Usaha Sagu yang Bersebati di Lingga

0
1141

Oleh:
M Fadlillah
(Pemerhati Sejarah Lingga)

Di pulau Lingga akan mudah ditemui pohon-pohon sagu yang tumbuh subur di dekat pemukiman penduduk, hingga sampai jauh ke dalam hutan. Sagu sejak lama telah menjadi bagian dari sumber mata pencaharian rakyat. Sagu dijadikan barang dagangan yang menguntungkan untuk dijual di dalam maupun luar daerah. Di masa Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812), sagu telah menjadi barang dagangan yang menguntungkan di Lingga.

Untuk mempererat hubungan persahabatan, Sultan Mahmud Riayat Syah pernah mengirimkan hadiah delapan ratus kantong sagu kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda P.G. van Overstraten di Batavia. Dalam penutup suratnya yang bertarikh 27 Ramadhan 1212 (15 Maret 1798) dinyatakan “Suatu pun tiada ada tanda hayati hanyalah kain Cina Kantun sepasang dan gading sepasang dan lilin dua pikul dan payung Cina sepasang dan sagu dualapan ratus kantong tiada ada dengan sepertinya melainkan karena menyatakan tulus ikhlas sahaja.” (Mu’Jizah, 2009:30). Pada tahun berikutnya Sultan Mahmud mengirimkan lagi sagu sebanyak dua puluh pikul kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Di zaman Kerajaan Lingga-Riau usaha sagu, memberikan keuntungan pada pemasukan cukai. Di masa awal pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, pada 1 Desember 1857 disepakati bersama Belanda tentang cukai yang berlaku di Lingga-Riau. Masa itu tiap-tiap seratus tampin sagu yang dibawa keluar dari Lingga dikenakan cukai senilai tiga puluh sen setengah. Di samping usaha sagu yang telah berkembang, untuk meningkatkan perekonomian rakyat dan tidak bergantung dengan beras dari luar, Sultan Sulaiman kabarnya mengusahakan padi di Daik. Sawah yang dibuka berjarak lebih kurang dua ratus meter dari sungai Tanda. Menurut tulisan Tengku Muhammad Saleh Damnah (1935), Orang dari Kalimantan dan Bogor dibawa ke Lingga untuk mengusahakan penanaman padi. Akhirnya usaha penanaman padi gagal dan Sultan beralih ke usaha pengembangan.

Sultan secara lansung melibatkan diri pada usaha perdagangan sagu dan masyarakat Lingga juga memperbanyak penanaman pohon sagu. Memperbanyak penanaman pohon sagu tentunya mengakibatkan bertambah luasnya lahan dan menambah hasil produksi. Usaha perluasan lahan tentunya berhasil, karena kondisi tanah yang cocok untuk ditanami sagu. Untuk mendukung usahanya, Sultan juga mendirikan pabrik di dekat tepi sungai Daik, yang berdekatan dengan wilayah Robat. Tapak pabrik sagu Sultan masih bisa disaksikan sampai ke hari ini. Oleh pemerintah Kabupaten Lingga, tapak pabrik sagu Sultan ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Sultan juga mempunyai kapal kargo untuk membawa sagu ke luar daerah.

Di masa itu aturan pertanahan Kerajaan Lingga-Riau telah berjalan baik. Kerajaan juga memerlukan pemasukan cukai dari lahan-lahan yang dimiliki atau dibuka sebagai perkebunan. Untuk melindungi rakyat dari sengketa, perampasan secara paksa dan memudahkan urusan pemungutan cukai, rakyat yang ingin memiliki lahan perkebunan perlu mendapatkan izin dari Kerajaan. Para pemilik lahan yang telah diberi izin, akan dikaruniakan grant tanda bukti kepemilikan. Di dalam grant tanda kepemilikan lahan sagu diatur juga tentang denda terhadap orang yang menebang pohon sagu atau pohon lain tanpa izin dari pemilik. Lahan-lahan sagu yang dimiliki rakyat menguntungkan kerajaan, karena pemilik lahan membayar cukai setiap tahun. Keuntungan lainnya kerajaan mendapatkan keuntungan cukai dari hasil sagu yang dibawa keluar dari Lingga.

Usaha sagu telah menggerakkan perekonomian rakyat. Para pemilik lahan mendapatkan keuntungan dari penjualan batang sagu. Sebagian pemilik mengolah sagu untuk dijual di dalam dan luar daerah. Pabrik-pabrik pengolahan sagu yang dimiliki oleh Sultan atau para saudagar menyerap tenaga kerja, sehingga mengurangi angka pengangguran. Untuk mendapatkan keuntungan lain, masyarakat membuat berbagai makanan dari sagu yang diperdagangkan di dalam dan luar daerah. Selain itu, daun sagu yang dijadikan bahan atap rumah menjadi barang dagangan yang menguntungkan.

Perhatian Sultan terhadap usaha perkebunan sagu turut juga memperkuat ketahanan pangan masyarakat Lingga. Sagu bisa dijadikan makanan pokok pengganti beras. Seperti gubal sagu yang bisa dijadikan makanan pokok pengganti nasi. Sagu sebagai makanan pokok pengganti beras berjasa besar di zaman pendudukan Jepang. Menurut cerita orang-orang tua yang pernah hidup di zaman pendudukan Jepang, masa itu sangat sulit mendapatkan beras. Masa itu gubal sagu dijadikan makanan pokok pengganti nasi. Sama seperti nasi, gubal bisa dimakan bersama lauk dan sayur. Sebagian orang Melayu pulau Lingga khususnya orang Daik menyukai gubal yang dimasak dengan campuran parutan kelapa yang agak muda. Campuran kelapa membuat gubal terasa lemak dan sedap dimakan. Lauk gubal yang sangat disukai oleh orang Lingga yakni ikan masak asam pedas dan sambal belacan, ditambah ulam jering dan petai. Ikan yang disukai untuk dimasak asam pedas, yakni seperti ikan pari, hiu, sembilang, jahan, seminyak dan lain-lain. Sambal belacan yang dibuat, ialah dari lada kecil atau cabe rawit, yang ditumbuk lumat dalam lesung batu, dicampur belacan dan garam sebagai penyedap rasa.

