Arsitektur Tradisional Maluku Barat Daya umumnya memiliki ciri khas yang berbeda-beda namun dari sisi konstruksi memiliki konsep yang sama. Secara fisik bentuk keaslian arsitektur yang khas umumnya memotivasikan nilai-nilai jati diri dari suatu kelompok etnis tentang latar belakang sejarah budayanya. Hal tersebut dapat dilihat dari arsitektur bagian luar bangunan yang mengandung gaya tipologi dengan penampilan karakter bentuk ciri-ciri khusus yang menonjolkan simbol-simbol identitas suatu kelompok etnis. Dari segi fungsinya, bangunan tradisional maka Im sebagai bagian dari rumah tradisional yang berada di Maluku Barat Daya khususnya di Pulau Masela mempunyai tata ruang yang berfungsi sebagai wadah yang didasarkan pada norma-norma yang mengandung falsafah hidup dan pembentukan karakter serta kepribadian yang mengisyaratkan nilai-nilai aturan, tata krama antar keluarga, hubungan sosial antar masyarakat, saling menghargai dan menghormati bagi tercipta kerukunan dan keharmonisan hidup atas dasar kebersamaan dalam Rumah adat Im.
Rumah tradisional Masela Maluku Barat Daya disebut Im. Kata Im berarti rumah. Im adalah tempat tinggal dan berlangsungnya segala aktifitas hidup masyarakat. Di dalam Im, masyarakat menjalani kehidupan mereka secara utuh. Fungsi ruang adalah untuk memasak, makan, beristirahat, tidur, bermusyawarah di dalam Im, bahkan sebelum adanya perkawinan di gereja dan pencatatan sipil oleh pihak pemerintah, upacara perkawinan dilakukan juga dalam Im ini. Oleh karena itu, kontstruksi rumah tradisional itu dibuat sedemikian rupa untuk menunjang seluruh aktifitas masyarakat Masela pada umumnya. Ignes Kleden dalam kata pengantar buku After the Fact,((1998 :xv) menyederhanakan pandangan Geertz tentang konsep kebudayaan dengan mengemukakan bahwa konsep ini akan terdiri dari tiga bahagian utama yaitu sistem pengetahuan atau sistem kognetif, sistem nilai atau sistem evaluative, dan sistem simbol yang memungkinkan interpretasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol inilah yang dinamakan makna (system of meaning). Melalui makna sebagai suatu instansi pengantara makna sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan manjadi nilai, dan menerjemahkan seperangkat nilai menjadi suatu sistem pengetahuan. Pola hidup masyarakat Masela tercermin di dalam arsitektur rumah tradisional dimana rumah tradisional menggambarkan suatu totalitas atau kesatuan yang utuh dari kehidupan dan aktivitas manusia. (Suantika.1. Wayan, 2005:11)
Lokasi Arsitektur tradisional Im berada di Pulau Masela Maluku Barat Daya yang adalah sebuah pulau yang memiliki 11 desa dengan memiliki konsep Arsiektur tradisional yang sama yang di kenal dengan Im.. Dari persperktif sejarah Wakmyer adalah sebutan lokal bagi penamaan Pulau Masela, yang berada pada gugusan Kepulauan Babar Maluku Barat Daya. Antropolog Nico de Jonge dan Toos van Dijk (1995 :141) mengomentari Masela dalam penelitianya sebagai Pulau-Pulau yang yang terlupakan di Indonesia (Forgotten Islands]. Namun berbeda dalam konteks ke-kinian dimana nama pulau ini ramai di bicarakan dalam berbagai forum diskusi dalam ranah publik di Maluku pada umumnya baik media masa cetak maupun elektronik. Berdampak memang secara politis kepulauan ini kemudian di jadikan arena ad argumentasi yang seolah menunjuk pada kepemilikan blok Masela objek yang di permasalahkan. Banyak tokoh Maka Barat Daya cepat-cepat memberikan argumentasi pembelaan dengan mengedepankan isu politis yang mematenkan nama Marsela sebagai gagasan awal penamaan pulau sebagai bagian dari menepis anggapan politis terhadap kepemilikan blok Masela (eksplorasi minyak dan gas di Kepulauan MBDJ Gagasan ini kemudian mempengaruhi secara keseluruhan faktor historis yang memberi peranan penting dalam konten sejarah lokal penamaan pulau tersebut (Wakim Mezak: 2010
Tipologi
Rumah Tradisional Im merupakan salah satu sarana penting yang merupakan simbol masyarakat adat di Pulau Masela Maluku Barat Daya. Di tempat ini berlangsung seluruh aktifitas masyarakat yang berkaitan dengan adat istiadat, perkawinan adat serta penyelesaian sengketa sengketa adat lainnya. Untuk itu pembangunan rumah adat Im harus mengikuti tata aturan adat yang telah ada sejak dahulu. Konstruksi rumah tradisional Im berbentuk rumah panggung, yang disanggah atau dibangun di atas beberapa buah tiang. Rumah tersebut terbagi atas tiga (3) bagian, yaitu bagian bawah, tengah dan atas. Setiap bagian bagunan memiliki nama dan fungsi masing-masing.
