Penulis: Mezak Wakim, Peneliti Antropologi Budaya
Sumpah Pemuda Tanggal 28 Oktober menjadi catatan sejarah bagi perjalanan bangsa Indonesia, karena para pemuda mempertaruhkan semua jiwa raga untuk bangsa Indonesia dan bersatu padu memperkuat diri untuk menuju kemerdekaan tahun 1945. Kondisi ketertindasan yang mendorong para pemuda pada saat itu membulatkan tekad untuk berjuang demi mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia. Di masa perperangan melawan penjajah, para pemuda mendeklarasikan diri dalam Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, yaitu Indonesia. Sayangnya, peristiwa 93 Tahun yang lalu sangat berbeda dengan situasi dan kondisi sekarang. Di mana aksi tawuran pelajar, narkoba, seks bebas dan berfoya-foya sudah menjadi ikon kebanggaan segelintir para pemuda. Tulisan ini stidaknya mendeskripsikan secara historitas, patriotisme dan gagasan kebangsaan yang merefleksikan makna Sumpah Pemuda Sumpah Pemuda bagi kelahiran bangsa Indonesia.
A. MEMBACA MASA LALU, MERETAS MASA DEPAN : PEMUDA DAN SEJARAH
Ada ungkapan bahwa hanya keledai yang bisa terantuk pada batu yang sama. Keledai dijadikan sebagai simbol dari kebodohon dan kedunguan. Ungkapan tersebut untuk menggambarkan betapa tololnya si keledai yang tidak mau belajar dari kesalahan yang pernah terjadi. Ungkapan itu juga memberi pengertian secara tersirat arti penting belajar dari peristiwa yang telah terjadi, untuk diambil sebagai pelajaran bahwa kesalahan yang tidak bermanfaat diupayakan dihindari, sementara pelajaran yang bermanfaat untuk dapat dipakai atau diwujudkan kembali. Demikian juga mengungkap kembali Sumpah Pemuda sebagai salah satu tonggak kebangsaan Indonesia yang diperingati atau dikenang memberi bahan renungan sesuai dengan perkembangan tantangan permasalahan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada dasarnya sejarah itu dapat dibagi dua, yaitu sejarah sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lalu (histoire realite) dan sejarah sebagaimana diceritakan (historie recite). Sejarah sebagai realitas tidak dapat diganggu- gugat lagi karena peristiwa itu telah lewat, berlangsung yang tidak dapat diputar ulang. Namun sejarah sebagai kisah yang dituturkan akan terus dapat dikemukakan berubah-ubah sesuai dengan perspektif pihak yang mengisahkannya. Untuk
kepentingan melihat kembali Sumpah Pemuda di era reformasi, cara pandang Soekarno tentang “masa” trilogi sejarah yang dinamakan trimurti atau trimatra: yaitu masa lalu yang jaya (the glorius past), masa kini yang sulit (the dark present), dan masa depan yang cerah (the promising future atau the golden future) menarik untuk digunakan dalam melihat persoalan mendasar pasang surut rasa kebangsaan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa. Persoalan kebangsaan yang terumuskan dalam Sumpah Pemuda, bukanlah sebagai peristiwa yang muncul personal secara tiba-tiba. Namun peristiwa tersebut juga sebagai hasil dari proses panjang mulai dari Kebangkitan Nasional, dan pelaksanaan edukasi sebagai bagian dari politik assosiasi, juga dikenal sebagai politik balas budi yang mulai dilaksanakan pada awal abad 20. Sebagaimana pendekatan longue duree dalam Annales, aliran baru (noevelle histoire) pengambilan rentang ke belakang yang panjang menjadikan kajian semakin berharga. Untuk itu, kecuali Sumpah Pemuda sebagai hasil dari proses, juga menjadi awal dari peristiwa-peristiwa setelah itu. Tinjauan ini berusaha melihat dinamika kebangsaan sampai dengan kurun waktu reformasi.
