Musik Yangere merupakan salah satu hasil adaptasi budaya dari musik bangsa Eropa, yakni Portugis. Seni musik bangsa Portugis kala itu pada awal abad ke-16 ialah balada yang dimainkan dengan alat-alat musik seperti biola, banyo, gitar, rebana dan cello. Musik ini kemudian diadaptasi oleh penduduk setempat dengan menggunakan bahan-bahan yang ada dari alam sekitar untuk membuat alat-alat musik. Mata pencaharian mayoritas penduduk saat itu ialah bercocok tanam atau berkebun. Ketika mereka hendak membuka kebun baru, mereka menebang pohon kayu Telur atau disebut juga Pohon Pule yang nama botaninya adalah Alstonia scholaris. Kayu dari pohon inilah yang digunakan untuk membuat alat musik bas kasteh atau tali dua. Kayu ini dipilih karena ia mudah diukir, ringan dan dapat menghasilkan suara yang cukup sempurna. Adapun nama lokal dari pohon atau kayu Puleh adalah Yangere di Tobelo, sehingga musik inipun dinamakan musik Yangere.
Pada awalnya musik Yangere dimainkan oleh sekelompok orang pada saat malam di bawah terang bulan ketika warga kampung tengah beristirahat dari aktivitas berkebun. Pada sekitar tahun 80-an musik Yangere hanya didengar di pesta-pesta kebun pada saat panen atau ketika sekelompok pemuda duduk berkumpul di sudut-sudut jalan kampung. Pada awal tahun 90-an musik Yangere mulai ditampilkan pada acara-acara resmi seperti peringatan hari-hari besar atau acara-acara pertemuan. Sejak saat itu musik Yangere mulai diadaptasi untuk mengiringi lagu-lagu pujian pada ritual keagamaan.
Selain Kota Tobelo, musik Yangere juga dapat ditemui di beberapa daerah lain. Daerah-daerah persebaran musik Yangere antara lain di seluruh pelosok Halmahera Utara, Kecamatan Galela Selatan, Kecamatan Ibu, Sahu dan Jailolo. Dalam persebarannya nama Yengere pun turut dipakai di daerah-daerah tersebut.
Instrumen pendukung musik Yangere terdiri dari Bas Kasteh atau Tali Dua, Hitara Lamoko, Koroncongan, Kolole, Loca-loca dan Tam-tam. Sedangkan, sumber melodi adalah vocal dari orang-orang yang menyanyikan lagu dalam musik Yangere. Instrumen-instrumen tersebut pada umumnya terbuat dari kayu Yengere atau Pohon Pule, terkecuali loca-loca atau ceker.
Bas Kasteh atau Tali Dua merupakan alat musik yang ruang resonansinya berbentuk persegi dan kemudian diberi gagang atau laras dan dipasangkan tali atau senar yang biasa digunakan untuk memancing. Bas Kasteh atau Tali Dua dimainkan dengan cara dipetik atau dipukul. Bas Kasteh dipukul menggunakan tongkat gogohara yang terbuat dari rotan atau kayu berukuran kecil dan panjangnya disesuaikan kebutuhan.
Kolole merupakan alat musik yang berbentuk menyeruapai Juk dan berfungsi sebagai pengiring satu. Kolole memiliki 3 buah tali senar dan cara memainkannya ialah dengan dipetik.
Koroncongan berbentuk seperti Kolole dan juga memiliki tiga tali senar dan dimainkan dengan cara dipetik, namun ukuran alat musik Koroncongan lebih besar dari Kolole.
Hitaara Lamoko memiliki bentuk menyerupai Kolole dan Koroncongan, hanya saja bentuknya lebih besar. Hitaara Lamoko memiliki lima tali atau senar dan dimainkan dengan cara dipetik.
Berbeda dengan instrumen pengiring lainnya, loca-loca merupakan instrumen yang terbuat dari buah kelapa yang sudah tua, kemudian dikeluarkan isi kelapanya dan dikeringkan, setelah itu dipasang tangkai yang terbuat dari kayu. Bentuk alat musik ini menyerupai Kapuraca. Ruang resonansi loca-loca diisi dengan buah tasbih kering atau mumurutu. Cara memainkannya ialah tangkainya digenggam dengan kedua tangan lalu digetarkan sesuai irama musik yang diinginkan.
Alat musik berikutnya adalah tam-tam, yang merupakan salah satu alat perkusi pada musik Yangere. Tam-tam dimainkan seperti halnya dram.
Selain instrumen-instrumen pengiring yang telah disebutkan tadi, terdapat pula instrumen tambahan lainnya yakni tifa besar dan kecil serta suling bambu. Instrumen tambahan ini berfungsi layaknya instrumen lainnya yakni sebagai penyelaras satu kesatuan musik pengiring Yangere.
Adapun bahan pokok pembuatan instrumen-instrumen musik Yangere adalah kayu Yangere atau kayu Telur atau disebut juga kayu Pohon Pule. Pohon ini tumbuh hampir diseluruh wilayah Maluku dan Maluku Utara. Kelebihan kayu Yangere adalah mudah diukir, ringan dan dapat menghasilkan suara yang cukup sempurna.
Proses pembuatan instrumen-instrumen musik tersebut yakni ketika kayu Yangere masih dalam keadaan mentah atau belum kering. Hal ini dikarenakan kayu Yangere atau kayu Telur ini sangat mudah pecah jika sudah kering.
Musik Yangere mengandung nilai sosial yakni kebersamaan atau gotong royong. Musik Yangere awalnya merupakan musik rakyat yang dimainkan untuk melepas lelah sehabis berkebun atau saat sedang santai di sudut-sudut jalan. Kebersamaan pun terjalin tatkala memainkan alat-alat musik Yangere yang merupakan suatu perpaduan dari alat-alat musik yang berbeda-beda disertai vokal para penyanyi. Musik Yangere juga mengandung nilai estetika yakni kreativitas para pemain dan penyanyi untuk menciptakan atau menggubah lagu melalui alat-alat musik Yangere sehingga dapat dinikmati dan menjadi sarana hiburan masyarakat.
(Penulis: TIM Perekaman WBTB Musik Yangere)