a. Konstruksi Bangunan Bawah
Bagian bawah Im disebut imorene yang berarti bagian bawah rumah. Imorene terkonstruksi dari beberapa tiang penyanggah seluruh bangunan rumah. Tinggi tiang penyanggah tersebut 1 meter (zaman dahulu, tingginya berkisar antara 3-4 meter).Perbedaan tinggi tiang penyanggah rumah tradisional yang ada sekarang dengan tiang penyanggah rumah tradisional di zaman dahulu. mungkin sekali dipengaruhi oleh konteks hidup masyarakat Masela. Pada zaman dahulu, leluhur masyarakat Masela hidup di hutan, sehingga binatang seperti babi liar menjadi ancaman bagi mereka. Oleh karena itu tiang-tiang dibuat dengan tinggi sekitar 3-4 meter untuk mencegah ancaman binatang liar itu. Ancaman seperti itu tidak lagi menjadi masalah bagi mereka, setelah mereka memiliki pemukiman tetap.
Tiang-tiang penyanggah rumah tradisional tersebut terbuat dari kayu kanawa, yang oleh masyarakat setempat disebut okna. Okna atau kanawa adalah kayu yang memiliki kualitas yang sangat baik. Hal ini terbukti dari tiang tiang penyanggah rumah tradisional yang sudah berusia ratusan tahun. Tiang penyanggah rumah tradisional yang ada sekarang, berasal dari tiang-tiang rumah tradisional yang dibangun pada saat masyarakat Masela masih hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lain atau hidup secara nomaden. (Iwamony Rachel 2012:40)
Gambar
Pada gambar yang di sektsa ini terlihat jelas bagian bagian dari Im yang munculkan sebagai satu kesatuan dari totalitas bangunan Im. Imorenne adalah bagian bawah rumah yang terbuka atau tidak memiliki dinding. Kontsruksi Imorenneyang terbuka ini memberi suplai angin yang cukup untuk bagian tengah rumah. Keadaan ini membuat orang yang mendiami Im tidak terlalu merasakan panas pada saat musim kemarau, yang berlangsung pada bulan Juni – November. Seorang generasi tua mengatakan: “katong tinggal di rumah skarang tu, kepanasan. Kalo bulan september-oktober, hampir katong seng bisa tinggal dalam rumah; katong terpaksa pi pante supaya dapa angin. Rumah dolo boleh (Tidak nyaman tinggal di rumah-rumah dengan bentuk konstruksi sekarang, terutama pada bulan September Oktober; sangat panas, sehingga kita harus mencari angin di pantai. Pada saat rumah-rumah dulu masih ada, kondisi tidak seperti itu. Apa yang diungkapkan im terbukti dari kebiasaan masyarakat Masela yang suka beristirahat di Im, pada saat musim kemarau. Imorenne atau bagian bawah rumah tradisional Im memiliki beberapa fungsi, yaitu:
• Tempat induk kambing yang akan beranak & perawatan kambing luka
• Tempat berlindung ayam peliharaan masyarakat pada musim hujan
Kambing, ayam dan babi merupakan hewan hewan yang dipelihara oleh masyarakat Masela tetapi cara pemeliharaan kambing dan ayam tidak sama seperti pemeliharaan babi. Babi dipelihara dalam kandang yang dibuat dari pagar batu, dan terletak di belakang kampung, sedangkan kambing dibiarkan berkeliaran di hutan, dan ayam dibiarkan berkeliaran dalam kampung (desa). Hanya pada saat seekor kambing betina akan beranak, kambing itu dibawa kekampung dan diikat pada salah satu tiang penyanggah bangunan di imorenne hingga kambing tersebut beranak. Kambing itu kembali akan dilepas ke hutan saat anak-anaknya sudah kuat berjalan. Sebelum dilepas, pemilik memberi tanda kepemilikkan pada telinga anak-anak kambing untuk membedakannya dengan kambing milik orang lain. Setiap orang mengenal tanda milik kambing orang lain, sehingga mereka akan saling memberitahu jika menemukan kambing orang lain dalam kondisi terluka, terjatuh dalam jurang, atau akan segera beranak. Selain kambing betina yang akan beranak, kambing yang terluka juga akan dibawa ke kampung, dan diikat juga di imoresne untuk diberikan perawatan sampai luka kambing tersebut sembuh. Masyarakat Masela biasanya mengobati luka kambing dengan tembakau dan kapur api.
