Sejarah Lokal Kepri dan Pendidikan Sejarah

0
1221
Sejarah lokal di Kepri perlu diajarkan.

Pengetahuan pelajar di Kepri terhadap sejarah lokal daerahnya memprihatinkan. Kesimpulan awal ini berdasarkan pengalaman penulis yang sehari-hari bertugas di Perpustakaan dan Dokumentasi Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri dan banyak berinteraksi dengan pengunjung tingkat sekolah dasar, mahasiswa hingga masyarakat umum.

Tak perlu jauh-jauh bertanya tentang Kerajaan Riau Lingga, Kerajaan Bentan atau pun peninggalan sejarah yang ada di Tanjungpinang, pertanyaan soal dua nama pahlawan nasional dari Kepri, tak satu pun pelajar SD hingga SMA yang menjawab dengan benar. Penulis mengajukan pertanyaan yang sama ke murid tiga SD dan satu SMA yang berkunjung ke BPNB Kepri dalam dua bulan ini. Mereka hanya hafal nama Raja Ali Haji, pahlawan nasional bahasa dari Kepri.
Sementara, nama Raja Haji Fisabilillah dikenal mereka hanya sebagai nama bandara di Tanjungpinang. Dalam kunjungan ke sejumlah sekolah di Kabupaten Bintan dalam pemutaran film nasional, penulis juga memberikan pertanyaan ke siswa tentang nama pahlawan nasional ini. Mereka hanya kenal nama Raja Ali Haji dengan ikon Gurindam 12. Nama Raja Haji Fisabillah juga tak hafal dimemori para pelajar Bintan. Ironis bukan. Ini bukan sekedar hafal atau tidak. Namun, fakta ini menunjukkan sisi ironis kelemahan pengajaran sejarah di Kepri.

Menyalahkan guru sejarah atau guru IPS juga tak tepat. Mengkambing hitamkan mereka, kenapa tak mengajarkan tentang sejarah lokal Kepri juga sulit. Guru mengajar sesuai kurikulum atau materi. Faktanya dalam kurikulum pelajaran yang diajarkan, tak ada tentang sejarah lokal Kepri. Tak ada nama Kerajaan Riau Lingga. Tak ada nama Raja Haji Fisabillah.

Fakta pendidikan sejarah di Kepri ini akibat hegemoni sejarah. Peserta didik di luar Jawa lebih mengenal pahlawan dan tokoh sejarah dari Jawa dibanding daerahnya. Jawaban yang mudah atas persoalan ini biasanya karena belum adanya sejarah lokal. Hal ini terjadi karena adanya hegemoni kultural etnisitas tertentu mendominasi etnisitas lain, termasuk unsur sejarah. (Susanto zuhdi,2014:309). Bentuk hegemoni tak hanya dalam unsur sejarah dalam diri tokoh atau pahlawan, tapi juga dalam unsur-unsur kebudayaan lainnya. Kekhawatiran itu bersifat laten dan potensial dalam masyarakat majemuk yang sedang membentuk bangsa baru.

Meski tak ada dalam kurikulum, idealnya para guru sejarah dan IPS di Kepri juga punya tanggungjawab moral bukan sekedar mengajarkan mata pelajaran. Para guru memberikan pengetahuan untuk menambah wawasan anak didik. Pengajaran sejarah lokal Kepri sangat bermakna untuk menambah kecintaan terhadap wilayahnya. Mustahil anak-anak Kepri mencintai sejarah nasional bangsanya kalau mereka tak tahu sejarah lokal daerahnya.

Pembicaraan pendidikan sejarah dengan perspektif multikultural dalam era otonomi daerah sungguh menantang dan perlu penanganan serius. Susanto Zuhdi menyebut diperlukan kurikulum yang cocok untuk merespon keragaman kebutuhan yang sesuai dengan pengalaman dan lingkungan peserta didik, dalam hal ini materi sejarah. Itu artinya perlu diidentifikasi terlebih dahulu karakteristik pengalaman dan lingkungan mereka. Hal yang juga penting adalah pemenuhan mainstream: kepentingan nasional.

Para pendidik tentunya memiliki kemampuan dan strategi tersendiri dalam mengajar sejarah. Namun, hal yang perlu diingat sejarah itu bukan sekedar hafalan. Ada dua hal yang harus dihindari dalam strategi pengajaran sejarah. Pertama, sejarah sebagai bahan pelajaran tak dibiarkan tergelincir pada kecendrungan artikuariat atau kisah dipelajari hanya sekedar untuk pelipur lara atau bahan hafalan yang menjemukan. Kedua, pelajaran sejarah sebaiknya menjauhkan diri dari keterangan sejarah yang ideologis tanpa pertanggungjawaban yang rasional. (Taufik Abdullah,1995:26).

Sejarah harus diajarkan sebagai disiplin yang harus selalu relevan dengan perkembangan zaman, apapun coraknya. Selain itu, sejarah juga diajarkan memungkinkan anak didik memahami gejala sosial dan orientasi bangsa secara rasional. Mengajar sejarah bercerita pelipur lara sah-sah saja, namun jangan banyak bumbu-bumbu yang tak rasional. Pelajaran sejarah juga harus ilmiah. Tak sekedar angka tahun-tahun, kejadian dan kisah kepahlawanan belaka yang tanpa makna.

Kita berharap meski tak ada kurikulum tentang sejarah lokal Kepri, para guru bisa memberikan pengetahuan kepada siswanya. Belajar sejarah itu gunanya bukan hanya sekedar untuk ujian sekolah. Banyak arti penting yang jadi alasan sejarah dipelajari di sekolah. Alangkah ironis kalau anak-anak Kepri lebih hafal nama Pangeran Diponegoro, Tuangku Imam Bonjol,Sisingamangaraja ketimbang Raja Haji Fisabilillah, Sultan Mahmud Riayat Syah atau pun Raja Ali Haji.**