Romusha di Kampung Gesek

0
468

Oleh: Jauhar Mubarok (Peneliti Budaya BPNB Kepri)

Di daerah Bintan Timur pertambangan bauksit sudah dibuka saat penjajahan Belanda. Menurut cerita mantan pegawai PN. Aneka Tambang, Belanda baru melakukan survei kandungan tambang pada tahun 1920. Mulanya mereka survei tambang timah, sebagaimana yang terdapat di daerah Bangka-Belitong. Namun setelah diselidiki dan diteliti ternyata Pulau Bintan tidak mengandung timah, tapi bauksit. Belanda mulai melakukan pertambangan sekitar tahun 1936-an dengan mengambil para pekerja dari Bangka Belitung dan daerah-daerah lainnya. Kemudian pertambangan bauksit direbut Jepang ketika “Pasukan Asia Timur Raya” itu datang ke Pulau Bintan. Hal ini menyebabkan Belanda menyingkir keluar dari Pulau Bintan.

Agar tambang bauksit dapat terus berproduksi Jepang mendatangkan orang-orang Romusha dari Jawa dan orang-orang tionghoa dan keling (India) dari Singapura untuk dipekerjakan di pertambangan bauksit. Orang-orang jawa tersebut sebagian dipekerjapaksakan (Romusha) di pertambangan dan sebagian yang lainnya disuruh mengurusi tanaman di daerah di Toapaya. Peristiwa mendatangkan orang-orang Jawa tersebut terjadi antara 1942-1944.

Di Toapaya ini romusha dari Jawa tersebut disuruh untuk menanam ubi-ubian, sayur, dan tanaman pangan lainnya. Toapaya dijadikan basis tanaman pangan untuk menyuplai dan mencukupi kebutuhan pangan para pekerja tambang dan romusha lainnya. Tidak mengherankan jika Toapaya dijadikan sebagai daerah basis tanaman pangan hal ini karena tanahnya cukup subur dibanding daerah-daerah lainnya.

Kedatangan Jepang ke Pulau Bintan selain mimpi buruk bagi penjajah Belanda juga kalangan orang-orang tingohoa, khususnya bagi para toke (bos, majikan, mandor) dan keluarganya. Sebelum Jepang datang orang-orang tionghoa menempati posisi sosial yang diuntungkan secara ekonomi dan politik oleh Belanda. Mereka adalah para penguasa lahan di Tanah Melayu ini. Kenyamanan yang selama ini berjalan secara mapan dan tenang akhirnya porak-poranda. Tentara-tentara Jepang merampas harta benda toke (mandor, bos etnis tionghoa) dan memperkosa perempuan-perempuan tionghoa. Jika orang-orang tionghoa melawan tentara-tentara tersebut tidak segan membunuhnya. Untuk menyelamatkan diri dari kekejaman tentara “negeri samurai” tersebut banyak orang tionghoa yang memilih kabur ke dalam hutan-hutan; bersama keluarga dan sebagian harta benda yang bisa dibawanya. Seberapa lama orang-orang tionghoa tersebut mampu bertahan di tengah ketakutan dan setok makanan yang minim? Tentu terbatas waktu.

Salah satu keluarga tionghoa yang melarikan diri tersebut bernama Go Lai Hong. Mereka melarikan diri ke tepi-tepi sungai yang ada di Gesek. Keluarga marga Go ini merupakan keluarga kaya dan terpandang sebelum Jepang datang. Di tepi sungai tersebut, ada pula yang menyebutnya Sungai Go Lai Hong, mereka membuat pemukiman yang menghimpun keluarga besar marga Go. Dalam pelarian tersebut mereka berharap Jepang tidak akan lama menjajah mereka. Nyatanya Jepang berada di Pulau Bintan bertahun-tahun, sebagaimana terjadi juga di daerah lainnya di nusantara ini.

Di tengah pelariannya di hutan-hutan dan tepi-tepi sungai dengan jumlah makanan yang minim dan kecemasan yang memuncak mengakibatkan tidak sedikit dari orang-orang tionghoa tersebut akhirnya meninggal dunia karena kelaparan. Dan untuk menyelamatkan harta benda yang sempat dibawa dalam pelarian orang-orang tionghoa menyembunyikan harta-harta mereka dengan cara ditimbun dalam tanah/dikubur. Menurut cerita beberapa orang, waktu belakangan ini banyak warga masyarakat secara tidak sengaja menemukan “harta karun” berupa guci, beragam keramik, dan perhiasan emas.