Selain kambing dan oi, masyarakat Masela juga memelihara ayam. Sebagaimana hewan peliharaan kambing,masyarakat tidak membangun kandang khusus untuk memelihara ayam. Hanya pada saat orang melihat bahwa ada ayam betina yang berkotek sedang mencari tempat bertelur, orang akan menggantungkan bakul rusak atau anyaman khusus yang terbuat dari bambu kering yang disebut rorok (tempat bertelur ayam) di dinding luar im untuk menyediakan tempat bagi ayam betina itu bertelur. Setelah menetas, induk ayam bersama anak-anak ayam akan diturunkan dan dibiarkan berkeliaran dalam kampung Keadaan ini menyebabkan pada saat hujan, ayam-ayam berlindung di imorenne, sedangkan pada saat malam, induk ayam bersama anak-anak ayam yang masih kecil itu akan kembali dimasukan ke dalam rorok (tempat bertelur ayam) hingga pagi hari.
Kebiasaan masyarakat pulau Masela umumnya. memberi ruang, khususnya di bagian bawah dan atap rumah (pulma), kepada kambing dan ayam memiliki keterkaitan dengan fungsi kambing dan ayam dalam kehidupan mereka. Secara sosial, pemilikan kambing menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat. Semakin banyak memiliki kambing, seseorang dipandang sebagai orang yang berhasil karena ia rajin dan tekun. Hal ini akan dilihat oleh masyarakat pada saat anggota keluarga dari keluarga tertentu akan menikah. Kambing-kambing yang akan digunakan dalam pesta pernikahan diikat pada tiang tiang bagian bawah rumah ini. Ketika kambing diikat pada banyak tiang rumah (satu kambing diikat pada satu tiang rumah), itu menunjukkan bahwa keluarga tersebut adalah orang kaya. (Wakim Mezak: 2005: 42)
Di sisi lain, kambing adalah lambang budaya dari masyarakat setempat. Tarian Seka Besar atau Ehe Lawn menunjukkan hal itu. Dari sejarahnya, Ehe Lawn adalah tarian yang dilakukan oleh beberapa ekor kambing. Sejarah Ehe Lawn ini semakin memperkuat makna sosial dan makna antropologi dari kambing bagi kehidupan masyarakat masyarakat pulau Masela pada umumnya. Bahwa kambing merefleksikan kehidupan masyarakat Masela, sebab kambing adalah hewan peliharaan yang dapat bertahan hidup di daerah tandus seperti pulau Masela; bahkan pada saat musim kemarau, kambing yang hidup di pulau Masela bisa minum air laut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa manusia Masela memahami kambing seperti mereka memahami diri mereka sendiri. Dengan kata lain, kambing adalah potret diri manusia Masela pada umumnya, yang bisa membangun hidup di pulau yang tandus ini.
