Kisah sejarah ini terjadi di pulau Ambon pada saat berlangsungnya perang Hitu II atau yang dikenal dengan perang Kapahaha (1643-1646).
Perang Kapahaha terjadi di jazirah Hitu bagian utara pulau Ambon. Perang kapahaha ini di pimpin oleh seorang Kapitan Telukabessi (Ahmad Leakawa). Pusat pertahanan Telukabessy ialah benteng Kapahaha yang terletak diatas bukit kapahaha,yaitu sebuah bukit batu yang terjal,terletak diantara gunung salahutu dan petuanan negeri Morella sebelah utara pulau Ambon. istilah Kapahaha sendiri mempunyai arti Kapa=tajam Haha =atas ,yang mempunyai makna tempat tinggi yang curam.
Dalam peristiwa heroik itu ada figure seorang perempuan yang berhati ibu, berbelas kasih, bermandikan cinta abadi kepada sang suami sampai rela berkorban demi sebuah pengampunan menuju perdamaian dari sebuah peperangan.
Alkisah, jauh di masa penjajahan Belanda ada sebuah kapal yang hampir karam diterpa ombak dan gelombang di perairan Hitu. Ternyata kapal itu Adalah sebuah kapal Belanda yang memuat prajurit-prajurit Belanda yang sedang melakukan pelayaran di perairan Hitu. Kapal semakin dipermaiankan gelombang laut dan mulai tenggelam. Semua penumpang menjadi panik dan ditengah-tengah kepanikan serta keganasan laut Hitu, Letnan Verheyjden menurunkan bayi perempuannya, Lorine di dalam sebuah keranjang. Satu-satunya bekal yang ada pada sang bayi adalah sebuah kalung mungil yang dipasang pada leher bayi dengan liontin kecil bertuliskan Verheyjden. Lorine Verheyjden anak sang Letnan terombang-ambing dipermainkan gelombang dan akhirnya keranjang itu tiba di tepi pantai Hitu. Tak disangka-sangka seorang penduduk Hitu menemukan keranjang itu. Karena jatuh kasihan, sang bayi dibawa pulang dan menjadikannya sebagai anak. Anak belanda itu diberi nama Chotijah (Putija).
Chotijah tumbuh dalam lingkungan suasana perjuangan, suasana perang melawan Belanda. Keadaan ini turut mempengaruhi jiwa dan pribadi sang putri. Demikian juga prinsip-prinsip hidup saling berbagi rasa, saling menghargai dan menghormati juga menjadi bagian dari hidupnya. Semakin hari Chotijah tumbuh semaikin besar dan ia memeiliki bentuk fisik yang sedikit berbeda dengan teman-teman sebayanya. Postur tubuhnya tinggi dan semampai memeiliki warna kulit dan rambut kemerah-merahan dan memiliki paras yang cantik. Ia diibaratkan bagai setangkai mawar merah di tengah-tengah belukar.
ketika besar Chotijah menjadi idaman setiap pemuda namun pada akhirnya pilihannya jatuh pada Telukabessy salah seorang pembantu Kakialy. Telukabessy adalah seorang yang berasal dari keluarga besar yang biasanya melahirkan tokoh tanah Hitu. Sejak dahulu ia merupakan tokoh yang berhubungan dengan ketentaraan. Tulakabessy bergelar Tubanbesi.
Ketika Kakialy tewas terbunuh akibat penghianatan, Tulakabessy lalu mengambil alih komando dan melanjutkan Perang Hitu II (1643-1646) dengan membangun benteng pertahanan di Kapahaha. Chotijah telah menjadi ibu dari seorang putra itu, kini membantu sang suami dalam perang itu. Dengan semangat yang tinggi Chotijah mendampingi suami untuk menghimpun kekuatan, melakukan aksi-aksi perlawanan menentang Belanda. Sambil membesarkan anaknya Chotijah turut berjuang di tengah-tengah peperangan itu. Bersama-sama dengan kaumnya mereka memberi semangat kepada para pejuang Hitu bahkan turun tangan bahu membahu bekerja untuk mengumpulkan batu-batu, balok-balok kayu membangun benteng pertahan benteng kapahaha. Sungguh mengagumkan tak kalah dengan kaum laki-laki.
benteng kapahaha adalah benteng pertahanan yang sulit ditembus. Letaknya di puncak bukit batu-batu yang tajam. Jalan menuju benteng adalah sangat sukar dan sangat rahasia. Hanya penghuni benteng saja yang dapat mengetahui jalan tersebut. Beberapa kali pasukan Belanda mencoba mencari jalan masuk ke benteng itu tetapi sia-sia. Mereka hanya mampu memblokade jalan-jalan di lingkungan sekitar benteng. Penghuni benteng tetetap berada di dalam benteng sambil sekali-kali melakukan taktik gerilya.
Dan Helai-helai mawar itu berguguran
Pada suatu hari di pagi-pagi buta tepatnya pada tanggal 27 Juli 1646 saat penghuni benteng sedang tidur nyenyak tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang perempuan tua.. wolandaa.. wolandaa.. jeritan itu membangun seisi benteng, suasana yang sunyi itu cepat berubah akibat teriakan sanga ibu yang kaget karena melihat pasukan Belanda telah berada di dalam benteng dengan bedil dan pedang terhunus. Seluruh benteng kapahaha terjaga, apa mau dikata musuh telah berada di dalam benteng. Telukabessy dan pasukannya terjaga dan berusaha melakukan perlawanan dengan sekuat tenaga.
