Tanjungpinang memiliki sejumlah masjid bersejarah yang menjadi obyek wisata yang menarik. Setidaknya ada tiga masjid yang ramai dikunjungi dan menjadi ikon wisata religi di Kota Tanjungpinang. Pertama, Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat, Masjid Agung Al Hikmah (Masjid Keling) dan Masjid An Nur di Pulau Dompak.
- Masjid Sultan Riau
Dari sekian banyak tempat wisata religius di Pulau Bintan yang paling populer untuk umat Islam adalah Masjid Sultan Riau. Tak hanya orang Islam, pemeluk agama lain yang datang ke Pulau Penyengat selalu menyempatkan diri untuk datang ke masjid yang indah ini. Paling tidak singgah untuk sekedar berfoto.
Masjid ini terletak di salah satu pulau di Provinsi Kepulauan Riau. Dari kota Tanjung Pinang, pulau ini dapat ditempuh dengan menggunakan perahu motor sekitar 13 menit. Pulau ini bernama Pulau Penyengat. Sejak pulau ini menjadi pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau, di awal abad 19, pulau ini ditambahkan nama belakangnya menjadi Penyengat Indera Sakti. Pulau ini terletak di bagian Barat Pulau Bintan tepat di depan Kota Tanjung Pinang, pada 0◦56′ Lintang Utara dan 104◦29′ Bujur Timur.
Pulau ini bersebelahan dengan Tanjung Pinang, Pulau Bintan, yang kini sebagai Ibukota Propinsi Riau Kepulauan, sekaligus Ibukota administratif Kabupaten Riau Kepulauan. Jarak perjalanannya pendek menggunakan boat atau perahu mesin tradisional selama 10-15 menit dari Pelabuhan Sri Bintan, Kota Tanjung Pinang, Pulau Bintan. Pada abad ke- 19 pulau ini telah berkembang menjadi pusat persemaian pemikiran intelektual yang sangat produktif, bahkan hingga dekade awal abad ke- 20.
Masjid Sultan Riau ini merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Melayu Riau-Lingga. Masjid Sultan Riau ini dibangun pada masa awal pemerintahan YDM Raja Abdurrahman (1832-1844) yang menggantikan ayahnya, Raja Ja’far yang mangkat pada tahun 1832. Masjid ini merupakan bangunan yang kokoh warisan kesultanan Melayu yang sampai saat ini masih tetap berdiri tegak.[1]
Ada sejumlah keistimewaan masjid ini antara lain: pertama, bangunan masjid sudah menggunakan batu dan pasir dengan perekat putih telur. Kedua, arsitekturnya yang indah, terutama bagian menara dan kubahnya. Di dalam masjid ini tersimpan mushaf kuno, kitab-kitab dan beberapa manuskrip peninggalan ulama dan para YDM Kesultanan Riau Lingga.
Masjid ini penting dikaji karena selain nilai historisnya yang amat tinggi, juga karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama,masjid ini dulunya merupakan persinggahan jamaah haji Indonesia yang hendak menunaikan ibadah haji sebelum menaiki kapal yang menuju Makkah yang berangkat dari Singapura. Karena itu, pulau ini dijuluki Serambi Mekkah di Tanah Melayu. Kedua, pulau Penyengat sejak zaman YDM Raja Ja’far bin Raja Haji (memeritah 1805-1831) menjadi tempat yang menarik dikunjungi oleh para ulama. Para ulama yang menjadi guru mengaji al-Quran pada zaman itu sangat dihormati. Bahkan, mereka yang mau tinggal dan mengajar di Penyengat akan diberi gaji besar oleh kerajaan.
Puncaknya ketika Raja Abdullah (memerintah 1857-1858) dan Raja Muhammad Yusuf (yang memerintah 1858-1899) menjabat Yang dipertuan Muda Riau IX sekaligus Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyyah. Pulau ini ketika itu menjadi pusat pendidikan keagamaan dan perkembangan tarekat ini sehingga sering dikunjungi kaum muslimin dari luar pulau. Dari masjid inilah lahir para ulama dan sastrawan Melayu, seperti Raja Ahmad dan Raja Ali Haji, dua ulama (ayah dan anak) yang menjadi pelopor kesusasteraan Melayu sehingga menjadi Bahasa Indonesia saat ini. Ketiga, masjid ini memiliki keunikan dan keindahan arsitekturnya. Konon arsiteknya adalah orang Singapura keturunan India, karena itu bangunannya mengikuti model arsitektur India dan Turki
- Masjid Keling Tanjungpinang (Masjid Agung Al Hikmah)
Masjid Keling Tanjungpinang tinggal nama dan sejarah. Bentuk fisiknya tak ditemukan lagi. Sejak tahun 1956 diatas lahan Masjid Keling dibangun bangunan baru masjid yang bernama Masjid Al Hikmah yang sekarang statusnya menjadi masjid agung. [2]
Masjid berdiri diperkirakan awal abad 19. Saat Pendeta (Misionaris) Eberhard Rottmann Rottge datang ke Tanjungpinang tahun 1834 mengantikan Pendeta Dirk Lenting, ia sudah melihat keberadaan Masjid Keling ini. Saat itu di Tanjungpinang sudah ada Masjid Keling dan kelenteng yang lokasinya berdekatan. Saat itu belum ada gereja di Tanjungpinang. Dalam peta 1860, sudah ada tiga bangunan rumah ibadah di lokasi yang berdekatan. Masjid Keling, Gereja Protestan yang kini dikenal dengan Geraja GPIB atau Gereja Ayam dan Kelenteng.
