Sejarah dan Tradisi Ngopi di Belitung

0
1818
Warung Kopi Kong Djie, salahsatu warung kopi tertua dan terkenal di Tanjungpandan, Belitung

Pulau Belitung identik dengan wisata alam yang indah yang dipopulerkan film Laskar Pelangi. Tapi ada pesona lain yang menggugah bagi pelancong yang datang ke Belitung dan Belitung Timur. Suguhan warung kopi ada dimana-mana. Bahkan, Manggar ibukota Belitung Timur dijuluki sebagai kota 1001 warung kopi. Menarik?
===============================

Tak diketahui sejak kapan masyarakat Melayu Belitung mengsumsi kopi sebagai minuman. Diduga masyarakat Melayu Belitung sudah memiliki tradisi minum kopi sejak berabad-abad lalu, seiring dengan proses Islamisasi di Belitung yang dibawa oleh ulama dari Pasai, Aceh, yaitu Syekh Abubakar Abdullah atau lebih terkenal dengan gelar Datuk Gunong Tajam, dan Datuk Ahmad dari Mempawah.
(Erman,2014:95).

Di Belitung, warung kopi adalah satu wahana yang mempertemukan berbagai usia, latar belakang suku, agama, dan profesi. Sebagai ruang publik, warung kopi berfungsi sebagai pusat informasi, media sosialisasi, dan sentra kehidupan bagi ma-syarakat Belitung. Di warung kopi, orang-orang Belitung bisa duduk seharian, mengobrol, dan membicarakan apa saja yang menjadi perhatiannya.

Dilihat dari perkembangannya, kemunculan dan perkembangan warung kopi di Belitung tidak dapat dipisahkan dari konteks yang lebih luas, seperti pendirian perusahaan timah Belitung pada pertengahan abad ke-19 dan kehadiran masyara-kat Cina sebagai kuli tambang dan masyarakat Eropa dan para elite lainnya. Pada masa ini, warung kopi terbagi ke dalam dua ruang publik yang memperlihatkan perbedaan kelas, antara warung kopi kuli dan warung kopi elite. Di Era Reformasi, muncul berbagai warung kopi dengan komunitas yang fragmentaris, sesuai dengan tema utama pembicaraan seperti politik, sosial-budaya, lingkungan, dan ekonomi. Fragmentasi tema pembicaraan yang menjadi label dari warung kopi merupakan representasi dari organisasi-organisasi sosial baru yang memang membutuhkan ruang publik yang lebih banyak untuk membicarakan isu-isu kebijakan publik. Komunitas warung kopi juga terbentuk berdasarkan persamaan persepsi, nasib, ideologi yang berproses bersamaan dengan kedatangan dan keterlibatannya dalam diskusi-diskusi yang diikuti di warung kopi.

Pada masyarakat Kota Tanjung Pandan, ibukota Kabupaten Belitung dan Manggar, kemunculan warung kopi di Belitung lebih banyak dikaitkan dengan masuknya eko-nomi kapitalis dengan pembukaan perusahaan tambang timah dan kehadiran masyarakat tambang yang mayoritas etnik Cina.15 Kehadiran kuli-kuli Cina yang menjadi penambang timah tidak bisa dipisahkan dari berdirinya perusahaan Billiton atau Billiton Maatschappij pada tahun 1852 yang kemudian dinasionalisasikan pada tahun 1957 dan setelah itu dikuasai oleh PN. Timah Indonesia yang kemudian berubah nama menjadi PT. Timah Tbk.

Perusahaan timah dan kehadiran masyarakat tambang dalam kenyataannya telah menjadi motor penggerak perkembangan penduduknya yang heterogen dan sosial- ekonomi Belitung, sehingga pulau ini dijuluki sebagai ‘company island (Heidhuis 1991: 1–20). Selain kepentingan ekonomi dari pemilik warung kopi, adanya wa-rung kopi dapat dijadikan sebagai wadah hiburan dan wadah untuk menampung berbagai persoalan masyarakat tambang, baik untuk masyarakat kelas bawah maupun untuk masyarakat kelas atas. Masyarakat kelas bawah adalah kuli-kuli tambang timah yang mayoritas China dan setelah kemerdekaan, mereka bercampur dengan suku bangsa lain, baik orang Melayu Belitung sendiri maupun orang Jawa, Sunda, Flores, dan berbagai suku bangsa lain yang datang bekerja di perusa-haan timah di Belitung.