Terkait dengan fungsi lain dari imorene sebagai tempat berteduh ayam (pada saat hujan) dan fungsi pulma (bumbungan rumah) sebagai tempat tidur ayam pada saat malam, ditemukan dalam studi ini bahwa ayam memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat setempat. Dalam pandangan masyarakat Masela, ayam bisa mendeteksi gejala-gejala alam, maupun peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dalam kehidupan mereka. Ketika ayam berkokok sebelum jam 2.30 am, itu menandakan saat air laut naik; ketika ayam mengepakan sayap tanpa suara (neliwra) di atas pulma, itu menandakan akan ada ancaman wabah penyakit, bahkan kematian dalam kampung; ketika ayam saling menyabung dekat rumah, itu pertanda akan ada tamu yang membawa berita buruk atau negatif bagi keluarga itu, sebaliknya tanda bahwa akan ada tamu yang membawa berita baik atau positif bagi keluarga tertentu adalah ketika ayam berkokok dekat rumah mereka. Peran ayam yang sedemikian menunjukkan kemampuan masyarakat masyarakat Masela pada umumnya, menemukan cara membaca dan memahami gejala-gejala alam. Dalam hal ini, ditemukan kemampuan lokal dari masyarakat setempat untuk mengatur hidup, dan memprediksi ancaman yang akan dihadapi dengan hanya melihat perilaku ayam. Di sini, terungkapbagaimana masyaraka Masela memahami perilaku ayam, yang kemudian dihubungkan dengan kehidupan mereka sebagai manusia. Pemahaman itu mengungkapkan kesadaran dan pengakuan masyarakat Masela akan ketergantungan hidup satu makhluk dengan makhluk lainnya; bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa makhluk yang lain; makhluk hidup ada dalam pola hidup saling bergantung satu terhadap yang lain. Oleh karena itu, rumah tradisional dibangun untuk tidak saja menjadi tempat tinggal manusia, tetapi juga sebagai tempat tinggal kambing dan ayam. (Uniplaita S.J, 2010:45)
b. Konstruksi Bangunan Tengah
Bagian tengah rumah tradisional adalah tempat berlangsungnya segala aktifitas rutin orang yang mendiaminya. Kerangka bangunan bagian tengah terbuat dari kayu dan bambu kering, dan dibuat tertutup mengikuti lingkaran rumah yang berbentuk empat persegi itu. Bambu kering yang digunakan sebagai dinding bangunan bagian tengah, sudah dibentuk menjadi lempengan-lempengan yang disebut polipra. Sebelum digunakan sebagai dinding rumah, bambu kering yang sudah dibuat sebagai lempengan lempengan itu, direndam di dalam air laut selama beberapa hari. Ini dimaksudkan supaya polipra itu tidak mudah lapuk. Pada saat rumah didinding, lempengan polipra ini dibuat dua lapis dan diletakan diantara 2 potong kayu kering yang dibuat seperti kotak, kemudian diikat dengan tali yang terbuat dari sejenis bambu khusus. Lempengan-lempengan polipra itu dibuat dua lapis, sehingga dinding rumah cukup tebal. Dinding yang tebal ini melindungi penghuni im dari hembusan angin kencang, dan curah hujan lebat. Bagian tengah rumah tradisional (im)terdiri dari beberapa bagian dengan nama dan fungsi masing-masing. Uraian tentang bagian-bagian itu akan dimulai dari sisi luar.
1. Lewya
Lewya adalah salah satu bagian tengah rumah yang berada di luar. Lewya berfungsi sebagaitempat istirahat. baik setelah orang pulang dari kebun, maupun untuk bersantai. Pada saat orang kembali dari kebun, semua materi yang dibawa dari kebun dikeluarkan dan diletakan di lewya untuk dipisahkan materi-materinya. Kayu bakar diletakan di tempat kayu di lewyorenne (artinya di bawah lewya); bahan makanan ditaruh dinyiru (salah satu alat dapur yang dianyam dari daun koli kering) untuk dimasukan dalam elka (tempat kacang-kacangan), dan rukya (tempat menyimpan jagung).
Setelah mempersiapkan makan malam, orang duduk bersantai di lewya. Pada saat seperti ini, di lewya terjadi interaksi sosial antar-keluarga, sehingga komunkasi antara penghuni satu rumah dengan rumah yang lain tetap berlangsung, terutama di sore hari. Bahkan di malam hari pada saat bulan terang, anak-anak dibiarkan bermain di luar rumah, sambil diawasi oleh orang tua mereka dari lewya. Jadi, fungsi sosial lewya nampak juga dalam interaksi seperti ini. Fungsi lain dari lewya adalah tempat diterimanya seorang tamu yangakan berkunjung ke penghuni salah satu oka. Dalam konteks interaksi sosial yang secara umum berlangsung di pulau Masela, perkunjungan antar keluarga lintas kampung merupakan suatu kebiasaan yang telah menjadi pola hidup seluruh masyarakat Masela. Pada umumnya, ada beberapa alasan terjadi kunjungan antar keluarga lintas kampung. Pertama, kunjungan atas dasar relasi kekerabatan. Kedua, kunjungan karena relasi pertemanan.