Sejarah keberadaan Masjid keling ini erat kaitannya dengan komunitas perantau dari Anak Benua India ( India Subcantinetnt ) di Tanjungpinang. Mereka terdiri dari orang Keling, Coromandel, Benggali atau Bengal, Bombai dan Sikh.Di Tanjungpinang pada abad ke 19 , semua penduduk yang berasal dari Anak Benua India ini disebut orang keling. Orang Tanjungpinang biasanya menyapa mereka dengan panggilan bai. Nama Bai maknanya adalah saudara. Nama panggilan ini biasanya disandingkan dengan jenis profesi yang mereka geluti. Oleh karena itu dulu di Tanjungpinang di kenal bermacam- macam Bai.
Sejarawan Aswandi Syahri menyebut imigran asal India singgah di Tanjungpinang di abad 19. Kedatangan mereka bukan untuk menetap. Mereka hanya berdagang kain, roti, rempah-rempah, dan obat-obatan, Setelah beberapa waktu menetap di Tanjungpinang, sekumpulan orang Keling ini pun bersepakat membangun satu rumah ibadah. Orang-orang Keling saat itu, ketika beribadah masih menggunakan ritual-ritual islam ala India. [3]
Aswandi meyakini Masjid Keling dibangun setelah vihara dan lebih dulu dari Gereja Ayam,” taksir Aswandi. Taksiran Aswandi ini merujuk pada arsip laporan pembangunan Gereja Ayam, yang menyebutkan, pendeta mengeluhkan ketiadaan gereja di Tanjungpinang. Bila benar sedemikian itu, masjid yang terletak di jantung kota ini diperkirakan sudah berusia lebih dari satu abad. Namun, tak satu pun dari bangunan yang bisa dijumpai hari ini adalah bangunan asli. Ihwal bentuk asli masjid yang juga disebut Masjid Kuala Sungai itu, Aswandi menyebutkan, tak ada satu pun foto dokumentasinya. Namun, diperkirakan, bangunan asli Masjid Keling ini berbentuk panggung.
Perkiraan Aswandi ini berpulang pada ingatannya mengunjungi sebuah pameran sejarah ketika perayaan ulang tahun Kota Tanjungpinang 6 Januari 1987 silam, di Gedung Olahraga Kacapuri. Ada orang yang memamerkan lukisan sketsa Masji d Keling yang masih berbentuk rumah panggung. Hal inisebuah kemungkinan yang lazim. Pasalnya, di abad 19 silam, arsitektur khas bangunan di Tanjungpinang adalah berbentuk panggung meski bangunan itu jauh dari laut.
Keberadaan Orang Keling di Tanjungpinang tak bertahan lama. Rombongan kecil para pedagang Orang Keling itu meninggalkan Tanjungpinang di pertengahan dekade 1950-an. Kebanyakan mereka memilih pergi ke Singapura atau pun Medan, sebagai basis besar orang Keling terdekat dari Tanjungpinang. Namun, ada pula sebagian kecil orang Keling memilih menetap di Tanjungpinang dengan mempersunting orang tempatan.
Di atas bangunan Masjid Keling berdiri Masjid Agung Al Hikmah. Bangunan masjid ini telah tiga kali mengalami renovasi sejak tahun 1956 ketikamasih Kabupaten Kepuluan Riau. Bentuk aslinya terbuat dari kayu kapur atau kayu merah. Dan reflika masjid ini sekarang ada di Dabo Singkep yang bernama Masjid Al-Zulfa.
Mimbar masjid dibuat pada tahun 1960-an dengan menggunakan kayu Jati. Masjid Raya Al-Hikmah ini setelah dilakukan penambahan dan perombakan sebanyak tiga kali, luasnya menjadi sekitar 35 x 30 meter persegi, bisa menampung jamaah sekitar 3000 hingga 4000 jamaah. Sedangkan sebelumnya, hanya mampu menampung sekitar 300 atau 400 jemaah. Sedangkan menara yang sekarang tingginya 36 meter, rencananya akan dinaikan lagi sekitar 10 meter.Pembangunan menara masjid sendiri dibangun pada masa pemerintahan Kabupaten Kepri dulu masih bergabung dengan Provinsi Riau. Waktu itu Bupati Marwanto membangun menara ini setinggi 36 meter. Menara masjid ini menjadi ikon Kota Tanjungpinang sebagai kota Melayu yang menjunjung tinggi adat istiadat yang Islami.
- Masjid Al Hidayah
Masjid Al Hidayah terletak di Jalan Brigjen Katamso Batu 2 Tanjungpinang ini adalah salah satu masjid yang ke kategori masjid Jami’ yakni masjid yang tak hanya digunakan untuk shalat fardhu’ namun juga digunakan untuk mengumpulkan jama’ah untuk sholat jum’at. Dengan luas tanah 1.225 m2 masjid ini dibangun dengan luas bangunan sekitar 396 m2.