B. SUMPAH PEMUDA : CATATAN HISTORIOGRAFI YANG PERLU DI MAKNAI
Pemuda adalah agent of change. Terkait dengan Sumpah Pemuda, ungkapan ini benar adanya. Dalam sejarahnya, perjuangan Bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme, yang lebih mengutamakan fanatisme kedaerahan selama tiga abad, memasuki sejarah baru dengan bangkitnya sejumlah pemuda mendirikan organisasi- organisasi kepemudaan nasional. Perjuangan yang pada awalnya lebih bersifat kultural berubah menjadi perjuangan yang membawa isu-isu nasionalisme dengan lebih mengedepankan diplomasi politik. Tercatat pada tahun 1915-an berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan yang masih bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Soematranen Bond (1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen dan Pemoeda Kaoem Betawi. Organisasi tersebut bersifat kedaerahan dan kelompok khusus. Adapun Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) yang berdiri setelah selesai Kongres Pemuda I pada tahun 1926 memiliki perberbedaan, yaitu bersifat lintas primordial; organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Tokoh- tokohnya adalah Sigit, Soegondo Djojopoespito, Soewirjo, S. Reksodipoetro, Moehammad Jamin, A. K Gani, Tamzil, Soenarko, Soemanang, dan Amir Sjarifudin. PPPI memprakarsai dilaksanakannya Kongres Pemuda II.
Kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam kesempatan itu, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan sebagaimana termuat dan dibacakan di akhir kongres. Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.
Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, sebagai hal yang dibutuhkan dalam perjuangan. Kongres Pemuda II telah membangkitkan
bersatunya gerakan pemuda bersifat nasional, memperoleh reaksi yang kurang menyenangkan dari pemerintah kolonial. Di mata kolonial Belanda, semangat Sumpah Pemuda yang terwadahi dalam statu gerakan organisasi merupakan kekuatan yang mengancam keberlansungan kegiatan eksploitasi- penjajahan. Untuk itu, beberapa pejabat kolonial berupaya untuk memperlemah persatuan dengan memberikan angin sepoi-sepoi segar terhadap bangkitnya daerahisme kepada pribumi yang masih memendam sisa-sisa semangat patrimonial, sebagaimana dilakukan oleh Hendrikus Colijn mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan, kemudian Perdana Menteri Belanda, Veteran perang Aceh dan bekas ajudan Gubernur Jenderal van Heutz, mengeluarkan reaksi negatif berupa pamflet yang menyatakan bahwa kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Katanya, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah etnis yang terpisah- pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah- wilayah. Suatu pernyataan yang merendahkan dan memandang sebelah mata terhadap gerakan pemuda tersebut, juga dinyatakan bahwa Belanda telah berkuasa di Indonesia selama tiga setengah abad dan akan berkuasa tiga setengah abad lagi. Sebagaimana yang diberitakan bahwa kerapatan dikunjungi beratus-ratus orang, dimana bagi siapa yang menyaksikan sendiri akan berbesar hati karena pemoeda-pemoeda kita bukan baru mencita-citakan saja, tapi telah tegak berdiri di pusat persatuan dan kebangsaan. Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R. Soepratman, lagu Indonesia Raja.
Dalam POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDI INDONESIA, tercatat bahwa “Poetra dan Poetri Indonesia” mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia; mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sebagai realisasi penyatuan ini, pada tanggal 31
Desember 1930 jam 12 malam, Jong Java, Perhimpunan Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Pemoeda Soematra (awalnya bernama Jong Sumatranen Bond) telah berfusi menjadi satu dan membentuk Perkoempoelan Indonesia Moeda.