Kunjungan atas dasar relasi kekerabatan sangat penting karena menjaga agar relasi kekerabatan itu tidak dilupakan dan terputus. Hal ini sangat penting sebab dapat saja terjadi bahwa relasi kekerabatan itu sudah melewati beberapa generasi, sehingga tidak lagi diketahui oleh generasi baru. Oleh karena itu, dengan perkunjungan seperti ini, orang tua akan saling menceriterakan kepada generasi muda, bentuk relasi kekerabatan yang mereka miliki. Relasi kekerabatan itu dapat terbentuk oleh karena perkawinan maupun oleh sejarah asal usul yang sama. Kunjungan atas dasar pertemanan lebih mengarah pada pertukaran barang secara ekonomis. Dalam kunjungan seperti ini, masing-masing pihak telah mengetahui kebutuhan dari teman yang akan dikunjungi, sehingga ia akan membawa apa yang dibutuhkan temannya. Contohnya, A dari kampung Marsela berteman dengan C dari kampung Telalora. Ketika bekunjung ke C di Telalora, A akan membawa hasil kebun seperti jagung, pisang, umbi- umbian, kelapa, maupun sopi (tuak). Sedangkan jika C yang berkunjung ke A, C akan membawa ikan maupun hasil laut lain seperti udang, gurita, dll. Pola seperti ini dapat dipandang sebagai pola hidup saling menopang sebab yang satu menutupi kebutuhan yang lain dengan apa yang dimilikinya. Pola pertukaran seperti ini tidak dapat dipisahkan dari kharakter alam pulau Masela pada umumnya, dan setiap kampung pada khususnya. Jika dibandingkan dengan kampung-kampung lain di pulau Masela, kampung Telalora, Babyotan dan Iblatmumta lebih dikenal sebagai penghasil hasil laut terbanyak. Sedangkan kampung-kampung lain lebih handal dengan hasil kebunnya. (Uniplaita S.J, 2010:16)
Pada saat kunjungan-kunjungan ini terjadi, kerabat dan kenalan yang berkunjung diterima di lewya, kemudian diberi makan siri pinang bagi kerabat perempuan, sedangkan kerabat laki-laki diberi minum sopi. Dari lewya, tamu yang tidak memiliki relasi kekerabatan dengan keluarga yang dikunjungi, dibawa masuk melalui pintu utama di ipramna dan duduk di ipramna, sedangkan yang memiliki relasi kekerabatan diterima masuk rumah melalui kilkawy dan duduk di oka. Perbedaan perlakuan dalam hal penerimaan terhadap mereka yang berkunjung akan dapat dimengerti, ketika fungsi kilkwydan oka dibahas. dari proses penerimaan di ni sebelum seseorang masuk ke dalam im, dapat ditemukan konsep berpikir masyarakat Telalora bahwa siapapun dia, sebelum masuk ke dalam rumah, ia harus duduk beristirahat di lewa untuk membersihkan diri, ik dari hal-hal ‘negatif baik secara fisik maupun met yang menyertainya dalam perjalanan. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa ketika seseorang masuk ke dalam rumah tradisional ini, ia harus bersih, sehingga tidak membawa hal buruk bagi penghuni rumah tradisional.
2. Kilkawy
Kata kilkawy berasal dari dua (2) kata yaitu kil dan kawy. Secara hurufiah, kata kil berarti tumit kaki, sedangkan kawya tidak ditemukan artinya tetapi memiliki kedekatan bentuk dengan kata lewy, yang menunjuk kepada tempat berteduh dan beristirahat. Kilkawy adalah bagian pertama dalam rumah yang akan dilewati jika kita masuk ke dalam rumah dari lewya. Bila dibandingkan dengan bagian lain dari tengah rumah, ukuran kilkawy sangat kecil, yaitu hanya 2 x 1 meter. Dari keutuhan konstruksi rumah tradisional, kilkawy berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat tidur tete-nene. Tete-nene yang pada saat menjadi pewaris, bertempat tinggal di oka, berpindah tempat ke kilkawy, setelah salah satu anak yang sudah dewasa diangkat menjadi pewaris dan bertempat tinggal di oka. Jadi, perpindahan tempat tinggal tete-nene dalam keutuhan konstruksi rumah tradisional, bukan merupakan proses perpindahan biasa, tetapi lebih menunjuk kepada peralihan peran penghuni rumah tradisional dalam kehidupan penghuninya. Penempatan tete-nene di bagian kilkawy rumah tradisional ini, memiliki nilai filosofi yang cukup tinggi, sebab kata kil yang menunjuk kepada tumit kaki manusia, pada hakikatnya mempertegas fungsi dan peranan tete-nene dalam kehidupan suatu keluarga, yaitu sebagai penopang dan penyanggah.
