Tradisi Barzanji dalam Kehidupan Melayu di Lingga

0
11888

Pendahuluan
Diantara berbagai tradisi menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW dalam tradisi budaya Islam lokal Indonesia, salahsatu tradisi yang menarik dan wajib dilaksanakan oleh kalangan umat muslim adalah pembacaan Kitab Barzanji, Barzanji atau sholawat (barzanjen) adalah bentuk kesenian yang bernafaskan Islam atau sebagai sarana dakwah Islam dengan Kitab Barzanji sebagai sumbernya.
Kitab Barzanji sendiri adalah karya tulis dari Syekh Ja’far Ibnu Hasan Ibnu Abdul Karim Ibnu Muhammad al Barzanji yang berisi tentang prosa dan sajak yang bertutur tentang biografi Nabi Muhammad SAW, mencakup nasab-nya (silsilah), kehidupannya dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu diceritakan pula berbagai nilai suri tauladan beliau yang patut untuk dicontoh oleh generasi umat Islam Indonesia pada khususnya. Adapun dalam pemahaman lainnya, Barzanji merupakan suatu doa-doa, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad SAW yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Tradisi budaya Islam ini dapat dikategorikan sebagai kelompok seni pertunjukan yang terdiri dari vokal, musik, dan tanpa tari atau gerakan badan. Kelompok dalam kesenian ini cukup banyak lebih dari 20 orang bisa laki-laki ataupun perempuan muda atau dewasa. Kesenian pembacaan barzanji ini pada umumnya
Dalam sejarahnya, tradisi barzanji ditemukan disejumlah daerah di Indonesia, termasuk dalam dunia Melayu yang konteks hari ini bernama Kepulauan Riau. Sejak dahulu orang-orang Melayu terkenal dengan kemahiran dalam dunia perdagangan. Pembinaan pusat-pusat pemerintahan atau kerajaan-kerajaan Melayu yang hampir seluruhnya terletak di tepi sungai atau di tepi pantai menjelaskan lagi pernyataan ini. Kedua-dua hal di atas menyebabkan kedudukan kebudayaan Melayu sangat terbuka terhadap pengaruh dari luar, kerana hubungan dagang dengan berbagai bangsa di dunia memang telah mereka lakukan sejak dahulu lagi.

Salah satu pengaruh yang sangat besar dan kemudian meresap ke bidang agama adalah pengaruh Arab-Islam, yang seakan-akan menghapus budaya Hindu dan Budha sebelumnya, sehingga tinggal hanya penghias dalam kebudayaan Melayu. Khasidah, Rodat (Barodah) dan Zikir Barat adalah pengaruh dari kebudayaan Islam tersebut. Di samping pengaruh Islam, terdapat juga pengaruh luar jauh sebelum Islam diperkenalkan. Hubungan dengan Siam sudah terbina begitu rapat. Pengaruh Siam yang masuk melalui Kedah dan Perlis dapat dilihat dalam bentuk-bentuk pertunjukan Makyong dan Menora di wilayah Luhak Teluk Haru di Langkat dan di Kerajaan Deli Serdang. Pengaruh dari India (dalam hal ini merujuk Keling atau Tamil di India Selatan) terus berlanjutan sesudah Islam menjadi sebati dengan Melayu. Pada akhir abad ke-19 ditandai telah mula pertunjukan Wayang Parsi, Bangsawan dan sebagainya.
Kewujudan kesenian Melayu di Kerajaan Riau-Lingga dapat dikatakan tidak menentu. Kewujudannya sangat bergantung kepada pemegang kekuasaan. Tidak ada bukti bertulis yang menyebutkan kesenian secara utuh sebagai bahagian daripada kehidupan istana. Namun demikian sumber bertulis berupa sastra Melayu iaitu Tuhfat Al Nafis, Syair Perkahwinan Anak Kapitan Cina, Syair Perkahwinan Si Komeng dan Syair Perkahwinan Raja Muhammad Yusuf dengan Raja Zaleha dapat memberikan gambaran kewujudan kesenian semasa Kerajaan Riau-Lingga.
Sejak zaman Raja Haji masih menyandang pangkat Kelana, sebelum menjabat Yang Dipertuan Muda Riau VI, kesenian yang berbau Islam sudah berkembang di Riau Lingga. Hal itu boleh dilihat dalam petikan sebagai berikut :
―Dan segala tuan-tuan syed pun banyaklah datang dari tanah Arab apalagi lebai Jawa hingga penuh tumpatlah di rumah wakaf dan masjid dan segenap surau orang besar-besar itu dan orang kaya-kaya itu. Apalagi malam Jumaat berkumpullah ke dalam semuanya maulud nabi. Maka selesai daripada maulud memberi sedekah, ada yang kena jekketun, ada yang dapat ringgit, ada yang dapat rupiah. Dan lainnya daripada malam Jumat itu beberapa pula permainan yang bermain seperti joget dan wayang. Dan beberapa pula penjajab perang yang sudah sedia di pelabuhan serta cukup (dengan) ubat pelurunya serta (dengan) panglima-panglimanya (dua) tiga puluh turun (dua) tiga puluh naik ke darat.‖9
Petikan di atas menunjukkan bahawa kesenian berzanji pada hari sambutan Maulud Nabi merupakan salah satu kesenian yang berkembang di Kerajaan Riau-Lingga. Ediruslan Pe Amanriza dan Hasan Junus dalam Seni Pertunjukan (Teater Rakyat) Daerah Riau 10 menyebutkan bahawa Maulud Nabi merupakan suatu bentuk kesenian yang erat dengan ajaran agama Islam. Bentuk bakunya berupa rangkaian prosa dan puisi yang berisi pujaan kepada Nabi Muhammad s.a.w, karya seorang Kurdi yang terkenal iaitu Ja’far Al-Barzanji. Berikut ayat dalam Tuhfat Al Nafis yang menggambarkan jenis kesenian tersebut berkembang pada pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Haji :
―Syahadan kata sahib al-hikayah di dalam perang yang demikian itu maka Yang Dipertuan Muda Raja Haji pun bersuka-sukaan juga tiap-tiap malam (dengan bermain joget dan tandaknya) serta makan minum (dan berjamu-jamuan dengan segala anak raja-raja dan orang besar-besarnya). Maka di dalam hal itu tiada juga mensia-siakan wiridnya dan tiadalah lepas daripada tangannya di dalam hal itu.
Hal yang menarik tradisi membaca barzanji di Kabupaten Lingga di Kabupaten Lingga hingga saat ini masih lestari. Tak hanya saat Maulid Nabi saja, dalam acara perkawinan, potong rambut anak atau prosesi lain, barzanji tetap ada. Hal yang unik adalah antara daerah satu dengan lainnya di Kabupaten Lingga, irama atau gaya membaca barzanjinya juga berbeda. Irama barzanji di Daik berbeda dengan orang di Dabo Singkep, Senayang atau daerah lainnya. Hal yang membedakan irama atau lagu.
Dalam pelestarian barzanji, Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Lingga LAM membuat kegiatan pembinaan berzanji sejak tahun 2018 lalu. Tahun 2018 pembinaan barzanji dilakukan di Dabo. Tempat kegiatan di Surau Al Fithrah Kampung Baru, Desa Batu Berdaun. Jadwal belajar setiap malam Sabtu. Di Dabo guru berzanjinya sebanyak 2 (dua) orang, yaitu Khaidir Bujang dan Usman Tahir.