitian
  2. Manfaat Ilmiah: Untuk memperkaya Ilmu Pengetahuan   Kemaritiman Indonesia dan pengembangan teori Kebudayaan Maritim.
  3. Manfaat Praktis: Membantu pemerintah daerah maupun Pusat dalam perencanaan pembangunan masyarakat pesisir dan masyarakat maritim berbasis Kebudayaan Maritim sebagai modal Kultural.
  1. Kerangka Pikir

 

ORANG LONGGA APARA

 

 

 

       L I N G K U N G A N        A L A M

     L A U T A N               D A R A T A N

 

 

 

 

 

ORIENTASI

KEMARITIMAN

HIDUP DI PULAU DENGAN ORIENTASI LAUT

 

 

 

 

SISTEM PENGETAHUAN KEMARITIMAN:

1.      LAUTAN DALAM KOSMOLOGI LONGGAAPARA

2.      LAUT SEBAGAI MEDIA PELAYARAN

3.      LAHIRNYA PERAHU DAN SISTEM PELAYARAN

4.      ADAT ISTIADAT KEMARITIMAN

5.     ORGANISASI/POLA PENGELOMPOKAN

Orang Longga Apara adalah Kelompok Orang yang mendiami wilayah Pesisir Pulau pada Gugus Kepulauan Aru. Sebagai masyarakat pesisir sekaligus penghuni pulau kecil tentu mereka memiliki kebudayaan yang sangat dipengaruhi oleh  dua lingkungan alamnya sekali gus yaitu:  lingkungan pulau (daratan)dan lingkungan laut.

Masing-masing lingkungan tentu mempunyai kontribisi baik secara sendiri sendiri maupun hasil interaksi keduanya terhadap pembentukan dan pengembangan kebudayaan Orang Longga Apara. Dari hasil interaksi antara manusia Longgaapara dengan lingkungannya, ternyata Lingkungan laut memiliki andil lebih besar dari pulau dalam pembentukan kebudayaan Orang Longga Apara. Hal ini dapat diketahui dari orientasi kehidupan didarat yang lebih besar mengarah kelaut.

Bagaimana sumbangan lingkungan ini dalam pembentukan kebudayaan maritim orang Longga Apara dan lebih khusus lagi dalam menyumbangkan pengetahuan kemaritiman mereka dan dalam bentuk apa saja sumbangan itu dalam tataran empis ? Inilah yang akan diteliti. Hasil temuan ini akan memberi gambaran nyata tentang keberadaan Orang Longga Apara saat ini sebagai Manusia Maritim.

 

 

  1. LANDASAN TEORI

 

Penelitian tentang Masyarakat terpencil atau suku-suku terasing, telah banyak dilakukan di Maluku. Tetapi penelitian tentang masyarakat pesisir yang mendiami sebuah pulau kecil yang terpencil belum banyak dilakukan. Orang Longga Apara adalah salah satu dari antara masyarakat pesisir yang terpencil ini. Terpencil dalam pengertian ini bukan berartimereka tidak memiliki kontak dengan dunia luar, atau komunikasinya sangat terbatas dengan dunia luar. Yang dimaksudkan dengan terpencil adalah mereka jauh dari jangkauan modernisasi dan perhatian pemerintah. Sebagai suku maritim mereka dengan caranya sendiri berusaha menerobos hambatan-hambatan alam untuk memperoleh hidup yang lebih layak dan dapat berpartisipasi dalam kemajuan dengan upaya mereka sendiri.

Kebudayaan Maritim yang dimiliki Orang Longga Apara telah memungkinkan mereka berinteraksi dengan dunia luar. Mereka dapat mengatasi ruang dan waktu melalui pelayaran untuk memasuki dan mengenal dinia di luar mereka yang disebut lebih maju dan modern. Itu berarti bahwa kebudayaan maritim yang dimiliki mereka memiliki daya dorong dan kekuatan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya. Kekayaan budaya inilah yang perlu dikenal, dipelihara dan dikembangkan,  sebelum ia hilang ditelan peradaban modern.