Tete-nene menyerahkan hak waris kepada anak yang menjadi pewaris, tetapi mereka tetap memiliki fungsi sebagai pemberi nasehat, pengarah, dan penjaga cucu saat orang tua mereka melakukan aktifitas di luar rumah. Karena peran dan fungsi tete-nene yang tetap penting bagi penghuni rumah, teristimewa yang menempati oka, dapatlah dimengerti penempatan kilkawy bersebelahan dengan oka. Dari posisi atau letak tempat tinggal tete nene ini dalam rumah tradisional ini, masyarakat Telalora menunjukkan pandangan mereka, bahwa tete-nene tidak lagi memiliki keterkaitan dan peran langsung dengan hal hal yang berhubungan dengan kehidupan yang terjadi di ipramna. Peran tete-nene terjadi secara tidak langsung melalui pewaris yang menempati oka. Oleh karena itu, tete-nene harus tinggal di kilkawy yang berdekatan atau bersebelahan dengan oka.Meskipun kilkawy, oka, dan iprmana adalah juga tempat tidur,tidak ada dinding yang memisahkan kilkawy dan oka; begitu juga antara oka dengan ipramna. Hal itu terlihat pada foto di bawah ini.
3. Oka
Oka berasal dari kata ok yang berarti kepala. Setiap rumah memiliki empat (4) oka. Dari antara keempat oka ini, satu oka menjadi pemimpin yang disebut oka utama. Oka adalah bagian tengah rumah yang berbentuk empat persegi panjang, dengan ukuran 2,5 x 2 meter. Sebagaimana lantai lewya, kilkawya, ipramna dan inaylewna, lantai oka dibuat dari irisaan atau belahan bambu kering yang diikat terhubung satu dengan lain, dengan menggunakan akar pohon beringin, yang oleh masyarakat setempat disebut nnuwea. Belahan bambu kering yang sudah terikat dengan nnuwea inilah yang digunakan sebagai lantai, dan disebut nyenka. Dalam konteks kehidupan di oka, nyenka menggambarkan ikatan relasi yang kuat antara semua anggota keluarga dalam oka. Oleh karena itu, nnuwea sebagai tali pengikat nyenka tidak boleh dibiarkan terputus. Membiarkan nnuwea yang mengikat nyenka terputus, sama artinya dengan membiarkan kehancuran dalam kehidupan keluarga di oka. Pandangan seperti ini menyebabkan penghuni oka selalu mengganti nnuwea yang dilihat sudah mulai rusak. Setiap oka memiliki satu pintu yang terletak diantara lewya dan kilkawy, dan satu jendela yang terletak pada sisi dinding oka. Dalam kehidupan penghuni rumah tradisional, oka memiliki beberapa fungsi, yaitu:
• Tempat tinggal anak laki-laki tertua yang sudah menikah dan sebagai pemegang waris dan penanggungjawab dalam keluarga.
Sebagai pemegang waris, anak laki-laki tertua yang sudah menikah harus menempati oka. Namun bila anak laki-laki tertua tidak menikah, maka oka dapat ditempati anak laki-laki lain yang sudah menikah karena oka berhubungan dengan pemegang waris dan penerus keturunan. Oleh karena itu, jika salah satu pemegang waris tidak memiliki anak laki-laki, dia harus mengambil seorang anak laki-laki dan oka lain. Bahkan mereka dapat mengangkat anak laki-laki dari luar persekutuan adat untuk tinggal bersama dan menjadi pewaris oka tersebut. Dalam hal penentuan pewaris, orang tua-tua memiliki kriteria khusus yang tidak tertulis, tetapi dapat dilihat dari penentuan pewaris itu. Kriteria umum yang terlihat adalah, pewaris adalah anak laki-laki tertua yang menikah. Meskipun demikian, biasanya kriteria ini diimbangi dengan kriteria kharakter diri, yaitu: dapat dipercaya, bijaksana dalam mengatur dan mengambil keputusan, memiliki jiwa pemimpin yang dapat merangkul, bekerja keras, dapat diteladani.
• Tempat ibu mempersiapkan bahan makanan untuk dimasak.
Sebagaimana diketahui secara umum, makanan pokok masyarakat Telalora adalah jagung, selain ubi kayu dan berbagai kacang-kacangan. Di oka, seorang ibu, yaitu istri dari pewaris mempersiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Letak oka yang bersebelahan dengan ranya (tempat masak) mempermudah seorang ibu memasak sebab pada saat memasak, ibu tersebut tidak berdiri tetapi duduk saja dalam oka.
● Tempat tidur ayah, ibu dan anak-anak yang masih kecil.
