Tradisi Togak Tonggol di Pelalawan Diteliti

0
963
Tradisi togak tonggol di Langgam, Pelalawan (Riau)

Masyarakat Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan memiliki tradisi yang unik memasuki bulan Ramadhan. Namanya tonggak tonggol yang kegiatannya disejalankan dengan balimau kasai yang di Pelalawan lebih dikenal dengan nama balimau potang
mogang.

Togak tonggol dapat diartikan sebuah tradisi menegakkan lambang kebesaran suku perkauman yang disertai dengan upacara ritual dengan melibatkan pemuka adat dan masyarakat persukuan. Dalam kegiatan ini, kalau satu suku terjadi permasalahan
maka tonggol atau lambang kebesaran suku mereka tak boleh ditegakkan atau dinaikkan. Marwah suku tersebut akan jatuh dan akan jadi aib di masyarakat.

Penelitian tradisi togak tonggol ini dilakukan Tim Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri dari tanggal 11 sampai 22 Maret mendatang di Kecamatan Langgam, Pelalawan. Tim BPNB Kepri yang diketuai Sita Rohana, dengan anggota Novendra dan Dedi Arman tak hanya melakukan wawancara dengan informasi kunci, juga melakukan studi pustaka di perpustakaan yang ada di Riau.
“Penelitian di Langgam ini cukup menantang. Kebetulan Langgam terkena banjir parah. Untuk sampai ke lokasi penelitian, perjuangannya luar biasa,”kata Sita, kemarin.

Dalam pengumpulan data-data yang lebih akurat dan lengkap, tim BPNB Kepri akan melakukan focus discussion group (FGD) di Desa Tambak, Pelalawan, Jumat (18/3) dengan menghadirkan pemuka adat, perangkat desa dan pengurus lembaga adat “yang ada
di Kecamatan Langgam. “Tradisi togak tonggol belum banyak diteliti. Makanya kami berupaya melakukan penelitian sedalam mungkin,”ujarnya.

Tradisi togak tonggol sudah ada di Langgam sejak lama. Tapi dulunya hanya ditingkat kampung. Baru tahun 1996 ditingkatkan jadi event tingkat kecamatan dan berlangsung hingga sekarang. “Untuk gelar acara tradisi togak tonggol tak sembarangan. Ada sejumlah persyaratan. Menyediakan balai atau tempat acara, menyediakan kambing dan ada pencak silat. Togak tonggol itu artinya menegakkan atau menaikkan tanda kebesaran suku masing-masing. Jadi kepala suku atau datuk harus kompak dengan kaumnya,”kata Abdul Wahid Datuk Rajo Bilang Bungsu, Ketua Umum Majelis Tinggi Hukum Adat Petalangan Langgam. **