Para anggota panitia Kongres Pemuda ke II terdiri dari pemuda-pemudi Indonesia yang di kemudian hari amat berperan dalam gerakan pemuda yang memperjuangkan kebangsaan dan kemerdekaan. Di antaranya terdapat nama, Soegondo Djojopoespito dari PPPI (ketua), Djoko Marsaid dari Jong Java (wakil ketua), Muhammad Jamin dari JongSumatranen Bond (Sekretaris), Amir Sjarifudin dari Jong Sumatranen Bond (bendahara), Djohan Mu Tjai dari Jong Islamieten Bond. Kontjosoengkoeno dari P.I, Senduk dari Jong Celebes, J. Lemeina dari Jong Ambon dan Rohyani dari Pemoeda Kaum Betawi. Panitia didukung tokoh-tokoh senior seperti Mr. Sartono, Mr. Muh Nazif, A.I.Z Mononutu, Mr. Soenario. Dalam kongres ikut berbicara tokoh-tokoh besar kebangsaan lainnya seperti S. Mangoensarkoro, Ki Hadjar Dewantoro, dan Djokosarwono. Hadir sebagai undangan sekitar 750 orang. Terdapat nama-nama yang kemudian terkenal seperti Kartakusumah (PNI Bandung), Abdulrachman (B.O Jakarta), Karto Soewirjo (P.B Sarekat Islam), Muh. Roem, Soewirjo, Sumanang, Masdani, Anwari, Tamzil, AK Gani, Kasman Singodimedjo, Saerun (wartawan Keng Po), WR Supratman. Dari Volksraad yang hadir adalah Soerjono dan Soekawati dan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda yang hadir adalah Dr. Pyper dan Van der Plas. Jelas bahwa Kongres Pemuda II yang mengikrarkan Sumpah Pemuda bukan pekerjaan dalam sedikit waktu saja, dan terang juga bukan hasil usaha dari beberapa gelintir orang saja. Hal ini merupakan perjuangan panjang sejak Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908. Bahkan ada sebuah peristiwa lainnya yaitu ketika tahun 1904 Dr A. Rivai lulus ujian dokter sebagai Nederland Arts di Utrecht Belanda, pupus sudahlah anggapan jelek bahwa bangsa Indonesia itu “laksheid”. Kata ini amat sakit didengar karena berarti pemalas, tidak punya kemauan bekerja atau berbuat sesuatu. Setelah Indonesia muda terbentuk, berarti pemuda Indonesia memiliki organisasi kepemudaan nasional yang solid, kuat dan bercita-cita menuju kemerdekaan yang
lebih pasti. Anggota IM terdiri dari semua pemuda seperti anak-anak SLP, SLA, sekolah khusus, kejuruan sederajat dan mahasiswa. Sejak tahun 1931 kongres demi kongres diadakan sehingga lebih menampakkan eksistensinya. Nyatanya memang IM tidak berafiliasi dengan partai politik. Dari sekilas terhadap peristiwa bersejarah tanggal 28
Oktober 1928 yang kemudian dikenal sebagai “Sumpah Pemuda” terjadi berkat kesepatan yang muncul diantara pimpinan organisasi kepemudaan dan kedaerahan. Berangkat dari konflik secara damai simbolik keberadaan penjajah Belanda yang menyimbolkan berbagai kelompok pribumi sebagai bagian atau berada di bawah Belanda. Masyarakat di wilayah Nusantara terbagi menjadi tiga golongan yakni Eropa, Timar Asing, dan Pribumi. Kata-kata “kami” dalam Sumpah Pemuda menunjukkan keberadaan pihak lain dan ini sekaligus merupakan pencanangan “konflik dengan konsep” terhadap Belanda. Sebagaimana pendapat Asvi Warman Adam, Sumpah Pemuda 1928 dapat dipandang sebagai “Proklamasi” bangsa Indonesia dan perubahan sosial politik yang terjadi dalam dunia ide dan pemikiran. Secara terbuka, “jiwa” dan “roh” bangsa Indonesia “ditiupkan” dalam bentuk Sumpah Pemuda, diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh WR Soepratman di Kramat Raya 106 pada tanggal 28 Oktober 1928. Selanjutnya, jiwa itu menyertai “raga” bangsa (nation) Indonesia yang lahir pada 17 Agustus 1945 di tengah perjuangan menentang fasis Jepang dan kolonialis Belanda. Sebelum Sumpah Pemuda, konflik dengan kekerasan dilakukan pada tingkat lokal dan didasarkan rasa permusuhan terhadap penjajahan Belanda. Sejak Sumpah Pemuda terjadilah “Pemerdekaan secara simbolik dan mental”, karena saat itu diikrarkan kecintaan pada Indonesia. Ketika itu “Hindia Belanda” secara terbuka telah “didekontruksi” dan sekaligus “direkontruksi” menjadi “Indonesia”. Setelah proklamasi, yakni dalam perang mempertahankan kemerdakaan, kaum nasionalis berkonflik dengan Belanda demi Indonesia, bukan untuk kepentingan lokal lagi. Pada masa Sumpah Pemuda, sentimen kesukuan dan kedaeerahan dikalahkan oleh rasa kebangsaan, mereka yang membawa nama kedaerah dan agama sepakat berpikir dan bertindak sebagai satu bangsa. Demi kepentingan bangsa, mereka rela menyampingkan kepentingan organisai kedaerahan, kesukuan dan keagamaan.
