‘Uang Assalamualaikum’ dan Tambang Berkedok Resort

0
443

(Kisah saat jadi wartawan di Lingga (bag.5)

Periode 2006 sampai 2012 adalah masa-masa ramainya penambangan bauksit, biji besi, termasuk timah rakyat di Kabupaten Lingga. Ada belasan perusahaan tambang yang beroperasi. Terbanyak di Kecamatan Singkep Barat, Singkep Selatan, Selayar, Lingga Utara dan Senayang. Puing-puing atau bekas galian bauksit dan biji besi itu masih membekas hingga kini.
*******

Sebelum melakukan proses penambangan, perusahaan tak cukup sekedar mengurus perizin resmi dari pemerintah. Tapi yang tak kalah penting adalah melakukan pendekatan ke masyarakat. Percuma saja izin sudah  dikantongi, masyarakat menolak perusahaan beroperasi. Dalam melakukan pendekatan ke masyarakat dikenallah istilah ‘uang assalamualaikum’. Perusahaan sudah harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Gampang saja menghitungnya.  Kalau di daerah sekitar kawasan pertambangan itu ada ratusan kepala keluarga (KK) yang tinggal, satu KK diberikan misalnya Rp500 ribu sampai Rp1 juta, bahkan lebih. Uang yang harus dibayar cukup besar. Apalagi kalau yang dibayar untuk satu dusun, atau satu desa. Duit assalamualaikum yang dibayar bisa
miliaran.

Tambang belum dimulai, tapi uang ratusan juta sampai miliaran sudah wajib dikeluarkan. Praktek pemberian uang assalamualaikum itu sudah jamak terjadi. Tak jarang
uang assalamualaikum sudah dibayar, namun penambangan tak jadi-jadi karena perizinan dari pemerintah tak kunjung selesai. Duit pun melayang dan ini sudah jadi resiko berbisnis tambang.

Pengusaha tambang juga lihai. Ada-ada saja modusnya. Seperti pernah kejadian penambangan bijih besi berkedok resort di Pulau Temiang, Desa Temiang, Kabupaten Lingga. Perusahaan atas nama PT Bina Perkasa jor-joran promosi dimana-mana. Mereka akan membangun resort yang direncana membangun sejumlah villa di sana. Peletakkan batu pertama pun dilakukan dan dihadiri para pejabat Pemkab Lingga dan DPRD Lingga. Namun, apa yang terjadi bukannya melanjutkan pembangunan usaha pariwisata di sana, perusahaan malah melakukan penambangan bijih besi di lokasi tersebut. Alasannya sederhana, mereka menemukan bijih besi dalam proses pembangunan resort.

Surat izin usaha pertambangan dari Bupati Lingga didapat perusahaan itu. PT Bina Perkasa juga sudah mengantongi surat izin usaha pariwisata. Alhasil, bijih besi pun sudah
diekspor perusahaan itu. Pembangunan resort beserta villa-villanya tak dilanjutkan sampai sekarang. Masalah penambangan bijih besih di Temiang ini heboh sampai kemana-mana.
Proses hukumnya mandek.

Tak hanya tambang bauksit dan bijih besi, laut Lingga juga dikeruk saat itu. Penambangan timah laut juga berjalan. Ada juga sejumlah perusahaan penambang pasir laut
beroperasi. Sederhananya, darat dan laut di Kabupaten Lingga digarap untuk kegiatan pertambangan. Penguasaan lahan di Lingga juga dimonopoli hanya beberapa perusahaan. Di  Pulau Singkep yang begitu luas, ada satu pengusaha yang memiliki lahan yang begitu luas. Lahanyang diperoleh selain dari mengurus perizinan, juga lahan dibeli dari
masyarakat. Sementara, perairan Pulau Singkep juga dimonopoli satu perusahaan yang mengantongi izin kuasa penambangan (KP) timah laut. Alhasil, siapa saja yang akan
berinventasi ke kawasan ini, harus melihat dahulu kondisi penguasaan lahan di daerah ini.

Ironisnya, ramainya perusahaan tambang beroperasi di Lingga pada periode itu, tak memberikan dampak signifikan dalam pendapatan asli daerah (PAD). Sepanjang 2006 sampai  2013, PAD Kabupaten Lingga belum pernah menembus angka Rp20-an miliar. Namun, ada juga sebagian masyarakat menilai tak ada laginya perusahaan tambang beroperasi di Lingga  menjadikan perekonomian Lingga makin suram. Saat tambang beroperasi, masyarakat bisa bekerja di perusahaan. Kalau ada belasan perusahaan tambang beroperasi, cukupbesar  menyerap tenaga kerja.

Dampak lainnya adalah saat tambang beroperasi, tingkat hunian hotel di Lingga, khususnya Dabo cukup bagus. Orang ramai datang untuk berurusan masalah tambang dan menginap di  hotel. Sejumlah karyawan yang levelnya tinggi juga lebih sering tinggal dan menginap di hotel ketimbang di lokasi penambangan.
“Kalau sekarang kami hanya mengharapkan kegiatan pemerintah saja. Jadi tamunya menginap di sini. Kalau tak ada acara, setiap hari terisi 20 kamar saja sudah bagus.
Saat tambang masih ramai, tamu yang datang setiap hari ramai,”kata Yus, Manager Hotel Gapura Singkep, beberapa waktu lalu.

Tambang memang jadi buah simalakama. Dengan kondisi Lingga yang minim lapangan kerja, tambang jadi harapan. Disisi lain, dampak yang diakibatkan tambang, lingkungan rusak total. Tak ada daerah yang maju dan sejahtera karena pertambangan. Malah, daerah bekas tambang banyak mengalami kemunduran. Meskipun ada yang kemudian berhasil bangkit dan menjual wisata bekas tambangnya, seperti halnya Kota Sawahlunto, Sumatra Barat. (bersambung).