Data International Maritim Buereau atau Biro Maritim Internasional, saat ini setiap hari diperkirakan ada 200 kapal yang melintasi Selat Malaka. Tak ayal lagi, Selat Malaka jalur penting perdagangan dunia yang rawan perompakan. Dengan letak geografisnya, Selat Malaka rapuh terhadap praktik perompakan. Ada ribuan pulau kecil, dan banyak selat di kawasan ini yang menjadikannya ideal untuk merompak, bersembunyi dan melarikan diri.
Daerah yang paling rawan perompakan adalah Perairan Pulau Bintan, Kepri, disusul Perairan Karimun Besar dan Karimun Kecil, Kepri. Tahun 2014, ada 35 laporan perompakan dari Perairan Pulau Bintan, sementara dari Perairan Karimun 18 insiden. Data Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Karimun, sepanjang 2015 ada 31 kasus perompakan kapal di Selat Malaka dan tujuh kali percobaan perompakan. Kasus perompakannya tak sampai tahap penyanderaan dan pemerasan. Rompak hanya mengambil barang yang ada di kapal.
Aksi perompakan di Selat Malaka bukan sesuatu yang baru. Fenomena ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Dari abad ketujuh hingga 11, Sriwijaya menguasai Selat Malaka. Dalam memerangi bajak laut, Sriwijaya memberdayaan Orang Laut. Sejumlah literatur menjelaskan suksesnya Sriwijaya dalam mengelola Selat Malaka. Setelah Sriwijaya runtuh antara abad 11-12,aksi perompakan di Selat Malaka semakin mengganas. Bajak laut bergerak sendiri-sendiri. Aksi perompakan Selat Malaka menjadi kisah sejarah panjang yang tak terselesaikan hingga saat ini.
Toponimi atau asal usul nama Karimun juga dikaitkan dengan perompakan. Karimun yang kini pusatnya di Tanjung Balai, dulu pusatnya di Meral yang saat ini menjadi salah satu kecamatan. Di Meral berkuasa lanun atau perompak terkenal bernama Pameral. Saat ini daerah Perairan Karimun hingga Selat Malaka tak aman bagi dunia pelayaran karena maraknya perompakan. Kejadian ini mendapat perhatian serius dari Kerajaan Riau Lingga. Pameral dianggap jadi dalang kejadian perompakan dan akhirnya ditangkap. Pameral dibawa ke Penyengat. Namun meski Pameral ditangkap, kasus perompakan tak juga berkurang.
Pameral dilepaskan dan diminta mengamankan daerah Karimun. Ia berhasil menjalankan tugas dan sebagai hadiah, pihak kerajaan menjadikan Pameral sebagai batin pertama di daerah Meral itu. Ia diberikan tanah untuk hadiah. Sejak ini nama daerahnya bernama Meral. Keturunan Pameral lah yang turun temurun di Karimun.
Perompakan di Selat Malaka, khususnya Perairan Karimun juga tercatat dalam dokumen resmi kolonial Belanda. Dalam buku Pulau-Pulau Terdepan Wilayah Indonesia (Kontrak Perjanjian Wilayah Perbatasan Republik Indonesia Jilid IV), terbitan Arsip Nasional, 2009 ditulis ada kasus perompakan tongkang orang Cina di Perairan Tembelas, Karimun tahun 1901.
Ada laporan dari controleur Karimon ke Residen Belanda di Tanjungpinang bernama VL de Lannoij telah terjadi perompakan tongkang bernama Kim Swee Bee tanggal 23 Mei 1901 di Perairan Temblas (Karimon). Berikut laporannya:
“Sa-boeah tongkang bernama Kim Swee Bee taikongnya bernama Oh Sing telah berlajar dari Singapore pada 22 hari bulan Mei ini, maka pada 23 Mei tongkang itoe dirampas oleh ampat Orang Malajoe, ia itoe di dekat Poeole Temblas (Karimon)”.
Aksi perompakan berlangsung cukup tragis. Anak buah kapal (ABK) kapal tongkang bernama Tan Lan terjun ke laut dan berenang ke Pulau Karimun. Tekong atau nahkoda tongkang, cincu dan lima ABK terjun ke laut. Kondisi tekong, cincu dan seorang ABK luka-luka. Hanya Tan Lan yang selamat sampai di Karimun dan melapor ke Controleur Karimon adanya kasus perompakan. Dalam surat ke resident ini, ada permintaan untuk menyelidiki kasus ini dan menangkap pelakunya. Surat ke Resident Belanda di Tanjungpinang tertanggal 28 Mei 1901.
Setelah beberapa bulan, Resident Belanda VL de Lannoij mengiimkan surat balasan terkait penyelidikan perompakan ini.Hasil penyelidikan, orang yang diduga kuat melakukan perompakan adalah Radja Said Besar yang tinggal di Kuala Lapian, dekat Kwala Sabak (Muara Sabak), Jambi. Dalam merompak, Radja Saiod Besar dibantu dua Orang Laut bernama Mahidin dan Cidiq. Mereka tinggal di Soengai Terap, Retih yang kini jadi wilayah Indragiri Hilir.**