Menurut Erwiza, ada dua kota yang memiliki tradisi panjang dalam bisnis warung kopi, yaitu Tanjung Pandan dan Manggar. Tanjung Pandan dalam sejarah perkembangannya adalah sebagai pusat peme­ rintahan dan kantor perusahaan Billiton di sana. Adapun Manggar adalah kota yang dibentuk karena dibukanya tambang timah dan kehadiran masyarakat tambang pada dekade pertama abad ke-20. Di pusat Kota Tanjung Pandan, terdapat warung kopi Senang yang dibuka oleh keluarga Tionghoa Ake, yang sampai sekarang menurunkan bisnisnya itu melalui empat generasi.

Warung Kopi Senang adalah warung kopi kelas menengah dan merupa­ kan pusat berita, bisnis dan pusat informasi lainnya. Bagi masyarakat Eropa dan elit Cina, Warung Kopi Senang merupakan tempat untuk berbagi informasi. Sampai sekarang, warung kopi ini menjadi pusat berita tentang pejabat dan politik. Di Manggar, ada beberapa warung kopi yang sudah lama ada, seperti warung kopi Lohen, warung Kopi A Ngi, dan Warung Kopi Atet. Akan tetapi, kesan tua warung menghilang karena direnovasi. Warung kopi Atet ini didirikan sejak tahun 1949, diwariskan secara turun-temurun dan sekarang dikelola oleh generasi ketiga dan merupakan warung kopi terlaris di Manggar. Sama seperti di Tanjung Pandan, warung kopi di Manggar ini juga berperan untuk melayani para pencinta kopi dari kelas menengah ke atas pada masa lalu.

Salah satu contoh warung kopi masyarakat kelas bawah yang pada umumnya berada di sekitar lokasi penambangan timah adalah warung kopi Kong Djie, terletak di Siburik, Tanjung Pandan. Kopi yang disajikan oleh pemilik warung kopi untuk penambang ini disebut pula dengan kopi kuli (Wawancara dengan informan J, 21 Oktober 2013). Warung kopi kuli ini juga terdapat di dae-rah pertambangan lainnya, seperti di Manggar. Setelah kemerdekaan, kedua jenis warung kopi ini masih ada, bahkan sampai sekarang, hanya latar belakang komunitasnya yang berubah. Perubahan komunitas warung kopi itu ditandai dengan kem-balinya orang-orang Eropa ke negeri Belanda se-jak nasionalisasi perusahaan Gemeenschappelijk Maatschappij Billiton (GMB) pada tahun 1957 dan sebagian besar masyarakat Cina Belitung yang kembali pula ke Cina akibat diterapkannya PP No. 10/1959 yang berisi larangan orang asing (termasuk Cina) yang melakukan aktivitas eko-nomi di tingkat kabupaten.

Dilihat dari sejarah, fungsi, dan karakteristik­ nya, warung kopi di Tanjung Pandan berbeda dengan warung kopi di Manggar. Warung kopi di Tanjung lebih tua dibanding dengan Kota Manggar karena Kota Tanjung Pandan lebih dulu berkembang daripada Manggar. Kota Tanjung Pandan adalah sebagai pusat pemerintahan, ibukota Kabupaten Belitung, pusat perdagangan, kantor utama perusahaan timah sejak abad ke-19. Seiring dengan perkembangan kota industri, muncul kelas menengah kota yang membutuhkan hiburan dan arena sosial. Salah satunya adalah warung kopi. Sementara Kota Manggar berkembang sejak dite-mukannya deposit timah di sana awal abad ke-20 dan kemudian baru sejak era Reformasi menjadi ibukota kabupaten pemekaran, Belitung Timur. Dilihat dari fungsi dan karakteristiknya, warung kopi di Tanjung Pandan heterogen dari latarbe-lakang pengunjung ideologi dan topik diskusi, sementara di Manggar fungsi dan karakteristiknya hampir seragam. Di Manggar, fungsi sebagian warung kopi ganda, tidak hanya sebagai warung yang menyediakan kopi, juga sebagai penyedia prostitusi. Sulit ditemukan warung kopi politik, warung broker, dan warung kopi budaya seperti di Tanjung Pandan.