Tidak lama kemudian terdengar bunyi tembakan senjata dan adu pedang diiringi jeritan kesakitan silih berganti karena terpotong dan terjangan timah panas yang menembus kulit. Perang tandingpun berlangsung antara hidup dan mati. Pasukan Telukabessy terdesak hebat kaum perempuan berusaha menyelamatkan diri dan anak-anak sementara yang kuat mengadu nyawa. Ditengah-tengah suasana yang kritis itu Telukabessy pantang menyerah, Ia tetap berada dengan pasukannya. Tiba-tiba saja sebutir timah panas mengarah ke dada Telukabessy. Disaat-saat yang genting itu Chotija sang istri tercinta berdiri menghadang datangnya peluru yang siap menembus dada sang suami. Ia menjadi perisai untuk suami tercinta. Peluru itu menembus dada Chotijah. “Mau tahu? siapa yang menembak Tulukabessy?” ternyata ia adalah Verheyjden ayah dari Chotijah, mertua Telukabessy sendiri. Chotijah sang putri jatuh terkulai darah segar keluar dari dada dan membasahi pakaian dan menetes terus ke atas tanah.
Verheyjden menjadi kaget luar biasa ketika melihat seorang perempuan yang berperawakan lain dengan gagah berani kini bersimbah darah di hadapannya dan perempuan itu menggunakan kalung dengan liontin persis seperti yang ditinggalkan pada leher Lorine kecil di dalam keranjang beberapa puluh tahun yang lalu. Tidak salah lagi ini Lorine anakku kata Verheyjden, Namun nasib merubah segalanya ia dulu berusaha menyelamatkan anaknya dari kematian kini dia sendiri yang membunuh putrinya. Ia yang berseragam militer memeliki tugas menghancurkan Telukabessy dan pengikut-pengikutnya harus berhadapan dengan rasa cinta kepada sang anak tercinta harus menghentikan perlawanannya. Istri Telukabessy yang kini kaum pemberontak. Pada detik-detik terakhir dalam suasana hati yang terkoyak luka ia meraih dan memeluk putrinya. Chotijah kini terbaring dipangkuan sang ayah, air mata tumpah berderai ditingkahi oleh dua hati yang berbicara. Sebelum menghembus nafasnya yang terakhir Chotijah menyerahkan putranya kepada sang kakek dengan permohonan jangan lagi ada dendam di antara kita tegasya, jangan bunuh suamiku, ambil saja anakku.
Selamatkanlah anakku dia juga darah dagingmu . aduuh …piluuu.. bagai disayat sembilu sang penguasa Verheyjden menadah tangannya menerima sang cucu sambil menyaksikan dengan mata kepala sendiri putri kecilnya yang berthun-tahun dicari sekarang telah menjadi seorang ibu kini bergulat menghadapi maut akibat peluru dari bedilnya… Dan langit berubah mendung, helai-helai mawarpun jatuh berguguran membaui ibu pertiwi. Chotijah gugur sudah namun semangatnya dan luapan cintanya kepada sang suami dan anak sampai detik-detik terakhir hayatnya tak pernah sirna, ia mencoba menjadi pendamai dalam konflik diantara ayah dan suami ia berkorban demi sebuah perdamaian .
Dalam peristiwa ini sang suami Puitija Kapitan Telukabesy berhasil meloloskan diri, namun pada tanggal 10 Agustus 1946 beliau dengan jantan menyerahkan diri, kemudian beliau diadili hukuman gantung di halaman benteng Victoria di pagi hari tanggal 13 September di tahun yang sama.
Untuk mengenangkan amanat terakhir, Sang Kapitan berseru
Atumu Tapulu Himabuku Peia Maahunia Lisa Kapahaha Linia
Ku Kirimkan Sanjungan Hormat Untuk Kampung Halamanku Serta Pejuang-Pejuang Kapahaha Yang Tercinta
Pamasun Ina Luhu Runa Yana Walia
Ibuku Ina Luhu dan Semua Keluargaku Kupersembahkan Keresahanmu
Nusai Kakiela Kapa Lima Kapa Yai
Tetap Pertahankan Kemerdekaan Bangsa Dan Tanah Air Serta Setia Kepada Rakyat
Meu Rula Molo Sahi Yana Walia
Biar korban jiwa dan dilenyapkan, akan tumbuh generasi penerus
Cerita sejarah ini adalah contoh yang harus dihayati oleh kita orang Maluku saat ini. Cerita Ini merupakan kenangan untuk rakyat dari seorang perempuan yang memberikan hidupnya untuk sebuah perdamaian dan sebagai generasi yang hidup di alam kemerdekaan maknailah sejarah ini, jangan menjadi pengorbanan mereka sia-sia.
Sumber
BPNB Maluku
Santy Nurlette, S.Sos, Pamong Budaya Pertama