Kalau mereka saat ini mampu mengembangkan dirinya diatas kebudayaan sendiri maka seyogyanya nilai-nilai budaya itulah yang harus dipakai sebagai kekuatan dalam pembangunan pendukungnya. Atas dasar itulah penelitian ini dilakukan untuk mengenal kebudayaan maritime orang Longga Apara terutama pengetahuan kemaritimannya sebagai modal dasar pengembangan dan pembangunan masyarakat menghadapi era Globalisasi.

Menurut Koentjaraningrat ( 2000 : 181)Kebudayaan adalah hal – hal yang bersangkutan degan akal.Menurut Djojodigoeno dalam Koentjaraningrat (2000 : 181), Budaya adalah”daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa. Dan menurut Radcliffe Brown dalam Haviland. W (1985 : 333) Kebudayaan adalahseperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang oleh para anggotanya dipandang layak dan dapat diterima. Sedangkan menurut Haviland. W. (1985 : 333) Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan standar, yang apabila dipenuhi oleh para anggota masyarakat, menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para anggotanya. Jadi dapat dikatakan bahwa Kebudayaan adalah seluruh pengetahuan manusia yang diperoleh dari hasil interpretasi terhadap lingkungan hidupnya. Kebudayaan adalah kompas bagi pendukungnya yang dipakai untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bisa dilakukan dan mana yang tidak bisa dilakukan,

Talcott Parsons dan A. L. Kroeber, dalam Koentjaraningrat (2000 : 186 -187), membedakan secara tajam wujud kebudayaan sebagai satu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai satu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Sedangkan J. J. Honigmann membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu: (1) ideas, (2) Activities, dan (3) artifacts. Sejalan dengan itu Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu:

  1. Wujud kebudayaan sebagai satu kompleks dari ide-ide. gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
  2. Wujud kebudayaan sebagai satu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia,

Untuk menganalisa ketiga wujud kebudayaan tersebut sebagai satu totalitas yang terintegrasi harus melalui pendekatan terhadap unsur-unsur budaya . Menurut Koentjaraningrat (2000 : 203-204) ada tujuh unsur kebudayaan universal dimana salah satunya adalah sistem pengetahuan.  Setiap unsur kebudayaan menjelma  dalam ketiga wujud kebudayaan terurai diatas.

Dengan demikian sistem pengetahuan kemaritiman mempunyai wujud berupa adat istiadat, konsep-konsep, rencana-rencana, yang berhubungan dengan pengetahuan tentang kemaritiman danberwujud berupa upacara-upacara, tindakan-tindakan  dan interaksi berpola antar individu dan antar kelompok masyarakat maritim, serta memiliki unsur berupa hasil dari pengetahuan kemaritiman yaitu berupa teknologi, peralatan, komoditi dan benda-benda kemaritiman. Menurut Malinowski berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan satu rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dari mahluk manusia (basic human needs). Dengan deminian unsur sistem pengetahuan mempunyai fungsi untuk memuaskan hasrat naluri manusia untuk mengetahui.

Sistem Pengetahuan dalam penelitian satu kebudayaan masyarakat biasa berkaitan dengan pengetahuan tentang:

  1. Lingkungan alam sekitarnya (pengetahuan tentang musim, sifat-sifat gejala alam, tentang lautan, binatang-bintang dan sebagainya).
  2. Kemaritiman dan Mata Pencaharian di laut. Pengetahuan ini dimanfaatkan untuk berlayar dan melaut serta mengambil hasil laut
  3. Alam fauna di lingkungannya, merupakan pengetahuan dasar bagi masyarakat yang hidup sebagai nelayan, dengan mengetahui tentang kelakuan ikan.
  4. Sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia, untuk mengatur pergaulan antar sesama (pangetahuan tentang bahasa tubuh, adat istiadat dan pengetahuan tentang sejarah dan silsilah)
  5. Ruang dan waktu, bagaimana masyarakat mengukur, membagi ruang dan waktu dan membagi ruang lautan.
  6. Teknologi, muncul sebagai upaya manusia melaksanakan mata pencaharian hidupnya melalui cara – cara bagaimana manusia itu mengorganisasikan masyarakat dan memproduksi hasil karya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti Alat-alat produktif, tempat berlindung dan perumahan, alat-alat transport (Koentjaraningrat 2000 : 342 – 374).

