Tun Irang, Kisah Dendam Cinta dan Intrik Politik Mengubah Sejarah

0
1110

Mengutip Hasan Junus, dalam khazanah Kerajaan Melayu Riau Lingga yang berkuasa 190 tahun (1722-1912), setidaknya ada tiga tokoh perempuan hebat yang sangat penting peranannya. Bukan hanya mewarnai sejarah dan kejayaan, tetapi juga membuat dan mengubah jalannya sejarah Kerajaan Melayu Riau Lingga, penerus Kemaharajaan Melaka dan Johor.

Tiga wanita hebat itu adalah Tengku Tengah (Tun Irang) yang hidup di era Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1722-1760), Raja Hamidah (Engku Putri) di era Sultan Mahmud Riayat Syah (1760-1812) dan Tengku Embung Fatimah dimasa Sultan Mahmud Muzzafarsyah (1841-1857) dan Sulaiman Badrul Alamsyah (1858-1887). Ketiganya bukan sekedar pembisik melainkan pembuat sejarah dan penentu haluan sejarah Kerajaan Riau Lingga Johor Pahang.

Penulis novel ini Rida K Liamsi memberi judul novelnya: Selak Bidai, Lepak Subang Tun Irang. Terinspirasi dari sepotong teks dalam Tuhfat al Nafis (hal.60): “Kemudian Tengku Tengah atau Tun Irang pun berdiri di pintu selasar, membuka (menyelak) bidai, melepak subang di telinganya, sambil dia berkata: “Hai Raja Bugis, jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupkanlah aib beta anak beranak, adik beradik. Maka, apabila tertutup aib beta semua, maka relalah beta menjadi hamba Raja Bugis”. Kalimat puitis diucapkan seorang bangsawan dihadapan para pendekar dari Luwuk yang sedang dalam pengembaraan.

Novel sejarah ini bercerita tentang sosok Tun Irang. Tengku Tengah yang bernama asli Tun Irang mengubah sejarah Kerajaan Johor Riau Pahang dan Trengganu didetik-detik keruntuhannya. Tahun 1719, Kerajaan Johor diambil alih Raja Kecik, pewaris Kerajaan Johor putra Sultan Mahmudyyah II dan dibesarkan di Pagaruyung. Disinilah peran Tun Irang. Tahun 1712, Raja Kecik berhasil dikalahkan.

Tun Irang berhasil mengubah haluan sejarah dan Kerajaan Johor menjadi kerajaan baru bernama Kerajaan Riau Johor dan Pahang. Tun Irang dengan selak bidai dan lepak subang di telinganya bisa memikat hati Upu-Upu Bugis Luwuk. Bersama abangnya, Tengku Sulaiman dan Tun Abbas, mereka mengalahkan Raja Kecil. Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Johor Lama ke Ulu Riau di Pulau Bintan.

Dendam membara Tun Irang kepada Raja Kecik disebabkan masalah percintaan dan kemudian dendam itu makin memuncak setelah Raja Kecik membunuh Tun Abdul Jalil, Sultan Johor yang merupakan ayah Tun Irang. Luka sejarah bermula setelah Raja Kecik berhasil mengalahkan Tun Abdul Jalil dan Raja Kecik dilantik menjadi Sultan Johor. Tun Abdul Jalil diangkat sebagai bendahara. Dalam merekat hubungan dengan bendaharanya ini, Raja Kecik bersedia menjadikan anak Tun Abdul Jalil sebagai permaisuri. Dipilihlah putri tertua

Tun Abdul Jalil bernama Tun Irang sebagai calon istri. Rencana perkawinan itu gagal karena Raja Kecik terpikat kepada adik bungsu Tun Irang bernama Tengku Kamariah yang jelita. Tun Irang merasa sangat terhina karena pertunangannya dibatalkan, apalagi Raja Kecik kemudian mengawini adik kesayangannya. Dari sinilah bara dendamnya pada Raja Kecik berkobar dan membakar hidupnya. (hal.37).

Tun Irang bersama abangnya, Tengku Sulaiman bersekutu dengan Upu Bugis Bersaudara berhasil mengalahkan Raja Kecik yang juga iparnya. Persekutuan Melayu Bugis itu menjadikan Tengku Sulaiman menjadi sultan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Tun Irang kemudian menikah dengan Daeng Parani, anak tertua dalam lima bersaudara itu. Dendamnya makin membara kepada Raja Kecik karena Daeng Parani tewas dua tahun setelah mereka menikah. Dalam sebuah perang di Kedah, Daeng Parani tertembak senapas pemburas milik Raja Kecik. Saat itu, Daeng Parani bersama istrinya, Tun Irang tinggal di Selangor setelah pindah dari Ulu Riau. Perang Kedah menjadi perang kedua Raja Kecik dengan Upu Bugis bersaudara itu. Pernikahan Daeng Parani dengan Tun Irang melahirkan satu putri bernama Raja Maimunah yang kemudian menjadi istri Temenggung Abdul Jamal. Makamnya ada di Pulau Bulang, Kota Batam.

Sosok Rida

Tua tua keladi, makin tua makin menjadi. Rida K Liamsi (75), sastrawan Riau Kepulauan Riau ini makin menggemari sejarah. Penulis sejarah yang produktif. Ini novel sejarah keempat beliau, Selak Bidai, Lepak Subang Tun Irang (2019). Sebelumnya, Bulang Cahaya (2007), Megat (2016), dan Mahmud Sang Pembangkang (2017). Seperti kata Taufik Ikram Jamil (TIJ), di tangan Rida K Liamsi, sejarah bukan sesuatu yang beku, suatu rentetan masa lalu, tapi memiliki kaitan langsung dengan masa kini.

Rida menyebut karya ini tergolong narrative history (cerita sejarah). Kadang ia menyebut cereka atau cerita rekaan atau fiksi dengan bahan baku sejarah. Ini bukan karya buku sejarah murni (non fiksi) melainkan karya yang lebih cair, lebih populer dan tak terlalu banyak dihuni atau dibebani catatan kaki. Cereka ini bagi penulisnya semacam upaya untuk mendekatkan sejarah pada khalayak muda agar menyukai sejarah dan keluar dari kejenuhan teks yang sesak dan penuh catatan kaki.


Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang
(Sebuah Novel Sejarah)

Penulis : Rida K Liamsi
Kata Pengantar : Taufik Ikram Jamil (Ketika Antar Waktu Dirapat dan Direkat*)
Cetakan Pertama : Februari 2019
Penerbit : TareBooks(Taretan Sedaya International)