Pela dan Gandong : Ide Dialog Budaya 2017
Salah satu hal menarik yang perlu di catat adalah bahwa pasca konflik Maluku tahun 1999-2002, ada begitu banyak lagu daerah Maluku yang mengambarkan nilai-nilai hidup persaudaraan di antara orang Maluku yang di potret dari hubungan pela dan gandong. Konsep; hidup orang Basudara, Potong di kuku rasa di daging, Ale Rasa Beta Rasa, Sagu Salempeng di pata dua, Ain ne ain, Kalwedo, Kidabela, Sitakaka walike dan lain sebagainya adalah konten lokal yang di kemas dalam tradisi harmonisasi orang basudara di Maluku. Pela dan Gandong telah menjadi pranata sosial yang berkembang sebagai suatu perekat hubungan sosial di antara satu negeri dan negeri lain baik yang beragama Islam maupun negeri yang beragama Kristen. Oleh karena itu Pela dan Gandong sangat berfungsi dalam mengatur sistem interaksi sosial masyarakat adat yang melampaui berbagai bidang. Dieter Bartles, antropolog Amerika yang meneliti pela di Maluku dan mendefinisikan pela sebagai model persahabatan atau sistem persaudaraan, atau sistem persekutuan yang di kembangkan antar seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih. Ikatan sistem tersebut telah di tetapkan oleh leluhur dalam keadaan khusus dengan hak-hak dan kewajiban tertentu yang di setujui bersama. Bartles melihat pela sebagai kesepakatan perjanjian sebuah sistem sosial yang terjadi tanpa mempertimbangkan aspek lain. Yang terpenting adalah perasudaraan yang telah di ikat. Pengertian-pengertian di atas memposiskan saudara pela pada struktur sosial yang paling tinggi dan terhormat melebihi hubungan saudara kandung yang bersifat biologis.
Salah satu contoh pada relasi pela adalah Negeri Passo-Batumerah yang beragama Islam dan Kristen. Hubungan ini terjadi dari peristiwa kecelakaan di laut yang di alami kora-kora di negeri Passo yang hampir tenggelam. Saat itu orang Batumerah (hatukau) datang membantu dan terselematkan dari situ diangkat sumpah menjadi saudara pela. Kecerdasan leluhur Maluku dalam membangun persaudaraan atasa nama perbedaan begitu kuat di hingga Maluku menempatkan konsep persaudaraan atas nama toleransi menjadikan Maluku sebagai miniatur keberagaman di Indonesia. Keunggulan budaya pela dan gandong tentu telah menjadi simbol keperkasaan orang basudara di Maluku. Ikon kebudayaan ini menjadi rapuh seketika ketika konflik Maluku 1999. Namun kini Maluku kembali bangkit dengan semangat pela dan gandong untuk menyelesaikan sendiri permasalahan di Maluku. Orang Basudara mengisyaratkan adanya perbedaan yang telah bersatu dalam hubungan kekerabatan. Pela dan Gandong telah membentuk budaya rukun yang berazaskan kekerabatan adi-kaka, bongso, dengan berpegangan pada sumpah tete nene moyang. Pela dan gandong telah menjadi ikon perdamaian dengan memposisikan Maluku sebagai model laboratorium pedamaian di Indoensia.
Prinsipnya Kegiatan Dialog Budaya adalah merupakan bentuk komunikasi sosial yang medialogkan berbagai isu-isu kebudayaan lokal yang tentunya memberi perspektif lebih pada kebudayaan Maluku. Pada Tahun ini program Dialog Budaya di lakasanakan di Kota Ambon dengan mengetengahkan isu ketahanan Budaya lokal Pela dan Gandong sebagai benteng terakhir dari peradaban orang basudara di Maluku.
Sehingga kegiatan ini bertujuan untuk :
- mengetahui potensi budaya pela dan gandong bagi harmonisasi kehidupan orang basudara di Maluku
- mewujudkan kesadaran sosial generasi muda akan budaya lokal pela dan gandong bagi kehidupan sosial orang basudara di Maluku
- meningkatkan pola hidup bersama dengan mempedomani nilai budaya pela dan gandong bagi kehidupan bersama di Kota Ambon
- terciptanya pelestarian budaya pela dan gandong di Maluku
Adapun tema yang di angkat pada kegiatan dialog budaya tahun ini adalah Revitalisasi Nilai Budaya Pela Dan Gandong, Harmoni Orang Basudara Di Maluku tema ini memiliki dasar argumentasi bahwa keberadaan pela dan gandong di Maluku, telah merangkai sejumlah potensi sumber daya budaya yang mengikat persaudaraan melampaui negeri, agama dan sekat-sekat egoisme masyarakat Maluku. Pela dan Gandong menjadi konsep komunikasi orang basudara di Maluku dalam menyelesaikan konflik sosial. Kecerdasan ini adalah warisan leluhur yang tetap harus di jaga dan dilestarikan. Substansi tema ini memberi kekuatan bahwa perbedaan bukan lagi di beda-bedakan karena pela dan gandong mengikat kekerabatan orang basudara di Maluku. Narasumber dalam Kegiatan Dialog budaya Daerah Maluku 2017 adalah Dr Paulus Koritelu, M.Si (Dosen Sosiologi Universitas Pattimura dengan judul materi Sagu Salempeng Di Pata Dua : Makna Dibalik Orang Basudara Di Maluku. Dr Abidin Wakano ( Dosen STAIN Ambon dan Ketua MUI Maluku) Pela dan Gandong : Simbol Komunikasi Orang Basudara Di Maluku.