Oka berfungsi juga sebagai tempat tidur ayah, ibu dan anak-anak yang masih kecil. Di antara oka dan ipramna, ada satu balok kayu yang berfungsi sebagai bantal pada saat penghuni oka dan mereka yang tidur di ipramna tidur atau beristirahat. Balok kayu ini disebut lulullya. Lulullya memisahkan oka dari ipramna. Dalam membangun kehidupan di rumah tradisional ini, ada larangan untuk duduk di atas lululyadan ketuk atau lotna lululya. Orang dilarang duduk di lululya sebab duduk di lululya sama artinya dengan duduk di kepala orang tua. Duduk dikepala orang tua berarti tidak menghormati,bahkan tidak mengindahkan didikan dan aturan hidup yang sudah diwariskan secara turun temurun. Dalam pola pikir seperti ini, ditemukan pemaknaan yang mendalam terhadap perilaku hidup sehari-hari dari penghuni rumah tradisional, terhadap fisik rumah itu sendiri. Pemaknaan itu menunjukkan pemahaman mereka bahwa rumah adalah bagian integral dari diri manusia sendiri.
● Tempat tidur ibu yang baru melahirkan bersama bayi yang baru lahir.
Posisi oka yang bersebelahan dengan ranya atau tungku masak, berguna untuk memungkinkan ibu yang baru melahirkan menjalani perapian dengan baik. Hal ini sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat, di mana badan ibu yang baru melahirkan dilumuri dengan santan kelapan, kemudian duduk membelakangi perapian di ranya. Cara ini dimaksudkan untuk memperlancar air susu ibu yang baru melahirkan. Seorang ibu yang baru melahirkan akan menjalani perapian ini selama 40 hari.
4. Ipramna
Ipramna berasal dari kata ramne yang memiliki dua arti. Arti pertama adalah bagian dalam atau hati’, dan arti kedua adalah ‘perut’. Nampaknya, nama ipramna berkaitan dengan dua (2) hal, yaitu pertama, posisi ipramna dalam keutuhan kontstruksi bangunan rumah dan kedua fungsi ipramnabagi kehidupan penghuninya. Dari konstruksi rumah, posisi ipramna berada tepat dibagian tengah, baik bila dilihat dari atas ke bawah, bawah ke atas maupun dari samping kiri dan kanan rumah bagian tengah. Posisi ini menempatkan ipramna sebagai pusat sentral aktifitas kebersamaan seluruh penghuni rumah tradisional ini. Di ipramna inilah letak pintu utama rumah tradisional, yang berada di sisi tengah bagian depan rumah. Sesuai pemanfaatannya, ipramna memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai:
- tempat makan
- tempat tidurbeberapa penghuni
- tempat menerima tamu
- tempat pembagian hasil pencarian bersama
- tempat musyawarah dan penyelesaian masalah
Di zaman dahulu, sebelum masyarakat Telalora menjadi Kristen, upacara-upacara adat atau ritual ritual adat dilakuan di ipramna, dekat tiang utama rumah dan tempat perapian (ranya). Upacara adat yang diselenggarakan dalam rumah tradisional, sama dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat bahwa “tempat upacara-upacara ritual dari masyarakat tradisional adalah dekat tiang pokok rumah atau dekat tempat perapian atau yang disebu dapur”. Upacara upacara ritual yang dilakukan di ipramna adalah upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Setelah menjadi Kristen, upacara-upacara tersebut diambil alih oleh gereja, sehingga tempat penyelenggaraan upacara upacara tersebut mengalami perubahan. Penyelenggaraan upacara-upacara ritual ini di ipramna menunjukkan bahwa masyarakat Telalora (Masela) tidak membedakan tempat yang sakral dari tempat yang profan.
c. Konstruksi Bangunan At
Bagian atas rumah tradisional disanggah oleh batang kelapa dan batang pohon koli kering, yang dibentangkan di sisi lebar dan panjang rumah. Bagian atas rumah terdiri dari inaylewna, tiwya dan pulma.
1 Inalyewna
Inalyewna adalah tempat diletakannya beberapa sarana atau alat penyimpanan hasil kebun dan harta benda atau pusaka. Oleh karena itu, inalyewna juga memiliki lantai yang juga disebut nyenka. Di inalyewna, ditaruh beberapa alat, yaitu: rukya dan tolla.Rukya adalah anyaman yang terbuat dari bambu, yang digunakan sebagai tempat penyimpanan jagung kering, sebagai persediaan untuk kebutuhan konsumsi selama 1 tahun, sampai musim n berikutnya, dan sebagai bibit. Menurut kebiasaan panen masyarakat setempat, setelah panen jagung, para ibu akan memisahkan jagung yang dimakan ulat dari jagung yang bersih (tidak dimakan ulat). Jagung yang dimakan ulat akan disimpan untuk segera dikonsumsi, sedangkan jagung yang bersih dari ulat, dijemur dengan kulitnya hingga kering. Setelah itu, jagung-jagung kering ini ditata secara teratur dalam rukya. Menurut pengakuan beberapa informan, jika jagung dijemur hingga kering betul, maka tidak bisa bubuk hingga musim tanam tiba.