Pada masyarakat pesisr menurut Satria Arif (2002 : 16-17), pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya didapat dari warisan orang tua atau pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris.Begitu pula untuk  sistem kalender atau penunjuk arah para nelayan menggunakan rasi-rasi bintang tertentu. Pengetahuan tentang kondisi dan rahasia alam yang berkaitan dengan musim ikan, tingkah laku organisme laut dan berbagai ketrampilan tradisional. Pengetahuan lainnya adalah tentang pemeliharaan sampan atau perahu. Pengetahuan lokal tersebut merupakan kekayaan intelektual yang perlu dilengkapi dengan pengetahuan modern sehingga mampu memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia.

Orang Longga Aparabukan saja sebagai masyarakat nelayan atau pesisir, tetapi juga merupakan Masyarakat Maritim. Penggolongan sebagai masyarakat maritimbukan saja karena pola pemukiman mereka berada di tepi pantai tetapi juga kehidupannya sebagian besar tergantung pada lautan.  Menurut Haviland, Masyarakat adalah sekelompok orang  yang mendiami satu daerah tertentu dan yang bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan yang sama (Haviland, W. 1985 : 333).  Menurut Koentjaraningrat (2000 : 46-147), Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut satu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh satu rasa identitas bersama. Sedangkan menurut Ralph Linton dalam Satria Arif ( 2002 : 8), Masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan secarajelas. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan masyarakat  maritim adalah sekelompok orang yang berdiam di pesisir pantai dan atau memiliki akses langsung ke laut, yang saling beriteraksi dan mendukung serta memiliki tradisi kebudayaan  maritim yang sama secara teratur dan terus menerus dan terikat oleh satu rasa identitas bersama.

Menurut Radhar Panca Dahana dalam Amarulla & Yulianto (2014 : 1), Masyarakat Maritim adalah masyarakat yang memiliki budaya hybrid (melting pot society), terbuka, adoptif, sekaligus adaptif. Menurutnya pada hari ini , masyarakat kita dari sisi ekonomi, politik, sosial, budaya masih belum mencerminkan budaya yang demikian, Adab daratan dinilainya masih dominan di Indonesia. Kelautan (marine) yang mungkin juga bisa dipadankan dengan kata bahari mengandung makna yang lebih spesifik terkait aktivitas penjelajahan yang dilakukan oleh satu bangsa. Satu Negara bisa dikatakan Negara bahari jika mereka memiliki orientasi ke laut yang cukup kuat, meski dalam kenyataannya mereka tidak memiliki wilayah laut yang besar atau dominan, dan ketergantungan sebahagian besar masyarakatnya terhadap laut tidak terlalu tinggi. Sementara itu maritim lebih menekankan pada aspek relasional antara masyarakat dan lingkungan fisik atau alamnya yang berwujud lautan. Bisa jadi sebuah masyarakat maritim hari ini tidak memiliki tradisi kebaharian yang kuat. Sebaliknya sebuah masyarakat daratan (continental) justru memiliki budayabahari yang dominan. Tolak ukur kebaharian pada akhirnya dialamatkan pada kemampuan sebuah masyarakat ataupun bangsa untuk melakukan penjelajahan internasional, baik dalam kerangka ekonomi, politik ataupun penyebarluasan keagamaan (Amarulla & Yulianto 2014 : 21 –  22).

Di sisi lain, Clausen dan Clark dalam Amarulla & Yulianto (2014 : 20-21), menyatakan bahwa Ilmu Sosial telah mengembangkantiga areal substantive yang bisa digunakan untuk melihat hubungan antara manusia dengan laut. Ketiganya adalah: akses dan alokasi sumber daya, pengetahuan ekologi tradisional dan konstruksi sosial mengenai alam. Dalam menjelaskan hubungan antara manusia dengan alam Ebbin dalam Amarulla & Yulianto menggambarkan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, relasi antara manusia dengan alam termasuk di dalamnya lautan terus menerus megalami perubahan yang sangat dinamis.