C. REFLEKSI MAKNA SUMPAH PEMUDA : SEMUA SUDAH FINAL
Sumpah Pemuda merupakan awal dari kelahiran bangsa Indonesia. Di mana selama ratusan tahun tertindas di bawah kekuasaan penjajah Belanda. Kondisi ini mendorong para pemuda menyatukan barisan untuk memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Adapun isi teks Sumpah Pemuda sebagai berikut: 1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. 2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. 3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dari isi Sumpah Pemuda di atas dapat kita pahami bahwa bagi bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda merupakan suatu komitmen bersama untuk bersatu melawan penjajah, memerangi kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan bidang pendidikan. Momen inilah yang membuka pintu bagi para pejuang hingga mencapai kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Mengapa Sumpah Pemuda merupakan awal kelahiran bangsa Indonesia?. Jawabannya ada 3 makna yang terkandung di dalam Sumpah Pemuda, yaitu (1) Sumpah Pemuda sebagai catatan penting dalam sejarah Indonesia untuk mempersatukan perjuangan pemuda dalam merebut kemerdekaan. (2) Sumpah Pemuda meletakkan arah dan tujuan perjuangan menentang kolonialisme, salah satunya melalui pendidikan. (3) Sumpah Pemuda sejatinya adalah cikal bakal menuju proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian, kemerdekaan merupakan harga mati yang harus dicapai, dipertahankan, dan diisi melalui pemerataan pembangunan untuk menghilangkan jurang kemiskinan dan
pendidikan untuk menghapus kemodohan dan keterbelakangan masyarakat. Masa depan bangsa terletak di tangan pemuda. Sebagaimana Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama, proklamator kita pernah berucap “Berikan aku 10 pemuda dan akan aku goncang dunia”. Demikian pula yang dikemukakan oleh Ben Anderson dalam Revolusi Indonesia, bahwa pemuda merupakan sumber kekuatan utama revolusi. Sejarah Indonesia juga mencatat runtuhnya dua rezim karena gerakan pemuda. Tritura yang lahir dari gerakan pemuda tahun 1966 berhasil menghapuskan komunisme di tanah air. Dan tentunya masih terekam dengan jelas gerakan reformasi 1998 yang memakan korban sejumlah pemuda dan menjadi titik balik demokrasi di Indonesia, dipelopori oleh pemuda.Pemuda selalu berperan dalam setiap zaman.