Ada hal lain yang menarik tentang gubal jika berhubungan dengan cerita rakyat. Dalam cerita rakyat gubal makanan Orang Barok. Orang Barok salah satu nama suku Orang Laut yang ada di Lingga. Untuk menghormati Orang Barok, orang Melayu memanggil mereka dengan Orang Laut. Penyebutan Barok dianggap merendahkan dan menghina. Menurut cerita rakyat, Raja Barok mengundang empat puluh empat raja yang berasal dari selatan, barat, timur dan utara ke pulau Barok. Tamu yang datang dihidangkan gubal dengan lauk gulai asam pedas. Empat puluh empat raja yang datang bertanya, mengapa dihidangkan dengan makanan seperti itu. Kata Raja Barok, Gubal Sagu dan gulai asam pedas makanan kami.
Setelah mendengar jawaban, Raja yang empat puluh empat tegak berdiri mengambil badik dan menikam Raja Barok. Raja Barok terluka parah, sebelum ajal menjemput dia berpesan kepada Datok Kaya dan empat puluh empat raja, dia berkata Dabo Singkep, Pulau Pelang, dan Daik Lingga jangan tersentuh karena satu keluarga, Jika tersentuh Orang Barok dan Daik Lingga akan musnah. Setelah berpesan, Raja Barok meninggal dunia dan luka tikaman ditubuhnya mengeluarkan darah berwarna putih.

Di masa kini sebagian orang Lingga masih gemar menyantap gubal. Hanya saja gubal tidak dijadikan makanan pokok harian pengganti nasi. Gubal dimakan saat seseorang berselera untuk menyantapnya. Kadang gubal di buat sebagai makanan pendamping nasi saat melakukan gotong-royong. Tidak semua orang bisa membuat gubal dengan baik. Sebagian orang yang kurang faham, akan menghasilkan gubal yang tidak begitu sedap di makan. Gubal juga tidak bisa bertahan lama karena mudah keras atau orang Lingga menyebutnya dengan koyol. Agar lembali lunak dan sedap dimakan, gubal koyol perlu dimasak ulang.

Walau pun tidak semaju dahulu, di masa kini sagu masih jadi bagian dari sumber mata pencaharian sebagian masyarakat Lingga. Di beberapa tempat masih ditemukan usaha pengolahan sagu basah bersih untuk dikirim ke luar daerah. Di Daik, masih berdiri satu pabrik sagu tua yang lazim disebut dengan bangsal sagu yang terletak di Kampung Seranggung. Pabrik ini terletak di tepi sungai Tanda, sebelah kanan arah ke hilir. Pabrik ini di sebut orang sekitar dengan bangsal hilir. Disebut bangsal hilir karena tidak seberapa jauh dari pabrik ini terdapat tapak pabrik lama disebelah kiri sungai arah ke hulu, dan dulunya disebut bangsal hulu.

Pabrik sagu bangsa hilir di Kampung seranggung mengolah sagu menjadi tepung sagu yang sebagian besar dijual ke luar daerah. Pengolahan sagu masih dilakukan secara tradisional. Sagu kotor yang dibeli dari masyarakat oleh pemilik pabrik di olah menjadi sagu bersih. Pengolahan dari sagu kotor menjadi sagu bersih disebut dengan menyalur. Sagu dimasukkan ke dalam wadah besar yang dicampur air. Kemudian di aduk hingga rata, dan air sagu di masukkan pada saluran kayu. Air yang dimasukkan ke dalam saluran mengalir ke saluran yang lebih kecil. Sagu bersih akan mengendap di dasar papan saluran, dan air yang mengalir ke saluran kecil seterusnya menjadi limbah, yang disebut bidat.
Sagu bersih yang mengendap di dasar papan selanjutnya di bawa ke tempat pengeringan. Untuk mengeringkan sagu masih menggunakan cara tradisional. Sagu basah di letakkan di atas tempat pengeringan yang berlantai ubin. Di bawah lantai ada kayu api yang dibakar sebagai pemanas untuk mengeringkan sagu. Di atas tempat pengeringan, pekerja menghancurkan bongkahan sagu basah dan ditebarkan merata di atas lantai. Selanjutnya dalam waktu tertentu sagu basah yang ditebar di atas lantai akan mengering. Sagu yang telah kering selanjutnya di ayak untuk dijadikan tepung.

Di masa kini, diperlukan usaha-usaha tertentu untuk kembali meningkatkan usaha perkebunan sagu. Usaha itu seperti meliputi perluasan lahan sagu dan mencari pasar baru di luar daerah yang membutuhkan sagu bersih. Pengembangan usaha sagu tidak terbatas pada penyediaan bahan baku, tetapi menghidupkan juga usaha kecil masyarakat yang menghasilkan kuliner berbahan sagu. Agar bisa berkembang maju, perlu mencari pasar di luar daerah yang bisa menerima berbagai kuliner berbahan sagu. Usaha-usaha ini tentunya bisa dilaksanakan jika ada kerjasama berbagai pihak, yakni pemerintah, masyarakat, pengusaha dan lain-lain. Sudah sepatutnya sagu di Lingga diberikan perhatian yang bersungguh-sungguh. **