Salah satu tradisi lisan yang masih bertahan di sepanjang aliran Sungai Rokan adalah koba. Sastra lisan ini disampaikan seseorang atau si tukang koba melalui cerita atau mengabarkan berita. Fungsinya sebagai media interaksi budaya, agama dan sosial dalam masyarakat, terutama masyarakat Melayu Rokan Hulu.
Salahsatu cerita rakyat yang disampaikan dalam koba adalah Ratok Sicuriang dengan Si Bongsu Bobilang Malam. Sastra lisan ini mengisahkan percintaan antara seorang pemuda bernama Bujang Sicuriang dan seorang gadis bernama Mundom Sibonsu. Keduanya bersepupu, karena ibu Sicuriang dan ayah Sibonsu bersaudara kandung. Keduanya adalah keturunan bangsawan. Namun, ibu Sicuriang menikah dengan orang pesukuan (biasa), sehingga Sicuriang tidak mendapatkan warisan “cucuran raja-raja”, bukan bangsawan. Ketika Sicuriang masih kecil, ibunya meninggal. Mamaknya (paman), abang ibunya yang bernama Dorajo Mudo kemudian mengambil dan mengasuhnya. Di rumah mamaknya, Sicuriang membantu pekerjaan sehari-hari.
Mundom Sibonsu adalah anak perempuan satu-satunya Dorajo dari pernikahannya dengan Kak Ilan, seorang keturunan bangsawan. Usianya terpaut enam tahun lebih muda dari Sicuriang. Sejak kecil dia dekat dengan Sicuriang, sebagai satu-satunya saudara yang dimilikinya. Konon, Sibonsu hanya mau tidur bila dibuai oleh Sicuriang. Hanya mau makan apabila disuap Sicuriang. Bahkan mandi pun dimandikan oleh Sicuriang. Kedekatan keduanya berlangsung hingga Sibonsu beranjak dewasa dan tumbuh menjadi perempuan cantik.
Sementara, Sicuriang tumbuh menjadi pemuda biasa. Namun, perangainya elok. Sibonsu pun mulai merasakan cinta pada pemuda yang semenjak kecil mengasuhnya ini. Sicuriang menyadari kecantikan Sibonsu, yang “rancak bolobieh” (tiada tara), pelahan-lahan tumbuh pula cintanya pada gadis itu hingga lupa diri.
Dalam tradisi Melayu Rokan, Sicuriang dan Sibonsu adalah sepupu “ujung ladang”, pasangan ideal dalam pernikahan. Akan tetapi, karena Sicuriang adalah orang biasa, maka ia bukanlah jodoh yang “patut” untuk Sibonsu yang berdarah bangsawan. Dorajo Mudo dan Kak Ilan mengharapkan agar Sibonsu kelak menikah dengan orang sederajat, sesama bangsawan.
Sastra lisan ini tidak hanya menggambarkan percintaan antara Sicuriang dengan Sibonsu yang penuh tantangan, melainkan juga memaparkan struktur sosial dan nilai-nilai kultural yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Rokan Hulu.
Struktur sastra lisan ini terdiri dari 100 rangkaian pantun yang sebagian besar merupakan dialog percintaan tokoh-tokoh utamanya, Sicuriang dan Sibonsu. Oleh karena itu, sastra lisan ini juga dikenal dengan sebutan pantun atuih (pantun seratus). Pengisahannya sebagian dilagukan, sebagian dituturkan. Bahkan ada yang dilagukan dengan iringan gendang. Iramanya muratok (meratap) dan timang.
Sumber: Sita Rohana M.Hum , Peneliti Madya BPNB Kepri