Kedinamisan satu masyarakat maritime merupakan hasil dari tindakan sosial. Mengapa seseorang atau sekelompok memutuskan untuk melakukan pencarian nafkah di laut di bandingkan dengan di darat. Atau dengan kata lain kenapa ada masyarakat yang lebih berorientasi ke laut dan yang lain tidak.  Menurut teori tidakan sosial dalam perspektif defenisi sosial semisal Weber melihat bahwa: Tindakan sosial adalah hasil dari kesadaran seseorang. Individu dianggap memilikii kemampuan untuk merumuskan keadaan sosial yang melingkupi dirinya, kemudian memutuskan secara bebas, perilaku apa yang bisa dimunculkan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Sedangkan dari perspektif fakta sosial semisal Durkheim melihat bahwa tindakan seseorang adalah hasil atau buah dari sebuah tekanan struktural yang memaksa. Struktur dalam perspektif ini dilihat sebagai sebuah constraint yang tidak bisa dihindari oleh individu. Struktur disini bisa meliputi kelas sosial, nilai, norma dan aturan. Pada sisi lain para penganut elisionisme melihat hubungan timbal balik tak henti antara individu dan strukturlah yang menjadi dasar dari realitas sosial yang muncul dalam masyarakat (Amarulla & Yulianto 2014 : 11).

Menurut Amarulla  & Yulianto (2014) perspektif fakta sosial  terkesan begitu mengemuka karena tindakan seorang untuk turun kelaut mencari ikan adalah hasil dari pembagian kerja di dalam sistem sosial masyarakat. Menurut  perpektif ini, profesi nelayan bisa dijelaskan dengan mengacu pada kelangkaan sumber daya yang ada di daratan yang menjadi pemicu pokok satukelompok masyarakat menugaskan anggotanya pergi kelaut untuk menangkap ikan. Menjadi aneh apabila ada kelompok masyarakat lain yang secara ekologis hidup dan dekat dengan laut, kemudia sama sama mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokok tetapi tidak muncul keinginan untuk menugaskan anggota kelompoknya untuk pergi kelaut mencari ikan.

Dahuri Dkk (2004 : 181- 182) menyatakan bahwa, dilihat dari sisi ekonomi, bidang kelautan dapat didefinisikan sibagai kegiatan yang dilakukan di wilayah pesisir dan lautan, atau ekonomi yang menggunakan sumber daya pesisir dan lautan, atau kegiatan ekonomi yang menunjang pelaksanaan kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan lautan.Adapun bidang-bidang yang termasuk di dalamnya meliputi kegiatan perikanan,  pariwisata bahari,  pertambangan dan energi, perhubungan laut, industri maritim, bangunan kelautan dan beberapa sektor jasapenunjang.

Menurut Lapian (2008 : 2-3), pengetahuan tentang angin darat dan laut adalah pengetahuan penting bagi para nelayan, karena denga demikian mereka bisa memanfaatkan angin bila mau berlayar keluar pada pagi hari dan pulang kekampung pada sore hari. Taraf yang lebih maju lagi adalah menggunakan angin musim yang menguasai kepulauan kita. Bahasa kita kaya akan kata-kata untuk membedakan berbagai macam angin. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia ini sudah barang tentu dimungkinkan oleh penduduknya yang telah mengembangkan satu jaringan hubungan maritim yang lebih baik, didukung oleh kemajuan teknologi kapal, keahlian navigasi dan satu enterprising spirit yang besar.

Keadaan iklim dan geografis Indonesia memungkinkan pelaut-pelaut pribumi mencari baringannya pada pulau-pulau, gunung-gunng dan tanjung-tanjung jika berlayar menyusuri pantai. Kemudian pada malam hari mereka menggunakan bintang-bintang di langit yang cerah, untuk menentukan tempatnya di tengah laut. Persepsi tentang arah mata angin tidak sama di pulau-pulau di Indonesia. Ada suku bangsa yang hanya mengenal dua arah yakni arah laut dan darat (gunung) dan ada yang mengenal empat arah dan delapan arah. Jadi masing-masing suku bangsa telah mengembangkan budaya maritimnya menurut arah, selera, kebutuhan dan daya ciptanya sendiri (Lapian 2008 : 14-16).

