Rumah Dunia Melayu: Pelabuhan di Pulau Bintan Abad 13-19

0
521

Seri Buku Zamrud Khatulistiwa: Kota-kota di Jalur Rempah Pada Era Kejayaan Nusantara

Untuk memperluas pemahaman publik terhadap Jalur Rempah, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan banyak ahli di bidangnya menyusun seri buku Zamrud Khatulistiwa: Kota-kota di Jalur Rempah pada Era Kejayaan Nusantara. Salah satu buku dalam seri tersebut berjudul Rumah Dunia Melayu: Pelabuhan di Pulau Bintan Abad 13-19 yang ditulis oleh Anastasia Wiwik Swastiwi dan Dedi Arman. 

Buku tersebut menjelaskan secara detail tentang peran dua pelabuhan penting, yakni Pelabuhan Teluk Bintan dan Pelabuhan Riau, serta eksistensinya sebagai titik Jalur Rempah yang ramai didatangi oleh pedagang lintas bangsa dari berbagai etnik. Berikut sekilas ulasan dari buku Rumah Dunia Melayu: Pelabuhan di Pulau Bintan Abad 13-19.

Kepulauan Indonesia, khususnya Dunia Melayu menempati posisi geografis yang strategis,  yaitu terletak dalam jaringan perdagangan yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Dunia Melayu berkarakteristik maritim di mana laut menjadi sarana utama dalam pertukaran budaya dan kegiatan ekonomi. Wilayah yang kini menjadi Kepulauan Riau pernah berfungsi sebagai pintu gerbang masuknya para pedagang internasional ke Nusantara.

Kepulauan ini memiliki sejarah maritim yang panjang dengan aktivitas perdagangan global yang terekam secara baik dengan ditemukannya situs-situs arkeologi. Salah satunya situs kapal karam dan barang komoditasnya. Dalam buku ini, titik fokus bahasan pada dua pelabuhan dagang di Pulau Bintan yang periode waktu kejayaannya berbeda, yakni Pelabuhan Teluk Bintan (saat ini masuk wilayah Kabupaten Bintan) dan Pelabuhan Riau yang berada di Sungai Carang (saat ini masuk wilayah Kota Tanjungpinang).

Berdirinya Kerajaan Bintan di sekitar Teluk Bintan berkaitan dengan kondisi geografis yang strategis untuk pengembangan kebudayaan kebaharian dan kebudayaan daratan (pertanian). Teluk Bintan menghadap Selat Riau sebagai lalu lintas pelayaran yang pernah menghubungkan daerah kembar Sriwijaya di Palembang dan Kedah, Malaysia. Posisi Teluk Bintan juga cukup aman bagi pelayaran. Posisinya aman dari cuaca buruk dan gelombang besar pada Musim Utara dan Musim Selatan di Selat Riau. Di sekitar Teluk Bintan, terdapat Sungai Bintan yang cukup luas dan dalam untuk berlabuh kapal-kapal dagang dari luar daerah di Nusantara dan negara-negara tetangga. Hal ini yang membuat Teluk Bintan pernah menjadi daerah pelabuhan dengan taraf internasional.

Hal terpenting posisi Teluk Bintan sejak dahulu kala sebagai wilayah yang berada di perairan Selat Malaka, memang selalu ramai dikunjungi oleh peniaga atau saudagar. Wilayah ini menjadi kawasan paling terbuka bagi berbagai pengaruh globalisasi sejak dahulu. Sesungguhnya, keterbukaan ini memberi sumbangan yang sangat besar bagi tumbuhnya peradaban Kerajaan Melayu di kawasan Selat Malaka pada masa lalu. Kondisi itu berlangsung dari abad 13-16. Secara perlahan-lahan, peran pelabuhan dagang di Pulau Bintan digantikan oleh Pelabuhan Riau (kini Kepulauan Riau) di Sungai Carang. Jaringan perdagangan di Sungai Carang ini sangat berkembang pada abad 18-19.

Meski Pelabuhan Teluk Bintan dan Pelabuhan Riau menjadi salah satu titik penting dalam Jalur Rempah, namun eksistensi kedua pelabuhan ini belum mendapat tempat dalam penulisan sejarah nasional. Belum ada buku kajian secara khusus membahas tentang pelabuhan tersebut. Keberadaan pelabuhan itu malahan lebih banyak disinggung oleh penulis asing, seperti Andaya, Trocki, hingga penulis dari negeri jiran Malaysia. Padahal, perdagangan rempah di Teluk Bintan pernah mengalami kejayaan sejak era Kerajaan Melaka hingga Johor Lama. Sementara, Pelabuhan Riau mengalami masa keemasan era Kerajaan Johor Riau yang dibangun Laksamana Tun Abdul Jamil tahun 1673 M.

Rumah Budaya Melayu dari judul buku ini diambil sebagai saripati dan gambaran perdagangan serta kondisi pelabuhan di masa itu. Perdagangan rempah menyebabkan orang dari lintas bangsa dan Nusantara datang ke pelabuhan di Pulau Bintan yang bagi orang luar lebih dikenal dengan nama Riau dan menjadi Bandar Dunia Melayu. Keberagaman etnik dampaknya terlihat hingga masa kini. Berbagai etnik mendiami Pulau Bintan, mulai dari Orang Tionghoa, Bugis, Keling, dan etnik lainnya yang datang belakangan. 

Penulisan pelabuhan dagang di Pulau Bintan pada periode Pelabuhan Teluk Bintan yang notabene belum terpengaruh dalam kekuasaan kolonial menjadi kendala tersendiri. Ada keterbatasan sumber, apalagi pada masa kini tidak ada lagi jejak kegemilangan pelabuhan di masa lampau itu. 

Teluk Bintan masa kini hanya menjadi kampung nelayan. Dari kondisi ini, ada saran yang ingin tim penulis sampaikan, yaitu perlunya kajian sejarah yang mendalam lagi terutama periode Kerajaan Bentan Lama yang dulunya berpusat di kawasan Teluk Bintan ini. Beberapa daerah di Teluk Bintan, seperti Kota Kara maupun Bukit Batu yang banyak disebut dalam naskah Melayu, kini seakan masih misteri sehingga diperlukan kajian arkeologi untuk mengungkap dinamika daerah ini masa lampau. **