Masjid ini terdiri dari dari 2 bangunan yakni bangunan inti masjid dan bangunan menara masjid. Masjid yang dibangun pada sekitar tahun 1952 ini, hingga saat ini masih berdiri kokoh dengan beberapa kali perbaikan. Sehingga Masjid Al Hidayah ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu masjid yang tertua untuk kota Tanjungpinang dikarenakan usianya hingga saat ini telah melewati setengah abad.
Selain itu di Masjid Al Hidayah ini juga terdapat Yayasan Al Hidayah yang juga terdapat TPA Al Hidayah dan Taman Kanak-kanak Raudathul Athfal (TK R/A) Al Hidayah yang merupakan Sekolah pendidikan islam swasta untuk anak-anak pra sekolah dasar di berlokasi di depan masjid. Halaman TK yang berada di perkarangan masjid.
- Masjid Nur Ilahi Dompak
Tanjungpinang memiliki sejumlah lokasi baru yang menjadi ikon wisata Kota Gurindam ini. Selain Gedung Gonggong di tepi laut, keberadaan Masjid Nur Ilahi di Pulau Dompak juga menjadi magnet tersendiri. Apalagi setelah diresmikannya Jembatan I Dompak, akses transportasi ke Pulau Dompak semakin mudah dan dekat. Masjid Nur Ilahi diresmikan pemakaiannya oleh Gubernur Kepri HM Sani tahun 2013.
Kemegahan masjid ini sudah tercium sejak memasuki jembatan yang bermula di depan Ramayana dan berujung di bibir pulau tempat masjid dan bangunan pemerintahan Pemprov Kepri berada. Karena terletak di Pulau Dompak yang juga pusat pemerintahan Provinsi Kepri, Masjid Nur Ilahi lebih dikenal dengan sebutan Masjid Dompak. Berdiri di atas bukit, kehadiran Nur Ilahi seakan sebuah ikon religi yang ada “di atas” lautan. Dari jembatan, akan bertemu bundaran dengan empat jalan di tiap sisinya, putari bundaran 180 derajat lalu belok kiri. Pada bundaran kedua, sudah terlihat jalan masuk Nur Ilahi. Jalan ini menanjak, mengikuti tekstur tanah berbukit.
Bagi wisatawan muslim, melaksanakan ibadah di masjid ini memiliki kesan tersendiri. Perasaan tenang dan khusuk saat beribadah, sangat bisa dirasakan di masjid ini, tidak ada suara berisik kendaraan dan hingar bingar keramaian, karena pulau ini masih sepi dan masjid yang berada dataran yang cukup tinggi membuat hembusan angin leluasa menerpa seluruh ruangan dalam masjid dan membuat suasana di dalam masjid terasa sejuk, tanpa perlu pendingin ruangan atau kipas angin. Bentangan Sajadah yang sepertinya impor dari luar negeri, berbahan tebal dan berbulu lembut terbentang di seluruh area masjid membentuk shaf salat. Ketika waktu shalat akan masuk terdengar lembut senandung murotal Al-Quran yang memantul dari dinding dinding masjid yang tinggi,hingga menambah khusu’ suasana di dalam masjid.Bagi yang baru pertama kali, mungkin agak bingung harus parkir di mana. Begitu banyak area parkir yang disediakan di komplek ini. Jika sedang penuh jamaah, bisa parkir di dekat gerbang masuk. Namun pada hari-hari biasa, dari gerbang belok kiri lalu belok kanan. Setelah melewati menara, belok kanan, lurus kira kira 200 meter. Akan dijumpai papan arah untuk parkir kendaraan. Parkir favorit adalah di parkir bawah, yang berhadapan langsung dengan jembatan. Sejajar dengan garis di mana jembatan berakhir, sesaknya bangunan di Kota Tanjungpinang tampak dengan mata telanjang.
Ingin melihat keindahan keseluruhan Tanjungpinang dari ketinggian, Anda bisa berkunjung ke menara di Masjid Nur Ilahi. Menara yang tingginya lebih kurang 57 meter tersebut, benar-benar memberikan sensasi yang luar biasa. Karena dari atas menara bisa melihat pesona indahnya Jembatan I Dompak Tanjungpinang. Selain disuguhkan birunya laut, juga indahnya Ibu Kota Provinsi Kepri, Tanjungpinang dari ketinggian.Kemudian dari menara tersebut juga bisa melihat keindahan sekitar Pulau Dompak. Meskipun belum banyak bangunan yang berdiri, tetapi beberapa waktu kedepan wajah Dompak akan berubah. Rampungnya Jembatan I Dompak sudah memberikan sentuhan baru bagi berkembangnya pariwisata Dompak kedepan.**
Sumber:
[1] Saeful Bahri et. al. , Studi Arkeologi Keagamaan Masjid-Masjid Kuno, (Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta, 2011), hal. 134
[2] Jantungmelayu.com, 27 Mei 2017
[3] Batampos.co.id, 18 Mei 2016