Akhirnya timbul pertanyaan bagaimana konstruksi kebudayaan masyarakat maritimLongga Apara terutama yang berhubungan  dengan sistem pengetahuan kemaritiman mereka berkaitan dengan berbagai teori dan informasi yang telah dikemukakan diatas

  • METODE PENELITIAN

 Jenis Dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian  ini adalah penelitian eksplorasi karena belum pernah dilakukan dan sangat minimnya informasi yang dimiliki tentang masyarakat Koijabi terutama tentang Kebudayaan maritimnya. Dengan demikian penelitian ini akan menggunakan Metode Kualitatif yang berusaha menemukan berbagai data dasar dan mendalam untuk pengembangan penelitian lebih lanjut. Penelitian eksploratif membutuhkan ketekunan para peneliti untuk dapat menggali berbagai informasi yang dibutuh agar tujuan penelitian dapat tercapai. Dengan demikian maka akan dilakukan wawancara mendalam terhadap berbagai informan sebagai upaya memahami makna di balik data yang tampak.

  1. Situasi Sosial Dan Sampel Penelitian .

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Koijabi Kecamatan Aru Tengah Selatan Kabupaten Kepulauan Aru. Desa Longga Apara dipilih sebagai tempat penelitian karena berdasarkan informasi awal sebagai desa pesisir, memiliki keunikan tersendiri yaitu kekayaan akan kebudayaan maritimnya. Masyarakatnya adalah masyarakat pelaut.

Sesuai metode penelitian kualitatif yang digunakan maka penentuan sampel sumber data akan dilakukan secara purposive yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Dengan demikian sebagai nara sumber atau informan akan diambil mereka yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan partisipan dari permasalahan yang akan diteliti. Mereka-mereka ini antara lain: Pimpinan Desa, Para Tua Adat dan mereka yang pernah terlibat dan masih terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

Dilihat dari masalah dan tujuan penelitian yang akan dicapai, dan pendekatan yang digunakan maka lamanya waktu yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah 10 (sepuluh) hari.

  1. Teknik Pengambilan Sampel

Sesuai dengan penggunaan Metode Kualitatif maka Penelitian ini akan menggunakan Nonprobability Sampling. Teknik ini meliputi Purposive Sampling dan Snowball Sampling untuk memperoleh informasi yang maksimum. Jumlah dan siapa saja yang akan menjadi informan akan ditentukan setelah peneliti masuk lapangan dan selama penelitian berlangsung. Biarpun demikian sudah dapat dipastikan yang akan diambil sebagai informan kunci adalah pemimpin desa, tua-tua adat dan mereka yang memiliki pengetahuan tentang budaya maritim Orang Longga Apara seperti telah disebutkan diatas.

  1. Instrumen Dan Teknik Pengumpulan Data

Terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data satu hasil penelitian yaitu:  Kualitas Instrumen penelitian yang berkaitan dengan validitas dan reliabilitas dan kualitas pengumpulan data yang berkaitan dengan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk pengumpulan data.

Instrumen yang terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri sebagai human instrument yang didukung oleh instrument pelengkap yaitu daftar pertanyaan, kamera dan tape recorder. Sebagai human instrument berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data,  melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan.

Data dikumpulkan melaui berbagai seting, berbagai sumber dan dengan berbagai cara yaitu: 1). Dari Setting melalui Natural setting, di rumah pada berbagai informan dan melalui diskusi; 2). Dari sumber datanya diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder; 3). Dari segi cara atau teknik, data dapat dikumpulkan melalui observasi partisipatif, wawancara mendalam, daftar pertanyaan terbuka sebagai pedoman wawancara, dokumen dan gabungan keempatnya atau triangulasi (teknik dan sumber).

  1. Teknik Analisa Data Dan Dokumentasi

Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan sampai data jenuh melalui berbagai macam teknik pengumpulan data dan dari berbagai sumber. Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan kedalam kategori-kategori dan menjabarkannya kedalam unit-unit, memilih mana yang penting yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami baik oleh diri sendiri maupun orang lain.