2. Tolla
Tolla adalah anyaman yang terbuat dari rotan, dan berfungsi sebagai tempat penyimpananmilik pusaka satu oka, secara khusus, dalam hal ini emas dan basta. Dalam sistem adat masyarakat pulau Masela pada umumnya, emas dan basta adalah dua materi utama harta kawin. Oleh karena itu, semua orang, seorang pewaris, harus bekerja keras untuk mengisi tolla dengan emas dan basta. Selain sebagai harta kawin, emas dan basta menunjukkan harga diri seseorang dalam masyarakat setempat. Oleh masyarakat Telalora, orang yang memiliki banyak emas dan basta dipandang sebagai munna, suatu kata atau istilah lokal yang sulit ditemukan arti huruf iahnya, tetapi kata munna selalu dipakai untuk menunjuk kepada orang yang memiliki banyak harta (terutama emas dan basta). Teristimewa seorang pewaris, harus bekerja keras untuk mengisi tolla dengan emas dan basta. Selain sebagai harta kawin, emas dan basta menunjukkan harga diri seseorang dalam masyarakat setempat. Oleh masyarakat Telalora, orang yang memiliki banyak emas dan basta dipandang sebagai munna, suatu kata atau istilah lokal yang sulit ditemukan arti huruf iahnya, tetapi kata munna selalu dipakai untuk menunjuk kepada orang yang memiliki banyak harta (terutama emas dan basta).
Emas dan basta yang disimpan dalam tolla tidak saja berasal dari hasil kerja atau usaha pewaris, tetapi juga dari harta kawin anak perempuan. Emas dan basta yang diperoleh dari hasil kerja dapat berupa hasil penjualan kambing babi dan lahan kebun. Menurut pandangan masyarakat setempat, emas dan basta yang diperoleh dari hasil kerja, dapat dijual oleh pemilik (pewaris), tetapi basta dan emas yang merupakan harta kawin tidak boleh dijual. Seorang informan mengatakan “biasanya orang yang jual warisan itu pasti dapa hal yang seng bagus, seperti saki ato mati” (selalu terjadi bahwa jika ada orang menjual harta warisan, pasti dia menemukan hal hal yang tidak baik, seperti penyakit hingga kematian). Selain rukya dan tolla, inalyewna juga merupakan tempat rorowinya, tempat penyimpanan benang yang sudah dipintal menjadi benang. Biasanya para perempuan menenun benang yang merupakan hasil pintalan kapas, menjadi kain yang disebut lawra. Lawra ini dipakai oleh kaum perempuan sebagai kain sarung. Posisi inalyewna ada tepat di atas oka. Setiap oka memiliki inalyewna. Oleh karena itu, sebagaimana ada empat oka, maka ada pula empat inalyewna. Meskipun inalyewna adalah tempat menaruh harta benda atau milik pusaka, inalywena itu tidak dibangun dalam bentuk kotak terutup.
Berfungsinya inalywena sebagai tempat menyimpan hasil kebun seperti jagung dan harta warisan seperti emas dan basta, berkaitan dengan pandangan masyarakat bahwa segala sesuatu yang mereka miliki adalah pemberian Upler, Tuhan yang mahakuasa. Oleh karena itu, hasil pencarian diletakkan di bagian atas rumah, sebagai tanda penghormatan kepada Sang Upler itu.Dengan kata lain, inalywena sebagai tempat menyimpan hasil kerja mereka merupakan pengakuan masyarakat Telalora (Masela) tentang ketergantungan hidup manusia kepada Upler.
3. Tiwya
Tiwya atau atap rumah adalah bagian yang menutupi keseluruhan bangunan rumah tradisional. Tiwya berbentuk lancip, dan terbuat dari daun kelapa (perkawya) kering yang sudah dilekukkan dari batangnya Daun kelapa kering ini diikat pada bambu kering yang sudah dibelah yang disebut atwa, dengan menggunakan lidi daun koli yang disebut kolla. Atwa ditempelkan pada batang kayu kering yang sudah dipahat yang disebut lolwewra, supaya tidak terlepas. Tinggi tiang nok yang menopang tiwya adalah 3,40 meter.