Ketika kolonialisme tidak lagi pada masanya, pemuda harus tetap memainkan peran dalam perang ekonomi global abad ini. Sumpah pemuda lahir karena adanya ruang- ruang sempit pemikiran kedaerahan bangsa ini. Mengusung semangat sumpah pemuda, kita harus menghapus batas-batas kedaerahan, agama maupun partai untuk memajukan negara ini sesuai cita-cita dari founding fathers. Hilangkan kepentingan- kepentingan sempit politik sesaat. Satukan pikiran untuk membawa kemerdekaan yang sesungguhnya kepada bangsa ini. Pembangunan negara ini harus kembali diarahkan ke jalur yang benar. Setelah 84 tahun sumpah pemuda, sudah saatnya pemuda di era reformasi tidak hanya menjadi Agent of Change, tetapi Agent of Solution itu sendiri. Setelah berhasil membidani lahirnya reformasi, suka atau tidak suka, dengan semangat membangun bangsa ke depan, semangat pemuda harus kembali tampil mempelopori perebutan secara beradap di partai politik di Senayan sebagai penentu rumusan perjalanan bangsa dan negara ke depan, menggeser pendompleng-pendompleng reformasi yang telah bertingkah mengingkari roh reformasi. Pada era reformasi, dalam kurikulum sejarah 2004 dimasukkan butir Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia tahun
1925 di negeri Belanda. Manifesto ini dianggap lebih maju dari Sumpah Pemuda karena memadukan unsur persatuan, kesetaraan dan kemerdekaan. Sedangkan pada Sumpah Pemuda hanya terdapat unsur persatuan. Persatuan itu hanya bermakna bila ada kesataraan, dan keduanya hanya dapat diperoleh bila ada kemerdekaan. Kesetaraan juga akan mewujudkan keadilan, sesuatu yang masih dicari sampai sekarang.
Pada saat dibacakan Sumpah Pemuda dinyatakan pula bahwa sejarah (persamaan nasib, musuh bersama, tekad untuk hidup bersama ) memang telah menjadi faktor perekat bangsa. Demikian pula penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada tahun 1928 adalah pilihan yang jitu mengacu kepada masa depan. Betapa arifnya pemimpin kita masa itu dengan kesepakatan memilih sebuah bahasa yang bukan digunakan oleh etnis mayoritas Jawa atau Sunda. Setelah berhasil dalam persoalan bahasa, kita juga mampu memecahkan masalah yang tidak kalah peliknya yaitu dasar negara. Pendiri negara ini telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam kaitan itu Piagam Jakarta dinyatakan menjiwai pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Sayang sekali seiring perjalanan waktu, masalah ini kembali diungkit.
D. SUMPAH PEMUDA DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Sumpah pemuda lahir dari kesadaran mendalam jiwa-jiwa luhur yang cendikia dan mandiri. Sebuah kesadaran mencari dan menemukan identitas diri sebagai manusia pemuda Indonesia. Kesadaran terus menjadi bahan bakar obor persatuan berubah untuk maju bersama. Bersamaan dengan pencarian identitas diri dimulai juga proses partisipasi diri yaitu pengambilan peran dan fungsi dimasyarakat. Disinilah makna sumpah pemuda dipertaruhkan diatas kesadaran sebagai insan anak bangsa yang harus memainkan peran-
peran strategis bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebuah peran nyata bahkan harus melalui pencitraan diri lewat media elektronik seperti apa yang dilakukan oleh para politisi akhir-akhir ini.