Analisa data kualitatif adalah bersifat Induktif selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesa dan atau teori.  Analisa data dalam penelitian kualitatif sudah dilakukan sebelum masuk lapangan sewaktu merumuskan dan menjelaskan masalah. Analisa selama dilapangan berlangsung terus menerus sampai data jenuh. Aktifitas dalam analisa data dilakukan melalui 4 (empat) tahap yaitu: 1). Pengumpulan data; 2). Reduksi Data; 3). Display Data dan 4). Conclusion/Verifikasi

 

  1. Rencana Pengujian Keabsahan Data

Uji keabsahan data dalam penelitian ini ditekankan pada Uji Validitas (Kesahihan) dan Reliabilitas (Keandalan) melalui 4(empat) kriteria yaitu:

  1. Uji kredibilitas (keterpercayaan) adalah pengujian yang berkaitan dengan desain penelitian yang harus sesuai dengan hasilpenelitian
  2. Uji Transferabilitas (keteralihan) adalah menyangkut keteralihan hasil penelitian dapat digunakan atau diterapkan dalam situasi lain
  3. Uji Dependabilitas (kebergantungan) dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian
  4. Uji Confirmabilitas (Kepastian) yaitu menguji hasil penelitian dikaitkan dengan proses yang dilakukan.
  1. URAIAN RENCANA PENELITIAN

 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan di lakukan pada  Desa Longga Apara Kecamatan Aru Tengah Selatan Kabupaten Kepulauan Aru. Penelitian  lapangan akan dilakukan dalam dua tahap yaitu: Tahap pertama selama paling kurang tiga hari di lapangan mulai tgl …. s/d tgl …Juni 2015 bertujuan untuk memgumpulkan informasi awal dalam rangka menemukan fokus penelitian yang berkaitan dengan Topik dan Masalah penelitian. Tahap kedua selama 7 (delapan) hari kerja efektif di lapangan untuk memperoleh informasi yang lengkap dan mendalam yang berkaitan dengan fokus penelitian.

 

  1. Jangkauan Wilayah Penelitian

Wilayah penelitian ini dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi Udara (pesawat) dari kota Ambon ke Kota Dobo dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam, kemudian menggunakan transortasi laut (kapal-motor/speed boad/motor tempel)menunuju desa Longgaparadengan jarak tempuh 5 – 8 jam perjalanan. Ada 2 alternatif perjalanan dengan menggunakan kapal-motor/speed boad dari kota Dobo ke desa Longga Apara yaitu 1)disesuaikan denganjadwal kedatangan masyarakat dari desa Longga Apara dan desa karei ke kota Dobo yang akan kembali/pulang ke desa Longga Apara, 2)menyewa kapal motor/speed boad menuju desa Longga Apara (lihat lampiran peta perjalanan)

  1. Pembiayaan

Pembiayaan penelitian Budaya Maritim Orang Longga Apara di Kecamatan Aru Tengah Selatan Kabupaten Kepulauan Aru  dibebankan pada Dana DIPA Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon tahun 2015

DAFTAR PUSTAKA

Alimudin Muhammad Ridwan, Orang Mandar Orang Laut, Kebudayaan Bahari Mandar mengarungi gelombangPerubahan Zaman, Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2005.

Amarulla. O & Yulianto Bayu.A., Budaya, Identitas & Masalah Keamanan Maritim, Jakarta, Universitas Pertahanan Indonesia, 2014

Dahuri. Rokhmin Dkk, Budaya Bahari, Sebuah Apresiasi Di Cirebon, Jakarta, Percetakan Negara RI, 2004.

Hasbullah Jousairi, Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia), Jakarta, MR-United Presss Jakarta, 2006

Haviland. William. A, Antropologi, Edisi Keempat, Jilid 1, Alih Bahasa R.G. Soekadijo, Jakarta, PT Gelora Aksara Pratama, 1985

Koentaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Cetakan Kedelapan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2000

Lapian. Adrian B, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara, Abad Ke-16 dan 17, Jakarta, Komunitas Bambu, 2008.

Moleong. Lexy. J, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi Revisi, Bandung,  PT Remaja Rosdakarya, 2005.

Patilima Hamid, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, CV Alfabeta Bandung, 2005.

Pahmi Sy, Perspektif Baru Antropologi Pedesaan, Ciputat – Jakarta, Gaung Persada press, 2010.

Satria Arif, Pengantar Sosiologi Masyarakat pesisir, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 2002.

————–,  Pesisir dan Laut Untuk Rakyat, Bogor, IPB Press, 2009.

 

 

 

 

 

 

 Indahnya-kepulauan-Aru

 

 

 

 

 

 

 

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

BALAI PELESTARIAN NILAI BUDAYA AMBON

JL.Ir.M. Putuhena Wailela-Rumatiga Poka-Ambon

Fax (0911)322717   Telp. (0911) 322718

 

 

 

2015