Peserta Dialog Budaya Daerah Maluku 2017 terdiri dari akademisi, mahasiswa sejarah dan sosiologi Universitas Pattimura, para Guru Sejarah dan Sosiologi SMA, SMK, MA se- Kota Ambon, Peneliti dan teknis Balai Pelestarian Nilai Budaya Maluku, Balai Arkeologi Ambon, Kantor Bahasa Provinsi Maluku dan Dinas Pendidikan Kota dan Provinsi, Pariwisata Kota dan Provinsi Museum Siwalima Maluku, Taman Budaya yang semuanya berjumlah 100 orang .
Keunggulan Budaya Pela Dan Gandong : Memetik Makna Di Balik Dialog Budaya 2017
Kecerdasan leluhur Maluku dalam membangun persaudaraan atasa nama perbedaan begitu kuat di hingga Maluku menempatkan konsep persaudaraan atas nama tolerasi menjadikan Maluku sebagai miniatur keberagaman di Indonesia. karena keunggulan budaya pela dan gandong tentu telah menjadi simbol keperkasaan orang basudara di Maluku. Ikon kebudayaan ini menjadi rapuh seketika ketika konflik Maluku 1999. Namun kini Maluku kembali bangkit dengan semagat pela dan gandong untuk menyelesaikan sendiri permasalahan di Maluku. Orang Basudara mengisyaratkan adanya perbedaan yang telah bersatu dalam hubungan kekerabatan tersebut. Apapun perbedaan namanya tentang kebudayaan pela di Maluku, namun secara konfrehensif kebudayaan pela yang di bicarakan telah banyak mengakomodir keterwakilan kekerabatan masyarakat di Maluku dalam proses penyelesaian konflik. Keunggulan budaya pela dan Gandong di Maluku di lihat bukan pada porsi wilayah administrasi semata namun makna esensi dari pela dan gandong itu sendiri. Pela dan gandong memiliki keunggulan kebudayaan yang di sebutkan ada juga sebagai budaya rukun atau damai yang berasas kekerabatan dalam konsep local wisdom (kearifan lokal) yang murni muncul dan digagas dari kecerdasan leluhur orang Maluku.
Refleksi nilai budaya pela dan gandong telah membentuk budaya rukun yang berasaskan kekerabatan adi-kaka, bongso, dengan berpegangan pada sumpah tete nene moyang. Pela telah menjadi ikon perdamaian dengan memposisikan Maluku sebagai model laboratorium perdamaian di Indoensia. Nilai-nilai tersebut tentu di munculkan antara lain :
- Adanya semangat Tolong-Menolong yang sangat Kuat. Apabila ada suatu pekerjaan pada suatu negeri yang terikat hubungan pela misalnya pekerjaaan memperbaiki atau membangun masjid dan gereja atau baileu rumah adat, wajib hukumnya untuk memberitahu negeri kerabatnya dan negeri kerabat yang mengetahui harus membantunya. Hal ini menandakan adanya rasa kepemilikan.
- Adanya Hak Istimewa. Dalam hubngan kekerabatan dengan negeri yang berpela memiliki hak istimewa artinya memiliki hak prioritas dalam aspek apapun dan hal ini telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat di Maluku.
- Adanya Kerukunan Beragama. Dalam berbagai aktivitas komunal yang membutuhkan pengerahan tenaga dari satu negeri yang berkerabat pela untuk kegiatan pembangunan masjid maupun gereja bahkan tidak segan-segan seluruh ramuan bangunan di tanggung oleh negeri yang berpela tersebut. Ketika Indonesia membicarakan toleransi umat beragama, di Maluku sudah mempraktekannya. Budaya pela mengisyaratkan adanya saling percaya sebagai bangunan sosial orang basudara salam-sarane di Maluku.
- Solidaritas Tanpa Pamrih. Nilai ini terbangun dalam saling membantu satu sama lain tanpa pamrih. Solidaritas ini di bangun atas dasar keyakinan adanya orang basudara.
- Hormat Kepada Semua Kehidupan. Semua masyarakat harus hormat kepada kehidupan, karena itu tidak boleh ada diskriminasi, kebencian, fitnah dan marginalisasi suatu kelompok. Karena adanya bertentangan dengan nilai budaya pela dan gandong di Maluku.
- Dialog Orang Basudara. Dialog dalam pela dan gandong di lakukan secara elegan tanpa ada penghalang. Dalam dialog itu, seorang bersedia di tegur, tanpa harus menjawab dengan kasar. Siap dimarahi, tanpa harus dendam. Dialog seperti ini dilakukan tanpa harus takut dan curiga. Suasana dialog yang terbuka karena adanya nilai orang basudara itu sendiri. (Oleh: Mezak Wakim, S.Pd)