Pencarian identitas diri setelah mencapai puncaknya kemudian meluruh sedangkan partisipasi diri terus meningkat. Bersamaan dengan proses penuaan partisipasi diri juga mengalami peluruhan dan berhenti jika kematian tiba. Tetapi partisipasi pasif akan tetap berjalan sebagai simbol-simbol bagi orang lain jika seseorang telah mencapai identitas agung seperti Bung Karno, Budhi Utomo, Mahatma Gandhi, Bung Hata, Ki Hadjar Dewantara dan sebagainya. Bung Karno dan Bung Hata adalah simbol kemerdekaan Indonesia. Bung Tomo muncul sebagai simbol obor semangat pemuda. Ki Hadjar Dewantara adalah simbol tokoh pendidikan Indonesia. Pendidikan adalah proses menemukan siapa diri kita dengan keseluruhan nilai-nilai karakter terbaik. Pendidikan diharapkan dapat membentuk manusia-manusia beridentitas unggul yang berguna bagi dirinya, lingkungannya, bangsa dan Negara sebagai bentuk partisipasi dirinya. Karenanya pendidikan harus berlangsung dalam suasana partisipasi aktif. Keberadaan orang lain disadari sebagai suatu bagian dari pencarian identitas dan partisipasi. Bagi pencari identitas diri, aksiomanya pertama harus mengetahui apa yang dicari dan kemana harusnya mencari. Sebagaimana mencari sesuatu yang hilang maka harus tahu apa yang hilang dan dimana kehilangan itu terjadi. Apakah yang hilang itu artifact atau benda-benda atau sesuatu yang lebih abstrak, halus, tidak mudah terdeteksi. Dari sinilah perjalanan hidup dimulai baik kedalam diri dan keluar diri mencari dan menemukan. Tentu penapakan ini tidak sederhana karena penapakan ini seluas umur hidup manusia. Untuk menemukan bisa dimulai dari sejumlah pernyataan dan pertanyaan: “ini tangan-ku, ini kaki-ku, ini kepala-ku, ini mata-ku, ini hidung-ku, ini otak-ku, ini badan-ku” dan seterusnya. Dari pernyataan ini lalu muncul kesadaran bahwa aku bukan tangan, aku bukan kaki, aku bukan kepala, aku bukan badan. Pernyataan “kepala saya sakit” atau “jantung saya sakit” mempertegas lagi yang sakit bukan saya tetapi kepala atau jantung itu. Aku Rektor, aku Presiden menegaskan pula yang menjadi rektor atau presiden jelas bukan badan manusia lengkap dengan identitas material semata. Lalu siapakah diriku? Seterusnya juga mempertanyakan siapa dirimu-dirimu dan diriku-diriku yang lain. Pendidikan kita saat ini banyak kehilangan orientasi tentang “diri-ku” dan “dirimu” yang sejati.
Pendidikan sebatas diri-ku dan diri-mu yang semu menjadi dangkal kualitasnya. Pendidikan banyak terjebak hanya pada bagian luar/peripheral saja belum menyentuh bagian inti/dalam. Bahkan sengaja mengabaikan dan menganggap itu bukan hal esensial. Sehingga pendidikan tanpa pemahaman Who am I menjadi kehilangan makna esensial, menjerumuskan, meyedihkan, tidak memerdekakan. Pendidikan harus mulai memberi fokus perhatian kepada hal-hal inti sebagai “core”, baru kemudian memperhatikan bagian luar. Tidak seperti “donat” bolong didalam pejal di lingkaran luar saja. Sedari dulu dan seterusnya pendidikan pasti adalah persoalan manusia dan kemanusiaannya dengan seluruh rantai budayanya. Pendidikan harusnya memanusiakan manusia. Pendidikan mengantarkan penemuan diri-ku sejati. Disinilah pentingnya peran guru sebagai transformator dari gelap menuju terang. Memahami diri-ku bisa menggunakan filosofi “alam semesta/makrokosmos termasuk kedalam diri manusia mikrokosmos Manunggalnya zat resapan Tuhan/Allah kedalam badan wadag manusia menimbulkan unsur baru yang disebut dengan prana atau kekuatan berupa bayu sabda dan idep.
E. PEMUDA DI ERAH PEMBANGUNAN : CATATAN PENUTUP
Pada zaman peperangan dahulu, Sumpah Pemuda dijadikan awal perjuangan bagi pemuda agar bersatu merebut kemerdekaan dan terbebas dari kemiskinan dan kebodohan. Namun semangat patriotisme dan nasionalisme di kalangan generasi muda sekarang mulai luntur. Padahal generasi muda tidak perlu lagi memegang senjata atau bambu runcing untuk berjuang melawan penjajah. Indonesia yang berusia hampir mendekati satu abad dihitung dari hari Sumpah Pemuda, maka janganlah disia-siakan. Generasi muda hanya tinggal mengisi kemerdekaan dengan pembangunan dan pendidikan. Namun begitu mudahnya perselisihan batas wilayah, peperangan antarsuku, tawuran pelajar, mahasiswa, mudahnya emosi sebagian masyarakat, sikap toleran dan saling menghormati mulai pudar. Setiap hari kita saksikan di media massa, tidak sedikit pemuda yang terjerumus ke dalam lembah penyalahgunaan narkoba, seks bebas, tawuran antar pelajar, aksi kriminal dan penyimpangan lainnya sudah menjadi kebanggaan tersendiri bagi sebagian para pemuda. Kejadian seperti ini tidak terlepas dari kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasional.