Di Tanjung Pandan, warung kopi kelas atas baik untuk masyarakat Eropa dan kelompok elit setelah merdeka, berlokasi di pusat kota, di kawasan Staanplaats. Warung kopi itu dise-but Cafe Senang. Di wilayah Cafe Senang ini terdapat pula warung kopi Ake, sebuah bisnis keluarga Cina yang turun temurun sejak berdiri pada tahun 1922, khusus menyediakan kopi dan berbagai kue tradisional. Warung kopi Ake ini sebenarnya adalah representasi budaya Barat, karena kursi-kursi yang disediakan terletak d di teras, di tempat terbuka, lebih bernuansa ‘ambtenaar’, karena pengunjungnya adalah para pejabat timah, birokrat atau disebut juga kelas ‘setaf’ (staf). Jika masa kolonial, warung kopi Senang dikunjungi para pejabat Eropa dan elit Cina, setelah kemerdekaan digantikan oleh para pejabat Indonesia dan staf perusahaan timah. Di Era Reformasi ini, warung kopi Ake disebut juga warung kopi politik karena dikunjungi oleh birokrat dan politisi baik pada pagi hari atau malam hari.

Selain warung kopi Senang atau Cafe senang yang merupakan representasi dari kelas sosial atas, ada pula warung kelas bawah untuk para kuli atau pekerja tambang yang berlokasi di seputar wilayah penambangan. Dari zaman pemerintah kolonial Belanda sampai berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pembagian warung kopi berdasarkan kelas sosial ini masih ada. Menurut para informan yang diwawancarai, sulit untuk menemukan kelas sosial yang lebih tinggi di warung kopi kuli dan sebaliknya. Inilah tipikal gambaran masyarakat Belitung yang membedakan kelas sosial di dalam masyarakat pertambangan dan antara masyarakat pertambangan dengan masyarakat lokal.

Selain dua jenis tipe warung kopi yang disebutkan di atas, di Tanjung Pandan ditemukan warung kopi yang berlokasi di Gang 60 yang disebut warung kopi broker, warung kopi Udin di dekat pasar Tanjung Pandan, warung kopi klekak, warung kopi Band Two, warung kopi Mak Jana, dan warung kopi Bansai. Bila warung kopi Ake adalah warung kopi kelas atas yang cenderung mendiskusikan berbagai persoalan politik, beberapa warung kopi yang disebutkan di atas juga memiliki komunitas dan kepentingannya sendiri.

Berbeda dengan Tanjungpandan yang memiliki kedai kopi yang jadi ikon, yakni Kedai Kopi Ake dan Kong Djie, Manggar terkenal sebagai lokasi yang punya banyak warung kopi. Di kota ini pun dibangun Tugu 1001 Warung Kopi yang menjadi ikon budaya ngopi. Jika berkunjung ke Manggar, akan menemui sebuah tugu dengan angka 1001 dan di atasnya terdapat teko untuk menuangkan kopi ke cangkir. Tugu ini ada di Jalan Lipat Kajang, Desa Baru, Manggar. Bangunan Tugu 1001 Warung Kopi ini didirikan sekitar tahun 2013. Pembangunannya didukung pula oleh Pemkab Belitung Timur. Tugu 1001 Warung Kopi ini bisa disebut sebagai ikon budaya ngopi masyarakat Belitung Timur.

Tugu Manggar, Kota 1001 Warung Kopi

Manggar memang identik dengan warung kopi. Hal itu terbukti dengan banyaknya warung kopi di sini. Warung kopinya saling bersebelahan dan juga saling berseberangan. Bersaing menjual kopi dengan menjual rasa dan tempat bersantai yang enak.

Sumber: Erwiza Erman.2014. Dinamika Komunitas warung Kopi dan Politik Resistensi di Pulau Belitung. Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 40 (1), Juni 2014.
babel.antaranews.com, 13 Maret 2016.