Sastrawan terkemuka Sutardji Calzoum Bachri (SCB) akan mendapat gelar adat kehormatan dari Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR). Sutardji diberi gelar Datuk Seri Pujangga Utama. Penabalan dilakukan tanggal 7 November 2018 mendatang di Gedung LAM Riau.
Ketua Umum MKA LAM Riau, Datuk Seri Al Azhar menyebutkan, pemberian gelar telah diputuskan dalam musyawarah Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR hari Rabu (3/10) kemarin. “Sebutan itu merupakan pilihan dari beberapa sebutan yang diajukan anggota MKA maupun dari luar MKA,”kata Al Azhar.
Gelar tersebut merujuk pada sisi pengabdian yang diperlihatkan SCB secara luar biasa. Ia tidak saja sastrawan, tetapi pemikir sastra, bahkan mengimplementasikan nilai-nilai pemuliaan terhadap manusia dalam kehidupannya. Dia adalah sastrawan yang paling banyak dibicarakan dalam beberapa dekade terakhir dengan berbagai pencapaian khusus yang menunjukkan sebagai suatu keutamaan. SCB secara berani dan berhasil mengusung jati dirinya menjadi sesuatu yang tidak saja Indonesia, tetapi sastra secara umum. Bagi Riau, hal tersebut menjadi makin bermakna karena dengan sadar ia berpijak pada tradisi yang ada di kawasan ini antara lain mantera sebagai medium pengabdian kata-kata. Dalam alam Melayu banyak sekali ungkapan senada, misalnya tergambar dari makna bahasa menunjukkan bangsa. Hal ini pasti lahir dari kepedulian yang besar terhadap keberadaan bahasa.
Dilembagakan sejak tahun 1970, sampai sekarang LAMR baru memberi gelar adat kehormatan kepada delapan tokoh. Sebelum ini, Ustadz Abdul Somad, Rida K. Liamsi, Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Letjen TNI (Pur.) Syarwan Hamid juga sempat menerima gelar adat kehormatan tersebut.
Sutardji lahir di Rengat, Riau, 24 Juni 1941. Mengalami masa kanak-kanak di berbagai kota di Riau seperti di Bengkalis, Pasirpengaraian, dan Pekanbaru, ia menyelesaikan SMP dan SMA di Tanjungpinang. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra. Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand. O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern. Kiprahnya dalam dunia kepenyairan, Sutardji dijuluki Presiden Penyair Indonesia. **