Pemerintah kita seakan-akan melepas tanggung jawabnya kepada pihak lain untuk mengurus pendidikan. Dampaknya adalah pendidikan sekarang beralih fungsi dari institusi yang menanamkan nilai-nilai moral menjadi lahan basah untuk mencari keuntungan melalui privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Pendidikan tidak hanya terfokus pada mencerdaskan intelektual semata-mata, namun harus berimbang antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Jika sistem pendidikan kita masih sama dilakukan oleh pemerintah Indonesia tanpa adanya koreksi dan evaluasi secara komprehensif, maka sikap instan dan pragmatisme akan menjadi jalan hidup dan wahana perjuangan bagi lembaga pendidikan yang bernama sekolah. Di era kemerdekaan ini, peran pemuda dan pemudi harus terus ditingkatkan dengan mengisi kegiatan-kegiatan positif melalui pembangunan, seperti menempuh pendidikan setinggi-tingginya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sedangkan untuk menangkal pengaruh negatif akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, maka generasi muda wajib membekali diri dengan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esah. Banyak tugas dan pekerjaan rumah di depan mata yang harus dilaksanakan dan diselesaikan secara arif dan bijaksana. Para pemuda sebagai garda terdepan penerus bangsa harus memegang teguh amanat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena ke depan akan muncul “tantangan baru” sebagai akibat pesatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahun, teknologi informasi dan komunikasi serta perkembangan dinamika masyarakat yang makin kompleks. Para pemuda harus siap bekerja dalam iklim keterbukaan, yakni kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas serta memiliki daya respon yang tinggi. Oleh karena itu, setiap pemuda harus membekali diri dengan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang baik, sekaligus dapat memberikan teladan bagi masyarakat. Tiada kata berhenti untuk mengabdi kepada masyarakat dan optimisme pembangunan harus terus berjalan dan berbenah diri hingga waktu jualah yang mengakhirinya nanti. Hendaknya setiap pemuda Indonesia berkata apa yang bisa kamu berikan kepada negara dan janganlah sekali-kali berkata apa yang bisa kita ambil dari negara ini
Peringatan hari Sumpah Pemuda Tahun 2021 merupakan momentum untuk merenungkan dan mengevaluasi kembali perjuangan bangsa ini. Di mana pada tanggal 28
Oktober 1928 yang silam, para pemuda bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Tumpah darah yang satu, bangsa yang satu, bahasa yang satu, yaitu Indonesia.
93 tahun perjuangan pemuda merdeka lepas dari belenggu penjajahan, para pemuda Indonesia harus bangkit dengan niat yang tulus untuk mengisi kemerdekaan ini dengan pembangunan di segala bidang guna meningkatkan kesejahteraan, kemajuan, dan kemakmuran bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, memahami dengan baik dan benar akan makna peringatan Sumpah Pemuda adalah modal dasar meneruskan cita-cita bangsa menuju kejayaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, R. Moh. 2005 (1961). Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKiS
Anderson, Ben. 1988. Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa
1944-1946. Yakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hanifah Abu, Renungan tentang Sumpah Pemuda, dalam Bunga Rampai Soempah
Pemoeda. Yakarta: Balai Pustaka. Koran P.I.No.8 tahun 1928.
Krishna, Anand, 2005. Sebuah Refleksi Sejarah Indonesia Jaya, Segemilang Apapun Masa
LaluMu, Masa DepanMu Lebih Cemerlang. Yakarta: One Earth
Yayasan Gedung Bersejarah, 45 tahun Sumpah Pemuda, 1974.