Kabupaten Bintan dulunya bernama Kabupaten Kepri sebelum terbentuk Provinsi Kepri tahun 2002. Ada dua ‘kota’ atau pusat keramaian di Kabupaten
Bintan. Kijang ibukota Kecamatan Bintan Timur yang ramai karena dulunya sebagai pusat tambang bauksit. Dan satu lagi pusat keramaian adalah Tanjunguban ibukota Kecamatan Bintan Utara.
Tanjunguban ramai karena letaknya yang strategis. Di tepi laut yang dekat ke Batam. Di Tanjunguban ada depot Pertamina. Tak jauh dari Tanjunguban, ada kawasan industri Lobam. Kapal-kapal tanker, kapal barang maupun kapal TNI AL dan lainnya bersandar di Perairan Tanjunguban. Dari Tanjunguban ke Pelabuhan Punggur, Batam bisa ditempuh dalam waktu 20 menit pakai speedboat.
Sejarawan Aswandi Syahri menulis sejarah Kota Tanjunguban di Kabupaten Bintan, tidak dapat dilepaskan dari pembangunan instalasi pangkalan minyak milik Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) yang kini “diwariskan” kepada Pertamina. Tidak berlebihan bila mengatakan bahwa tonggak penting sejarah Kota Tanjunguban bermula ketika NKPM mulai membangun pangkalan minyak. Pangkalan minyak itu untuk menampung produksi kilang minyak Sungai Gerong di Sungai Musi, Palembang yang pembangunannya selesai sekitar tahun 1930.
Sejak saat itu, Tanjunguban bergerak dari sebuah kampung menjadi kota dengan segala kelengkapannya yang terkait erat dengan pangkalan minyak itu. Bahkan pada suatu ketika di tahun 1948, masyarakat di “kota minyak” dan semua pekerja di pangkalan minyak ini pernah mencapai taraf kemakmuran yang signifikan. Semua barang kebutuhan pokok disubsidi, sehingga hidup bagaikan di surga. “Oil Town Into Paradise” tulis Alan Wolstenholme dalam surat kabar The Straits Times, 28 Oktober 1948.
Penamaan Tanjunguban berdasarkan cerita rakyat yang berkembang ditengah masyarakat berasal dari sebuah pohon yang sudah tua, daun dan akarnya menjuntai ke bawah dan berwarna putih. Orang yang lihat dari laut, pohon itu seperti uban. Karena daratan di Tanjunguban, menjorok kelaut, sehingga disebut tanjung. Pohon itu letaknya di samping Keramat Tanjunguban. Tapi kini sudah tak tersisa lagi. Dan pohon itu pun tak sempat diberi nama oleh penduduk. Tentang Keramat Tanjunguban, diyakini adalah makam seorang ulama besar yang meninggal dalam perjalanan dari Semenanjung Malaka menuju Negeri Betawi di Sunda Kelapa.
Pada masa Kesultanan Johor, Riau Lingga dan Pahang, Tanjunguban sudah ada. Pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Daeng Celak (1728-1745) telah diusahakan perkebunan gambir di Pulau Bintan (termasuk bahagian darat Tanjunguban) yang dikerjakan oleh buruh-buruh Cina dan Melayu. Sedangkan bahagian pesisir Tanjunguban yang menghadap Selat Riau adalah daerah rawa-rawa yang pada umumnya dihuni oleh nelayan Melayu. Jadi pada abad ke 18, Tanjunguban sudah ramai dihuni oleh masyarakat Melayu dan Cina.
Tanjugunban menjadi lebih ramai setelah Pemerintah Belanda membangun tempat pengisian dan penyimpanan minyak pada tahun 1930 yang dikelola oleh STANVAC (Standard Vacuum) Pertolium Compeny. Para pekerja Stanvac adalah orang Cina Canton yang didatangkan dari Singapura. Baru pada tahun 1932, Stanvac menerima pegawai anak-anak Melayu dan pendatang dari luar daerah. Tahun 1934, orang-orang Cina mulai membuka warung-warung kopi dan toko-toko kelontong di Tanjunguban. Disamping itu, didirikan juga Sekolah Cina disekitar Kampung Cenderawasih. Tahun 1941, Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Tanjunguban sebaga pusat KNIL (Koninkelijk Nederlands Indisch Leger) untuk wilayah Residen Riau. Maka dibangunlah perumahan tentara yang sekarang menjadi Komplek TNI-AL
Tahun 1947, untuk membantu Angkatan Laut Belanda menjaga pantai dan penyelundupan maka Departemen Van Sheepvaat membentuk satuan tugas yang diberi nama ” Zee en Kustbeweking Dienst ” ( Dinas Penjagaan Laut dan Pantai ) yang berpangkalan di Tanjunguban. Tahun 1949, Jawatan Pelayaran RI membangun asrama, dermaga, proyek air minum jago yang sekarang menjadi Komplek KPLP/Kesyahbandaran. **