Tebo Memiliki Potensi WBTB yang Luar Biasa

0
2623

Kabupaten Tebo, Jambi memiliki kekayaan budaya yang berpotensi diusulkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia. Hasil pendataan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi telah mencatat tiga karya budaya yakni Tari Nek Pung, Lukah Gilo dan tradisi tutur Doak.

Tim pencatatan WBTB Indonesia dari Disbudpar Provinsi Jambi menilai Nek Pung memiliki kesempurnaan gerak tari, keunikan cerita dan kekuatan bertutur sembari menari. Selanjutnya Lukah Gilo merupakan atraksi budaya yang nyaris punah. Begitu juga dengan tradisi tutur Doak yang dipertahankan seorang maestro dengan usia hampir 80 tahun.
“Hasil pencatatan baru ada tiga. Tetapi bisa berkembang sangat banyak. Karena kita menemukan banyak tradisi tutur, tari dan kearifan lokal pada masyarakat Tebo. Semua akan kita usulkan ke WBTB Indonesia,” kata Eri Argawan, Kasi Tradisi Disbudpar Provinsi Jambi.

Dia mengatakan pengumpulan data melibatkan pemerintah daerah dan perangkat daerah. Sejumlah karya budaya di berbagai tempat di Kabupaten Tebo sangat potensial untuk diusulkan kemudian ditetapkan menjadi WBTB Indonesia. Pasalnya, lanjut Eri merupakan pembumian dari nilai kearifan lokal masyarakat.
Tradisi tutur Doak di Desa Teluk Kayu Putih menambah kekayaan budaya tutur Jambi. Doak berbeda dengan dideng, krinok maupun dadung. Kendati demikian, semua memiliki kesamaan sebagai medium untuk mengungkapkan perasaan masyarakat dan hiburan di masa lampau.

Tenaga Ahli WBTB Indonesia, Sri Purnama Syam dalam perjalanan ke Desa Sungaikeruh, Kecamatan Tebo Tengah mengatakan daerah ini bisa dikatakan lokus budaya Kabupaten Tebo. Beberapa tari seperti kelik elang, nek pung, siwal beruk berayun, lagu asam payo, cerita rakyat muyang magur masih hidup dalam ingatan masyarakat sampai sekarang. “Ya semua menarik. Dan rentan punah,” kata Sri.

Maestro tari Nek Pung yakni Juriah (70) menjelaskan tari nek pung dikembangkan dari cerita Rajo Pintu Langit dengan Puteri Kerajaan bumi. Kisah antara Rajo Pintu Langit dengan Puteri Kerajaan Bumi disampaikan melalui nyanyian.
Tarian Nek Pung diciptakan untuk menghibur hati puteri yang sedih. Jumlah keseluruhan, kata Juriah ada sembilan penari. Dua penari berperan sebagai ibu dan puteri dan tujuh sisanya sebagai dayang. Sambil menyanyi, semua bergerak menari gemulai mengungkapkan kesedihan.
Juriah mengaku hanya ingat moyang Rijah yang menurunkan tari nek pung ke nenek Buntal. Dia belajar dari nenek buntal dan mengajarkan ke anaknya. Untuk pakaian tari nek pung, menggunakan kebaya kampung dan songket. Lalu dihias bunga-bunga alam. “Kami menari sambil bernyanyi, untuk bercerita,” kata Juriah di kediaman Kades Sungaikeruh saat tim pencatatan WBTB Indonedia Disbudpar Provinsi Jambi berkunjung.

Sementara itu, Pemain Lukah Gilo, Rifai (64) menyebutkan semua warga Desa Semabu Kecamatan Tebo Tengah pernah menyaksikan lukah gilo, yang dimainkan untuk hiburan hendak panen sawah maupun pernikahan.

Menurut Rifai, lukah gilo baru diaktifkan kembali pada 1990. Saat itu, Rozali cucu dari Wahid, pewaris pawang lukah gilo, mengajarkan kepada Fajri. Saat ini, hanya Fajri yang bisa menjadi pawang lukah gilo. “Kalau sayo. Cuma pemegang lukah,” sebut Rifai yang sehari-hari bekerja menyadap karet dan petani padi di sawah.
Meskipun namanya lukah gilo, yang dimainkan dalam permainan ini adalah serkap. Rifai menegaskan masyarakat Semabu tidak mengenal lukah sebagai alat penangkap ikan, melainkan hanya serkap.
Permainan lukah gilo diawali dengan pembacaan mantera oleh pawang yang berbarengan dengan membakar kemenyan. Kemudian asapnya dihembuskan ke lukah. Baru kemudian ditabuh gendang dan gong dan melantunkan nyanyian. “Kalau nyanyi sampai ke lirik (utak bernak) lukah menjadi berat dan mulai tak terkendali,” kata Rifai lagi.**